webnovel

Bab 53

Ketika ia sampai, sudah banyak orang berkerumun di sana. Bahkan hampir semua penghuni kediaman berkumpul di satu area.

"Itu benar-benar rubuh." kata Daniar hampir tidak percaya dengan fakta yang ia lihat.

Dinda hanya memperhatikan dari jauh dan tidak mendekat sedikitpun. Debu-debu beterbangan hingga membuatnya batuk-batuk.

"Kenapa kamu ada di sini. Kembali ke paviliun mu sayang. Lihat kamu jadi batuk."

Tuan Arjun Saputra yang tau Dinda pasti penasaran dan datang ke TKP tentu merasa cemas. Karena belum mengetahui tentang apa yang sebenarnya telah terjadi dengan bangunan itu.

Dinda menarik lengan tuan Arjun dan berbisik padanya "Itu bukan sekedar rubuh. Lihat saja material yang hancur berkeping-keping itu."

Tuan Arjun hanya diam sembari mencerna kalimat yang di katakan Dinda.

"Kamu benar sekali sayang, itu lebih mirip di ledakkan dari pada rubuh karena usia."

"Hmmmm, siapa yang melakukan hal ini? Dan untuk apa?"

"Aku akan ke sana sebentar, dan kamu tidak boleh mendekat." perintah tuan Arjun pada Dinda.

Seperti yang di perintahkan, Dinda hanya melihat saja dari tempatnya sekarang berada. Ia tidak ingin membantah perintah suaminya. Karena dia juga tau, cukup berbahaya untuknya jika nekat pergi mendekat. Bukan hanya debu, Dinda juga takut kakinya tertusuk paku maupun material tajam bangunan yang rubuh itu.

"Pantas saja rubuh. Ternyata pembawa sialnya sudah kembali." sindir Dona. Dia datang dengan tongkat yang melekat padanya.

"Daniar apa kamu berbohong padaku?" bukannya membalas perkataan Dona, Dinda justru menegur Daniar.

"Bohong soal apa?" Daniar kebingungan.

"Katamu tadi ular-ular sudah di basmi semua kan?"

"Iya betul. Memang semua ular itu sudah di tangkap dan di bunuh semua."

"Lalu mengapa di hadapanku masih ada ular yang tertinggal."

"Jangan sembarangan berbicara ya kamu." tegur Dona.

"Aku hanya belajar darimu mbak. Sister is like her sister. Kenapa kamu marah?"

"Hanya dua kalimat saja, Dona memilih pergi dari pada mendengar perkataan nyelekit yang di ucapkan oleh Dinda.

"Awas ada banyak ular di sana." teriak Dinda.

"Kamu ini, bisa saja membuatnya marah." kata Daniar.

"Dia yang lebih dulu mengganggu ku Daniar."

"Andai aku bisa berani seberani dirimu. Pasti aku dengan mudah dapat menghadapinya."

"Kamu sahabatku. Jadi kamu harus sepertiku. Jika kamu benar, jangan takut. Lawan saja semua yang menindas mu. Kita di ciptakan setara bukan? Kenapa harus takut."

Daniar tersenyum, semakin lama ia mengikuti Dinda. Maka semakin besar pula rasa kekagumannya pada Dinda.

-----

Braaaakkkk..

Tuan Arjun Saputra memukul meja begitu keras. Dia terlihat sangat marah sekarang.

"Siapa yang berani mengambil barang ku? Cepat temukan orang itu." tuan Arjun berteriak pada Rendi.

Bukan apa-apa, karena seperti bangunan yang rubuh itu sengaja di ciptakan agar semua orang di kediaman itu lengah.

Dan benar saja, sebuah dokumen penting telah hilang saat tuan Arjun sibuk di halaman belakang.

"Cepat atau lambat aku pasti akan menemukanmu. Mau kamu bersembunyi di ujung dunia sekalipun."

----

"Sudah jangan sedih lagi, memangnya itu dokumen apa sih?" tanya Dinda ketika tuan Arjun datang untuk mendapatkan hiburan.

Dengan mengacak-acak rambut kepala tuan Arjun yang kini bersandar di pangkuannya, Dinda berusaha untuk menghibur hati suaminya.

"Itu adalah jurnal perusahaan pertamaku."

"Memangnya apa isinya?" tanya Dinda.

"Beberapa rahasia bisnisku sayang."

"Beberapa saja kan? Tapi kamu punya banyak bisnis kan?"

"Ya iya, aku lupa jika aku masih punya banyak mega bisnis yang lain."

"Lalu untuk apa kok melting gitu. Konyol."

"Tentu saja agar kamu peduli padaku."

Dinda menggelengkan kepalanya. Kali ini dia juga di buat kesal oleh tingkah suaminya itu.

----

"Hah hah hah hah!!"

Dengan terengah-engah seorang pria berlarian di hutan. Walaupun tanpa alas kaki hingga kakinya terluka ia tetap melangkah ke depan. Tidak peduli apapun itu, ia harus selamat dari kejaran para penjahat itu.

Dor.. Dor.. Dor.. Dorrrr..

Dengan meliuk-liuk ia terus menghindari tembakan demi tembakan yang di arahkan padanya.

"Gawat, dia belum mati. Dan persediaan peluru sudah hampir habis." kata salah satu penjahat.

"Kita harus berhasil kali ini. Bila tidak kamu tau sendiri nasib nyawa kita bagaimana."

"Ya, dia yang mati atau kita yang akan mati."

"Cepat kejar dia. Aku yakin dia sudah mencapai batas."

Sreeeekkkk.. Sreeeekkkk.. Bat bat bat..

Pria itu terus menggunakan tenaganya yang tersisa untuk menyelamatkan dirinya.

Bukan tanpa tujuan, dia telah memiliki tujuannya sendiri. Sampai tiba-tiba daratan berhenti di hadapannya.

"Ck sial, ini jurang."

Pria itu ragu, kembali atau melompat. Sementara itu para penjahat sudah semakin dekat dengannya.

"Kamu mau kemana hah?!" teriak seorang penjahat yang terlebih dahulu sampai.

Dengan mengangkat kedua tangannya pria itu memohon untuk di ampuni.

"Tolong jangan bunuh saya. Bagaimana nasib keluargaku, istri dan anak-anakku jika saya mati." kata pria itu memohon dengan sangat.

"Aku tidak peduli, kamu pikir nyawamu saja yang terancam?"

"Ku mohon lepaskan saya kali ini saja. Aku akan bersembunyi dan tidak akan pernah muncul di hadapan kalian."

"Kamu bodoh! Cepat bunuh dia!!" penjahat yang lain berteriak kesal.

Gegas penjahat itu mengacungkan kembali pistolnya.

"Kali ini tidak, ini adalah peluru terakhir yang ku punya."

Dengan nafas berat dan tubuh yang penuh dengan luka. Pria itu menyerahkan nasibnya pada takdir.

Doooorrrr..

Wusssshhhh..

Pria itu terjatuh ke dasar jurang. Kedua penjahat itu kemudian melihatnya ke dasar jurang.

"Apa dia sudah mati?!"

"Aku melihat darah sebelum dia terjatuh. Aku yakin pasti dia sudah mati."

"Dan jurang ini sangat dalam."

"Sungai di sana menuju kemana? Setidaknya kita harus menemukan jenazahnya."

"Ayo kita pergi."

"Papa!!"

"Hah hah hah hah!!"

Keringat dingin mengalir deras di pelipisnya. Dinda begitu gemetar saat melihat dengan jelas mimpi itu.

Ayahnya dengan jelas terbunuh di depan mata kepalanya sendiri. Dengan tubuh berlumuran darah tenggelam di dasar sungai berarus deras.

"Aku harus segera menemukan papa. Firasatku tidak enak tentang papa."

Dinda beranjak pergi ke kamar mandi untuk membasuh wajahnya. Menatap pantulan wajahnya di cermin.

"Papa ada dimana sekarang? Apa papa baik-baik saja? Dinda berharap untuk segera bertemu dengan papa."

Kembali ke tempat tidurnya. Dinda merasa kesunyian malam ini begitu mencekam. Apa lagi di tambah jika dia telah melihat mimpi buruk dalam tidurnya.

"Biasanya kalau aku tidak bisa tidur seperti ini, papa datang membawakan susu coklat hangat kesukaan ku. Menemaniku hingga aku mengantuk. Hemmmhh Dinda rindu papa."

Dinda tidak berniat untuk menutup matanya kembali. Subuh sudah hampir datang, dan ayam jantan juga sudah mulai berkokok.

Dinda memutuskan untuk keluar dari paviliunnya.

Tidak ada Daniar ataupun pengawal. Mungkin mereka masih tertidur lelap di balik selimut mereka. Yang hanya ada beberapa pengawal yang berjaga di beberapa titik rawan di kediaman. Sudah bukan rahasia umum. Ketika hari sudah larut malam, para pengawal dan abdi dalem kembali ke tempat mereka masing-masing untuk beristirahat.

"Huuuuuuaaaahh.. Udaranya segar sekali."

Dinda merenggangkan otot-ototnya yang terasa sedikit kaku.

Next chapter