webnovel

BAB 62. WAKTUKU

Saat aku membuka mata di pagi hari, Daniel sudah tidak ada disebelahku.

Dhayu berdiri didekat jendela. Membuka lebar-lebar tirai jendela, sehingga matahari pagi masuk dan menyilaukan mataku.

"Noni, Meneer bilang pagi ini Noni akan pergi ke suatu tempat." kata Dhayu

Aah, menjengkelkan sekali. Aku masih ingin menggelayut dibalik selimutku.

"Apa harus sepagi ini?" tanyaku kesal

"Noni sebentar lagi menjadi seorang ibu. Noni harus biasa bangun pagi untuk mengurus bayi."

Mengurus bayi? Membayangkan saja membuatku ngeri.

"Kan ada kamu yang akan membantuku?"

"Ya, tentu saja saya akan selalu membantu Noni."

"Noni, ada orangnya raden itu mencari Noni." kata Dhayu sambil berbisik.

Seketika aku bangun. Apakah Aryo kesini? Dia bilang akan menjemputku. Bagaimana dengan Daniel? Aku khawatir akan menimbulkan perselisihan lagi.

"Dimana dia?" tanyaku

"Sebentar lagi akan mengantar bubur Noni."

"Oh... Baiklah..."

Setelah mencuci mukaku, seorang pelayan wanita paruh baya membawakan nampan dengan mangkok diatasnya.

"Noni.." sapanya. "Saya akan taruh buburnya diatas meja."

"Apa pesannya?"

"Noni diminta untuk menunggunya di Batavia sampai masalahnya selesai."

Aku mengangguk.

"Terimakasih."

Untunglah Aryo tidak disini. Apakah masalahnya cukup pelik?

Pagi itu Daniel mengantarku bertemu dengan kakek tua itu. Dia benar-benar bersikap seperti suami yang baik. Membantuku naik hingga dengan hati-hati menurunkanku. Bahkan dia yang meminta kusir untuk memperlambat laju kereta, saat melewati jalanan yang tidak rata. Dia memperlakukanku dengan sangat baik.

"Aku masih tertarik dengan cerita tentang duniamu. Suatu saat aku harap aku punya kesempatan untuk mendengarnya." katanya saat kita berjalan menuju rumah pak tua. "Aku harap kau tidak pernah lagi memanjat tembok, walaupun kau sudah tidak lagi hamil. Aku sangat khawatir. Bisa saja kau terjatuh dan mematahkan kakimu sendiri."

Aku hanya mengangguk.

Aku tidak menolak saat dia menggandeng tanganku agar aku dapat berjalan dengan nyaman, terutama saat aku hampir saja tersandung rokku yang panjang.

"Kau harus lebih berhati-hati, Margaret."

Aku mengutuk kebodohanku. Sudah hampir dua tahun aku berpakaian ala princess disney lengkap dengan high heel nya, tapi hari ini aku hampir tersungkur karena pakaianku sendiri.

Sial!

Harusnya aku memakai kaus dan celana jeans dilengkapi dengan sepatu kets.

Pak tua itu sudah menunggu kami di depan rumahnya. Dia tampak lebih muda daripada sebelumnya. Punggungnya tidak terlalu tampak bungkuk seperti yang lalu.

Dia tersenyum melihatku.

Aku akan mengulurkan tanganku, tapi dicegah oleh Daniel.

"Tidak perlu!" katanya, "Dia sangat kotor."

Aku berdecak kesal. Aku tidak seperti para nyonya lain yang selalu memakai sarung tangan kemana-mana. Ini bukan Eropa. Disini sangat gerah, bagaimana mungkin kita tampil seperti di Eropa. Dan aku sangat tidak suka tanganku berkeringat.

"Aku bisa cuci tangan, nanti." sahutku sambil menarik tanganku dari pegangan Daniel dan mengulurnya ke pak tua tersebut.

Dia tersenyum semakin lebar, menunjukkan deretan gigi yang menguning dan sudah tidak lengkap.

"Kemarilah!" katanya sambil menarik tanganku untuk duduk diatas sebuah balai-balai yang terbuat dari bambu.

"Itu kotor!" seru Daniel mencegahku duduk

Aku baru menyadari bahwa Daniel mysophobia. Karenanya dia sering membawa semacam tongkat kecil kemana-mana. Dia enggan menyentuh orang lain. Dia sangat jarang kontak langsung dengan orang lain. Tapi denganku dia tampak baik-baik saja.

"Nanti bajuku bisa dicuci." bantahku.

Dia akhirnya membiarkanku duduk, sedang dia sendiri tetap berdiri.

Pak tua hari ini tidak membawaku masuk kedalam rumahnya.

Dia masuk sebentar dan kembali dengan cangkir ditangannya.

Lagi? batinku.

Minuman itu memang sepertinya baik untuk tubuhku, tapi sungguh rasanya menjijikkan.

Kali ini aku langsung menerimanya tanpa membantahnya. Dan segera meminumnya sebelum Daniel sempat mencegahku.

"Minuman apa itu?" tanyanya tidak senang. "Seperti sangat kotor!"

"Minuman itu untuk kesehatanku.." jawabku.

"Kita punya dokter, kalau kamu merasa sakit." selanya.

"Aku baik-baik saja." sahutku setelah menelan cairan itu dengan susah payah.

Sekarang cairan tersebut bertambah aromanya. Ada aroma harum seperti bunga-bungaan.

Pak tua itu duduk disebelahku. Penterjemah kali ini bukan Nyai, tapi orang suruhan Nyai. Karena Nyai harus menemani Papa.

"Kau harus katakan apapun yang dikatakan pak tua itu!" perintahku kepadanya "Paham?"

Dia mengangguk hormat padaku

"Iya Noni, saya paham."

Kupegang sebelah tangan pak tua itu.

"Ceritakan kepadaku apa yang kau ketahui." kataku kepadanya.

"Dukun gila memang melakukan kesalahan. Tapi takdirmu memang terikat dengan tubuh ini. Dia sebenarnya tidak bermaksud menarikmu. Hanya kebetulan memang ada benturan sehingga kau terseret. Noni ini tidak mau bertahan. Dia melepaskan raganya begitu saja. Sedang kau. Kau pernah mati sebelumnya, tapi kau berjuang untuk kembali. Keinginanmu hidup sangat tinggi."

Perterjemah itu memandangku dengan pandangan kebingungan.

"Ya, aku pernah dinyatakan tewas saat kecelakaan mobil bersama kedua orang tuaku. Tapi kemudian aku kembali bernafas."

"Noni, apa itu mobil?" tanya penterjemah itu. Dia bingung menerjemahkan 'mobil'.

Aku menjelaskan kepadanya

Dia mengangguk tapi masih dengan wajah kebingungan.

Pak tua itu tersenyum kepadaku.

"Kau benar-benar datang dari jauh." katanya "Aku tahu itu saat berada didekatmu. Antara aura ruh-mu dengan tubuh ini ada kejanggalan."

"Lalu bagaimana aku bisa kembali?" tanyaku "Apakah tubuh ini akan mati, jika kutinggal? Ataukah ruh kami tertukar?"

"Tidak... Tidak... Dia sudah pergi. Dia akan mati. Dan kamu akan kembali. Aku tidak bisa mengembalikanmu ataupun mencegahmu untuk tidak pergi. Karena itu diluar kemampuan. Tapi aku dapat merasakan bahwa waktumu tidak panjang."

Next chapter