webnovel

Aku dan Aris (Nostalgia Kecil Kami)

Aku terkejut ketika Aris menanyakan tentang kehamilan Shina. Gawaatt!! Aku tidak sengaja mengungkapkan cluenya itu pada Aris. Apa Shina akan marah padaku jika dia tahu aku secara tidak langsung memberitahukan pada Aris mengenai kehamilannya ini. Duh!! Bagaimana ini? pikirku pusing.

Saat itu aku tidak sadar kalau Aris terus memperhatikanku. Hingga tiba-tiba dia pun berkata sambil tersenyum,

"Tidak usah dijawab. Aku sudah bisa menyimpulkan sendiri jawabannya melihat dari ekspresimu itu.."

Aku masih memasang tampang bersalahku, sampai Aris kembali berkata

"Tenang saja. Kau tidak bersalah disini. Kau tidak memberitahukan apapun mengenai kehamilan Shina, tapi aku yang menyimpulkan sendiri.." Aris berusaha menenangkanku

Kendatipun demikian, saat itu aku masih merasa khawatir dan cemas. Aku takut, Shina akan marah dan berbuat macam-macam padaku dan juga Mas Ryan, jika dia tahu aku tanpa sengaja membocorkan masalah kehamilannya itu pada Aris.

"Tidak apa-apa Lena. Aku tidak akan mengungkit apapun didepan Shina mengenai kehamilannya nanti. Akan ku buat seolah-olah dia sendiri yang mengakuinya dihadapanku. Jadi kau tidak perlu merasa khawatir tentang hal ini.." ucap Aris kembali

Setelah Aris mengatakan itu, mau tak mau aku pun mencoba memaksakan diriku untuk tersenyum, walaupun sebenarnya hatiku merasa bersalah dan tidak enak pada Shina.

"Kau itu dari dulu memang tidak berubah ya.. Kau sama sekali tidak pandai menyembunyikan sesuatu atau pun berbohong.. Semua orang bisa tahu kalau kau sedang berbohong hanya dengan melihat ekspresi wajahmu.." ucap Aris kembali

"Apa sebegitu kelihatan jelas?" tanyaku kembali

Aris hanya tersenyum, seolah mengiyakan jawabanku tadi.

"Yah.. Kau memang paling bisa membacaku Mas Aris.." ucapku tersenyum pada Aris

"Bukan hanya aku, tapi juga Karin dan semua orang disekitarmu.. Saat kau berbohong atau mengatakan sesuatu yang mungkin sebenarnya tidak sejalan dengan hati dan pikiranmu, pasti kau akan merasa gugup dan cemas seperti ekspresi yang kau tunjukkan tadi.."

"Selain itu juga, yang paling aku sangat ingat dari dirimu dulu, saat kau mengatakannya (berbohong), kau tidak akan berani untuk menatap mataku.."

"Tadinya aku pikir.. saat kau berkata kau tidak akan menceraikan Ryan dan tidak akan mungkin untuk melakukannya, semua itu hanyalah kebohongan belaka. Karena pada saat kau mengatakan itu kau terlihat sangat gugup dan cemas.." ucap Aris kembali yang seketika membuatku terkejut.

Melihatku yang begitu serius dan tegang, Aris kemudian

"Hahahaa.. Aku hanya bercanda Lena. Tidak serius.."

Saat itu aku masih terdiam, seolah tak percaya oleh apa yang baru saja diucapkan oleh Aris, hingga tiba-tiba dia

"Maafkan aku.." Aris tiba-tiba menjadi serius

"Aku tahu kau sangat mencintai Ryan dan sampai kapanpun kau mungkin tidak akan pernah mau berpisah dengannya.."

Saat itu aku begitu memperhatikan Aris. Dia terlihat sangat serius dengan ucapannya kali ini. Apa tadi dia berusaha untuk memancingku dengan berkata seperti itu mengenai perceraianku dan Mas Ryan.

Aris yang menyadari aku terus menatapnya curiga kemudian menjadi gugup.

"Eh, maksudku.. aku hanya tidak ingin hubungan kita menjadi canggung atau aneh karena aku telah mengatakan semua perasaanku ini padamu.. Aku hanya ingin kita bisa berhubungan baik sebagai tetangga atau teman.." ucap Aris kembali

"Iya Mas Aris. Aku tahu.."

Saat itu suasana kembali hening. Hingga tiba-tiba Aris kembali berkata

"Kau ingat kejadian dulu, saat kau berniat untuk membuat pesta kejutan untukku dan memberiku hadiah untuk keberhasilan projek pertamaku mendesain cafe barunya Thomas.."

"Ohh.." aku pun tersenyum sambil mengingat momen itu

Beberapa kali aku mencoba untuk membuat surprise untuknya, tapi selalu ketahuan dan gagal. Dan beberapa momen disaat dia berpura-pura seolah dia benar-benar terkejut akan surprise yang aku berikan itu, sampai akhirnya Karin memberitahukan semuanya padaku bahwa sebenarnya Aris hanya berpura-pura saja.

"Maaf, aku tidak bermaksud membuatmu bernostalgia dengan mengingat kenangan kita dulu.." ucap Aris kembali merasa bersalah

"Kau juga tidak berubah Mas Aris. Selalu merasa bersalah dan meminta maaf, walaupun sebenarnya hal itu tidak masalah.." ucapku pada Aris

Kami berdua pun tersenyum. Tidak terasa, perasaan kami yang awalnya sangat canggung kini mulai mencair kembali. Dan kami pun mulai mengobrol dan membahas mengenai beberapa momen kebersamaan kami di masa lalu, hingga tiba-tiba terdengar dering handphoneku. Itu panggilan dari Ryan.

Aris.. mungkin dia tahu itu panggilan dari Ryan. Karena begitu handphoneku itu berdering, terpampang jelas wajah Ryan disana.

"Sayang.." ucap Ryan ditelpon

"Kamu dimana?" tanyanya kembali

"Aku masih ditempatnya Aris." jawabku

"Aris??.."

"Ah, maksudku apartemen Shina." aku kemudian meralat

"Kalau begitu aku akan ke apartemen sekarang . Aku sedang dalam perjalan pulang. Meetingnya sudah selesai.." ucap Ryan memberi kabar

"Oh iya Sayang, bagaimana kalau nanti malam kita menginap saja di sana. Bilang sama Papa, bahwa Oka membutuhkanmu. Kamu bisa bilang kalau Oka sedang sakit atau apapun dan kita harus tinggal beberapa hari untuk menemaninya disana. Bagaimana?"

"Terserah Mas saja.."

"Tapi kamu yang telpon Papa ya. Aku takut nanti kalau aku yang minta izin, Papa gak akan ngijinin aku dan malah menceramahiku.."

Saat itu aku tersenyum mendengar Ryan berkata seperti itu. Hingga tanpa sadar Aris melihatku dan aku pun langsung memalingkan wajahku itu darinya.

"Kamu lagi sama Shina?" tanya Ryan kembali yang tiba-tiba membuatku merasa bersalah

"Ahh.. Ii.. Iya.." jawabku tiba-tiba  gugup

"Dia gak ngapa-ngapain kamu kan? Kali ini dia gak buat masalah atau macam-macam sama kamu kan Sayang?" tanya Ryan kembali

"Iya. Enggak kok Mas.."

"Syukurlah.. Tadinya aku sempat khawatir kalau dia bakalan berbuat hal aneh ke kamu.. Kalau urusan kamu udah selesai, kamu mendingan cepetan pergi dari apartemennya. Aku gak mau nanti dia berbuat hal macam-macam sama kamu.."

"Iya Mas. Aku juga udah mau pulang kok ini.." sambil aku kemudian bangkit berdiri dan tanpa sadar saat itu aku tiba-tiba berpamitan pada Aris

"Mas Aris.. Kalau begitu aku pamit dulu."

Aku lupa bahwa saat itu Ryan masih ada dipanggilan telpon. Ryan yang mulai merasa cemburu kemudian

"Ada Aris?" ucapnya tidak senang sambil menaikkan intonasi suranya

"Iya." jawabku singkat

"Yaudah buruan kamu cepetan pergi dari sana. Aku gak mau kamu deket-deket sama dia.." ucap Ryan yang membuatku merasa bersalah

"Iya Mas. Aku keluar sekarang.."

"Makasih ya Sayang.. Kamu udah mau nurut sama aku."

Entah kenapa, ketika Ryan mengatakan hal itu.. justru semakin membuatku merasa bersalah padanya.

"Ehh, mobil aku udah masuk kawasan apartemen nih.."

"Kalau gitu aku jemput Mas di lobi ya?" aku menawarkan

"Gak usah Sayang. Biar aku aja yang naik ke atas. Kamu ngapain turun dan nungguin aku dilobi.."

"Gak apa-apa Mas biar bisa barengan kita.."

"Yaudah kalau kamu memang maksa. Tapi jangan turun pakai tangga darurat ya, nanti kamu jatuh.."

"Iya Mas. Aku naik lift kok"

"Kalau gitu kamu hati-hati ya naik liftnya.. Pegangan yang kuat biar gak jatuh."

"Iihh.. apaan sih Mas. Garing banget bercandanya.."

"Kok garing sih. Aku kan cuma khawatir sama kamu Sayang. Kamu sih selalu ceroboh jadi orang. Jalan dikit kesandung, turun tangga selalu jatuh.."

"Terus aja terus.. ledekin aku terus.." ucapku sebal

"Hahahaa.. ada yang ngambek. Istriku ini kayaknya lagi sensitif hari ini. Jangan-jangan mau hamil lagi.."

"Iihhh.. Mas!!

"Kok malah "Ihh.. Mas!!" bukannya di Aaminin doanya." ucap Ryan protes

Saat itu aku hanya diam tidak berkomentar.

"Sayang.. Sayang.. Kamu ngambek ya?"

"Aku minta maaf deh Sayang. Jangan ngambek ya. Nanti aku beliin susu di Joymart. Kamu mau susu gak?"

"Mau.." ucapku menjawab tanpa basa basi

Saat itu, terdengar suara tawa Ryan dari balik telpon.

"Hahahaa.. Gengsinya kalah sama susu." ucap Ryan kembali senang

"Kalau gitu aku beliin susunya di Joymart dulu ya. Kamu tunggu aku dilobi." ucap Ryan kembali

"Iya." jawabku singkat

"Love you Sayang, muaaachhh.."

"Love you too Mas. Muaaachhh.." ucapku pelan membalas Ryan

Dan panggilan telepon pun tertutup.

Jujur.. saat itu aku malu harus melakukan itu, terutama didepan Aris. Aku hanya merasa tidak enak padanya melihatku dan Mas Ryan yang bermesra-mesraan ditelpon. Karena aku tahu dia mempunyai perasaan padaku sehingga membuatku malah semakin merasa bersalah dan tidak nyaman didepannya.

Karena sudah berpamitan, aku pun kemudian melangkah keluar dan menuju lobi untuk menunggu Ryan. Sementara itu, Shina.. dia sudah tidak ada didepan unit apartemennya. Kemana dia pergi? Apa dia baik-baik saja? Sebelumnya dia terlihat menangis kan..

Next chapter