Kenapa dia seperti biasa-biasa saja? Apa karena dia tidak ingin membuatku panik.
"Aryo!" panggilku lagi.
Dia menoleh kepadaku sesaat, tapi kemudian melihat sekeliling.
"Kamu tunggu disini." katanya kemudian.
"Tidak!" seruku menolak. "Aku ikut."
Aryo memandangku sesaat kemudian berteriak.
"Keluarlah kalian!" serunya.
Dalam waktu singkat bermunculan sosok-sosok pria pribumi berpakaian hitam, dengan ikat kepala. Jumlah mereka ada sekitar enam orang.
"Siapa kalian?!" tanya Aryo.
"Tinggalkan wanita ini!"
Mereka menginginkanku? Siapa mereka?
"Siapa yang membayar kalian?" tanya Aryo lagi.
Lagi-pagi mereka tidak memberi jawaban.
"Tinggalkan wanita ini!" seru salah seorang.
Aku menelan ludah panik. Situasiku mirip seperti di film-film laga, dimana si wanita menjadi perebutan. Sayangnya ini bukan film. Dan aku benar-benar dalam kesulitan yang nyata. Aku menggigit bibirku. Aku harus mencari cara untuk kabur. Aryo sendiri melawan enam orang. Tentu saja ini tidak seimbang. Aku tidak ingin Aryo terluka.
"Apa mau kalian!" seruku.
"Aryo." panggilku setengah berisik. "Wat moeten we doen?" (*Apa yang harus kita lakukan?)
Aryo tersenyum kepadaku dan menepuk kepalaku seakan mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja.
Apa ada peluang bagi kami untuk lolos? Bagaimana cara kami mencari bantuan?
Sial! Aku benar-benar tidak memiliki kemampuan bela diri. Seandainya ada senjata api, aku akan lebih bisa menggunakannya.
Aryo memberiku sebilah pisau.
Hei! umpatku dalam hati. Emang apa yang bisa kulakukan dengan pisau ini?!
Whatever!
"Simpan ini." bisiknya sambil tersenyum kepadaku. Dia menyelipkan pisau itu dipakaianku.
Dia kenapa tampak santai sekali. Tidak ada kekhawatiran di wajahnya. Bahkan terkesan sedang mengajakku bercanda.
Salah seorang tiba-tiba maju untuk menarikku. Tangan Aryo dengan sigap segara menghalangi. Golok besar yang dibawanya diayunkan dengan lincah.
Kutarik keluar pisau yang tadi diselipkan Aryo kelipatan pakaianku. Kupegang erat-erat dengan sedikit gemetar.
Aku harus membantu Aryo, sumpahku. Aku bukan wanita lemah.
Aryo bergerak dengan sangat lincah. Tidak seorangpun berhasil menyentuhku. Dua dari mereka tumbang dalam waktu tidak lebih dari lima belas menit. Aryo kembali memasang kuda-kuda, saat keempat orang itu fokus kepadanya.
Aku mengakui bahwa Aryo memiliki kemampuan bela diri yang luar biasa. Tapi lawannya pun sepertinya juga cukup tangguh.
Saat Aryo disibukkan dengan tiga orang lawannya, salah seorang mendekatiku. Aku segera mengayunkan pisauku. Dia menyeringai kepadaku. Aku harus melindungi perutku.
Tangannya menarikku dengan sangat kuat, sehingga aku terjatuh dan setengah diseret olehnya. Pisauku terlepas dari tanganku setelah pria itu menghentakkan tanganku dengan kuat. Pergelangan tanganku terasa seperti patah. Sangat sakit sekali.
Dia menarikku menjauh dari Aryo. Aku mencoba berontak, tapi tenagaku tidak cukup kuat. Lututku terluka karena bergesekan dengan tanah yang berbatu.
Aku berusaha sekuat tenaga tidak bersuara, agar tidak merusak konsentrasi Aryo melawan tiga orang yang lain. Kondisi kami sangat tidak seimbang.
Aku teringat tusuk konde yang ada dikepalaku. Itu cukup tajam untuk kugunakan sebagai senjata. Dengan cepat kutarik dan kuhujamkan ke lengan pria itu sekuat tenaga. Darah menyembur dari lengannya dan mengotori tanganku. Pria itu berteriak terkejut. Kemudian tangannya yang lain menampar wajahku dengan sangat keras.
"Wanita laknat!" serunya
Aku terhuyung. Kepalaku sangat pusing akibat tamparan itu. Bahkan pipiku terasa perih.
Teriakan pria itu menyadarkan Aryo akan keberadaanku yang tidak baik.
Aryo segera berlari kearahku setelah salah seorang lawannya tumbang. Dua orang mengejarnya. Dan pria yang bersamaku sedang sibuk dengan luka di lengannya. Pria itu menarik tusuk konde dari lengannya dan melihatku dengan penuh ancaman.
Aku mundur ke belakang.
Aryo tiba-tiba sudah berada dibelakangku. Tapi penyerang itu sudah menghunuskan senjatanya kearah punggung Aryo. Sebelum aku sempat berteriak, tiba-tiba ada sepasukan orang yang datang kepada kami. Dan salah satunya sudah melompat untuk menangkis golok yang hampir saja melukai Aryo.
Pasukan itu segera mengatasi orang-orang yang menyerang kami.
"Maafkan saya, Raden." ujar salah seorang segera bersimpuh dihadapan Aryo dengan tangan dikatupkan.
"Tidak apa." jawab Aryo. "Tunggu!" serunya kemudian, saat melihat seorang penyerang kembali roboh. "Jangan bunuh semuanya. Kita harus tahu siapa mereka."
"Baik Raden!" sahut salah seorang
"Kamu tidak apa-apa?" tanyanya kepadaku.
Melihat wajahku, air muka Aryo seketika berubah.
"Sial!" gumamnya.
Dia mendekati pria yang telah kulukai lengannya, yang kini telah terluka parah. Ditariknya rambut pria itu dengan sangat kasar oleh Aryo. Dan kemudian dihempaskannya ke tanah.
Aku menelan ludahku karena terkejut.
"Kau telah melukai istriku!" geram Aryo kepadanya.
Pria itu bahkan tidak dapat melawannya. Tapi Aryo masih menarik kepalanya, memukuli wajahnya dan menghempaskannya kembali ke bebatuan. Kepalanya terluka sangat parah.
Dia akan mati!
Kejam sekali orang-orang ini.
Aku gemetar melihat sisi Aryo yang seperti itu.
"Kau pikir, kau siapa berani menyentuhnya!"
BRAK!!
Dan pria itu sudah tidak lagi bergerak.
Aku terdiam. Aku masih syok.
"Maaf.." kata Aryo sambil mendekatiku.
Aku ketakutan.
"Margaret." panggilnya saat aku hanya terdiam melihat mayat pria itu. "Maafkan aku, membuatmu menyaksikan hal ini."
Aku menggelengkan kepalaku dan kakiku bergerak sendiri tanpa instruksi dari otakku. Aku mundur pelahan. Aku mungkin benar-benar syok.
"Margaret.."
Mata Aryo tampak sangat terluka.
Ketika aku menolak Aryo yang hendak menyentuh pundakku, Aryo berbalik ke arah para pria yang sedang menunggunya, setelah meringkus para penyerang itu.
Aryo tiba-tiba mengangkat tangannya dan menapar anak buahnya berkali-kali.
Aku terkejut.
"Kau bodoh!" umpatnya. "Istriku ketakutan karena kebodohanmu!"
"Ampun Raden."
Para pria itu menunduk ketakutan melihat Aryo murka kepada mereka.
Melihat Aryo yang tidak tampak ingin segera menyudahi menghukum anak buahnya, aku tidak bisa tinggal diam.
"Aryo!" panggilku. "Cukup!"
Aryo menoleh kepadaku. Kakiku sudah sangat lemas. Aku terduduk.
"Margaret!"
Aryo segera menghampiriku dan merengkuhku dalam dekapannya.
"Margaret... Maafkan aku."
Ini bukan kesalahan Aryo. Lalu kenapa aku harus marah kepadanya saat dia hanya ingin melindungiku.
Aku lemah! Aku sangat bodoh!
Tidak! Aku hanya belum terbiasa dengan hal-hal seperti ini. Aku melihat pembunuhan hanya dari film-film saja. Tidak dengan mata kepalaku sendiri. Aku hanya tidak menyangka akan semengerikan ini. Dulu saat penyerangan, kondisi sangat kacau. Aku tidak sempat memperhatikan sekelilingku. Dan itu terjadi saat malam hari, sehingga aku tidak dapat melihat dengan jelas kejadiannya.
Aku bahkan tidak bisa melihat orang melakukan kekerasan kepada orang lain, sedang saat ini priaku membunuh dengan mudahnya dihadapanku.
Aku masih merasa ngeri.
"Aku.. Aku minta maaf."
Suaraku terdengar sangat gemetar sampai-sampai aku tidak mengenali suaraku sendiri.
Aryo mengeratkan pelukannya.
"Margaret... Ya Tuhan Margaret.. Aku sudah sangat bodoh. Maafkan aku, istriku."
Aku menggeleng. Ini bukan salah Aryo. Aryo tidak punya pilihan.
"Aku masih belum terbiasa dengan hal-hal seperti ini." gumamku.
Setelah beberapa lama, kami kembali meneruskan perjalanan. Beberapa orang diminta Aryo membawa penyerang yang masih hidup untuk ditahan dan diintrogasi. Sedang beberapa orang yang lain mengawal kami.
Perjalanan ini tidak lagi berasa seperti rekreasi dengan banyak orang disekeliling kami.
"Aryo.." bisikku. "Apa mereka harus mengikuti kita?"
Aryo mengangguk.
Aku tidak bisa menolak, mengingat apa yang baru saja terjadi.
"Mereka tidak akan terus mengikuti kita, kok."
Aryo tersenyum melihatku tampak tidak suka.
Acara liburan kita sudah kacau karena kejadian itu.
Kami terus berjalan hingga mencapai suatu padang rumput yang sangat indah.
Aryo kemudian berbicara kepada salah satu dari mereka. Aku tidak bisa mendengarnya karena jarak kami.
Tapi tak lama kemudian, mereka sudah menyingkir entah kemana.
Aryo tersenyum kepadaku.
"Bagaimana? Kita kembali hanya berdua. Apa kau suka?"
"Tapi... Apakah kali ini akan aman?... Meminta mereka kembali?" tanyaku dengan sedikit bergumam.
"Tentu saja." jawab Aryo.
Perjalanan itu lebih mudah daripada yang kukira. Tapi kemudian kita mencapai jalanan yang cukup sulit.
"Dibalik ini ada tempat yang bagus." katanya dengan gembira.
Melihat semangatnya, aku pun tertular gembiranya. Aku tersenyum memandang wajah tampannya yang kini tampak berkilau karena keringat dan beberapa bagian masih kotor karena darah yang mengering.
Aku segera menyingkirkan ingatanku tentang kejadian tadi. Aku tidak ingin suasana nyaman ini rusak.
"Aku akan membantumu." kata Aryo.
"Aahhh..."
Aku terkejut, karena Aryo tiba-tiba mengangkatku dalam gendongannya.
"Bantuan apa ini?" gerutuku.
"Jalan didepan tidak mudah untuk kau lalui. Cara ini lebih aman." katanya mengabaikan protesku.
Dia melompat turun dari tebing rendah dengan mudahnya. Aku mencengkeram baju atasannya dengan lebih kuat.
Menjengkelkan sekali! Dia malah tampak senang melihat aku ngeri dengan apa yg dia lakukan. Keseimbangan dia luar biasa sekali. Bahkan dengan membawa tubuhku. Dia bisa melompat dengan mudah dan mendarat dengan mulus.
"Sudah..." katanya "Lihatlah!"
Dia menurunkanku.
Sebuah pondok kecil dengan air terjun kecil didepannya. Dan sungai kecil yang sepertinya telah dibendung, sehingga membentuk telaga kecil yang cantik. Bunga-bungaan ditata apik didepan pondok itu. Pepohonan yang rindang melingkupi.
Ini cantik sekali.
Udara sekelilingnya pun begitu segar.
Aku menoleh memandang Aryo.
"Apa kau suka?" tanyanya.
Tentu saja. Aku hampir menangis melihat ini semua.
"Kau... Kau memang suami yang luar biasa!" seruku sambil memeluknya dan mendaratkan ciuman di pipinya yang hangat.
Aku segera berlari kearah telaga dihadapanku. Airnya jernih dan terasa segar di tanganku. Dasarnya, berupa bebatuan tampak jelas.
Ini luar biasa sekali.
Aku segera melepas seluruh pakaianku dan berniat mencebur kedalam telaga itu.
"Sial!" umpat Aryo. "Margaret!" serunya marah "Apa yang kau lakukan?!"
Aryo seperti tercengang karena aku tiba-tiba melepas semua pakaianku.
Sesaat setelah dia sadar dia segera berlari menyusulku yang sudah lebih dulu masuk kedalam air dengan membawa jarikku ditangannya.
Wajahnya tampak sangat kesal. Aku mundur ketakutan. Dia segera menangkap tubuhku lalu melilitkan jarik di tubuhku. Dan segera mengangkatku dari dalam air.
"Kali ini aku harus menghukummu!" geramnya marah.
Setelah sekian purnama.. Saya akhirnya bisa kembali kemari ???... Maafkan daku readers... I still lup u