Happy reading
---------------------
Bayangan muka mupengnya masih saja memenuhi otaknya. Astaga dia malu sekali. Bercinta dengan mayat, yang benar saja. Tapi tadi dia hampir saja melakukannya jika tidak ada deheman bercampur tawa geli dokter sialan itu. Jangan lupakan juga muka suster yang cengo melihatnya melakukan anarkis seksual di tempat umum. Astaga. Astaga. Astaga. Dia sungguh tak ada muka. Urat malunya sudah putus, mungkin.
"Kemarin kau membuatku gila. Sekarang kau membuatku malu. Akan ku balas kau nanti Jalang. Aku tidak akan membuatmu bisa berjalan selama seminggu." Janjinya pada diri sendiri.
"Orang bodoh." Celetuk orang yang berjalan berseberangan arah dengannya. Dia sedang melewati lorong rumah sakit.
Digo mendekatinya. Memberikan tatapan intimidasi yang biasanya dia lakukan dengan lawan bisnisnya−juga dengan jalangnya. Hah, kenapa dia masih etrbayang terus wajah jalangnya. Fix, dia butuh psikiater. "Siapa yang kau sebut bodoh, brengsek." Tantangnya berapi-api.
"tentu saja kau." Ucap orang itu takut-takut tak berani memandang wajah lawannya.
Digo menunjuk wajahnya. Telunjuknya teracung melewati hidung lawannya. "Kita bukanlah lawan yang sebanding. Kau memilih lawan yang salah."
"Aku tak pernah salah." Lawannya itu tetap tak mau mengalah walau sebenarnya Digo sendiri sudah bisa merasakan getaran suara ketakutannya. "Apa aku salah menyebutmu bodoh karena kau−" orang itu melihat Digo. Pandangannya menukik pada mata lelaki yang kembali menundukan kepalanya.
"Aku apa?"
"Berbicarasendiri." Satu detik. Kalimat itu terjun dalam satu detik. Rekor yang memuaskan.
Digo meraih rahang lelaki itu sementara rahangnya sendiri sudah mengeras. Dia menghantamkan kepalanya pada kening lelaki itu. Sebenarnya masalah yang menghampirinya mungkin akan berkurang jika dia memukul satu atau dua kali pipi mulus orang ini. Lorong yang berada di luar area rumah sakit ini juga sepi−mendukungnya untuk segera melancarkan aksinya. Dia mengeraskan kepalan tangannya. Buku-bukunya jemarnya sudah memutih. Lalu−
Dia hanya mendorongnya. Lelaki itu hanya mendorongnya membuat lelaki dengan kepala agak pelontos itu terjerembab ke lantai. "hei, dude perhilah. Sebelum aku berubah pikiran" usirnya.
Lelaki itu memandang ke kiri dan ke kanan lalu bangkit. Dia berlari terbirit-birit tanpa menoleh sekali pun ke belakang. Bahkan sesekali kakinya terkantuk pada lantai pembatas membuatnya mengumpat tapi dia seperti tak menghiraukan sakitnya. Digo yang melihat hal itu tertawa kecil. Lelaki itu begitu lucu. Dia tidak pernah mengajak atau memukul orang yang sama sekali tak sebanding dengannya, karena otomatis dia akan dengan mudah menumbangkannya.
Kecuali dengan lelaki brengsek yang mengaku-aku sebagai tunangan Gea−Si Jalang. Enak saja dia sekonyong-konyong mengklaim miliknya. Memangnya dia siapa. Maka dari itu dia melanggar sedikit prinsip hidupnya yang seharusnya dia junjung tinggi. Tapi demi Gea dia akan−
Kenapa nama itu seolah terpatri dalam relung hatinya. Tidak ini bukanlah cinta atau rasa apa pun yang sebanding dengan kata itu. Ini hanyalah sebuah. Sebuah? Dia tak mampu menjawabnya. Dia memungkiri hati kecilnya.
Dia terus berjalan di lorong rumah sakit itu dengan kepala penuh. Sedari kemarin dia belum makan atau pun mandi. Dia juga belum cuci muka. Pasti dia terlihat sangat buruk. Tapi saat dia melewati beberapa perawat wanita dan suster, mereka terus memelototinya seakan hendak melahapnya hidup-hidup. Mereka berusaha flirting dan Digo sama sekali tak akan tergoda, kecuali saat itu. Dia mematahkan egonya dan menyetubuhi sekretaris centil itu di meja kerjanya atau di sofanya. Dia begitu hapal tatkala bibir itu menyebut namanya. Suara erotis itu menjadi candu tersendiri baginya.
Mobil alphard itu terbuka. Di dalamnya ada sekantung atau mungkin tiga kantung tote bag dengan isi penuh. Dia membuka isinya. Satu kantung berisi pakaiannya. Kantung kedua berisi peralatan mandi. Dia bisa mandi cepat di rumah sakit yang terpenting keringat lengket ini tak terlalu membuatnya kesusahan. Terakhir kantung berisikan rantang makanan. Dia mengeceknya dan ternyata makanan restoran yang sangat menggiurkan. Melihat sedari kemarin makanan rumah sakit yang justru terlihat seperti makanan para narapidana tak membuatnya berselera. Dia hampir muntah saat salah satu suster menawarinya.
Tak sia-sia dia menelepon salah satu asisten kepercayaannya untuk membawakan semua ini.
Dia kembali masuk rumah sakit. Dia tak boleh meninggalkan gadis itu sendirian. Gadis itu tak punya siapa-siapa saat ini. Itu yang dia tahu karena saat dia tinggal di apartemen buruk gadis itu dia tak menemukan satu bingkai foto pun mengenai latar belakang keluarganya. Yang ada hanyalah muka mesumnya−yang terpajang di ruang tengah di meja dekat LCD TV−saat gadis bodoh itu justru mengabadikan wajah klimaksnya yang menurutnya justru terlihat memuakkan. Saat dia akan membuangnya gadis itu menahan tangannya dan berkata. "No. ini kenangan manis, mas jangan di buang. Kamu terlihat sangat sexy dan gagah jika menampilkan wajah begini." Dan setelahnya dia akan mendengus.
Sepertinya gadis itu memang terkena katarak. Mata minus atau penyakit mata lainnya. Sexy seperti apa jika wajah lelaki itu justru banyak dialiri peluh terutama di bagian pelipisnya. Matanya terpejam dengan lidah yang terus menjilati bibir bagian atas. Itu adalah pose terburuk saat dia di potret. Dan ini adalah perecehan tekstual yang pernah dia terima. Menyerangnya hingga dia uring-uringan. Astaga kenapa dia malah berpikir yang tidak penting begini.
Dia sampai di toilet terdekat. Segera dia memasukinya tanpa menunggu aba-aba. Digo bahkan sudah membuka bajunya sedari di luar kamar mandi itu. dia berdiri di depan cermin memperlihatkan dirinya yang setengah telanjang. Dia memerhatikan otot-ototnya sendiri. Lalu tersenyum. Tidak sia-sia dia sering berolah raga. kulitnya yang seperti wagyu bakar merupakan hasilnya selama dia surfing.
Hanya butuh waktu lima belas menit dia sudah menyelesaikan mandinya. Ternyata agak lama dari yang dia pikirkan. Dia harus menuntaskannya terlebih dahulu sebelum keluar. Tubuhnya kini terbalut kaus polo dengan celana jins yang membelit pinggangnya.
Dia membuka pintu kamar bernomor 209. Saat wajahnya melongok sempurna dia mendapati pemandangan yang mengusik dirinya. Tentengan plastik yang berisi makanan bahkan sudah meluncur jatuh namun tak mengagetkan orang-orang di sana. 'Begitu khidmat'. Seumur hidupnya dia hanya ingin menyakiti kedua orang itu. Tak peduli lelaki lemah−yang tidak sebanding dengannya atau wanita yang terbaring di ranjang rumah sakit.
.
.
Maaf banget untuk keterlambatan up nya. Aku baru nemu feel kali ini, soalnya file yg dulu ilang dan gak ke back up. Maaf cus. Janji, aku bakalan up setiap hari. tapi ga janji ya bakal panjang.
Love you
come back nih, sambut dong muehehehe