webnovel

Luapan Emosi dan Perasaan

Cukup lama aku berada dikantor polisi untuk memberikan keterangan mengenai kejadian dihari itu. Dan aku juga telah menceritakan semua kepada mereka, termasuk peristiwa sebelumnya, dimana saat itu Roy yang berusaha menculikku dan kemungkinan dia yang telah melakukan tindakan pelecehan dengan berusaha "menyentuhku", ketika aku sedang tidak sadarkan diri. Untuk membuktikan hal tersebut, mereka langsung memintaku untuk memeriksakan diri di Rumah Sakit.

Sementara ditempat lain, saat itu Oka sudah tiba di Rumah Sakit Bunda.

"Om Ryan..? Oka sudah menghubungi Om Ryan?" tanya Rani ketika Oka muncul disana

Tanpa menjawab pertanyaan Rani,

"Dimana Mamaku?" tanya Oka cemas

Rani terlihat kebingungan saat itu. Oka yang tidak sabaran, dia lalu masuk ke dalam kamar inap Shina disana.

"Tante, dimana Mama? Apa benar Mama pingsan?" tanyanya panik pada Shina

"Kau sudah menghubungi Papamu? Dimana dia? Kenapa kalian tidak datang bersama??" tanya Shina

"Papa.. Oka tidak bisa menghubunginya dari tadi. Papa tidak menjawab panggilannya, tapi Oka sudah mengirimkannya pesan untuk segera datang kemari.."

"Dengar Oka, sebenarnya ini bukan masalah mengenai Mamamu. Mamamu tidak pingsan. Saat ini  mungkin dia sedang baik-baik saja. Aku menyuruh Rani menghubungimu untuk memancing Ryan agar dia mau datang kemari.."

Oka begitu terkejut mendengar pernyataan Shina.

"Papamu itu.. dia telah berbuat kurang ajar pada suamiku Aris. Tadi dia tiba-tiba datang kemari dan langsung berbuat keributan dengannya.."

"Jadi ini semua karena Om Aris?" tanya Oka tidak senang

Rani tiba-tiba masuk kedalam ruangan. Oka yang melihatnya pun merasa kecewa padanya. Lalu, Oka pun memilih untuk pergi, hingga tiba-tiba Shina menghentikan langkahnya dengan berkata

"Bukan Aris tapi Mamamu, Lena.. Mereka berdua bertengkar gara-gara Lena. Apa kau puas mendengarnya?"

tanya Shina mengintimidasi Oka

"Mi.." Rani tidak senang melihat Maminya berkata seperti itu pada Oka. Dia tahu Oka sangat menyayangi Mamanya.

"Tidak usah merasa tidak enak disini. Memang benar, Mamanya itu yang salah. Aku sudah berusaha menjauhkan diri dari kehidupan kalian, tetapi tetap saja Lena itu selalu berupaya membuat Aris menderita, dengan memancingnya untuk terlibat ke dalam masalah.."

"Apa maksud Tante berkata seperti itu menjelekkan Mama?" ucap Oka tidak senang

"Asal Tante tahu, Om Aris itu yang terus menerus mencoba mendekati Mama.. Oka yakin, sampai saat ini Om Aris masih cinta sama Mama.."

"Oka?!!" Kali ini Rani tidak senang mendengar Oka menjelek-jelekkan tentang Ayahnya

"Dasar anak kurang ajar! Apa Mamamu tidak pernah mengajarimu sopan santun, hah? Jaga bicaramu!! Kalau bukan karena Aris suamiku, maka Mamamu itu sudah tidak selamat.."

"Apa maksud Tante? Memangnya apa yang terjadi sama Mama??" tanya Oka penasaran

"Tanyakan itu pada dirimu sendiri dan juga Papamu Ryan. Salahkan kalian yang begitu bodoh.. tidak mau menanggapi panggilan suamiku, ketika Lena sedang mengalami masalah.."

"Maksud Tante?" Oka bingung

"Apa sebelumnya suamiku Aris pernah menelponmu?"

Oka terlihat terkejut. Dia tahu bahwa Aris sempat menghubunginya, tetapi dia mengabaikannya. Lebih dari itu, sama seperti Papanya Ryan, dia juga langsung memblokir nomornya.

"Saat itu bukan Aris sengaja ingin menghubungi kalian, tapi dia berusaha untuk mengalihkan diri untuk tidak terlibat lebih jauh menyangkut urusan Lena.."

Oka masih belum mengerti maksud perkataan Shina. Akan tetapi, ketika dia akan kembali bertanya, tiba-tiba handphonenya berdering. Itu panggilan dariku.

"Ma.." sapa Oka cemas

"Sayang, kamu baik-baik saja? Ada apa kamu menelpon Mama?"

"Mama dimana sekarang? Mama baik-baik saja?" tanyanya kembali

"Iya, Mama.." belum sempat aku menjawabnya Oka kembali berkata

"Tante Shina bilang Mama dalam masalah lalu ditolong Om Aris. Mama sebenarnya ada masalah apa Ma? Cerita sama Oka.."

Saat itu tiba-tiba Shina,

"Bisa aku bicara dengan Lena?" ucapnya tiba-tiba yang membuat Oka menoleh ke arahnya

Kemudian aku,

"Sayang, berikan teleponnya pada Tante Shina.."

Lalu Oka pun memberikan teleponnya.

"Shina.." aku yang belum sempat menyampaikan perkataanku tiba-tiba dipotong oleh Shina

"Lena, apa kau sekarang sedang bersama dengan Ryan dan juga Aris?"

"Shina sebenarnya.."

"Dimana kau sekarang?" tanyanya

"Rumah Sakit Delta.." jawabku

Shina begitu terkejut. Dia tahu pasti telah terjadi sesuatu yang buruk pada suaminya Aris, tapi saat itu dia tidak sampai kepikiran bahwa Aris terkena luka tusukan, bahkan sampai rela berkorban nyawa hingga koma demi melindungi diriku. Akhirnya, pada saat itu, aku pun menceritakan segala sesuatunya pada Shina.

Namun diluar dugaan, kali ini Shina hanya terdiam mendengar semua penjelasan dariku. Tidak ada makian, umpatan, atau kata-kata kasar yang keluar dari mulutnya untuk memaki atau menyalahkanku. Dia hanya terdiam, lalu segera menutup panggilannya. Saat itu ekspresinya.. entahlah aku sendiri juga tidak tahu. Apa mungkin dia shock karena mendengar Aris yang koma?

Beberapa saat setelah Shina menutup telponnya.. Saat itu aku tidak tahu kalau Shina, dia memaksakan diri untuk datang ke Rumah Sakit ini. Ketika dia baru saja tiba di Rumah Sakit, dia kembali menghubungiku.

"Kau dimana?" tanyanya dengan nada datar

Aku pun segera keluar dari kamar inap Ryan untuk pergi menemuinya.

Saat itu,

*Plakk..  Plakkk.. Plaakk.. (Tidak hanya sekali, tapi tiga kali Shina menamparku)

Tidak sampai disitu, dia kembali menarik dan menjabak rambutku, hingga membuatku merasa kesakitan dan mengeluarkan air mata.

"Jalang!! Brengsek! Harus sampai berapa besar pengorbanan Aris untuk dirimu? KENAPA KAU TIDAK MATI SAJA, HAH??!"

Shina, dia benar-benar mengungkapkan perasaan kesal dan kecewanya padaku. Dia melakukan itu semua sambil mengeluarkan air matanya.

Saat itu perhatian semua orang mengarah pada kami, tetapi aku tidak peduli. Aku hanya merasa terpukul. Sepertinya ucapan Shina benar, aku benar-benar telah berbuat hal buruk pada Aris. Aku terus menerus membuat hidupnya menderita.

"Ma..af kan aku Shina. Maaf.." ucapku menangis sambil menundukkan kepala

"Kau kira dengan permintaan maafmu itu dapat membuatnya sadar?!!" ucap Shina ketus

"Kalau sampai terjadi apa-apa dengannya, maka bersiaplah aku akan membunuhmu.. Lebih dari itu, aku akan membuat hidupmu bagai dineraka, sehingga kau sendiri yang berpikir bahwa lebih baik kau mati dari pada harus hidup dengan semua penderitaanmu nanti.."

Aku masih terdiam sambil menundukkan kepala. Aku bukannya takut oleh ancamannya, tetapi aku takut kalau sampai benar terjadi seperti apa yang dikatakannya dan Aris tidak selamat.. Mungkin aku akan merasa hidup seperti dineraka, dengan segudang penyesalan yang kuperbuat dengannya (Aris).

"Enyahlah dari hadapanku! Jangan sampai aku melihatmu lagi, kecuali kau memang benar-benar ingin mati.." lalu Shina pun pergi sesaat setelah dia berhasil mendorongku hingga terjatuh ke lantai.

Saat itu ada begitu banyak orang yang melihatku. Aku pun segera bangun, lalu pergi ke toilet untuk menenangkan diri. Cukup lama aku berdiam diri disana, hingga tiba-tiba Ryan menghubungiku.

"Sayang.." ucapnya

"Kamu dimana? Ke toilet lama banget.. Kamu gak lagi diare kan?" tanyanya kembali

Aku lupa saat itu aku izin pergi ke toilet padanya.

"Iya, aku lagi diluar ini Mas. Lagi makan bakso. Ini pedes banget.. tadi aku baru inget, aku belum makan apa-apa terus aku keluar cari makanan dan nemu tukang bakso disini.." ucapku berbohong sambil menahan isakan tangisku

"Mas mau aku bungkusin?" aku menanyakannya. Padahal aku tahu Ryan itu paling anti jajan diluar, terlebih lagi kaki lima atau dagangan gerobak. Menurutnya, semua makanan itu tidak higienis dan bisa mendatangkan penyakit.

"Aku kan baru makan tadi. Kan kamu juga tadi yang suapin.. masa kamu lupa?"  tolaknya

Kemudian,

"Mas, Maaf.. Sepertinya aku tidak bisa menemanimu di Rumah Sakit malam ini. Aku lelah, aku ingin istirahat dirumah.."

"Kamu gak apa-apa kan Sayang?" tanya Ryan tiba-tiba cemas

"Aku gak apa-apa kok.." saat itu aku tidak tahu, tapi air mataku kembali berurai dengan deras.

"Nanti aku hubungi Heru buat nemenim Mas di Rumah Sakit.."

Tanpa mempedulikan perkataanku,  Ryan kembali berkata

"Kalau kamu memang capek, gak apa-apa kamu istirahat dirumah saja. Aku gak apa-apa sendirian disini. Tapi kamu pulang nanti gimana? Aku teleponin Heru ya, buat anterin kamu.."

"Ehh..Gak usah Mas."

"Terus kamu mau pulang naik apa?"

"Taksi." jawabku

"Gak. Nggak.. Bahaya cewek malam-malam naik taksi. Kamu gak boleh pulang naik taksi."

"Tapi Mas.."

"Pokoknya kamu harus pulang sama Heru. Nanti aku hubungi dia.."

"Kasihan Heru Mas.. Besok dia harus ngantor pagi. Lokasi Rumah Sakit ini kan sangat jauh.."

Tanpa mempedulikan perkataanku, Ryan langsung mematikan teleponnya. Mau tak mau, aku pun harus kembali ke ruang inapnya.

Saat itu, begitu aku masuk.. Ryan langsung memahami kondisiku yang seperti habis menangis. Kemudian, tanpa basa-basi

"Sayang kamu nangis?" tanyanya

Aku hanya terdiam. Percuma juga aku mengatakan tidak karena sepertinya Ryan tidak akan mudah percaya. Untungnya, saat itu dia tidak menyadari pipiku yang merah karena bekas tamparan Shina.

"Kamu masih kepikiran kejadian ini? Kamu mau aku panggilin dokter untuk konsul, biar kamu bisa lebih tenang..?"

"Gak usah Mas. Aku gak apa-apa. Aku cuma butuh istirahat saja dirumah.."

Ryan kemudian menyuruhku mendekat. Dia ingin agar aku bisa ikut berbaring disampingnya, tetapi aku menolaknya. Aku memilih untuk duduk saja disana.

"Aris.. Bagaimana kondisinya?"

Saat itu Ryan menyadari, begitu dirinya menyebut Aris.. ada sedikit perubahan ekspresi diraut wajahku.

"Tidak apa-apa Sayang. Itu semua bukan salah kamu kok. Dia sendiri yang merelakan dirinya.."

Seketika itu tangisku pun kembali pecah. Ryan menyadari, sepertinya aku masih memiliki perasaan pada Aris dan itu sedikit membuatnya kecewa.

"Padahal aku sudah menyuruhnya untuk tidak dekat-dekat lagi denganku dan pergi menjauh, tetapi kenapa selalu saja dia yang melindungiku Mas.. Kenapa?? "

"Aku.. A..ku.. benar-benar telah melakukan sesuatu yang buruk padanya.. Aku benar-benar tidak tahu.." aku menjelaskan pada Ryan sambil menangis, sambil membenamkan kepalaku di tepi kasurnya.

"Aku tidak mau sampai ada apa-apa terjadi dengannya.. apalagi sampai dia.." saat itu aku tidak bisa melanjutkan kata-kataku. Aku takut hal itu akan menjadi kenyataan.

Sementara Ryan, dia juga hanya bisa pasrah. Dia terlihat bingung bagaimana caranya untuk membuatku tenang dan berhenti menangis. Mendadak lidahnya menjadi kelu. Mungkin tenggelam oleh perasaan kecewa karena mengetahui aku yang tidak mau sampai Aris meninggal.

Mengetahui bahwa seseorang yang sangat dicintainya ternyata selama ini memiliki perasaan pada orang lain, membuat hatinya terluka begitu dalam. Dia sudah tahu akan hal ini. Namun, mendengarnya langsung dariku membuat hatinya seperti teriris. Dia berharap, seandainya saja Aris bisa benar-benar mati (lenyap dari kehidupanku), maka dia akan menjadi satu-satunya orang yang bertahta disana (dihatiku).

Saat itu Ryan mencoba untuk bangkit. Meskipun bekas jahitan diperutnya masih terasa sakit, tapi dia tetap berusaha untuk duduk. Dia ingin menenangkanku. Sambil mengusap-ngusap lembut rambutku,

"Tenang saja.. Aku tidak akan membiarkan si brengsek itu mati, meskipun aku sangat ingin.. tapi melihatmu yang sedih seperti ini karenanya.."

"Sayang, kenapa sampai saat ini kamu masih belum bisa melupakannya? Apa selama ini cinta dan pengorbananku masih kurang dibandingkan dia? Kenapa kamu masih saja mencintainya?" ucap Ryan dalam hati sambil menatapku yang terus menangis disana.

Next chapter