"Nona Catherine!" Cathy menoleh pada orang yang memanggilnya dan tersenyum pada orang tersebut.
Orang itu adalah seorang pemuda berusia dua puluh dua tahun dan pemain drum di sebuah grup band yang pernah diundangnya di Star Risen.
"Selamat siang Fred, apa kabar?"
"Sangat baik. Apa kau tahu sejak kami tampil disana, kami mendapatkan tawaran di salah satu showroom perusahaan elektronik. Tidak hanya itu, kami juga mendapatkan banyak panggilan. Kami benar-benar berterima kasih padamu."
"Aku senang mendengarnya. Tapi aku sama sekali tidak melakukan apa-apa."
"Sama sekali tidak benar. Kau adalah ibu peri kami. Karena itu sering-sering datang kesini agar kami sering mengalami keberuntungan."
"Huh?"
"Oh tidak. Aku terlambat. Sampai jumpa nona. Aku harap kita bisa mengobrol lebih lama lain waktu." Fred mengucapkannya sambil berjalan mundur dengan senyuman lebar dan melambaikan tangannya.
Cathy ikut melambaikan tangannya dengan senyumnya yang biasa. Begitu punggung pemuda itu menghilang dari pandangannya, Cathy menggeleng-gelengkan kepalanya mengingat julukan barunya di sekitar gedung ini.
Sebelumnya dia dijuluki teman tapi mesra dari Steve Mango, kemudian dia dijuluki dewi keberuntungan, sekarang dijuluki ibu peri?
Padahal dia hanya datang mengunjungi sahabatnya dan sekali-kali merekomendasikan salah satu bintang dari tempat ini tiap kali tempat kerjanya membutuhkan sebuah hiburan.
Yang dia lakukan hanyalah menyebut nama agensi ini pada atasannya. Dia tidak akan bisa berbuat apa-apa kalau atasannya lebih memilih bintang tamu lainnya. Tapi saat atasannya mengikuti rekomendasinya barulah dia menghubungi pihak agensi ini. Apa itu bisa disebut sebagai tindakan yang besar? Meskipun yang dia lakukan hanyalah menyebut kata PHY Entertainment?
Tidak mau memikirkan lebih lanjut, Cathy berjalan menuju ke sebuah ruangan. Setelah mengetuk beberapa kali, barulah Cathy membuka pintu dan masuk kedalam.
Begitu masuk dia melihat seorang pria tersenyum lebar menyambutnya dengan gembira. Orang itu sangat tinggi dengan tinggi seratus sembilan puluh senti.
Steve Mango adalah model terkenal yang memiliki penggemar baik di kaum muda maupun tua. Tidak ada yang tahu sebelum menekuni profesi modeling, Steve Mango dulu adalah asisten dosen yang pernah membimbingnya disaat dia masih menjadi mahasiswa baru di universitas. Pria itu empat tahun diatasnya dan memperlakukannya seperti seorang kakak pada adik perempuannya. Semenjak itu, mereka sering bersama dan tidak ada satupun perlakuan Steve yang mebuatnya tidak nyaman. Cathy tidak tahu warna rambut ataupun mata 'kakak laki-lakinya', tapi dia sering mendengar bahwa warna rambut Steve Mango bagaikan bulu halus yang terbuat dari emas dan matanya bagaikan berlian sapphire yang diasah dengan indah.
Tentu saja Cathy tidak bisa melihat semua itu karena di matanya, rambut sahabatnya ini bewarna abu-abu terang sementara warna matanya bewarna hitam.
"Cathy, kau sudah pulang! Kau apakan kulitmu? Kau seperti baru saja dibakar matahari."
Cathy mendengus mendengar itu. "Coba saja kau tinggal di daerah tropis selama dua minggu. Aku yakin kulitmu juga akan sama sepertiku."
Steve tertawa mendengar itu. "Tidak, terima kasih. Penggemarku akan kecewa nanti."
"Bagaimana kau bisa tahu? Bisa jadi mereka malah tergila-gila denganmu."
"Hm.. sepertinya aku memang harus mencobanya."
"Huh?" padahal Cathy mengatakannya dengan maksud bercanda saja. Dia sama sekali tidak menyangka sahabatnya malah menanggapinya serius. "Kau tidak serius kan?"
"Apa kau tahu julukanmu yang baru? Mereka bilang kau adalah ibu peri PHY. Apapun yang kau ucapkan mengenai karir kami terwujud begitu saja tanpa kami harus meminta. Tadi kau bilang para penggemarku akan lebih tergila-gila jika warna kulitku menggelap, jika aku melakukannya..."
"STOP!" potong Cathy tiba-tiba. "Baiklah, jangan lakukan.. ok? Aku hanya bercanda."
Steve tertawa mendengar itu. "Baiklah, aku tidak akan melakukannya. Tapi kenapa kau kesini hari ini? Kau bahkan tidak memberitahuku sebelumnya."
Cathy mengangkat kedua bahunya dengan cuek. Dia tahu 'kakak'nya ini tidak suka dia datang tempat ini tanpa pemberitahuan. Hanya saja dia berpikir memberitahunya lebih dulu akan sangat merepotkan dan dia ingin memberi kejutan padanya sekali-kali.
"Ini." ucap Cathy sambil memberikan sebuah bingkisan yang dibawanya. "Oleh-oleh untukmu."
Dengan penasaran Steve membuka tas bingkisannya dan matanya bersinar-sinar.
"Awww... apakah aku pernah bilang kalau aku sangat menyayangimu?"
"Iya, kau sering mengatakannya." sahut Cathy sambil tersenyum puas.
Steve mengambil salah satu cupcake dan memakannya dengan satu gigitan besar.
"Bagaimana rasanya?" tanya Cathy dengan penuh harapan.
"Woah.." Steve masih mengunyah kuenya dengan penuh nikmat. "Rasanya seperti kacang tapi juga seperti almond.. Tunggu.. ada kismis didalamnya." Steve mengunyahnya lagi kali ini hingga habis tak bersisa didalam mulutnya. "Ini sungguh enak sekali. Dimana kau membelinya?"
Cathy tersenyum puas mendengar itu. "Aku membuatnya bersama Anna dan si kembar kemarin sore. Karena kami membuatnya terlalu banyak, jadi kami bagi-bagikan dengan teman-teman."
"Jadi begitu.. kau baru mengingatku saat mencari tempat pembuangan."
Cathy tertawa geli mendengar omelan sahabatnya lalu teringat akan gantungan yang ingin diberikannya. Dia membuka tasnya dan mengeluarkan gantungan tersebut dan memberikannya pada pemuda itu.
"Nih, yang ini oleh-oleh dari Pina."
"Wow.. warnanya mirip dengan mataku. Terima kasih." Steve menerimanya dengan senang sambil menghabiskan satu kue cupcake yang tadi digigitnya.
"Eh, sebenarnya aku lupa membelikan oleh-oleh untukmu. Itu karena kelebihan jadi aku berikan padamu." sahut Cathy dengan tampang tak bersalah.
"Aku tarik ucapanku. Kau ini adik yang tidak berperasaan." kali ini wajah Steve cemberut membuat Cathy menahan tawa gelinya.
Steve hendak mengambil satu cupcake lagi saat instingnya bereaksi. Instingnya telah terbentuk dengan sempurna setelah melatihnya selama tiga tahun semenjak dia memasuki dunia permodelan. Dengan terburu-buru dia membungkus bingkisan kembali dan menyerahkan pada Cathy. Cathy sudah mengerti kebiasaan 'kakak'nya dan segera menerimanya lalu menutupi bingkisannya dengan tasnya sendiri sementara Steve membersihkan remah-remah kue pada mulutnya.
Sesekali Steve akan mengangkat dagunya meminta Cathy untuk mengecek apakah masih ada bekas makanan di mulutnya. Mengingat waktu yang menipis, Cathy langsung menyapu bersih bekas coklat kue pada sebelah kiri mulut pria itu menggunakan ibu jarinya.
Tepat saat pintu ruangan terbuka, mereka berdua telah berpose seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Kemudian muncul kepala seorang wanita berusia awal empat puluhan dengan senyuman lebar saat melihat Cathy disana.
"Oh, Hai Cathy. Aku tidak tahu kau disini."
"Hai kak Ririn."
Setelah puas menyapa Cathy, kak Ririn memandang ke arah Steve sambil menyipitkan matanya.
Ririn adalah manajer pribadi Steve. Jadwal dan kontrak menerima tawaran pekerjaan Steve diatur sepenuhnya oleh Ririn. Bahkan dia jugalah yang mengatur menu diet Steve dengan ketat... sangat ketat.
"Steve, kau tidak sedang makan cemilan manis kan?" nada pada kak Ririn terdengar seperti sebuah tuduhan.
Steve tersenyum dengan tampang tak berdosa, "Apa aku kelihatan seperti orang yang baru saja makan?"
Sekali lagi Ririn memandangnya dengan tatapan menyelidik kemudian tersenyum. "Baiklah kalau begitu. Maaf Cathy saat ini aku masih sibuk tidak bisa menemani kalian."
"Tidak masalah kak Ririn. Sebentar lagi aku juga akan pergi."
"Sering-seringlah kemari. Sudah setahun ini kau jarang kemari."
Itu karena Steve sudah melarangnya untuk datang secara rutin. Cathy menyimpan jawabannya dalam hati.
"Akan kuusahakan." jawab Cathy dengan sopan.
"Baiklah, aku pergi dulu. Sampai jumpa Cathy. Dan kau.. jangan makan kue dari para penggemar." kak Ririn mengatakan kalimat terakhirnya pada Steve sebelum menarik kepalanya keluar ruangan.
Saat pintu tertutup keduanya bernapas lega dan saling memandang satu sama lain. Kemudian mereka tertawa bersama.
"Tadi itu menakutkan sekali." ujar Cathy di tengah-tengah tawanya.
"Inilah arti hidupku. Jika tidak menegangkan untuk apa aku menerima Kak Ririn sebagai manajerku?"
Dengan santai, Steve meminta kembali kuenya dan segera menghabiskan dua cupcake lagi.
Cathy dan Steve masih berbincang-bincang dengan santai saat ponsel Steve bergetar. Steve segera membaca pesan yang masuk dengan ekspresi muram.
"Cathy, kau harus segera pergi."
"Hm?" Cathy tidak terlalu terkejut dengan perubahan sikap sahabatnya. Dia sudah terbiasa dengan cara mengusir Steve yang misterius.
Steve yang tidak sabar segera membawakan tas Cathy dan menarik tangan Cathy keluar dari ruangan. Hanya saja mereka tidak menuju ke arah lift, melainkan ke arah pintu darurat. Seperti biasa, Steve menginginkan Cathy turun melalui tangga darurat.
"Ingat Cathy, begitu sampai bawah..."
"Aku tahu. Aku akan menunggu lima menit sebelum keluar."
"Anak pintar. Sampai ketemu lagi." ujar Steve kemudian menutup pintu darurat dan kembali ke ruangannya.
Di dalam ruangan, dia menyembunyikan bingkisan oleh-oleh Cathy ke dalam laci meja riasnya kemudian berjalan mondar-mandir dengan gelisah.
"Aku harap dia tidak melihat wajahmu." pintanya dengan sangat.
Sementara itu Cathy yang telah tiba di lantai dasar hanya berdiri bersender di dinding sambil menunggu waktu berjalan lima menit. Setelah melihat ke arah jam tangannya Cathy merilekskan tubuhnya dan memejamkan matanya.
Cathy memang penasaran apa yang membuat 'kakak'nya mengusirnya diam-diam? Apa yang disembunyikan pria itu darinya? Tapi Cathy bukanlah orang yang suka memaksakan kehendak, jika sahabatnya belum bisa memberitahunya maka dia tidak akan mencari tahu.
Dia teringat pertama kali bertemu dengan Steve di universitas. Waktu itu dia masih berusia sembilan belas dan tidak mengenal siapapun di kelas jurusannya. Steve Mango yang kebetulan merupakan asisten dosen mendekatinya dan sering menemaninya bahkan membantunya menjawab segala pertanyaan yang tidak dimengertinya.
Sebenarnya Cathy tidak terlalu merasa nyaman jika bersama seorang pria, namun pemuda yang satu ini selalu bersikap apa adanya dan memperlakukannya seperti seorang adik. Karena itu Cathy tidak keberatan saat pria itu sering menghubunginya untuk mengajaknya belajar bersama.
Karena mereka sering keluar bersama-sama ada seorang pencari bakat melihat wajah Steve dan merekruitnya untuk menjadi model. Semenjak itu Steve mendalami profesinya dan mengecat rambutnya agar dia terlihat tampak lebih tampan. Yah, sebenarnya di mata Cathy warna rambut Steve tidak banyak berubah. Hanya seperti berubah lebih terang dari sebelumnya.
Cathy hanya tersenyum saat mengingat-ingat masa lalu tanpa sadar jam sudah berjalan lewat lima menit. Karena waktu menunggu sudah cukup, Cathy membuka pintu darurat dengan santai dan berjalan lurus menuju pintu lobi. Untuk menuju ke pintu lobi, dia harus berjalan dari pintu darurat melewati dua lift yang berjejeran.
Cathy mencoba tersenyum pada wanita resepsionis yang berdiri di sebelah lift. Tapi karena tampaknya wanita itu sedang memikirkan sesuatu, Cathy tidak jadi menyapanya. Ia terus berjalan melewati lobi dan keluar dari gedung PHY. Dia sama sekali tidak menyadari ada sepasang mata dari dalam lift kedua menatapnya dengan syok dan segera memencet tombol untuk membuka pintu lift.
Ternyata Steve Mango adalah sosok seorang 'kakak' bagi Cathy. Kira-kira apa yang disembunyikan Steve ya?
Semoga kalian suka karakter Steve
Tentu saja Vincent yang nomor 1
Hehehe