webnovel

Kembali Bersatu

Saat itu hampir pukul setengah sepuluh malam dan Heru juga masih belum tahu dimana keberadaan Ryan. Handphonenya mati dan itu semakin membuatku merasa cemas dan khawatir padanya. Aku sudah coba menghubungi Oka, tapi dia bilang Papanya itu tidak ada diapartemen. Dia juga tidak tahu dimana keberadaannya. Malah dia balik bertanya padaku apakah kami berdua sedang bertengkar. Saat itu aku berbohong dengan menjawabnya tidak. Aku tidak ingin membuatnya khawatir memikirkan keadaan kami. Terlebih lagi niatanku yang ingin segera berpisah darinya.

Mendadak aku jadi memikirkan mengenai perceraian kami. Kalau seandainya aku dan Ryan bercerai nanti, Oka akan tinggal dengan siapa? Apa dia akan baik-baik saja jika kami berdua bercerai?

Aku tahu anakku itu, walaupun dia terlihat cuek dan biasa saja menghadapi kami yang terbilang cukup sering bertengkar dihadapannya, tetapi dia juga merasa sedih jika salah satu dari kami harus pergi meninggalkan rumah. Saat sedang melamun memikirkan itu semua, tiba-tiba terdengar suara pintu gerbang terbuka dan sebuah mobil memasuki halaman rumah Papa. Aku pun segera berlari ke arah jendela dan mengintip untuk memastikan apakah mobil tersebut adalah mobil Mas Ryan. Ternyata benar itu dia. Aku melihatnya turun dari mobil dengan ekspresi yang tidak biasa. Mukanya kusut seperti sedang mengalami banyak masalah. Apa yang sedang dihadapinya? Apa aku harus pergi keluar dan menyambutnya?

Saat itu, tiba-tiba saja ada suara Ryan membuka pintu depan. Dengan segera aku kemudian berlari naik ke atas kamar dan berpura-pura tertidur disana. Ketika Ryan membuka pintu kamarku, dia melihatku tertidur. Tidak mau membangunkanku, akhirnya Ryan pergi ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya.

Selesai mandi, Ryan membereskan kasur lipatnya itu dilantai. Lalu aku,

"Kasur lipatnya tidak usah digelar. Mas bisa tidur disini bersamaku."

Ryan kemudian mengembangkan senyum diwajahnya seolah tak percaya.

"Kamu sudah memaafkanku Sayang?" tanyanya

Tanpa menjawab pertanyaannya, aku malah kembali bertanya

"Kenapa Mas baru pulang jam segini?"

Saat itu Ryan, dia tiba-tiba mendekat ke arahku dan duduk ditepi ranjang (tepat disebelahku yang sedang berbaring). Dengan memperlihatkan raut wajah yang gembira sambil tersenyum, dia terlihat begitu senang mendengarkanku menanyakan itu padanya.

"Kenapa malah senyum? Jawab!!" ucapku kesal

"Aku senang kamu mengkhawatirkanku.."

Melihat ekspresiku yang malah semakin cemberut, Ryan tiba-tiba

"Ahh, iya.. iya.. Tadi aku ada sedikit urusan. Aku tadi telat pulang karena.." Ryan terlihat sedikit memutar bola matanya ke atas sambil memikirkan sesuatu. Kemudian dia lanjut berkata

"Ohh, Heru tadi menyuruhku menyelesaikan beberapa pekerjaan dikantor. Karena menurutnya aku ini sering bolos, maka dia sengaja menumpuk semua pekerjaan itu dan menyuruhku menyelesaikannya hari ini juga. Makanya aku bisa pulang telat Sayang. Maafin aku ya.."

Hatiku kecewa mendengar jawaban darinya. Padahal Heru bilang dia sudah meninggalkan kantor dari sebelum mahgrib tadi. Bagaimana bisa dia membohongiku seperti ini. Apa jangan-jangan tadi dia pergi bersama dengan Shina, pikirku tidak senang.

"Kenapa cemberut seperti itu. Aku kan sudah disini. Jadi kamu tidak perlu cemas lagi.." ucap Ryan kembali

Saat itu Ryan hendak menciumku, namun aku segera berbalik badan dan menghindarinya.

Ryan kemudian naik ke atas kasur dan begitu dia menghadapkan tubuhnya ke arahku, aku pun segera berbalik badan kembali (membelakanginya). Tidak lupa aku juga menaruh guling pembatas diantara kami berdua, agar Ryan tidak bisa mendekatiku atau tiba-tiba tangannya itu memelukku. Aku masih kesal dengannya. Dia tidak mau berkata jujur mengenai alasan keterlambatannya pulang.

Saat itu, respon Ryan ketika aku menaruh bantal guling diantara kami berdua

"Yahh.. padahal berharap bisa tidur nyenyak malam ini dengan meluk guling favoritku itu, malah dapatnya yang kw gini.." ucap Ryan sambil memegang guling yang memisahkan kami.

"Tapi gak apa-apa deh. Setidaknya malam ini aku bisa tidur satu ranjang bareng, dibanding harus tidur dilantai.." Ryan kemudian menghentikan kata-katanya

"Tapi dilantai kemarin aku bisa meluk guling favoritku itu. Nyaman sekali.. tidak seperti sekarang. Kalau aku pindah tidur dilantai lagi, apa kira-kira aku bisa meluk gulingku itu.."

Saat itu Ryan, dia terkejut dan menghentikan kata-katanya karena aku tiba-tiba saja berbalik menghadap ke arahnya sambil memandangnya dengan ekspresi tidak senang. Lalu Ryan,

"Gak kok Sayang. Cuma bercanda! Kamu jangan nantap aku tajam kayak gitu dong.."

"Kenapa Mas berbohong padaku?" tanyaku tiba-tiba

"Berbohong?" ucap Ryan mengulang perkataanku

"Iya. Mas berbohong padaku. Mas bilang Heru yang menyuruh Mas mengerjakan tugas kantor, tapi tadi aku menelpon Heru dan dia bilang Mas sudah meninggalkan kantor sebelum mahgrib tadi.."

Ryan, dia terlihat terkejut mendengarkanku mengatakan semua itu padanya.

"Apa Mas sebegitu seneng bisa membohongiku? Mempermainkan aku dan membuat aku cemas memikirkanmu yang semalaman telat pulang? Mas pikir menurut Mas itu lucu.. bisa membuatku merasa khawatir terus menerus saat menunggumu pulang. Apa itu membuat Mas bahagia, hah?" ucapku marah, kecewa, sambil menatap Ryan dengan menitikkan air mataku itu.

"Tidak Sayang. Aku gak bermaksud kayak gitu. Aku memang senang melihatmu mengkhawatirkanku.. tapi aku tidak berniat mempermainkanmu. Apalagi membuat rasa cemas dan kekhawatiranmu itu sebagai lelucon yang membuatku merasa bahagia. Aku sama sekali gak mikir ke arah sana.." Ryan berusaha menjelaskan

"Lalu, kenapa Mas berbohong soal Heru tadi? Apa ada sesuatu yang Mas sembunyikan dariku?"

"Apa Mas tadi pergi bersama dengan Shina seperti waktu di Villa?" tanyaku kembali masih sambil menangis.

Saat itu, aku bisa menyadari ekspresi terkejut Ryan ketika aku mengungkit soal Shina. Ada perubahan sedikit di bola matanya. Dan itu membuatku yakin bahwa memang benar dia tadi pergi bersama dengan Shina.

Saat sedang memikirkannya, tiba-tiba saja Ryan berkata

"Maafkan aku.."

"Aku mempunyai alasan tersendiri kenapa aku gak mau menceritakan yang sebenarnya mengenai alasan keterlamabatanku itu padamu. Aku tidak ingin membuatmu berpikiran negatif dan menjadi marah. Aku.."

"Karena Shina?" tanyaku tiba-tiba memotong penjelasan Ryan yang sebelumnya

Ryan terlihat terdiam saat itu. Beberapa saat setelahnya, kemudian dia pun mengangguk pelan.

Seketika tangisku pun pecah. Aku kemudian menutup kedua mataku itu sambil menangis. Ryan yang melihat hal itu pun lalu berusaha menenangkanku sambil memelukku.

"Maafin aku Sayang. Aku gak mau cerita hal yang sebenarnya karena khawatir kamu akan nangis kayak gini dan mencurigaiku yang macam-macam.. Sungguh, aku gak berbuat apapun dengan Shina tadi." Ryan masih berupaya menjelaskan padaku

"Kalau memang tidak ada apa-apa, kenapa Mas terus saja bertemu dengan Shina? Kenapa kalian selalu saja bertemu secara diam-diam seperti ini, hah? Apa Mas berniat ingin kembali pada Shina??" tanyaku emosi sambil menangis

"Tidak Sayang. Aku tidak bermaksud seperti itu. Sungguh! Aku tidak mau berpisah darimu. Kalau aku memang berniat pisah darimu untuk apa aku melakukan semua ini. Menyuruhmu untuk tinggal dirumah Papa, walaupun itu membuatku tidak nyaman.."

"Kau tahu kenapa aku mengambil handphonemu kemarin dan berkata seperti itu pada Papa? Alasanku melakukannya adalah karena aku tidak ingin pertengkaran kita semakin menjadi-jadi. Kalau pada saat kita pulang kemarin kita kembali tinggal di apartemen, maka kau akan terus mendiamkanku dan menuntutku untuk segera bercerai darimu. Setidaknya dengan tinggal dirumah Papa, kau tidak akan mendiamkanku (didepan Papa), karena kau tidak ingin Papa mengetahui tentang pertengkaran kita itu."

"Kalau memang aku berniat ingin kita berpisah, lalu untuk apa juga aku menyuruh Mama untuk membujukmu agar memberikanku waktu 2 minggu untukmu berpikir ulang mengenai perceraian kita. Untuk apa aku melakukan semua hal yang bisa merubah sifatku itu.. termasuk upayaku untuk tidur dilantai kemarin.."

Ryan, dia kembali menatap mataku dengan lekat. Sambil menghapus air mataku menggunakan tangannya, dia kembali berkata

"Sayang dengar, aku mencintaimu dan bukan Shina. Rasa cintaku padanya telah lama hilang semenjak aku pergi meninggalkannya waktu itu.. karena aku merasa kecewa dia telah membohongiku selama ini.."

"Walaupun aku tahu belakangan darinya bahwa itu semua hanya salah paham, tetapi aku tetap tidak bisa mengembalikan perasaanku yang dulu padanya. Aku hanya merasa iba, simpati, dan kasihan padanya.. Kau bisa bayangkan bagaimana perjuangannya membesarkan Rani sendirian, sementara dirinya tidak bisa sekalipun menghubungiku atau memberitahukan padaku bahwa semua pertengkaran kami dulu yang terjadi hanyalah sebuah salah paham saja. Bahkan, gara-gara hal itu dia sampe harus mengalami depresi berat. Sampai saat ini dia terlihat masih mengkonsumsi obat anti depresannya itu. Dan itu membuatku semakin merasa bersalah padanya."

"Kau tahu mengapa aku lebih memilih untuk menenangkan Shina saat itu, walaupun aku sangat ingin berusaha untuk pergi denganmu. Orang-orang seperti Shina mereka bisa melakukan apapun ketika merasa sangat tertekan. Aku hanya tidak ingin dia nantinya berbuat hal konyol padamu atau pada dirinya sendiri dengan mencelakai dirinya, apalagi kalau sampai dia bunuh diri.."

"Tapi aku tidak suka melihatmu pergi dengan Shina.." ucapku menjelaskan pada Ryan

"Kini akhirnya kamu tahu bagaimana perasaanku saat melihat kamu dengan Aris berdua-duaan, kan?" ucap Ryan sambil tersenyum

Aku yang malu mendengar perkataan darinya itu, akhirnya membenamkan kepalaku didadanya dengan memeluk dirinya dengan sangat erat. Namun saat itu respon Ryan malah

"Sayang.. aku kangen banget sama kamu."

Ryan kemudian melepaskan kedua tanganku yang memeluknya erat itu dan langsung menciumku. Selanjutnya, kalian pasti tahu apa yang kami lakukan kan. Ya, dia benar-benar menyiksaku. Tidak hanya sekali, bahkan kami melakukannya sampai tiga kali. Sebenarnya hanya dua kali, tapi pada saat itu dia berkata padaku

"Kamu tidak mau aku melakukannya dengan perempuan lain diluar sana, kan? terlebih lagi Shina.."

Setelah mengatakan itu, akhirnya kami melakukannya sekali lagi.

Ryan, dia selalu bisa membujukku untuk melakukan hal sesuai dengan keinginannya itu. Tapi aku senang, karena bagaimanapun hubungan kami dapat kembali hangat seperti dulu. Terima kasih Tuhan! Telah menyelamatkan rumah tanggaku sekali lagi dari kehancuran. Aku benar-benar menyukai sifatnya yang setia ini, ucapku dalam hati sambil sekali lagi mengecup bibirnya.

Saat itu, Ryan tiba-tiba bangun dan

"Kamu mau kita ngelakuin itu sekali lagi?" tanyanya

"Gak Mas. Aku capek. Aku mau tidur. Besokkan harus bangun pagi.."

"Bangun pagi apa? Memangnya besok kamu mau berangkat kerja?" bantahnya

"Tapi Mas.. Besok kan Mas harus berangkat pagi buat ngantor." tolakku

"Besok aku gak ke kantor juga gak apa-apa.." jawabnya

"Tapi.." ucapku kembali berusaha menolak

Dan akhirnya kami pun melakukannya sekali lagi.

Di apartemen Aris dan Shina, saat itu terlihat Shina yang baru saja kembali ke unitnya.

"Kau darimana saja? Apa kau tidak tahu bahwa aku sangat cemas menghubungi daritadi. Kenapa kau tidak menjawab panggilanku?" tanya Aris begitu Shina mulai masuk kedalam.

Tanpa mempedulikan perkataan Aris, Shina lalu berlalu masuk kedalam kamarnya.

"Shina.." Aris terus mengikutinya untuk meminta penjelasan darinya

Dan bagitu Aris masuk kedalam kamarnya,

"Kau itu berisik sekali.." ucap Shina tiba-tiba pada Aris

"Aku bertanya kau itu darimana saja sehingga jam segini baru pulang?" tanya Aris marah

"Aku tadi habis bertemu dengan Ryan." jawab Shina yang membuat Aris begitu terkejut

Melihat ekspresi Aris yang seperti itu kemudian Shina lalu tersenyum dan tiba-tiba dia langsung mencium Aris.

*Cup.. (Shina mengecup bibir Aris singkat)

"Lucu sekali melihat ekspresimu yang seperti ini Aris. Aku senang melihatmu bisa cemburu padaku.." lanjut Shina berkata

"Shina kau.."

"Tadi aku memang bertemu Ryan dan memintanya agar kita bisa tetap tinggal diapartemen kita ini.." ucap Shina tiba-tiba memotong pembicaraan Aris

"Hanya membicarakan masalah apartemen sampai malam begini? Shina kau itu kan sedang hamil. Bagaimana bisa kau melakukan semua itu?" ucap Aris tidak senang

"Aku tadi sempat pingsan dan Ryan membawaku ke klinik.."

"Kenapa kau tidak menghubungiku dan malah meminta Ryan menemanimu?"

"Ahh iya aku lupa. Seharusnya pada saat aku pingsan, aku langsung menelponmu ya Aris.." jawab Shina meledek karena bagaimana mungkin dirinya yang sedang pingsan itu kemudian menghubungi Aris.

"Apa kata dokter? Apa semuanya baik-baik saja?" tanya Aris kemudian cemas

"Aku baik-baik saja.."

"Bagaimana dengan janin yang ada didalam kandunganmu itu?"

Shina lalu memperlihatkan hasil foto usgnya itu pada Aris. Aris tersenyum bahagia melihatnya.

"Besok kita pergi ke dokter kandungan untuk melakukan kontrol rutin. Kali ini kau tidak boleh pergi bersama dengan Ryan dan bertemu lagi dengannya. Apa kau mengerti?"

"Siap paduka.. Apapun titah darimu.." jawab Shina yang membuat Aris tersenyum.

Sementara itu di kediaman Pratomo, Ibu Tomo (Mama Ryan) terkejut melihat beberapa gambar foto dihandphonenya yang telah dikirim oleh orang suruhannya. Dirinya seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja dilihatnya dihandphonenya itu. Setelah itu, dirinya menelpon orang yang mengirimkan foto tadi dan menyuruhnya untuk melakukan sesuatu.

Next chapter