6 Aku Juga

"Zie," panggil seseorang yang sangat dihindarinya saat ini, Zie menoleh dengan malas.

"Ngapain kesini?" Tembaknya langsung.

Leo tersenyum menampilkan lesung pipinya. "Maaf ya?"

Zie melepaskan mata dari buku yang dibacanya dan berpaling menghadap Leo, dia memang tidak suka dengan orang yang tidak menepati janji, tapi jika harus meminta maaf sampai menyusulnya di perpustakaan sekolah, tentu Zie menghargainya. Zie mengangguk, "iya santai aja. Lo gak ada kerjaan emang?"

Leo menggeleng seraya menarik kursi untuk duduk disebelahnya, "nope." Jawabnya singkat, setelah itu Leo memandangi Zie membaca bukunya. Zie kembali fokus tetapi tentu dia merasa risih karena sedaritadi Leo sama sekali tidak memalingkan matanya dari Zie.

"Leo berhenti deh, gue risih."

Mendengar itu Leo tertawa, sekejap kemudian dia menggeleng, "gue gak tau kalo lo secantik ini tanpa makeup."

Zie mengernyit, "kita udah ketemu sekali sebelumnya dan gue gak pake makeup waktu itu."

"Tapi gak sedeket ini gue mandang lo," Leo bersandar dikursi dan menatap langit-langit. "Lo tahu?" Tanyanya menggantung.

"Apa?"

"Gue sebenernya gak mau ke Paris," Leo menarik nafasnya berat. "Gue jatuh cinta."

"Apa?"

Leo menoleh kearah Zie. "Lo gak kedengeran atau gimana sih?" Belum sempat Zie menjawab tetapi Leo sudah mendekat kearahnya membisikkan sesuatu, tentu itu membuat jantung Zie berdegup.

"Gue jatuh cinta sama Berlin." Setelah membisikkan itu, Leo kembali bersandar di kursinya, "ngerti kan lo kalo udah jatuh cinta, susah meninggalkan? Kalo gue ke Paris, belum tentu gue bisa sering balik ke Berlin."

Zie sekarang mengerti, bukan hanya dia yang harus melakukan sesuatu yang tidak dia sukai. Leo pun begitu. Zie tersenyum, "andai ya bisa ngelakuin apa yang kita pengen."

Leo mengeryit memerhatikan Zie. "Wait. Zie?"

"Apa?" Zie menoleh.

"Lo dulu elementary school dimana?"

"Elrond High," jawab Zie dengan jujur.

Mata Leo membulat sempurna. "Its you!" Teriaknya agak kencang, hampir seluruh orang disana menoleh ke arahnya. Dengan cepat Leo meminta maaf karena dia sadar telah membuat keributan.

"Lo McCartney! Oh my god! Lo pasti lupa sama gue?"

Zie masih mengernyit, "iya, maksudnya apa ya Leo gak ngerti gue."

"Inget gak waktu itu lo nangis PR lo disobek Seavey? Terus lo kena hukum sama Ms. Nicole disuruh beresin perpus lama?" Leo mengingatkan Zie dengan semangat.

Zie mengangguk, mengingat kejadian itu lagi, sedetik kemudian, dia menyadari bahwa Leo juga ada disana, mata Zie membulat, "oh! Lo yang pake kacamata? Richard-the-nerd?!"

Leo awalnya tersenyum senang karena Zie mengingat namanya, tetapi senyum itu berubah menjadi tawa karena Zie ingat nama panggilan lamanya. "Okay itu gue,"

"Oh my god! Kita dulu lumayan deket." Ucap Zie, dia tidak menyangka Leo dulu adalah temannya.

"Yep. Dan akhirnya gue pindah," Leo dan Zie sama-sama ingat dengan kepindahan Leo ke Paris waktu itu, "lo inget kan? Dulu kita suka dibilang ngebosenin sama anak sekolah,"

Zie manggut-manggut, "inget banget."

"But, we're lame in a cool way," sambung Leo. Mereka saling tersenyum.

Mereka memang teman kecil, tapi dengan kepindahan Leo mereka tidak pernah mendengar kabar satu sama lain, dan juga Leo sudah tiga kali loncat kelas, dengan otak jeniusnya, dia sudah tamat kuliah dengan predikat cumlaude. Itulah mengapa Zie sangat tidak menyangka, Leo ini adalah Leo temannya dulu, sama seperti Marco.

-13 days to love me-

Marco berjalan keliling kodidor untuk mencari Zie berniat mengajaknya pulang. Tapi Nikki dengan percaya dirinya menghampiri Marco.

"Hei," sapa Nikki.

Marco menoleh sekilas tampa menghentikan jalannya, "hey Nikki,"

Nikki mengernyit. "Lo tahu gak sih Marco? Lo terlalu baik dan polos untuk sesuatu yang lo harapin."

Marco berhenti berjalan, begiru juga Nikki. "Maksudnya?"

"Nyari Zie kan?" Tebaknya.

Marco diam tidak menjawab. Nikki mendengus dan tersenyum miring, "dia lagi di perpus sama tunangannya,"

"Tunangan?" Marco bingung.

Nikki mengangkat kedua bahunya lalu berbalik berjalan kearah parkiran. "Im not crazy about you Marco," katanya kepada diri sendiri.

Marco berjalan cepat ke arah perpustakaan, dia melihat Zie dengan seseorang sedang mengobrol sesakali tertawa, Marco menghampiri mereka.

"Hey,"

Zie menoleh kearah Marco, "hey Marco, kenalin ini—," ucapannya terputus karena Leo.

"Robert?!" Marco memandang Leo lama mencoba mengingnya, karena hanya teman sekolah dasarnya yang memanggilnya Robert, "ini gue Richard,"

"Richard? Elrond High kan? Wow udah lama banget bro," Marco dan Leo saling merangkul.

Zie yang melihat itu tentu saja kaget. 'Mereka saling kenal?' Tanyanya dalam hati.

"Zie? Mau pulang kan?" Pertanyaan Marco membuyarkan lamunannya. Dia gelagapan, tidak tahu akan menjawab apa karena Leo sudah mengajaknya pulang duluan untuk menebus kesalahan tadi pagi.

Dia tersenyum tidak enak kepada Marco. Belum sempat Zie menjawab, Leo sudah mendahuluinya.

"Sebenernya gue ngajak dia pulang bareng duluan,"

Marco menaikkan sebelah alisnya. "Oh? Okay." Jawabnya sembari mengangguk.

"Marco," panggil Zie pelan agar Leo tidak menoleh.

"Its okay," Marco tersenyum. "Nanti gue telfon ya,"

Zie tersenyum dan berlalu dari pandangan Marco. Meninggalkan Marco yang tersenyum kecut, dia diam dengan fikirannya sendiri, mudah sekali bagi Zie mengingat Leo, tapi susah sekali mengingat Marco.

-13 days to love me-

Marco sedang berbicara ditelpon dengan Kenzie karena katanya Kenzie punya berita mengejutkan padahal Marco ingin buru-buru pulang dari nongkrong bersama Seavey dan Zach.

"What is it?" Tanya Marco cepat.

"Kamu diajak Papa ke Yale." Jawab Kenzie dengan senang.

"Hah? Aku gak mau kuliah disana kak, aku ingin tetep di Jerman."

Kenzie terdiam sejenak, "yaudah cepet pulang, bilang aja ke Papa langsung."

"Okay."

Marco menutup telfonnya dengan kesal. Papanya selalu saja bertindak sesuka hatinya.

-13 days to love me-

"Zie,"

Zie tersenyum lebar mendengar suara Marco ditelfon malam ini, dia terlalu memikirkan Marco selama dijalan pulang bersama Leo.

"Hai Marco,"

"Zie, gue harus ke Yale besok," kata-kata Marco barusan membuatnya terkejut dan terdiam. Namun sesaat kemudian Zie bisa menguasai dirinya.

"Kenapa?"

Marco bercerita panjang lebar tentang keberangkatannya, dan hanya pergi selama beberapa hari. Tentu saja Zie mengerti kesulitan Marco sekarang dan dia harus tetap menunggunya.

"Sorry Zie. I don't wanna go, but i have to," lirihnya. Zie masih diam, lalu Marco melanjutkan, "yang gue pikirin, lo sama Leo. I don't know, i think i—," Marco ragu mengatakannya, tetapi kata-katanya sudah dipotong oleh Zie.

"Me too," jawabnya. "Gue juga ngerasain yang sama, Marco,"

Seketika suasana hati Marco menjadi cerah. Tidak bisa dipungkiri dia sangat bahagia, "kalo gitu besok lo mau nganterin gue ke bandara jam 8.AM?"

"Okay," jawabnya girang. Zie tersenyum dan Marco tersenyum, itu saja sudah cukup untuk kebahagiaan mereka berdua.

avataravatar
Next chapter