Usia baru 20 tahun. Cita - cita setinggi gunung. Tapi benar - benar celakah bagi Wendy, jelang pendaftaran ke sebuah Universitas Seni di Seoul, semua uangnya musnah ditangan pencopet di bandara Incheon tepat kedatangannya dari Indonesia. Copet memang benar tidak tahu batas negara. Masih mujur bagi Wendy, dalam kekalutan karena tidak mempunyai apapun, ia kenal dengan sebuah cafe bernama Siesta. Dari Siesta ini pulalah ia mulai kembali merangkai patahan cita - citanya, juga cintanya kepada salah satu pegawai Siesta, Min woo. However, Wendy harus rela menjadi pacar kontrak dari Chen, seorang CEO terkenal & nomer 1 di Korea Selatan. Tetapi justru dari sinilah ia menghadapi ribuan badai, ketakutan, ancaman hingga pengalaman menakjubkan dalam hidupnya yang masih muda. Bagaimanakah keseharian Wendy dalam menjalani kehidupannya di Seoul tanpa uang & tanpa orang terdekat??? Mampukah Wendy menjadi pacar kontrak Chen selama 4 bulan dari sekarang???? Ikuti terus ceritanya :) Semoga suka & Happy Reading")
Seperti malam - malam sebelumnya, tempat itu pasti akan ramai pada pukul lima sore oleh sekolompok orang pembeli yang dijuluki Cafè Siesta. Bangunan itu tidak lebih luas dari lima puluh meter persegi dan tingginya pun hanya empat meter.
Jika orang kalangan atas pergi ke Bar untuk bersenang - senang, maka untuk mereka yang berada dikalangan menengah & kebawah akan melakukan hal sama di Cafè tua itu.
Jika menengok tiga tahun terakhir ketika pertama kali dibuka, Cafè itu kini terlihat lebih hidup dengan adanya peralatan dj, seperti turntable, media player, vinyl, mixer dan lainnya yang baru dibeli dari toko serba ada di sisi kota.
Tempat itu dikatakan polos karena tidak ada bar & obat - obatan terlarang. Pada dasarnya mereka berkumpul ditempat itu hanya untuk menyalurkan lelah, sukaduka & rindu.
Wendy, gadis berusia 21 tahun yang kini sedang sibuk menuang kopi kedalam beberapa cangkir, awalnya tidak pernah menyangka bahwa ia akan menjadi salah satu pegawai dari Siesta.
Setahun yang lalu, saat ia berada di Jakarta saat sehari setelah kelulusan SMA, tiba - tiba dicetuskan keinginannya untuk meneruskan sekolahnya di Universitas khusus kesenian di Seoul.
Ayah Ibunya yang sempat melarang keinginannya tersebut, namun setelah yang ketiga kalinya ia memenangkan kontes seni lukis, akhirnya ayah ibunya mulai berpikir bahwa tidak ada yang perlu diragukan lagi dengan bakat lukis Wendy. Dan tiga hari setelah itu, ia berangkat ke Seoul.
Saat pertama kalinya menginjakkan kaki di Seoul, yang ada dibenaknya saat itu hanyalaj bahwa ia akan dengan mudah membangun kehidupan baru di Seoul.
Namun siapa sangka, jika jalur yang sudah ia gariskan ternyata harus berbelok arah, ia tampaknya tak pernah mengira bahwa menyimpan dompet di celana jeansnya adalah sesuatu yang sangat menyenangkan bagi pencopet.
Setelah menyadari apa yang paling menjamin hidupnya hilang, ia langsung merasa terpuruk. Uang hasil tabungannya & pemberian dari orangtuannya, lenyap begitu saja.
Walaupun ia berasal dari keluarga terpandang tapi ia merasa tidak ingin tergantung kepada orang tuannya.
Saat itu, ia pun hanya bisa berjalan tersaruk - saruk menyusuri jalanan di Seoul. Ia buta arah & tujuan. Pikirannya saat itu melayang.
Ia merindukan orangtuannya di Jakarta, namun juga terlalu takut untuk mengecewakan & membebani orangtuannya jika bertemu dengan mereka.
Jadi yang ia pikirkan saat itu adalah bagaimana caranya ia bisa menemukan penginapan gratis, meskipun itu sulit.
Wendy terus berjalan dan berjalan hingga akhirnya ia menemukan suatu tempat dimana ia bisa bekerja & menginap dengan gratis.
Ia mungkin tidak ada salahnya jika mengunjungi tempat itu untuk sekedar melamarkan diri kepada seorang wanita paruh baya yang merupakan pemilik Cafè itu yang kebetulan sedang menerima pekerja tambahan.
Dan saat itulah Wendy mulai menjadi pekerja di Siesta, hingga saat ini ia bisa mulai menabung lagi dari awal karena ia sekarang sudah menjadi manajer dari Siesta setelah ia dipercaya oleh pemilik Siesta untuk menjaga & meneruskan usaha Cafè Siesta.
Di Siesta jugalah ia mendapat tempat tidur ataupun semacam kamar sendiri untuk dirinya tinggali secara bebas & itupun gratis.
"Kamu sudah dari tadi?"
Wendy mengangkat kepalanya ketika suara Min woo, kekasihnya terdengar ditelingannya. Lalu Wendy menatap kelasihnya itu dan mendesah
" Ya, begitulah".
Melihat Wendy mendesah & sedikit tidak semangat, Min woo pun akhirnya bertanya
" Kenapa kamu terlihat begitu tidak semangat hari ini?"
Wendy pun menjawabnya dengan dengan muka kecewa
" Kamu tahu sendiri kan, mulai besok aku harus memulai kuliahku di kota!. Lantas mengapa kamu malah terlihat biasa saja bahkan sangat senang saat kita akan berpisah besok dan akan bertemu lagi saat akhir pekan itupun jika aku ada waktu untuk pulang kesini."
Mendengar keluhan dari kekasihnya, Min woo mau tidak mau harus tetap tegar walaupun yang dikatakan Wendy sedikit menyinggung hatinya.
Benar jika ekspresi Min woo dari pertama memang biasa saja tapi jauh dilubuk hatinya ia merasa sangat sedih karena harus berpisah dengan Wendy.
Yang bisa ia lakukan hanyalah menarik tangan Wendy & didekapnya tubuh Wendy untuk menenangkan kesedihan yang Wendy rasakan.
Keesokan harinya...
Saat Wendy bersiap untuk berangkat ke kota dengan menaiki bus umum. Tak sengaja didepan halte tempatnya berhentian bus umum, ada sebuah botol kaleng yang berisi sedikit air minum melayang & jatuh mengenai kepala Wendy.
Air yang berada di dalam botol kaleng tersebut tumpah tepat diatas kepala Wendy. Ternyata kaleng tersebut berasal dari sebuah mobil limosin hitam didepannya.
Dengan amarah yang besar, tanpa berpikir panjang Wendy langsung saja mengetuk pintu kaca mobil itu dan dilihatnya seorang sopir yang ketakutan & berkata
"Maafkan Majikan saya, Nona. Ia tidak sengaja melempar kaleng itu ke kepala, Nona."
Sebelum Wendy menjawab, tiba - tiba terdengarlah seorang laki - laki dari kursi penumpang dengan dingin berkata
" Paman Li, Kenapa kamu repot - repot meminta maaf kepada Nona ini?. Salah sendiri, ia berdiri membelakangi tempat sampah yang ada di sana." sambil mengacungkan tempat sampah yang berada dibelakang Wendy.
Dengan cepat Wendy menjawab
" Maaf?. Anda bilang ini salah saya. Oh ya tuhan yang benar saja"