webnovel

BAB 92. BARNA

"Sesuatu yang sangat aku sesali." jawabnya

"Apa maksudmu?" tanyaku

"Aku tidak ingin membahasnya denganmu. Sampaikan saja kepadanya, bahwa aku akan siapkan semuanya sebelum purnama. Minta saja orang untuk mengambilnya." katanya "Aku berharap saat itu dia sudah berubah pikiran." gumamnya.

Sepertinya percuma jika aku memaksanya untuk bicara. Dia tidak akan menjawab apapun. Aku akan bertanya pada Aryo nanti.

Hingga malam menjelang, aku tidak melihat Barna kembali ke gubuk itu.

"Nyi, kemana Barna?" tanyaku

"Bukan urusanmu!"

Wanita tua ini sangat menyebalkan.

Kita hanya berdua dan situasi tanpa bicara membuatku merasa tidak nyaman dan canggung.

Aku kesal pada diriku. Harusnya tadi pagi aku segera meninggalkan tempat ini. Kenapa juga aku harus menunggu Barna mengantarku? Kenapa juga aku mempercayainya?

Bagaimana jika dia tidak juga kembali?

Aku keluar gubuk dan duduk di sebuah batang kelapa yang digunakan sebagai tempat duduk di depan gubuk. Hanya sinar rembulan yang menerangi malam. Suara hewan malam bersahutan meramaikan tempat itu.

Aku mulai mengantuk saat aku melihat sosok manusia berjalan mendekatiku. Tapi sejenak kemudian semua menjadi gelap.

Aku terbangun di sebuah rumah yang asing. Pandanganku kabur, seakan seluruh tempat itu diselimuti kabut.

Aku melihat seorang wanita duduk didepan sesajen. Dia mengambil lagi sebatang dupa dan menyalakannya. Tiba-tiba seorang pria datang dan memeluknya dari belakang. Pria itu adalah Barna.

"Ibunda." panggilnya.

Wanita itu menoleh dan tersenyum kepadanya.

Barna memainkan rambutnya yang panjang terurai.

"Benarkah bunda tidak ingin kembali?"

Wanita itu mengangguk.

"Aku berjanji akan melindungi ibunda."

"Pangeran tidak perlu membahayakan diri. Bunda lebih baik disini."

Pangeran? Dia memanggil Barna dengan sebutan pangeran? Apakah Barna seorang pangeran?

"Ibunda tidak perlu memanggilku seperti itu saat hanya kita berdua." kata Barna.

"Pangeran adalah orang yang memiliki kemuliaan. Tentu saja ibunda tidak bisa sembarang memanggil pangeran dengan sebutan yang tidak pantas."

"Bunda... Saya sudah bicara dengan ayahanda, beliau tidak akan keberatan jika saya membawa ibunda ke keraton."

"Tidak pangeran. Identitas pangeran selamanya harus tetap seperti yang diketahui khalayak. Mereka tidak perlu mengenalku. Jika mereka mengetahui siapa saya. Mereka akan menyerangmu dan menjatuhkanmu. Dengan identitasmu saat ini, jalanmu untuk menjadi pangeran mahkota tidak akan terhalangi. Jadi ibunda mohon, pangeran jangan lagi terlalu sering menemui ibunda."

Wanita itu memeluk Barna. Ada rasa sakit matanya.

"Bunda.."

Barna terisak.

"Pangeran. Singasana itu sangat keras. Pangeran harus kuat dan memiliki hati yang keras. Nenek akan selalu melindungi Barna dari jauh. Kau cukup lakukan apa yang bunda pinta." lanjutnya sambil menggenggam tangan Barna.

Percakapan ibu dan anak itu masih berlanjut. Barna masih bersikeras agar ibunya mau kembali entah kemana. Entah keraton mana yang dimaksudkan.

"Apa yang ibunda lakukan disini?" tanya Barna kemudian

"Nenekmu memintaku untuk menjaga ini."

Entah apa yang ada di hadapannya. Sepertinya api kecil dan nampan yang berisi bunga-bungaan, juga barang-barang yang aku tidak tahu apa.

"Harusnya aku membawa perawan itu kesini. Hanya saja bunda tidak tega. Bunda tidak ingin nenek mengorbankan nyawa yang tidak bersalah untuk urusannya." jelasnya lirih.

Tiba-tiba api itu padam. Wanita itu tampak terkejut. Dan segera meminta Barna untuk keluar dari ruangan itu dan menutup pintu ruangan itu rapat-rapat.

Suara Barna yang berteriak memanggilnya tidak digubrisnya.

Angin yang entah datang dari mana tiba-tiba saja berhempus, wajah wanita itu memucat. Bibirnya komat-kamit mengatakan sesuatu yang tidak jelas. Kemudian ada semacam kabut hitam yang merayap memenuhi ruangan itu. Wanita itu terlihat panik. Dan beberapa saat kemudian dia memegang lehernya seperti orang yang sedang tercekik. Matanya terbeliak dan tampak kesakitan. Aku terkejut luar biasa.

Tiba-tiba dia menoleh kepadaku. Memandangku seakan meminta pertolongan kepadaku. Aku hanya mampu melihat. Tubuhku tidak bisa bergerak. Tangannya berusaha meraihku. Dia mengatakan sesuatu yang tidak dapat kudengar. Dia terus mengulanginya.

Apa yang terjadi?

Apa apa ini?

Siapa dia?

"Noni?"

Aku membuka mataku. Nafasku masih tersenggal. Aku masih syok dengan apa yang baru saja kulihat.

Bagaimana nasib wanita itu? Apakah dia mati?

"Noni baik-baik saja?" suara Barna menyadarkanku.

Mimpi itu sangat menakutkan.

"Noni mimpi buruk?" tanyanya sambil tersenyum geli.

Aku hanya mengangguk. Bibirku kelu. Pemandangan itu menakutkan.

"Kemanakah ibundamu?" tanyaku kepada Barna.

Barna memandangku bingung. Pertanyaanku yang tiba-tiba sepertinya membuatnya terkejut.

"Apa maksud noni?"

"Kau pasti memiliki ibu, orang yang melahirkanmu. Kemana dia?" desakku.

"Noni?"

Barna memandangku kebingungan.

"Ada apa, Noni?" tanyanya balik "Kenapa noni tiba-tiba menanyakan tentang ibu saya?"

"Aku.. Aku hanya ingin tahu."

Aku bahkan tidak tahu harus menjelaskan seperti apa tentang mimpiku. Tentang wanita yang dipanggil Barna "ibunda" di mimpiku.

Dia memandangku penuh selidik, sebelum kemudian menjawab pelahan, "Dia telah pergi.. Dia telah meninggal."

Aku hampir tidak percaya dengan jawabannya.

"Bagaimana dia mati?" tanyaku. "Apakah dia memiliki penyakit tertentu?"

Kening Barna mengernyit. Aku tahu dia bingung dengan pertanyaanku.

"Apa... apa noni mengenalnya?" tanyanya.

"Mungkin saja." jawabku asal.

"Aku tidak ingat dia memiliki kenalan orang seperti noni." kata Barna.

"Mungkin aku pernah bertemu dengannya." kataku menjelaskan.

Ya, bertemu di mimpiku. Mungkin saja wanita itu benar-benar dia.

"Dia meninggal karena ... " Barna memandangiku dengan ragu-ragu. "menjadi tumbal." suaranya hampir tak terdengar.

Sepertinya itu hal yang menyakitkan.

"Kenapa noni menanyakannya?"

Aku hanya menggeleng.

"Apa noni semalaman tidur disini?" tanyanya.

Ya, aku teringat aku telah keluar dari gubuk dan rupanya tertidur hingga pagi.

"Noni sudah memilih tempat tidur yang salah." katanya sambil tertawa kecil. "Pohon diatas noni ini berhantu."

Lalu tertawa terbahak.

"Pasti karena itu noni mimpi buruk."

"Mungkin." sahutku lirih.

Setelah makan pagi, Barna mengatakan akan mengantarku hingga tempat yang ingin kutuju.

"Apa benar Noni harus kesana? Bukankah itu tempat musuh Noni?" tanyanya meyakinkanku.

"Kau tidak perlu tahu!" bentak Nyi Rompah kepada Barna. "Dia bukan orang yang penting. Kau tidak perlu mengenal Noni Belanda seperti dia."

Mulut wanita ini seperti butuh dibersihkan. Setiap kata-kata yang keluar dari mulutnya

Nyi Rompah melihatku dengan pandangan suram, seakan tidak rela Barna mengantarku dan menyiapkan bekal perjalanan kami.

"Noni!" panggilnya, saat Barna mengambil kudaku. "Jangan sampai Barna tahu siapa kamu!" tekannya kepadaku setengah berbisik. "Dia akan membunuhmu, jika dia tahu siapa kamu."

".."

Aku bingung dengan kata-kata Nyi Rompah.

"Kau sudah menyebabkan Barna kehilangan ibunya."

Next chapter