webnovel

BAB 18 PULANG?

"Papa?!" seruku terkejut.

"Apa yang kau lakukan disini?!" tanyanya marah.

"Aku... "

"Dia adalah menantu keluarga ini." jawab Ibu tegas.

"Siapa yang menikah?!" Papa semakin marah. Nada suaranya meninggi. "Aku tidak pernah mengijinkannya menikah. Dia harus pulang bersamaku!"

"Dia istri dari anakku. Dan anakku sekarang tidak ditempat. Kau harus menunggunya kembali, sebelum membawanya." ibu masih terus berkata dengan tegas tapi tetap tenang.

Papa tampak murka. Dia melihat seorang pria yang berada disampingnya.

"Bagaimana ini, pangeran?" tanyanya kepada orang disebelahnya. "Saya tidak menyetujui ini! Saya akan bawa putri saya pulang sekarang juga."

Aku masih belum dapat mencerna kejadian ini. Papa membawa penguasa daerah, seorang pangeran untuk membawaku pulang.

"*Yu, ayolah, jangan terlalu keras kepala." kata pria itu kepada ibu Aryo. (*yu = panggilan untuk kakak perempuan)

"Tapi dia adalah istri putraku."

"Kau harusnya paham situasi kita. Ini bisa menimbulkan konflik besar. Aku mohon. Ini bukan untuk keuntunganku. Tuan van Jurrien adalah utusan dari Batavia." bujuknya.

"Aku tidak akan ikut!" kataku tegas

"Kau anak laknat!" serunya kepadaku.

Papa tampak sangat marah. Dia memanggil prajurit yang berbaris diluar pendopo.

"Seret dia dan masukkan kedalam kereta!" seru papa kepada beberapa orang prajurit.

Sebelum otakku mampu mencerna keadaan ini, para pria itu sudah menarikku dan membawaku keluar dari rumah itu. Mereka memaksaku untuk naik keatas kereta dan mengunciku didalamnya.

Aku mendengar ibu Aryo berteriak tidak setuju.

Tapi keadaan tidak memungkinkannya untuk membantuku.

Aku terharu. Ibu mertua yang selama ini kupikir tidak menyukaiku, begitu kukuh untuk menahanku. Apapun alasannya, itu berarti dia telah menerimaku sebagai menantunya.

Aku cukup bersyukur dengan keadaan itu.

Papa van Jurrien sangat menyayangi anak gadisnya. Aku hanya perlu memberitahunya dengan baik, agar dia bisa menerima Aryo.

Kereta itu terus berguncang. Aku tidak tahu kemana aku akan dibawa. Tapi aku tahu bahwa dengan Papa, maka aku akan aman. Tuan de Bollan tidak akan macam-macam denganku.

Kami berkali-kali berhenti karena aku mengeluh tidak enak badan. Kepalaku semakin pusing hingga pada hari berikutnya aku pingsan.

Saya tidak tahu apa yang terjadi, tapi ketika aki bangun, aku berada di kamarku. Aku mengerjap-kerjapkan mataku. Aku tidak tahu berapa lama aku pingsan.

Aku mendengar suara Dokter Hoog.

"Aku tidak yakin, aku perlu memeriksanya lebih lanjut." ujarnya kepada seseorang.

"Tentu. Anda perlu memeriksanya dengan lebih teliti. Aku tidak mau ada kesalahan!"

Itu suara Papa.

Apa yang terjadi denganku? Sakit apakah aku?

Apakah suatu penyakit yang serius?

Apakah gadis ini akan segera mati?

Apakah itu artinya aku tidak akan bertemu dengan Aryo lagi?

Ya Tuhan!

Aku harus segera menemuinya. Aku akan menghabiskan masaku bersamanya. Dan aku bisa pergi tanpa penyesalan.

Walaupun ada rasa takut sekaligus rasa kehilangan, aku tetap harus menghadapinya. Tidak ada yang lebih menakutkan ketimbang kenyataan bahwa diriku terlempar ke jaman ini.

Aku membuka mataku, pada saat bersamaan Dokter Hoog sedang menaruh kembali peralatannya kedalam tas kulit yang selalu dibawanya.

"Dokter!" panggilku.

"Aaah... akhirnya kau terbangun." ujarnya lega.

Aku mengangguk.

Aku ragu untuk bertanya, apakah kira-kira dia akan berkata jujur tentang keadaanku.

Papa memandangku sekilas. Lalu berkata ke Dokter Hoog.

"Tuliskan saja resepnya." kata papa.

"Baik Tuan." respon Dokter Hoog. "Dia harus banyak beristirahat."

Mereka memandangku dengan pandangan aneh. Aku tidak tahu makna pandangan mereka. Ada gurat kemarahan di tatapan Papa.

Ada apa?

Mereka turun bersama-sama. Aku terduduk diatas ranjangku. Langit tampak mendung. Sesuram hariku tanpa Aryo.

Ah, bagaimana kabar lelakiku itu? Apakah dia akan kemari untuk membawaku? Apakah dia akan nekat lagi seperti sebelumnya?

Aku melihat Dokter Hoog keluar dari rumahku bersama Papa. Mereka pergi dengan tergesa-gesa.

Aku mencoba mencari Dhayu. Sejak tadi aku tidak melihatnya.

Aku bertanya kepada pelayan yang kutemui, tapi mereka hanya menggeleng. Sampe aku bertemu koki tua, tuan Oe, seorang koki keturunan Cina yang sudah lama bekerja untuk keluarga van Jurrien ini. Begitulah yang kudengar dari Dhayu suatu kali.

"Tuan Oe, apakah yang terjadi dengan Dhayu?" tanyaku. "Kenapa aku tidak melihatnya?"

"Aaii.. aii.. Noni tidak tahu?" dia mengambil nafas panjang. "Dia sudah tidak disini."

"Apa maksudnya?" tanyaku tidak paham.

"Tuan marah sekali dan menjualnya ke rumah pondokan. Dia akan menjadi wanita publik."

Wanita publik? Aku seperti pernah mendengar kata-kata itu.

"Apa maksudnya?"

"Dia dijual sebagai wanita penghibur."

Aku tersandar di tembok sebelahku berdiri. Aku terlalu syok. Kakiku seketika lemas.

Kenapa? Apa salah dia? Apakah karena aku?

"Itu hukumannya."

Hukuman apa? Kenapa dia harus dihukum?

Aku harus menunggu Papa kembali untuk meminta penjelasannya.

Hingga malam Papa belum kembali. Aku pun tidak bisa keluar rumah dengan bebas. Mereka mengawasiku dengan ketat. Aku dipenjara di rumahku sendiri.

Jika Aryo berhasil melarikanku lagi, aku juga akan memintanya untuk mengambil Dhayu dari rumah pondokan wanita publik.

Keesokan pagi aku melihat Dokter Hoog memasuki kamarku.

"Hai, dokter." sapaku

"Hai... gadis kecil."

Aku tersenyum kepadanya.

"Dokter akan memeriksaku lagi?" tanyaku "Aku rasa, aku sudah baik-baik saja, Dokter." imbuhku

"Ya.. ya.. ya tentu saja. Kamu harus baik-baik saja."

"Lalu?" tanyaku "Dokter, kita sudah cukup dekat, aku rasa dokter tidak perlu menyembunyikan sesuatu dariku. Jika aku menderita sakit tertentu, dokter bisa memberitahuku."

"Tentu.. tentu." jawabnya gugup

Wajahnya tampak bingung. Aku yakin dia pasti ingin menyembunyikan penyakitku.

Aah... sialan, kenapa aku jadi khawatir sekali.

Dokter memintaku untuk rebah dan dia mulai melakukan pemeriksaan seperti biasanya.

"Aku akan memeriksa perutmu." katanya ragu-ragu.

"Aku sakit apa? Kenapa harus memeriksa perutku?"

"Aku hanya ingin memastikan diagnosisku benar."

"Ayoolah Dokter, kamu harus memberitahuku. Aku yang sakit. Disini, aku yang menderita, oke? Jadi jangan menutupinya dariku." ujarku sambil memegang tangan Dokter Hoog dengan erat.

"Aissh... jangan melihatku seperti itu." katanya "Kamu sehat. Sangat sehat. Hanya saja... " dia berhenti.

"Ya?"

"Eer..." Dia tampak ragu-ragu, lalu berkata, "Ini tidak mungkin, karena Noni belum menikah. Tapi itu semacam... indikasi kehamilan."

Next chapter