Percobaan pemerkosaan yang dilakukan oleh si bejat Denis ternyata mengubah Wenda secara total. Setiap malam dia selalu terkejut dan panik, dia bilang dia bermimpi tentang kejadian buruk tersebut hingga dia tak berani untuk tidur lagi.
Ada pun juga peristiwa tersebut mempengaruhi kehidupan pernikahan kami. Wenda selalu menjerit histeris setiap dia disentuh oleh seorang pria dan itu berlaku juga untukku.
Saat melihat Wenda seperti itu, aku jadi teringat perkataan dokter Yuni saat aku membawa dia untuk memeriksa Wenda di rumah. "Tuan Axton, peristiwa percobaan pemerkosaan terhadap istri anda telah membuat Nyonya Wenda trauma sehingga dia tak bisa membedakan kenyataan dan halusinasi. Jika dia terus tertekan, maka ini akan berdampak juga bagi keselamatan janin di dalam kandungan Nyonya Wenda."
"Lalu saya harus apa dok?" tanyaku.
"Cobalah untuk menjauhinya Tuan Axton, biarkan dia tenang agar dia melupakan kenangan buruk itu." jawab Yuni lugas.
"Tapi dia akan sembuh, 'kan dok?" Aku bisa melihat sinar matanya meredup namun kemudian dia membuang napas kasar.
"Itu tergantung Tuan, tapi ayo kita berharap bahwa Nyonya Wenda bisa terlepas dari trauma yang dialaminya saat ini." Aku terpukul mendengar ucapan dokter Yuni dan yang bisa aku lakukan sekarang demi kesembuhan Wenda hanyalah memantaunya dari kejauhan, tak boleh mendekat apalagi menyentuhnya.
Demi kesembuhan Wenda juga, aku menyuruh untuk beberapa pelayan lelaki kembali ke rumahku yang ada di kota besar dan menyisakan beberapa pelayan perempuan. Kalau untuk berkomunikasi, Wenda dan aku sering berhubungan lewat telepon.
Teleponku berdering saat aku sedang melihat istriku tengah berkerja di halaman depan membantu beberapa pelayan yang menanam bunga. "Halo," ucapku langsung mengangkat dan tak sama sekali memandang layar ponselku.
"Halo Tuan," balas Cody.
"Kami sudah menemukan Nona Dewi, dia mendengar berita kalau Ayah dan anak buahnya ditangkap dan dia ingin pergi ke luar kota untuk melarikan diri Tuan." Mendengar nama Dewi disebutkan, rahangku mengeras.
"Cegat dia! jangan sampai dia lolos dariku!" perintahku dengan nada dingin.
"Baik Tuan." jawab Cody.
"Bawa dia ke tempat yang ditentukan olehku, aku ingin membalas semua perbuatannya pada Wendaku," kataku dengan nada dingin.
"Ba-baik Tuan." sahut Cody gugup. Segera aku menutup telepon dan menelpon Wenda.
"Halo," kata Wenda padaku.
"Wenda, aku ingin pergi dulu." pintaku padanya.
"Kau mau kemana? Kalau kau tak ada di sini bagaimana kalau mereka datang lagi dan.."
"Tak ada yang perlu kau khawatirkan Wenda, di sini ada dua orang penjaga di luar gerbang dan Ranti yang menjagamu lagi pula mereka mendekam di penjara sekarang!" balasku dengan intonasi nada tinggi, kesal karena Wenda terlalu khawatir.
Aku kemudian sadar karena baru saja membentak Wenda untuk pertama kalinya. Tak ada respon sama sekali dari Wenda yang membuatku merasa bersalah "Wenda, maafkan aku.. aku.."
"Tak apa-apa aku mengerti, cepatlah pulang." Dia menutup telepon setelah memotong perkataanku. Aku melenguh sambil memijit pangkal hidung, aku akan bereskan masalah ini setelah aku menyelesaikan urusanku dengan Dewi.
ππππ
Aku keluar dari mobil dan berjalan menghampiri beberapa orang tetapi kedua mataku menatap Dewi dengan tatapan menusuk. Aku bisa melihat tubuhnya gemetaran ketakutan, apa dia saat ini tengah takut?
"Akhirnya aku bisa bertemu denganmu Nona Dewi.." aku merendahkan tubuhku dan mencengkram kedua pipinya dengan salah satu tanganku, mengangkatnya kasar agar dia menatapku.
"Apa kau tahu kenapa kau ada di sini?" tanyaku. Dewi mengangguk dalam cengkaramanku, tindakannya sukses menaikkan sudut bibirku.
"Tu-tuan tolong.." aku menghempaskan wajah wanita jalang itu secara kasar dan berdiri sambil menaikkan daguku.
"Kau tak pantas untuk ditolong! Karena kau Wenda trauma berat!? Dia tak bisa tidur atau disentuh olehku! Kau seorang wanita juga, 'kan jika kau berada di posisi Wenda saat itu apa yang akan kau lakukan?!" bentakku padanya yang hanya bisa dia balas dengan ucapan maaf.
Aku muak dengan aktingnya. Dengan cepat, aku mengambil salah satu pistol bodyguard dan menodongkannya pada Dewi. "Dasar wanita yang tak berperasaan! Lebih baik kau mati saja!" Suasana menjadi tegang ketika menunggu apa yang selanjutnya dilakukan olehku.
Tak ada satu pun orang yang menghalangiku untuk membunuh Dewi dan disaat itu juga aku mendapat akal sehatku untuk tak membunuh dia. Tanganku mencari tempat aman dan melontarkan peluru di pistol tersebut.
Aku bisa mendengar semua yang berada disekitarku bernapas lega. "Lepaskan dia!" perintahku pada bodyguard di sampingnya. Raut wajah Dewi terlihat senang, dia hampir saja mengucapkan terima kasih jika aku tak memotongnya duluan, "Pergilah!" perintahku.
Dia terdiam beberapa saat, "Pergilah sebelum aku berubah pikiran sekali lagi. Cepatlah!" Tanpa membuang waktu Dewi pergi meninggalkan kami.
Aku sadar bahwa membunuhnya tak akan mengurangi masalah malah menambah beban saja. Kalau pun aku membunuhnya, aku sama saja dengan dia bukan. Aku kembali ke rumah, begitu masuk aku mendapat telepon dari Wenda.
"Halo Wenda," ucapku setelah mengangkatnya.
"Apa kau sudah pulang?" tanyanya.
"Aku mendengar suara mesin mobil dari sini," lanjut Wenda.
"Ya, aku pulang." jawabku sambil keluar dari mobil. Kami beberapa saat diam dan aku bisa mendengar suara napasnya yang teratur dari balik telepon.
"Axton, aku menyesal." ucap Wenda tiba-tiba.
"Karena aku, kau harus menderita dengan menjauhiku. Aku merasa aku bukan istrimu yang baik," aku bisa mendengar dia terisak.
"Tak apa-apa, aku mengerti. Kita akan mencari solusi tentang permasalahan ini, bersama-sama." balasku. Aku yang awalnya memandang ke bawah mengangkat kepalaku agar menatap jalan namun aku tertegun melihat Wenda memandangku dengan memegang ponselnya yang dia letakkan di telinganya. Dia berdiri tak jauh dariku.
"Maafkan aku, telah membuatmu sedih dan kesal Axton, aku sadar sekarang bahwa aku bukan istri yang baik untukmu tapi kau terus dengan sabar mau menungguku. Terima kasih karena sudah mencintaiku, cintamu padaku membuatku sempurna.." dia berkata seperti itu sambil mendekatiku.
Matanya tak lepas dariku begitu pun aku tak bisa melepas pandanganku darinya. Aku terkejut saat merasakan sebuah pelukan hangat dari Wenda. "Aku mencintaimu, Axton." Aku kembali tertegun dengan ungkapannya. Rasanya sama seperti pertama kalinya saat dia mengatakan ketiga kalimat itu padaku untuk pertama kali.
Aku membalas pelukannya sambil sesekali menghapus air mata yang berada di sudut mataku. Aku bahagia dia bisa memelukku sekarang begitu juga aku, mencium aroma tubuh Wenda dengan dekat dan lain-lain yang bisa aku lakukan saat aku memeluk tubuh mungilnya.
Dia mundur tanpa melepas pelukannya. Kami sama-sama mengumbar senyum getir dan menatap lekat satu sama lain. "Apa ingatanmu tentang kejadian itu.." Dia buru-buru memotong ucapanku dengan gelengan.
"Tapi aku mencoba menghilangkan ingatan itu demi kau." Aku mengerti dengan ucapan Wenda, Wenda butuh banyak keberanian untuk datang menemuiku lalu memelukku.
"Apa kau sudah bisa aku sentuh?" tanyaku berhati-hati. Dia tersengih padaku.
"Bagaimana kalau kau mencobanya?" sahutnya menantangku. Aku diam namun kemudian aku mendekati wajahnya, menekan bibirnya dengan bibirku. Aku bisa merasakan pergerakan tubuhnya yang seakan terkejut tapi secara perlahan dia rileks menikmati ciuman kami.
Ciumanku turun merambat ke jenjang lehernya yang putih, mengecup dan memberikan tanda kemerahan di sana. Jujur, kegiatan yang kami lakukan benar-benar membuatku terangsang terlebih saat mendengar deru napas Wenda yang memburu.
Namun, aku berusaha mengendalikan diriku. Aku harus melakukan ini secara pelan-pelan agar Wenda bisa melupakan kejadian buruk yang menimpa dirinya. Dia mendesah kecewa saat aku mengangkat kepalaku, memberikan dia senyuman terbaikku dan kembali mengecup bibirnya yang menjadi canduku.
ππππ
Catatan Author :
Author di sini! Pertama-tama makasih karena sudah bantu author dalam ssnya. Author sudah ngerti cara pakainya salam peace dari Author ππ