webnovel

Terima Kasih

George mendengarkan ucapan Ibu Alesha dengan penuh perhatian, dalam hati dia memuji wanita yang ada didepannya itu karena begitu bijaksana. Dia menjadi teringat Ibunya, terbayang wajah dingin Ibunya ketika dia meminta restu untuk mencintai Alesha. Seandainya Ibundanya juga bisa bersikap sama. Hatinya menjadi sedih, Dia lalu mendesah dan desahan itu pun disadari oleh Ibu Alesha.

"Apakah perkataan saya barusan menyinggungmu nak George?" tanya Ibu Alesha.

" Oh..a..tidak Bu, justru saya sangat senang karena Ibu begitu bijaksana".

Ibu Alesha tersipu mendengar pujian George, "Ah nak George bisa saja, saya hanya berusaha mengatakan apa yang ada dipikiran saya, iya kan Pa?" Ucapnya sambil melirik suaminya, sang suami pun hanya mengangguk tanda setuju.

George menghela napas lalu menatap kedua orang tua Alesha dengan tatapan penuh harap.

"Saya sangat mencintai Alesha dan ingin menikah dengannya. Saya sangat berharap mendapatkan restu Bapak dan Ibu, tapi jika saya belum bisa mendapatkan hal itu, maka saya siap menunggu sampai Bapak dan Ibu memberikan restu itu".

Ibu Alesha menjadi tidak enak hati, betapa tidak Pangeran inggris malang ini sudah jauh-jauh datang ke indonesia hanya untuk melamar putrinya tetapi mereka tidak memberikan jawaban yang dia inginkan. Dia lalu meremas tangan suaminya sebagai tanda memintanya untuk berkata sesuatu. Pak Irawan kemudian berdehem kecil sambil memperbaiki posisi duduknya lalu menatap George dengan serius.

"Kalau Nak George memang bersungguh-sungguh, maka kami pun dengan senang hati akan menerima lamarannya". ucapnya sambil tersenyum.

Mendengar hal itu, George merasa bagaikan mendapatkan semua kebahagiaan di dunia. Matanya sampai berkaca-kaca.

" Oh, terima kasih Pak, saya sangat bahagia mendengarnya. Saya akan membahagiakan Alesha, saya berjanji". Ucapnya sambil bangkit dan menjabat lalu mencium tangan orang tua Alesha satu persatu. Ibu Alesha sampai meneteskan air mata karena sangat bahagia. Kemudian mereka pun melanjutkan pembicaraan.

Orang tua Alesha juga menanyakan akan seperti apa pernikahan mereka nanti tapi karena misi George sudah tercapai yaitu mendapatkan restu sudah berhasil, sehingga menyangkut rencana selanjutnya dia akan berdiskusi dulu dengan Alesha. Itu yang dikatakan George kepada kedua orang tua kekasihnya itu karena memang dia belum mau memikirkan hal itu. Prioritas utamanya adalah untuk menyelamatkan calon istrinya dari sekapan mafia itu dulu. Orang tua Alesha pun mengangguk setuju, sampai akhirnya George pamit untuk pulang.

Seakan separuh beban hati George sudah terangkat, dia bersyukur orang tua Alesha telah merestui dan menerima lamarannya untuk Alesha. Kini misi kedua pun George sangat berharap akan berhasil tanpa adanya bentrok dengan Jimmy. Dia lalu kembali ke hotel untuk merencanakan penyelamatan Alesha.

Sementara itu, Alesha masih terkurung dalam kamar. Matanya yang sembab sedikit bengkak akibat menangis melihat kesana kemari mencari sesuatu, tapi yang dilihatnya adalah hanya dinding tanpa ada jendela. Hanya ada beberapa fentilasi kecil seukuran telapak tangan yang ada di sudut bagian atas dinding kamar. Ruangan itu lebih tampak seperti gudang dibandingkan kamar, untungnya masih ada toilet dan kasur yang lumayan nyaman.

'Aku tidak akan bisa keluar lagi dari tempat ini, George tolong aku...!' jerit hati Alesha. Dia sangat frustrasi dengan kondisinya. Entah sampai kapan Jimmy akan menyekapnya di tempat ini, siapa yang akan datang menolongnya. Dia Sangat sedih, kecewa dan menyesal atas semua kejadian yang sedang menimpanya. Orang yang selama ini dianggapnya sebagai sahabat, ternyata tega memperlakukannya seperti ini. Rasa penyesalan itu semakin membuat perasaan Alesha berkecamuk. Air matanya pun mengalir deras membasahi pipinya yang masih basah karena air mata yang belum mengering. Suara tangis yang awalnya terdengar hanya isakan lirih kini berubah menjadi suara rintihan yang menyayat hati.

Alesha meluapkan seluruh kesedihan hatinya cukup lama, sampai air matanya kering. Setelah menenangkan perasaannya, dia pun masuk ke toilet dan membasuh wajahnya. Hanya terlihat wajah muram yang ada di dalam pantulan cermin, lenyap sudah wajah dan mata polos cerianya yang tersisa hanya tatapan sendu bagai rembulan yang kehilangan cahaya oleh pekatnya awan hitam. Sungguh sangat menyedihkan.

Tapi tiba-tiba tatapan mata yang sedih itu berubah membulat seperti biasa. Alesha lalu buru-buru keluar dari toilet dan duduk di sisi pembaringan dan terlihat memikirkan sesuatu. "Aku tidak boleh menyerah, aku harus keluar dari tempat ini sebelum Jimmy membuktikan ancamannya. Aku tidak ingin orang tuaku terlibat dan mendapat masalah. Aku harus mencari cara untuk keluar dari sini". gumannya bersemangat.

Pintu kamar tiba-tiba terbuka, Jimmy masuk dengan membawa troli berisi beberapa makanan. Alesha menatap Jimmy dengan tatapan penuh kebencian. Tapi dia harus menguasai emosinya kalau ingin rencananya untuk kabur akan berhasil kali ini.

"Aku bawakan makanan untukmu sayang, makanlah". ucap Jimmy seraya menyajikan makanan di atas piring lalu menyerahkannya kepada Alesha.

Sebenarnya Alesha sama sekali tidak ada keinginan untuk makan sedikitpun, dia lebih ingin melemparkan makanan itu ke wajah Jimmy dan lari meninggalkan tempat itu. Tapi tentunya hal itu tidak mungkin dia lakukan sekarang, sehingga dia menerima makanan itu dan mulai memakannya tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Jimmy tersenyum puas. "Good girl" ucapnya sambil mengelus kepala Alesha lembut. Meski sangat muak, Alesha hanya membiarkan Jimmy menyentuh kepalanya. Gadis itu hanya bisa menahan amarahnya dalam hati. Tenang Alesha, ini bagian dari rencanamu. Tahanlah sedikit lagi. gumannya membatin.

Alesha melirik Jimmy yang sedang menatapnya menyantap makanan dengan penuh minat. Dia ingin sekali menghajar wajah jahat itu, dia tidak pernah menyangka sedikitpun kalau Jimmy akan sejahat ini.

"Kenapa?" Tanyanya sambil terus mengunyah makanannya dengan sangat pelan. Jimmy mengangkat alisnya. "Kenapa apanya sayang?" tanya Jimmy sambil mendekat dan duduk di samping Alesha tetapi gadis itu malah bergeser menjauhi Jimmy.

"Kenapa kau memperlakukan aku seperti ini? Apakah selama ini sikap baikmu hanya pura-pura? Apakah ketulusan yang kurasakan darimu selama ini hanyalah supaya aku bisa terpedaya olehmu? Selama ini aku menganggapmu sahabat bahkan saudara yang bisa aku andalkan yang akan siap menolongku disaat aku butuhkan, tapi ternyata aku salah. Aku sangat bodoh karena sudah mempercayaimu sedemikian dalam sehingga apapun yang orang katakan tentang keburukanmu tidak pernah kupedulikan. Dan akhirnya ini yang kuperoleh dari kebodohanku. Aku sangat kecewa padamu Jimmy". ucapnya dengan wajah yang sangat datar. Hatinya sangat hancur tapi dia berusaha untuk menyembunyikannya. dia tidak akan menangis lagi kebodohannya. Satu-satunya hal yang ada dipikirannya saat ini adalah secepatnya lolos dari sekapan Jimmy.

Mendengar itu hati Jimmy sangat terluka, dia begitu mencintai gadis yang ada di hadapannya itu. Dia bersedia melakukan apapun asalkan dia bisa bersamanya, semua yang dia telah capai selama ini terasa tidak berharga lagi melihat sikap dingin Alesha terhadapnya. Terlebih lagi karena gadis itu tidak membalas perasaannya, hilang sudah semua sikap manis dan manja Alesha terhadapnya yang selama ini selalu membuatnya merasa hidup dan sangat bahagia sehingga menimbulkan perasaan posesif terhadap Alesha. Dia ingin memilikinya.

Jimmy perlahan mendekati Alesha dan menggenggam tangannya. Dia menatap gadis itu dengan penuh cinta. Lalu mengangkat tangan ingin membelai rambut Alesha yang indah tapi tertahan karena gadis itu menepis tangannya. Sehingga Jimmy hanya bisa menelan kesedihannya.

"Kau tidak tahu betapa besar rasa sayangku terhadapmu Alesha, aku rela melakukan apapun demi bersamamu. Aku tidak peduli yang lain, aku hanya mencintaimu dan ingin bersamamu". Ucapnya dengan penuh permohonan. Matanya sampai berkaca-kaca. Tapi tentu saja Alesha sama sekali tidak terpengaruh, rasa kecewa terhadap kebohongan Jimmy telah menutupi jiwa kasihnya. Tidak ada tempat sedikitpun untuk Jimmy dihatinya lagi. Semua perasaan sayang dan kepercayaannya terhadap pria itu telah hangus tanpa sisa dan hanya kebencian yang menggantikannya. Ekspresi Alesha tidak berubah, wajah dinginnya bagaikan benteng es kokoh ditengah hamparan salju, tidak ada sedikitpun kehangatan. Dia hanya terdiam dan ingin secepatnya menghilang dari tempat itu.

"Aku ingin jalan-jalan keluar melihat pemandangan" ucap Alesha memulai aksinya. Jimmy mengerutkan kening lalu tersenyum sinis. 'sial, jangan sampai dia curiga' batin Alesha.

"Kau bisa menemaniku atau menyuruh pengawalmu untuk mengawasiku kalau kau curiga aku akan kabur" ucap Alesha tanpa menatap Jimmy sedikitpun. Dia tidak ingin pria itu membaca pikirannya.

"Kau begitu cepat bisa mengetahui isi hatiku Alesha, tapi baiklah kita akan berangkat nanti sore".

"Tapi aku maunya pergi sekarang"

"Kau begitu tidak sabaran rupanya, nanti sore kita akan berangkat oke? sekarang istirahatlah karena kau akan membutuhkan tenaga untuk melihat-lihat pemandangan kan?" ucap Jimmy sambil melangkah keluar kamar.

Wajah Alesha berubah kelam seketika. Tangannya mengepal dan memukul bantal yang ada di pangkuannya.

"Dasar bajingan, aku harus berhasil kali ini".

"

Next chapter