Mira sangat membenci atasannya Dika. Namun siapa sangka gadis itu malah dijodohkan dengan pria tersebut. Mira tidak bisa menolaknya karena kedua orang tua mereka berteman. Begitu pula dengan Dika, ia sudah dipaksa untuk menikah dengan seseorang di usianya yang hampir menginjak usia kepala tiga. Suatu hari, Dika diberikan alamat oleh Ibunya untuk berkencan buta. Begitu pula dengan Mira yang diminta seorang wanita untuk datang ke sebuah cafe, keduanya pun datang ke cafe tersebut. Betapa terkejutnya mereka jika yang mereka temui adalah orang yang selama ini bertengkar dengannya di tempat kerja. Mira dan Dika ingin membatalkan perjodohan itu. Namun tidak bisa.
"DASAR DIREKTUR GAK PUNYA HATI!!!" seru Mira ketika Dika pergi dari ruangan. Napas Mira terengah-engah, sahabatnya mengelus pelan punggung gadis itu agar tenang. Mira tidak terima pekerjaan yang ia selesaikan semalaman sampai ia sakit perut karena meminum enam gelas kopi itu hanya mendapatkan coretan besar dari atasannya. Apa-apaan ini?!
Bahkan pria itu baru satu menit memegang laporannya, dia mengembalikannya dengan keadaan coretan besar menggunakan sepidol merah. Bagaimana Mira tidak marah jika pekerjaannya diperlakukan seperti itu. Semua orang pun pasti akan murka jika mengalaminya.
Seli, sahabat Mira mencoba menenangkan gadis itu. Kalau sampai Mira bertindak, mungkin gadis itu akan dikeluarkan. Mira adalah juara karate tingkat kota saat masih sekolah, namun bakat bela dirinya itu tidak terpakai ketika ia sudah bekerja. Sudah lama gadis itu tidak mengeluarkan ilmu bela dirinya, sekalinya ia memukul orang mungkin orang tersebut akan koma paling lama dua hari. Ya syukur-syukur kalau bangun itu juga.
"Udah ih, Mira. Jangan galak-galak jadi orang," ucap Seli menenangkan gadis itu.
"Gimana gue gak kesel Sel, kerjaan gue cape-cape gue kerjain malah dicoret begini?!"
"Iya kan emang begitu dia mah orangnya. Kayak kagak tahu Pak Dika aja."
Mira menghembuskan napas berat. Ia menatap pintu ruangan dengan tatapan ingin membunuh. Awas lo ya, Pak. Gue bakalan balas! Batin gadis itu.
****
Dika duduk di kursinya, baru saja ia meletakan bokongnya di kursi seseorang datang ke ruangannya. Laki-laki itu menghembuskan napas berat. Orang yang datang ke ruangannya itu adalah Ibunya.
s Sang Ibu selalu menginginkan pria itu untuk segera menikah, namun Dika selalu menolaknya. Dirinya menganggap umur 27 tahun adalah muda, tapi berbeda dengan sang Ibu. Menurutnya anak semata wayangnya ini sudah siap untuk menikah. Beliau ingin anaknya cepat menikah dan memberikannya cucu.
Bagaimana mungkin anaknya ini belum juga mendapatkan jodoh, wajahnya sangat tampan, jabatan yang dimilikinya juga tinggi. Untuk kekayaan, tidak ada masalah karena koleksi kendaraan pria itu sudah menumpuk di rumah. Jadi, kurang apa lagi seorang Dika ini?
"Besok, kamu harus menemui calon istrimu di tempat ini," kata Gina memberikan Dika secarik kertas bertuliskan tempat pria itu akan bertemu dengan calon istrinya. Seperti yang selalu dilakukan wanita itu Dika selalu menjodoh-jodohkannya pada beberapa gadis pilihannya. Ini lah yang tidak di sukai oleh Dika. Ketika wanita itu datang ke kantornya, itu artinya wanita tersebut akan menjadi calon istrinya.
Dengan malas Dika mengambil kertas tersebut dan membaca alamat yang ada di sana. Tempat itu cukup jauh dari kantornya. "Bu, bisa gak sih Ibu gak ikut campur masalah pribadi saya?" tanya Dika yang sebenarnya malas membahas hal ini. Dirinya yang enjoy dengan kesendiriannya mendadak harus menjalani hidup berdua dengan sang pasangan. Itu sangat mengganggu untuk pria itu.
"Dikaaa, kamu kan sudah janji hanya akan melewati masa-masa sendirimu itu sampai umue 25 tahun. Tapi di umur 27 tahun kamu belum juga memperkenalkan calon istrimu pada saya, kamu tuh sudah di masa krisis untuk laki-laki yang belum menikah. Umur kamu sudah hampir berkepala 3. Kamu harus segera mencari pendamping hidup kamu agar kamu tidak kesepian di masa tua nanti."
Dika menghela napas panjang, masih tiga tahun lagi sebelum ia berusia kepala tiga. setiap kali ia memberontak tentang tuntutan tersebut, Ibunya selalu berkata seperti itu.
"Tapi, Bu. Aku senang sendiri seperti ini," kata Dika.
"Sampai kapan? Sampai akhir hidup kamu?" tanya Gina.
Dika terdiam, ia tidak bisa mengatakan apa pun lagi.
"Dika, saya hanya ingin melihat anak saya bahagia dengan pasangannya. Menikah, memiliki anak, hidup dengan damai bersama keluarga kecilnya, Ibu mau melihat anak Ibu seperti itu." Gina bangkit dari tempat duduknya, kemudian melihat ke arah jendela, pemandangan di luar sana sangat indah.
"Bukan anak laki-laki yang terus memikirkan tentang pekerjaannya saja dan lupa bahwa ada yang namanya 'cinta' di dunia ini," cibir wanita itu.
"Tapi, Bu, kalau kebahagiaan anak Ibu ini adalah kesendirian bagaimana?"
"Ibu tidak peduli. Pokoknya tahun ini juga kamu harus menikah!"
Mendengar hal itu ingin sekali Dika pergi dari sana, namun tidak bisa. Ia tidak bisa membantah orang tuanya.
Dika tahu sang Ibu melakukan hal ini untuk kebahagiaannya, namun wanita itu tidak mengerti bahwa kebahagiaan anaknya adalah menjalani kehidupan yang sedang ia jalani saat ini. Ia tidak mengerti.
"Pokoknya, Ibu tidak mau tahu. Kamu harus menemui gadis tersebut dan menikah dengannya. Sudah cukup waktu kamu untuk sendiri, kamu harus tumbuh dewasa dengan memiliki keluarga kecil yang akan kamu pimpin."Meskipun sang anak adalah Direktur utama di perusahaannya, namun Anne ingin melihat juwa pemimpin pria itu dari sudut yang lain. ia ingin melihat bagaimana sang anak menjadi pemimpin di sebuah keluarga,
"Iya, besok saya akan menemuinya."Mendengar kalimat barusan Anne sangat senang mendengarnya. "Tapi kalau saya tidak tertarik dengan gadis itu, saya tidak akan menikah dengannya," ucap Dika membuat kesepakatan dengan Gina. Wanita itu mengangguk setuju.
Dika melihat ke arah arlojinya, setengah jam lagi ia akan meeting bersama sponsor.
Pria itu pun berpamitan dengan Ibunya dan segera pergi meninggalkan ruangan tersebut.
"Jangan lupa besok kamu harus menemuinya, sesibuk apa pun!" tegas Gina pada Dika.
"Iya, Ibu," ucap Dika tanpa semangat. Ia keluar ruangan meninggalkan sang ibu di sana.