webnovel

Bab 22

"Kamu tidak bersungguh-sungguh kan?"

"Untuk apa? Susah payah aku mencari kamu Arjun hanya untuk memberitahu fakta penting ini."

Tuan Arjun termenung sesaat menghela nafas panjang "Aku harus pergi sekarang."

Menepuk pundak Laras dengan pelan lalu kemudian tuan Arjun Saputra beranjak pergi.

----

Di sepanjang perjalanan pulangnya, Dinda memperhatikan suaminya itu jadi lebih banyak diam. Bahkan tadi yang mengajaknya buru-buru kembali dengan beralasan tidak enak badan.

"Apa tidak lebih baik kita berobat dulu sayang. Kamu pucat sayang."

"Aku tidak apa Dinda sayang." tuan Arjun membelai wajah istri kecilnya itu.

"Sebenarnya apa yang dikatakan dengan wanita itu tadi sayang sehingga kamu jadi muram begini?" tanya Dinda khawatir.

"Hanya obrolan teman lama saja sayang. Tidak ada apa-apa."

"Tapi.."

Cup.. Tuan Arjun mengecup bibir Dinda.

"Kenapa kamu mencium ku?"

"Kamu terlalu cerewet, jadi aku gemas."

"Ada mereka di sini." Dinda menunjuk Renda dan supir.

"Mereka akan pura-pura buta tenang saja sayang."

Walaupun berkata tidak ada apa-apa, hati wanita tidak bisa di bohongi. Dari raut wajah itu, Dinda tau betul ada hal yang di sembunyikan suaminya. Tetapi Dinda juga tidak memaksa jika dia belum ingin bercerita tentang hal yang mengganggu pikirannya itu.

----

"Darimana saja kamu seharian tidak kelihatan?" tanya Nike sinis saat di jamuan makan malam keluarga.

"Aku sedang bertapa menjadi wangsit." jawab Dinda asal.

"Aku serius, jangan meledekku."

"Idih.. Siapa juga yang ingin meledek mu. Kalau kamu tidak percaya ya sudah jangan bertanya."

Dinda tidak mungkin harus menjawab bahwa dia seharian ini pergi mengikuti tuan Arjun Saputra. Yang ada nanti malah mereka mengajukan protes yang berlebihan. Biar menjadi rahasia untuk ia simpan saja. Toh tidak ada hal yang menarik terjadi. Saat kesenangan di depan mata, justru malah tuan Arjun buru-buru mengajak kembali. Padahal sehelai pakaian pun belum berada di genggaman Dinda.

"Apa hadiah yang kamu siapkan untuk tuan Arjun?" Nike bertanya lagi.

"Apa ini begitu penting hingga kamu harus tahu?" Dinda kesal.

"Ya aku hanya penasaran saja. Hadiah apa yang ada di otak kecilmu itu untuk suami kita."

"Hadiah yang akan aku berikan padanya tentu saja hadiah yang tidak akan ia lupakan. Ini menang hadiah yang tidak bernilai seperti milik kalian semua. Tapi aku yakin dia akan menyukainya."

"Urus saja urusan kalian sendiri, untuk apa kalian mencampuri urusan orang lain." Bella menyela.

"Kamu tidak berhak menyela." Nike memperingatkan Bella.

"Kita punya hak untuk berdemokrasi. Kenapa kamu malah menolaknya. Lagian juga kamu bukan tuan rumah kan di sini. Kamu hanya pengurus rumah tangga saja atau lebih baik di sebut sebagai asisten rumah tangga."

"Kurang ajar kamu ya Bella!!" Nike hendak melayangkan tamparannya pada Bella. Tapi yang ada tuan Arjun Saputra dengan sigap menipisnya.

"Jangan buat keributan di depan makanan kalian." kata tuan Arjun.

"Maaf tuan, saya hanya membela diri. Dia sangat angkuh pada kita." Nike menunjuk Bella.

"Cih, dasar bermuka dua." celetuk Bella.

"Kamu bilang apa tadi? Awas kamu ya. Akan ku robek mulut jahatmu itu nanti!!" Nike sudah terpancing emosinya.

"Coba saja kalau kamu bisa."

"Bella!! Kamu hanya istri baru di sini!!"

"Apa karena aku ini istri baru jadi tidak boleh berpendapat?"

"Kamu tidak tau di untung!!"

Brakkk.. Nike, Nurul, Dinda dan Bella sangat terkejut ketika tiba-tiba tuan Arjun Saputra menggebrak meja.

"Sudah aku katakan bukan? Jangan ribut di depan makanan. Cepat makan!!"

Dinda hanya menatap tuan Arjun Saputra yang terus memalingkan wajahnya. Entah ada apa sekarang, tuan Arjun Saputra menjadi begitu emosional.

----

Daniar juga khawatir ketika melihat Dinda yang gelisah bahkan tidak menghabiskan makanan di piringnya tadi.

"Kenapa?"

Dinda menatap Daniar "Tidak apa, kamu pergilah beristirahat. Ini sudah larut malam."

"Tapi kamu.."

"Tidak apa Daniar, sudah ayo pergilah."

"Baiklah kalau begitu."

Dinda menuju ke balkon kamarnya untuk mencoba menenangkan pikirannya. Dia masih khawatir pada suaminya yang masih terlihat murung itu.

Melihat perpustakaannya masih menyala di malam selarut ini. Selain lampu yang menyala, dari kejauhan juga melihat paviliun Nurul yang masih menyala.

"Bukankah biasanya dia yang tidur lebih awal. Tapi sekarang?"

-----

Pagi-pagi buta Dinda sudah bangun dan sudah berada di jalanan sekitar kediaman. Mencoba kembali ke aktifitas rutin paginya.

Kerenggangan otot-otot nya yang sangat kaku itu. Betisnya sudah lembek kembali karena jarang berolahraga.

"Senang melihatmu kembali di jalanan pagi-pagi begini." sindir Nurul yang datang menghampiri Dinda.

"Senang juga melihatmu pagi ini walaupun tidur hingga pagi. Atau jangan-jangan kamu bahkan tidak tidur ya?"

"Tentu saja aku tidur. Aku tidur dalam kondisikan lampu menyala."

"Oh.." Dinda mengangguk.

"Jangan mikir yang aneh-aneh tentangku deh, lagi pula tidak terjadi hal yang aneh di kediamanku."

"Aku bahkan tidak memikirkan tentang apapun. Kenapa kamu yang jadi gugup begitu." Dinda mulai curiga.

Nurul melenggang pergi dari hadapan Dinda dengan begitu angkuh.

"Kenapa dia pagi-pagi gini? Apakah ada sesuatu yang tidak aku ketahui?"

----

"Hemat?" Bella terkejut.

"Ya, para nyonya di sini memang terbiasa berhemat. Sebab semua kebutuhan mereka telah terpenuhi. Jadi tidak ada pengeluaran tidak penting yang keluar dari paviliun para nyonya." pelayan Bella menjelaskan.

"Payah, padahal aku butuh banyak untuk menjalankan semua rencanaku."

"Tapi nyonya punya banyak akses di sini. Aku juga selalu ada di sisimu."

"Kamu memang orangku. Yang paling setia. Bagus bagus." puji Bella.

Bella menyeringai terlintas sebuah rencana jahat di kepalanya. Untuk siapa targetnya masih menjadi misteri.

Dinda pergi ke paviliun suaminya setelah lelah berjalan mengitari sekitar kediaman. Tidak di sangka Dinda begitu sangat merindukan suaminya setelah tadi malam ia tidak mampir.

"Apakah tuan Arjun ada?" tanya Dinda pada penjaga yang tengah bertugas.

"Tuan pergi sejak pagi buta nyonya dan belum kembali nyonya."

"Tumben dia tidak bilang. Apa dia memberitahumu mau pergi kemana?"

"Tuan pergi dengan tergesa-gesa, mengendarai mobilnya sendiri."

"Benarkah? Kalau begitu dimana Rendi?"

"Dia pergi ke kantor untuk menyerahkan dokumen penting."

Dinda kemudian memutuskan untuk pergi setelah mendapatkan jawaban itu.

"Pergi kemana dia sendirian? Bukankah dia selalu membawa Rendi dan juga beberapa pengawal bersamanya."

Dinda memilih untuk tidak memikirkan hal itu. Dikiranya tuan Arjun Saputra pergi ke rumah ibunya di kota.

"Aku mencarimu kemana-mana. Ini benang yang kamu butuhkan." kata Daniar sembari memberikan benang berwarna emas untuk menyulam.

"Thanks, kerja bagus. Ku berikan bintang lima untuk mu."

"Kita tidak masuk ke dalam?" tanya Daniar.

"Oh, tidak dia sedang pergi."

"Pergi? Ini aneh sekali."

"Apanya yang aneh sih Daniar. Palingan juga dia pergi karena ada hal mendesak."

Daniar meraih tangan Dinda dan membawanya menjauh dari paviliun tuan Arjun Saputra.

"Hei kenapa sih?" Dinda bingung dengan kelakuan abdi dalem nya itu.

"Nggak, lebih baik dari pada bermain-main kamu cepat selesaikan sulaman mu itu."

"Nanti sajalah, lihat ini jariku masih nyeri." kata Dinda sembari menunjukkan plester di jarinya.

Next chapter