webnovel

BAB 3 RUMAH DIATAS BUKIT

Aku bisa merasakan tatapannya terus mengawasiku hingga aku sampai gerbang penjagaan. Aku ingin memandang wajah itu sekali lagi. Tapi aku terlalu malu untuk berbalik. Dan sudah terlalu gelap. Kutahan setengah mati kakiku yang mengajakku kembali. Wajah itu hilang tertelan malam. Tiba-tiba ada perasaan kosong dalam hatiku. Rasa sakit yang tidak dapat kupahami.

Malam itu seluruh mansion gempar karena aku sudah kabur. Untunglah Papa belum pulang.

Aku segera naik ke ranjangku, setelah Dhayu membantuku membersihkan tubuhku dan memakaikan baju tidurku.

"Noni, tolong jangan lakukan lagi. Jika Meniir datang, pasti aku sudah dihukum mati." dengan wajah hampir menangis. .

Apa separah itu hukuman untuk gadis kecil ini?

"Jangan khawatir, aku baik-baik saja. Lain kali kamu takkan kutinggal." kataku meyakinkan sambil menelangkupkan tanganku di wajahnya.

Aku memintanya untuk menemaniku hingga aku tertidur. Aku bertanya kepadanya tentang Surakarta. Seberapa jauh dari Batavia.

Dhayu hanya menggeleng, dia gadis Bali bukan Jawa. Dia diangkut ke pasar budak melalui laut. Jadi dia tidak tahu banyak tentang Jawa.

"Andaikan saja aku bisa maping, tentu akan mudah." keluhku lirih.

Dhayu melihatku dengan wajah tidak mengerti. Aku tertawa geli melihatnya

"Dhayu, apa kau punya cita-cita?" tanyaku

Pandangannya masih menunjukkan dia tidak mengerti.

"Dhayu, kamu masih muda. Anak-anak seusiamu di tempatku dulu masih bermain bersama teman-temannya. Mengerjakan tugas sekolahnya, merengek pada orang tuanya untuk HP baru, atau nonton film yang mereka sukai." ujarku sambil tertawa.

Wajah Dhayu begitu polos. Tubuhnya semakin tampak mungil dibawah cahaya kandelier.

Bagaimana mungkin gadis-gadis sekecil ini sudah terpisah dari keluarganya, bekerja tanpa upah. Mereka dibeli seakan bukan manusia. Aku mengelus pipinya. Dia terkejut.

"Aku anak tunggal. Kau mau menjadi adikku?"

Dia menggelengkan kepalanya, "Itu tidak boleh, Noni."

"Kenapa tidak? Kau bisa menjadi Mardjiker. Aku akan bicara kepada Papa."

"Tidak. Jangan, Noni. Meniir akan marah. Saya akan dihukum."

Dhayu menemaniku di samping ranjangku hingga aku tertidur. Sesekali dia mengipasiku agar aku lebih nyaman. Batavia sangat panas. Andai saja aku bisa menyalakan AC.

Malam itu, sekali lagi aku memimpikannya. Dia menjauh. Terlalu jauh untuk kuraih. Aku menangis. Aku terbangun. Rasa pedih itu masih membekas dalam dadaku. Keringatku membasahi wajahku. Baju tidurku yang tipis terasa lengket karena keringat.

Syukurlahlah aku tidak sampai membangunkan Dhayu. Dia masih duduk di kursinya. Dia tertidur dalam posisi yang sangat tidak nyaman. Ah, kasihan sekali gadis kecil ini. Dia tidak pernah mengeluh. Tidak pernah menampakkan wajah jengkel atau kesal kepadaku. Dia pernah bercerita tentang masa kecilnya. Wanita di pulaunya adalah pekerja keras. Orang tuanya sangat miskin dan memiliki banyak anak. Dia adalah anak ke enam. Dia bersyukur memiliki Juffrow sepertiku, karena tidak pernah marah kepadanya dan selalu bersikap lembut.

Sekali lagi kulihat gadis itu. Dengan pelahan kuselipkan bantal dibelakang kepalanya.

Aku bangun dan berjalan menuju jendela besar. Aku dapat melihat kota ini melalui jendelaku. Seperti Amsterdam. Ya, pola kanal-kanal dan deretan rumah-rumah ditata seperti Kota Amsterdam. Ternyata seperti inikah Jakarta dimasa lampau. Hembusan angin dari laut bercampur dengan suhu panas, membuat udara menjadi terasa lengket dan gerah. Aku duduk di dekat jendela, agar merasa nyaman.

Aku kembali teringat keberadaanku. Semakin kupikirkan, semakin aku merasa putus asa. Tidak ada petunjuk apapun untukku, untuk bisa kembali ke duniaku. Aku terkadang berpikir, apakah gadis van Jurrien ini sebenarnya telah meninggal karena tenggelam beberapa waktu lalu, kemudian aku masuk ke tubuhnya? Ataukah dia sepertiku, terdampar di duniaku dan aku di dunianya? Apakah dia bisa beradaptasi disana?

Entahlah.

Aku selalu percaya semua hal yang dapat dilogika. Logis, selalu menjadi patokanku. Bahkan konsep Tuhan masih aku pertanyakan dalam hatiku. Kondisiku saat ini tidak cocok dengan logika apapun. Lalu bagaimana caraku kembali? Apa yang harus kulakukan agar aku dapat kembali?

Ketidakberdayaan ini benar-benar mengoyakku. Apakah aku perlu tenggelam lagi? Bagaimana jika itu tidak berhasil dan malah aku benar-benar mati?

Ah, sialan!

Pagi itu aku tidak ingin beranjak dari ranjangku. Mataku masih memerah karena semalaman tidak bisa tidur. Pikiranku masih kacau. Dhayu berkali-kali memintaku bangun untuk sarapan dulu, tapi aku menolak. Aku tetap memeluk gulingku erat-erat.

"Aku belum lapar, keluarlah!" ujarku memunggunginya.

"Apa kau akan memberiku penjelasan tentang kejadian kemarin!" ada nada marah dibalik punggungku.

Aku segera berbalik. Terkejut. Wajah Papa tampak gelap dan dia memandangku dengan tatapan dingin.

"Apa yang kau lakukan kemarin?!" sentaknya "Apa kau tidak tahu bahwa itu berbahaya?!"

Aku duduk diranjangku sambil menarik selimut untuk menghindari tatapan Papa. Papa benar-benar murka. Dia bahkan mengancam akan memulangkanku ke Belanda. Melihatku hanya tertunduk diam, dia mulai menurunkan nada bicaranya.

"Papa tidak ingin kamu dalam bahaya. Situasi disini juga tidak terlalu aman, sekarang." katanya dengan nada putus asa. "Apa yang harus aku lakukan jika aku kehilanganmu?"

Tidak banyak wanita Eropa yang berlayar sampai Batavia. Awalnya gadis van Jurrien ini berhasil melakukan perjalanan panjang hingga Batavia atas bantuan dari seorang perwira tinggi di angkatan laut Belanda. Dia bertolak dari Inggris. Karena kondisi Belanda yang sedang berada dalam kekuasaan Perancis. Aku mendapat semua cerita ini dari Dhr. Jacobsz, seorang pejabat VOC yang sering berkunjung kemari. Dia sepertinya sangat dekat dengan Papa.

Dari cerita yang kudapat, papa dulu adalah seorang perwira, kemudian menjadi pedagang dibawah naungan VOC. Papa sering bepergian, karena dia kerap diminta oleh gubernur jendral untuk menjadi utusan di daerah, saat beliau tidak dapat datang secara langsung.

Papa mempunyai wanita simpanan. Paling tidak, aku menganggapnya seperti itu. Papa memberinya rumah yang cukup luas di luar benteng. Aku hanya pernah sekali melihatnya. Dia memiliki kulit yang eksotik dan wajah yang cantik. Aku tidak bisa membayangkan seandainya Nyonya van Jurrien yang saat ini mengungsi di Inggris mengetahuinya. Tapi Papa sepertinya tidak memiliki minat untuk kembali ke Eropa. Dia memiliki kehidupan yang nyaman dan penuh kemewahan disini.

Saat sarapan Papa mengatakan padaku bahwa dia harus pergi lagi.

"Aku akan ke Yogyakarta. Kali ini aku akan membawamu. Dan kau, nanti, juga akan kembali bersamaku." tegasnya.

Aku dapat merasakan bahwa Papa masih marah kerena ulahku kemarin. "Bawa penjaga jika kau ingin berjalan-jalan! Ah, tidak perlu. Kau tidak akan kemana-mana tanpa ijinku!" sambungnya.

Papa benar-benar marah. Dia menceritakan banyak hal tentang bahaya yang mungkin kualami diluar sana.

Sore itu Papa kembali bersama seorang prajurit muda.

"Margaret, kita akan segera mengosongkan rumah ini. Wabah malaria ada dimana-mana. Kita ada rumah diluar benteng. Kita akan kesana setelah dari Yogyakarta." kata Papa kemudian.

Aku mengangguk.

"Dimana itu Yogyakarta? tanyaku

"Itu berada di midden Java."

"Apakah itu dekat dengan Surakarta?" tanyaku lagi.

"Ya. Kita akan singgah dulu di Surakarta, sebelum ke Yogyakarta." jelas Papa

Surakarta? Seketika aku menjadi sangat bersemangat. Apakah berarti aku akan bertemu lagi dengan pria itu? Ada perasaan senang yang tidak bisa aku jelaskan.

Aku begitu bersemangat. Rasanya waktu satu minggu yang diberikan Papa terlalu lama. Aku bahkan cukup sehari untuk bersiap-siap. Aku tidak suka membawa banyak barang. Tapi Dhayu bahkan lebih teliti dalam mengatur barang-barangku.

Kita memulai jadwal belajar kita. Dalam tiga hari dia sudah mulai mengenal huruf. Walaupun masih kesulitan menyusunnya. Aku mengajarkannya membuat daftar kebutuhan kita. Aku ingin mengajarkannya menjadi seorang asisten yang profesional. Bukan seorang budak. Aku memutuskan untuk menyisihkan sebagian uang sakuku untuknya, sebagai upah. Aku berencana melakukannya setiap bulan. Dia tampak sangat senang. Dia bahkan menangis saat menerimanya. Aku berencana untuk mengatur hari libur untuknya.

Papa kembali saat malam bersama beberapa orang pria. Aku sempat mendengar tentang masalah serius pada VOC. Para pejabat di negeri Belanda melakukan inspeksi. Ya, tentu aku ingat bahwa tahun 1799 yang artinya sekitar satu setengah tahun kemudian VOC akan dinyatakan bangkrut dan ditutup. Konon telah terjadi penyimpangan yang cukup besar yang dilakukan para pegawainya. Apakah Papa termasuk diantaranya?

Aku dapat melihat Papa tampak sibuk dengan berkas-berkasnya di ruang kerjanya.

Dan tentang malaria yang mewabah di kota ini sudah sedemikian parah. Mungkin saat ini belum ada pengobatan yang tepat untuk penyakit ini. Aku sendiri tidak memiliki pengetahuan tentang medis. Jadi aku tidak dapat membantu. Aku mendengar bahwa telah banyak orang Belanda yang meninggal karena penyakit ini.

Keesokan harinya Papa memberi kabar bahwa kita harus menunda keberangkatan kita. Permasalahan di Batavia semakin pelik. Selain wabah yang belum teratasi, masalah VOC dan kondisi politik yang terus berubah di Eropa mempengaruhi negara-negara jajahan di Asia dan Afrika.

Tentu saja aku merasa sedih dengan penundaan ini. Aku bosan luar biasa disini. Aksesku untuk berkeliling sangat terbatas.

"Papa, aku ingin meminta sesuatu." ucapku dengan hati-hati.

"Wabah malaria disini benar-benar mengkhwatirkan. Papa harus segera membawa orang-orang Papa untuk ke tempat baru. Dan Papa harus mencari tempat yang tidak banyak genangan air. Malaria itu karena nyamuk. Dan nyamuk berkembang biak di genangan-genangan air."

Papa melihatku dengan pandangan penuh tanya.

"Kau tahu itu? Apakah di Belanda kau pernah mempelajarinya?"

"Ya." jawabku singkat. Tentu saja aku dapat pengetahuan ini di Belanda. Karena dua puluh tahunku adalah di Belanda.

"Goed! Jadi kamu bisa lebih berhati-hati." katanya senang

"Tapi, Papa. Aku juga mengkhawatirkan kesehatanku...." Ini hanyalah alasanku, "sebaiknya aku berangkat terlebih dahulu ke Surakarta. Papa bisa mengurus urusan Papa, lalu kemudian menyusulku."

Awalnya Papa langsung menolak. Aku terus merengek dengan berbagai alasan. Hingga akhirnya dengan berat hati, dia setuju. Rasanya aku ingin melonjak kegirangan.

Kita akan menuju Groen huis op de heuvel, suatu rumah milik kompeni yang akan Papa tempati selama disana. Menurut Papa kondisi di Surakarta paling aman. Karena rajanya cukup dekat dengan orang-orang Belanda. Bahkan banyak kebijakan yang diambil berdasarkan persetujuan dari gubernur jendral di Batavia.

Perjalanan kita memakan waktu lebih dua hari. Tapi itu tidak membuatku merasa lelah. Aku begitu bersemangat. Sesampai di gerbang kota, seseorang dari utusan Kasunanan menjemput kita.

"Kami akan mengantarkan Juffrow ke tempat peristirahatan!" seru pengawal itu sambil memberi hormat. "Utusan keraton telah menunggu disana."

"Baiklah." jawabku. "Ayo kita segera beristirahat."

Groen huis op de heuvel ini adalah bangunan yang cukup besar dan indah, yang terletak di daerah semacam bukit, di sisi pinggiran kota. Udaranya lebih sejuk dibandingkan Batavia.

Sepertinya aku akan menyukainya.

Begitu kereta yang membawaku berhenti dengan sempurna, beberapa prajurit mendekatiku untuk membantuku turun, tapi aku menolaknya. Aku lebih suka Dhayu yang membantuku. Dhayu tersenyum dan segera mengulurkan tangannya untuk membantuku turun.

Rasanya jantungku akan melompat keluar, ketika aku melihat pria itu membungkukkan badannya memberi hormat kepadaku.

Catatan:

Drh. (Belanda) = tuan

meniir (dalam pengucapan Jawa) = mijn heer (Belanda) = tuanku

Mardjiker = orang yang dibebaskan (mis: dibebaskan dari perbudakan)

midden = tengah (Midden Java = Jawa Tengah)

Nice_Dcreators' thoughts
Next chapter