webnovel

Malapetaka

Basah dan Bergairah

🌸🌸🌸

Delapan belas tahun berlalu sejak Lendra membawa lari seorang bayi. Kini, si bayi telah menjelma menjadi gadis remaja yang jelita. Ia memberi nama putri Nirmala itu Linara, sebab tumbuh dan besar di Hutan Kinara.

Semenjak hari pengejaran, Lendra tidak pernah keluar dari hutan. Di bagian hutan paling dalam, ternyata ada sebuah gua bersemayam. Gua ini dihuni oleh sepasang suami-istri. Ki Adiluhung dan Nini Sulastri. Oleh kedua pasangan suami-istri sepuh inilah, Linara diajari berbagai macam 'pangaweruh' ilmu-ilmu silat ampuh.

Lantaran digembleng sedari masih bau kencur ingusan. Kemampuan yang kini dimiliki Linara tidak dapat diremehkan. Meski masih belia, kepandaiannya tak bisa dipandang sebelah mata. Ia memiliki kelincahan gerakkan yang lihai cekatan.

Pagi ini, Linara berkemas-kemas. Membungkus beberapa potong pakaian ke dalam buntelan. Tekadnya sudah masak matang-matang. Bagaimanapun, ia akan membebaskan ayahnya yang ditahan oleh orang-orang Kitiran.

Prabu Mahendra Wicaksana, dulunya seorang raja adil dan bijak di Keraton Baiduri. Namun, beberapa bawahan penjilat mengkhianatinya. Mereka bersekongkol dengan pasukan Wangkara dari negeri Kitiran yang saat itu menjajah Cataka.

Saat terjadi penaklukan, Putri Mahendra, yakni Nirmala tengah hamil muda. Panglima utusan dari Wangkara bernama Dehaan, tertambat hati pada kecantikan sang putri. Ia lantas menahan dan menyembunyikan Purnacaraka──suami Nirmala──di suatu tempat. Dehaan meminta Nirmala harus bersedia menjadi istrinya. Bila menolak, Purnacaraka akan dibunuh.

Terpaksa di bawah tekanan, Nirmala setuju dengan beberapa syarat. Pertama, Dehaan harus menunggu dirinya melahirkan dan melewati masa nifas. Kedua, setiap enam bulan sekali, ia harus menerima surat tulis tangan Purnacaraka; untuk membuktikan bahwa Purnacaraka tidak dibunuh dan masih hidup.

Dehaan setuju.

Menurut Lendra, delapan belas tahun silam, tersiar kabar bahwa Gusti Purnacaraka ditahan di sebuah pulau. Konon, pulau terpencil dan angker, bernama Pulau Karaba di wilayah kulon Cataka. Pulau paling dihindari untuk dikunjungi oleh semua orang.

Pagi ini, Linara akan memulai langkahnya menuju ke Pulau Karaba.

Lendra sudah mengatakan berulang-ulang, terlalu berbahaya. Namun, putri Nirmala itu tidak mau mendengar dan tetap bersikeras. Ki Adiluhung dan Nini Sulastri pun tidak dapat berbuat banyak. Sebab, sebagai anak, memang sudah sepantasnya berbakti pada orangtua. Namun, kedua sepuh ini memiliki beberapa wejangan serta petunjuk.

Pertama-tama, sebelum Linara melaksanakan niat menolong ayahnya ke Pulau Karaba. Ia harus pergi dulu ke Hutan Adiwarna yang terletak di Pulau Wiguna. Di sana, ia harus menemukan seseorang bernama Eyang Warak Wudawarna. Kedua, Linara harus berhati-hati agar kemunculannya di dunia luar tidak menimbulkan kehebohan. Sebab, menurut Lendra, wajahnya dan Nirmala ibarat pinang di belah──sangat mirip.

Alasan dulu Nirmala meminta Lendra membawa kabur anaknya, tidak lain karena ia mencuri dengar; Dehaan tidak suka pada bayi di kandungannya lantaran anak dari Purnacaraka. Pria penjajah itu berencana membunuh si bayi begitu dilahirkan.

Usai mengucap salam perpisahan sekaligus mengungkap rasa terima kasih tak terkira; atas pengasuhan serta penggemblengan selama ini, Linara lantas berangkat memulai perjalanan. Pulau Baiduri dan Pulau Wiguna terpisah oleh lautan, maka satu-satunya jalan agar dapat ke sana adalah dengan menaiki kapal.

<>

Lautan biru terpentang luas.

Burung camar beterbangan di bawah cahaya sang baskara menjelang sore tiba. Linara melindungi pandangan dengan kedua telapak tangan, ditungkupkan di jidat. Silau kemilau air laut mencucuk mata. Meski sudah menjelang rembang petang, terik sang mentari masih terasa beringsang──panas membakar kulit.

Di pesisir pantai, para pelayan hilir mudik kian kemari. Ada yang menarik perahu, ada pula yang mendorong perahu. Beberapa memindahkan hasil tangkapan ikan. Di sudut lain pantai dekat daun pandan, ada pula yang tengah melelang. Pelelang dan penawar begitu ribut bising, saling tawar-menawar untuk mencapai kesepakatan.

~

Langit cerah begitu indah

Sinar terik memanggang kulit

Segara megah membentang rekah.

Sayang, aku melakukan perjalanan sendirian.

~

Terdengar seseorang melantunkan sebait syair. Pemuda berpakaian perlente berjalan penuh lagak. Ia mengenakan baju kuning gading, senada warna celana. Ikat pinggangnya berwarna putih susu dan dibalik punggung tersisip sebilah pedang bersarung indah. Pemuda itu juga memakai kalung benang hitam dengan bandul mirip taring macan. Rambut gondrongnya dibiarkan terurai, melambai-lambai tertiup angin pantai. Ia memakai ikat kepala berwarna merah tanpa corak.

"Aduh, Nyai, kenapa wajahmu kau tutupi?" Pemuda berpakaian perlente yang tadi melantunkan syair. Kini, berdiri tegak menatap gadis di hadapannya.

Merasa tidak mengenal si pemuda, Linara mengernyitkan alis. "Eh? Kau siapa?"

"Sanjaya, namaku Sanjaya Natawijaya."

"Oh."

"Oh?"

Linara menatap Sanjaya dengan heran. "Apa?"

"Namamu, Nyisanak?"

"Namaku?"

"Iya, siapa namamu? Masa iya nama paman nelayan di ujung sana." Sanjaya menggerakkan kepala, memandang seorang pelayan tua ringkih di sebelah utara.

Linara tertawa rendah.

"Malah tertawa," rajuk Sanjaya, dibuat-buat.

"Linara, namaku Linara."

"Ah! Nama yang indah."

"Namamu juga bagus." Linara balas memuji.

"Eh! Nyai, kau ini muda-muda sudah pikun. Namaku Sanjaya ... Sanjaya Natawijaya, bukan Bagus. Aih ... aih." Sanjaya menepuk jidat keras-keras. Ia memang pandai membuat lelucon. Namun, tak jarang pula bertindak seperti orang pilon. Kadang kala, malah membuat orang jadi mendongkol.

Kali ini, Linara merengut. Ia mengeluarkan suara gumam gerutuan.

Sanjaya tertawa terkikik. Meski tidak dapat melihat bagaimana paras gadis di depannya, ia sangat yakin gadis itu tengah cemberut. Memang tidak salah ia menebak. Di balik secarik kain, bibir si gadis mengerucut gemas.

Menghentikan tawa, Sanjaya tiba-tiba menjentikkan jari di udara. "Oh, Nyai, omong-omong kau mau ke mana, eh?"

"Pulau Wiguna," jawab Linara cepat.

"Oh jauhnya!" Sanjaya membuka mulut lebar-lebar. "Eh ... eh, tapi kebetulan aku juga mau ke sana. Bagaimana kalau kita melakukan perjalanan bersama. Kau menjadi potretku selama dalam perjalanan. Bagaimana ... bagaimana, huh?"

"Potret?"

"Benar! Aku ini seorang seniman hebat termasyhur. Malang melintang di rimba raya dan sudah menciptakan banyak mahakarya luar biasa." Sanjaya membusungkan dada. Mengagungkan diri sendiri dengan sangat berlebihan. "Aku ini bisa membuat puisi, membuat hikayat, membuat kaligrafi, dan juga melukis. Nah, kau jadilah potret lukisanku dan nanti aku bayar. Pekerjaan yang mudah, bukan? Kau hanya perlu berperaga, kemudian mendapat uang banyak. Bagaimana?"

Linara menimang-nimang beberapa lama. 'Lumayan juga jika mendapat uang. Hitung-hitung buat biaya perjalanan.' Karena baik Lendra, Ki Adiluhung, atau Nini Sulastri, tidak ada yang membekalinya uang. Ia hanya membawa beberapa potong pakaian dan sebuah jubah bertudung yang kini dikenakan. Lantaran berpikiran demikian, sejurus kemudian ia pun mengangguk menerima tawaran.

Usai berjabat tangan sebagai kesepakatan. Sanjaya mengajak Linara ke dermaga. Pemuda berprofesi sebagai seniman yang suka mengembara itu membayar ongkos. Ia lantas memilih tempat di geladak dekat buritan. Berdiri di sisi langkan, menikmati semilir angin laut.

Ternyata, Sanjaya tidaklah sendirian. Ia ditemani oleh dua orang pembantu yang membawakan beragam peralatan, termasuk di antaranya: kanvas, kuas, cat pewarna, dan beragam peralatan seni lainnya.

Sesaat sebelum matahari tenggelam, kapal berlayar mengarungi lautan. Pemandangan menjadi sangat menakjubkan. Panorama cakrawala di ufuk barat menguning kemerahan, mengagumkan. Sinar lembut sang baskara memancarkan kemilau jingga memesona. Air laut berubah keemas-emasan, menggelimantangkan riak-riak berkilauan.

Dengan latar matahari tenggelam, Linara menjalani pekerjaan pertama. Berdiri kaku tak bergerak sebagai potret. Kedua tangannya memegang pagar langkan, menoleh sisi kanan. Di belakangnya, burung-burung camar beterbangan.

Air laut cukup tenang, sehingga tidak ada guncangan-guncangan keras. Ketika matahari tenggelam, Sanjaya telah menyelesaikan lukisannya. Menjelang malam, angin terasa lebih dingin menghujam. Ketika larut mulai menyambang, dingin mencucuk sampai ke sumsum tulang.

<>

Di angkasa, langit bertabur bintang, rembulan bersinar terang. Di bawah keremangan sang dewi malam, tampak sebuah kapal berbentuk aneh. Bendera berwarna hitam yang berkibar-kibar robek-robek, bergambar tengkorak merah. Semua awaknya berkulit hitam umpama arang, mengeluarkan liur menjijikkan. Pakaian mereka semua compang-camping.

Kapal dinakhodai seorang pria berjanggut lebat dan tebal. Ia memakai topi kulit dengan lambang tengkorak merah. Satu tangannya puntung, disambung oleh tangan palsu alumunium yang memiliki pengait mirip kail di ujung. Kedua bagian mata yang seharusnya putih (sklera), berwarna merah laksana darah.

Perompak Tengkorak Merah, adalah mala dari segala bencana dan celaka. Tiap kali muncul menampakkan diri, pasti membawa tragedi. Kapal mana pun yang tidak sengaja berpapasan pasti mendapat malang melintang.

Tidak pernah ada kapal yang selamat dari Perompak Tengkorak Merah. Kapal yang tidak sengaja berpapasan atau bertemu dengan perompak pembawa bahala dan petaka ini, pasti menemui nasib nahas mengenaskan. Para awak serta penumpang lelaki akan didapati mati dengan tubuh koyak dan organ dalam tercecer berbusaian. Para penumpang perempuan akan didapati tak bernyawa lebih menyayat jiwa. Mereka mati dalam kondisi tanpa pakaian. Bibir, dada, serta bagian kewanitaan terkoyak mengerikan.

Perompak Tengkorak Merah biasanya menyisakan satu dua orang hidup untuk menceritakan keganasan aksi keji mereka. Namun, orang-orang yang dibiarkan hidup itu rata-rata mengalami gangguan jiwa, berotak miring. Tekanan dan kengerian telah membuat jiwa orang yang dibiarkan hidup itu menjadi rusak. Gila. Sekalipun ada yang tidak sinting, ia menjadi bisu kaku seumur hidup. Hal ini menyebabkan berita prahara Perompak Tengkorak Merah menjadi momok paling menakutkan di rimba segara.

~

"G-gawat! Kita bertemu Perompak Tengkorak Merah!" teriak salah satu awak kapal yang mengangkut Linara dan Sanjaya.

Ibarat mendengar gelegar guntur di siang mentereng. Mendadak, semua orang menjadi panik dan terkejut, ribut kalang-kabut. Paras mereka diliputi kegelisahan dan ketakutan yang luar biasa mencekam. Beberapa ada yang langsung menyiapkan senjata, lainnya lagi duduk berlutut gemetaran.

Seakan alam ikut terpengaruh atau mungkin mewartakan pertanda datangnya malapetaka. Langit tiba-tiba mengelam, awam hitam bergulung-gulung menyerbu datang. Bintang dan rembulan menghilang perlahan. Serta-merta, angin pun bertiup kencang. Ombak bergolak-golak bergejolak.

Di sekitar kapal, tiba-tiba muncul ratusan ikan besar-besar bergerigi tajam berwarna hitam. Sirip-siripnya menyembul di permukaan. Mata ikan-ikan aneh itu berwarna merah menyala laksana pijar bara.

"Oh, Yang Maha Kuasa, matilah aku," jerit salah seorang penumpang perempuan. Duduk berlutut menjambak rambut. Ia menangis pilu tersedu-sedu.

"Putriku masih kecil ... putriku masih kecil," ratap salah satu awak. Tubuhnya melorot, menyandar di dekat anjungan. Rambut panjangnya berkibar awut-awutan, diterpa angin kencang.

"Aku tidak mau tubuhku di nodai mereka. Bulan depan ... aku akan menikah." Seorang gadis *raraha jelita berderai air mata. Namun, tiba-tiba kedua matanya yang berair menjadi ganas beringas. Sekonyong-konyong ia menjerit melengking. "Lebih baik aku mati saja!"

*Raraha: gadis yang telah mencapai usia untuk menikah.

Begitu usai mengucap, gadis itu nekat melompat. Bunyi jebur nyaring menguar. Hal mengerikan mencucuk semua mata yang menyaksikan. Begitu tubuh si gadis tercebur, ikan-ikan besar bergigi tajam langsung menghambur. Darah larut mencampur bersama air laut, tubuh si gadis terpotong-potong, lumat dimangsa ikan.

"Sebenarnya ... apa yang sedang terjadi?" Linara menoleh pada pemuda di sisinya.

Sanjaya tidak buru-buru menjawab. Ia menyeka keringat di kening dan wajah yang pucat pasi. Memandang ke arah kapal berbendera tengkorak merah, pria yang suka bersyair itu menelan ludah. Pelan, ia menggumam. "Kematian ... kita benar-benar dalam malapetaka besar."

Linara merasakan hawa dingin menyusup, menyelusup ke tengkuk. Seketika tubuhnya meremang tidak karuan. Ia menengadah, memandang langit. Awan hitam menipis, perlahan-lahan sang rembulan kembali kelihatan. Hanya saja, warnanya tidak lagi keperakan, melainkan kemerah-merahan.

Di saat yang sama, terdengar suara tawa bergelak. Nyaring menggetarkan gendang telinga, menggentarkan jiwa. Itulah suara tawa Dursila, Kapten Perompak Tengkorak Merah. Pria buruk rupa, buruk sila. Bejat. Suka membunuh, merampok, dan merusak kehormatan wanita.

_______

Bersambung ....

_______

Next chapter