Jam sepuluh tiga puluh lima menit.....
Kahime selesai mengurus semua ketertinggalannya dan segera membuka almarinya. Kemudian mengambil sebuah tank top hitam, sweater dusty pink, rok merah maroon kotak-kotak, stocking hitam dan sepasang sepatu kets abu-abu, serta sebuah pita lavender. Setelah itu dia segera mengganti pakaiannya dengan yang sudah diambil dari almarinya.
Tak lama kemudian.....
"Yosh! Aku sudah siap, harus bisa menjadi tetanga yang baik." Kata Kahime menyemangati dirinya sendiri sambil menepuk pipinya.
Dia segera menata rapi kamarnya yang agak berantakan, lalu keluar kamar, kemudian menuruni anak tangga menuju pintu keluar rumah.
*****
TING TONG TING TONG
Bel rumah bergema sampai ke kamar Saki, ia segera bangun dan mengganti pakaiannya dengan kaos panjang abu-abu polos. Kemudian segera turun dari kamar menuju ruang tamu.
Di ruang tamu.....
"Selamat siang, maaf ada perlu apa?" tanya ibu Saki dengan berhadapan seorang gadis cantik rupawan bak selebriti papan atas.
"Selamat siang, bibi. Saya kesini mau berkunjung, siapa tahu bisa menjadi tetangga yang baik." Jawab gadis itu lembut.
"Siapa namamu?" tanya ibu Saki bingung.
"Kahime, bi. Saya baru saja pulang semalam." Balasnya tersenyum masam.
"Kahime?" tanyanya mengingat wajah Kahime di rumah sakit dan membandingkannya dengan gadis tersebut. "Kahime Murasaki? Kamu sudah baikan nak, kalau belum jangan memaksakan diri ya." Ujarnya mempersilahkan Kahime masuk.
"Kamu duduk dulu di ruang tamu, jangan kemana-mana kalau bibi belum kembali." Tutur wanita itu segera keluar dengan penuh semangat.
Dia masuk lalu melepas sepatu ketsnya, dan memakai sandal khusus di ruangan tersebut. Kemudian duduk di kursi sofa kulit merah ruang tamu.
Dia melihat-lihat isi ruangan tersebut sekilas dan dikejutkan oleh suara anak kecil.
"Mbak Kahime?"
Dia menoleh ke belakangnya dan bertemu Sasha.
"Selamat siang, Sasha." Sapanya sambil tersenyum pada Sasha.
Mata gadis kecil itu berbinar-binar kagum akan kecantikannya.
"Selamat siang."
Waaah...sangat cantik. Aku baru tahu, kalau kak Kahime yang berantakan bisa jadi bidadari.-pikir Sasha sampai melongo tak mengedipkan mata.
"Ah..haha.." katanya tertawa bodoh dalam kebingungan menyadari tatapan gadis kecil itu.
Dia kenapa ya?><'---pikirnya kebingungan.
"Apa aku melewatkan sesuatu?" tanya Saki menghampirinya. Kahime langsung jadi malas mendengar pertanyaannya dan itu berhasil membingungkannya.
"Tidak ada yang terlewatkan, aku baru saja datang malah menanyakan sesuatu yang tidak jelas." Gerutunya dengan menggembungkan kedua pipinya dan mengernyitkan dahi penuh kekesalan.
"Ah, maaf. Kenapa rasanya kau tampak berbeda dari yang aku bayangkan." Cetusnya gugup dan wajahnya kini agak memerah. Ia memalingkan wajahnya agar tidak terlihat oleh dua gadis tersebut.
"Mbak Kahime, mau gak main sama aku nanti?" ajak Sasha sambil duduk disampingnya.
"Mau, tapi sekarang harus nunggu ibumu." Balasnya sambil menyentil hidung gadis kecil itu dengan gemas.
"Sambil nunggu, gimana kalo aku ambil cemilan dan minuman ringan?" ujarnya sambil menunggu di ambang pintu dapur.
"Nggak usah, lagipula aku akan main dengan gadis manis saat ibumu sudah kembali." Ujarnya sambil sebuah kotak kecil dari dalam tas pinggang bulunya yang berbentuk hati warna merah muda.
"Waahh~, apa itu kak?" tanya Sasha bersemangat penasaran dengan kotak hadiah kecil di tangannya.
"Kamu ingin tahu, kalau gitu buka kamu aja. Nih." Jawabnya sembari memberikan kotak kecil itu pada Sasha. Sasha tercekat dan sungkan karena rasa penasarannya.
"Eh, gak usah kak. Ini kan' punya kakak mana boleh aku yang buka." Gumamnya gugup dan mengangkat kembali pada Kahime.
Dia terkekeh kecil dan tersenyum, lalu menarik hidung gadis itu penuh rasa gemas.
"Kamu ini, buka saja. Kalau sudah dibuka pasti kamu senang, aku jamin 100% kamu bakalan suka sampe ngefly." Cetusnya mengacungkan dua jari dan mengedipkan sebelah mata.
Rasanya kok seneng banget sih? Padahal ini punyanya mbak Kahime.--- batinnya bimbang dan sgera membuka kotak kecil tersebut. Setelah membukanya, Sasha berseri-seri. Mata birunya berbinar-binar, wajahnya agak merona, dan tersenyum pada Kahime.
Saki yang dari tadi memperhatikan, jadi penasaran lalu menghampiri mereka dan terkejut ketika melihat adiknya tersenyum. Ternyata adiknya tersenyum karena mendapatkan sebuah gantungan kelinci dan buku diary bergembok dilengkapi kuncinya.
"Gimana? Kamu suka nggak? Kalo suka ambil aja, itu buat kamu." tanyanya sambil tersenyum tipis pada Sasha.
"Umm, suka sekali kak. Makasih ya, kak." Jawab Sasha kegirangan sambil mengangguk beberapa kali.
"Whooaaa, ada yang baru saja dapet hadiah dari kakak baru, ya." Goda Saki duduk di samping Sasha.
"Hooo~, kamu cemburu kah?" ejek Kahime tersenyum sinis.
Ia terpekik saat diejek cemburu olehnya dan tersenyum kecut.
"Kak, lihat deh. Ini sama persis yang aku pengen. Gantungan kelinci dan buku diary fairy's land." Kata Sasha sembari menunjukkan hadiah dari Kahime.
Saki mengelus kepala adiknya dengan lembut dan tersenyum.
"Kamu jaga baik-baik lho, soalnya ini hadiah yang berharga. Selain itu, yang ngasih hadiah itu....." ucap Saki sambil berbisik di telinga adiknya ketika mendekati yang terakhir.
Sasha terkejut, wajahnya spontan memerah agak kesal dan senang, matanya berkilat-kilat. Kemudian membalas bisikannya, lalu tersenyum manis. Ia pun terkejut, wajahnya sedikit memerah, dan berusaha percaya diri.
"Woi, udah apa belum bisik-bisik tetangganya?" tanya Kahime datar menatap curiga pada sepasang kakak beradik itu.
Firasatku tidak enak. Kuharap bukan sesuatu yang terlalu buruk.-batinnya masih menatap datar penuh curiga.
"Udah kok." Sahutnya gugup
"Iya, udahan kok kak." Sambung Sasha dengan fake smile.
"Kalian ini ngapain kok aneh gini?" pertanyaan Kahime mengejutkan mereka berdua. Mereka tercekat dan malah cengengesan.
"Nggak ada apa-apa kok kak. Kak, aku mau ke kamar nyimpen ini." kata Sasha beranjak dari tempatnya dan meninggalkan mereka berdua di sana.
"Iya." Sahut mereka berdua bersamaan. Setelah itu saling bertatap muka sekilas dan berpaling muka.
Beberapa menit kemudian....
[CANGGUNG~~~....]
Keduanya diam dalam rasa canggung, sehinga salah satu dari mereka berusaha mencairkan suasana.
"Canggung, ya?" tanya Saki gugup.
"Hmmm.." sahutnya tanpa mengeluarkan suara.
Sama saja, tidak bisa mencairkan suasana. Aku harus bagaimana?---pikir Saki dalam rasa canggun yang meningkat.
"Nggak ada yang menarik, ya?" tanya Saki agak gugup.
"Hmmm.." jawabannya masih sama.
Dih, nih cowok nggak bisa nyari topik pembicaraan yang pas. Kaku dan garing. Lama-lama pengen gua bikin babak belur.---pikir Kahime kesal.
"Oh!Aku baru ingat sesuatu dan ingin memberikannya padamu." Cetusnya sambil melempar senyum.
"Mau ngasih hadiah?" tanya Kahime penasaran.
"Ummm, iya." Jawabnya singkat dan menatap sperti anak kecil.
"Apa'an natap gua gitu?" tanya Kahime geram ingin langsung memukulnya.
"Kamu hari ini cantik, gak kayak kamu yang brutal didepan cowok." Jawab Saki tersenyum tipis padanya.
"Oh, cuman mau gombalin aku doang. Dasar, emangnya aku ini cewek gampangan apa?!" dia hanya beroh-ria dan membentak kesal.
Tak lama kemudian...
"Ibu pulang. Kahime, maaf ya agak lama." Celatuk ibu Saki menghampirinya dan termangu.
"Ada apa bi? ..." tanya Kahime heran dan melirik malas ke arah Saki. "Kalau bibi bingung, aku bisa jelaskan. Tadi itu, dia gombalin aku dan aku sangat tidak suka. Sangaaaaaattttt tiiiidaaaaakk suuukkaaa.... itu sangat menyebalkan, karena sama saja merendahkanku." Sambungnya dalam satu tarikan napas.
"Saki, tolong jelaskan pada ibu." Pinta ibunya dengan kedua tangan di pinggang.
Saki yang babak belur di muka dan mimisan di hidung hanya mengangguk pasrah.
"Tapi, sebelum itu. Apa bibi punya kotak P3K?" tanya Kahime lirih tampak menyesal.
"Eh? Kotak P3K ya, punya. Apa kamu terluka?" tanya balik ibu Saki malah cemas padanya.
"Bibi, aku mohon." Jawabnya memohon dengan mata berkaca-kaca.
"Ummm,ah...baiklah." balas ibu Saki gugup.
Saki yang memperhatikan malah bingung.
Mereka berdua_-lll--- pikir Saki kebingungan.
Kemudian ibu Saki memberinya kotak P3K yang dia minta dan membukanya.
"Oalah, ternyata mau ngobatin dia toh." Celatuk ibu Saki sambil tersenyum.
"Kalau gak cepetan diobatin, kamu tambah jelek." Cetusnya dingin sambil mengoleskan obat antiseptik pada wajahnya.
"Ha~h?!" gerutu Saki tidak terima.
"Udah, diem aja." Tegurnya melanjutkan dengan menempelkan kapas yang sudah ditetesi oantiseptik dan hansaplast agar menempel dipipinya.
Ketika mereka berdua sibuk pada luka, ibu Saki memperhatikan mereka dengan berseri-seri.
Sungguh gadis yang baik, setelah membuat Saki babak belur di muka dia tetap mau mengobatinya. Kalau saja bisa mendapatkan calon seperti Kahime, yah kalau saja. Gadis sepertinya sangat jarang, dia tampak bertanggung jawab dan baik.---batin Ibu Saki sambil menghela napas pendek.
"Kahime." Panggil Ibu Saki.
"Ya? Ada apa bi?" sahutnya lembut memasukkan kembali.
"Jangan panggil bibi saja. Namaku Hana Raiiju." Ujar Ibu Saki melempar senyum dan menatap lembut.
"Baiklah, bu Hana." Katanya mengganti panggilan Ibu Saki dengan 'Bu Hana'.
"Baguslah, itu kedengaran lebih baik. Oh, ada yang ingin kutanyakan." Cetus Hana heran.
"Umm, silahkan." Sahutnya duduk manis sebelum kekacauan terjadi.
"Kamu tinggal di rumhamu sendirian?" tanya Hana penasaran.
"Iya. Aku tinggal sendirian di rumah. Soalnya cukup dekat dengan sekolah." jawabnya tanpa menunjukkan ekspresi apapun.
"Oh, begitu toh. Lalu, bagaimana kamu membayar biaya sewa rumahmu?" tanya Hana penuh simpati.
Saki tercekat dan Kahime tersenyum. Hana bingung dengan ekspresi pada dua ABG itu.
"I-ibu, sebaiknya kita tidak usah mempertanyakan hal itu." ujarnya terbata-bata sambil melambaikan kedua tangannya.
Hana mengernyitkan dahi dan heran. "Apa masalahnya?" tanyanya agak memiringkan kepalanya ke kiri.
Kahime langsung menatap tajam Saki dan mengembangkan evil smilenya. Ia spontan merinding dan ketakutan. Dari wajahnya sudah terlihat jelas apa yang dikatakan.
Mari kita lihat. Apakah kau masih bisa menggangguku, cowok brengsek?
"Anu... soal itu. Sebenarnya aku sudah membelinya." Kata Kahime tersenyum manis.
Hana terpekik sampai terperangah, tapi yang lebih terkejut adalah Saki. Mulutnya menganga lebar sampai ke lantai tidak percaya, wajahnya juga kelihatan suram.
"Kamu membelinya? Bagaimana dengan keluargamu? Perekonomian di keluargamu baik-baik saja 'kan?" tanya Hana dengan buru-buru penuh kekhawatiran sehingga mememgang kedua bahunya sambil bercucuran keringat dingin.
"Bu Hana, terima kasih atas perhatiannya. Aku tahu kekhawatiran pada anda, itu karena harga rumah yang aku tinggali sangat mahal meskipun sederhana." Tuturnya berkaca-kaca tampak senang tapi berat.
"Selama ini kamu sudah melewati banyak rintangan ya." Sahut Hana menyandarkan tubuhnya pada sofa.
Dia tertegun dan tersenyum simpul, mereka berdua terkejut.
"Meskipun sudah melewatinya, rintangan yang ada di depan masih harus dilalui. Jika itu demi keluargaku, aku sama sekali tidak mempersalahkannya." Katanya dengan menundukkan kepala.
Sama saat waktu itu, sebelum semua ini terjadi dan berubah.-pikirnya kesal.
*****
"Gak akan kubiarin... kalian, jangan sentuh keluargaku!!" tegur seorang gadis dua belas tahun, berambut putih bergelombang sebahu dengan napas terengah-engah.
"Gadis kecil, nyalimu besar juga." Cetus seorang pemuda delapan belas tahun berambut hitam, berkacamata, dan memakai jaket hitam dengan scraft coklat melingkari lehernya. Pemuda itu menatapnya tajam dan langsung menendangnya sampai terpental membentur tumpukan rongsokan, lalu menginjak kepalanysa dengan keras.
"Lepaskan keluargaku....khhhh...uhuk..uhuk...lepaskan mereka..." pintanya lirih sampai terbatuk-batuk di antara tumpukan rongsokan tersebut.
"Kau bisa apa dengan tubuh yang lemah itu, gadis kecil?" tanya pemuda itu sembari menarik kerah jaketnya dengan kasar.
Dia tertegun dan meludahi wajahnya. "Aku memang memiliki tubuh yang lemah, tapi aku terus berusaha sekuat tenaga agar aku tidak lagi lemah dan disiksa oleh penjara dunia ini." jawabnya dingin dan menatap tajam dirinya.
*****
"Apa sesuatu terjadi pada keluargamu? Mungkin kami bisa-...." perkataan Hana terpotong ketika dia memberinya sebuah kotak yang sama sebagai hadiah.
"Tidak ada yang terjadi pada keluargaku, apalagi sesuatu yang buruk. Kumohon terima ini, aku berterima kasih pada bu Hana karena telah memberikan sebuah kehangatan seorang ibu padaku." Tuturnya melempar senyum simpul.
"Hah? ...i-ini, bagaimana bisa? Ini pasti kebetulan 'kan." Sambungnya tidak percaya setelah membuka hadiah darinya. Mata birunya berkaca-kaca berlinang air mata dan sebuah senyuman mengembang.
"Ibu? Ada apa?!... Kahime?" tanya Saki penasaran dan cemas, lalu menoleh pada Kahime, tapi diabaikan, kemudian beranjak dari tempatnya dan menghampiri ibunya melihat hadiah pemberian Kahime. "Haah, itu 'kan..." sambungnya dengan mata berbinar-binar.
"Bu Hana pasti sangat menyayangi Pak Randi, begitu juga sebaliknya." Celatuknya tersenyum.
"Terima kasih, Kahime." Balas mereka berdua bersamaan.
"Oh, aku harus pergi." Cetusnya beranjak dari tempatnya dan membungkuk rendah pamit.
"Aku akan mengantarmu." Sahutnya menghampiri Kahime.
CUP!
Sebuah ciuman di pipi kiri membuatnya termangu dan perlahan wajahnya merona.
"Oh!" Hana terkejut dengan kedua tangan menutupi mulutnya.
"Tidak perlu, aku bisa jalan sendiri." Tuturnya sembari mengerjipkan mata kanannya.
"A-ah, baiklah. Hati-hati di jalan." Balasnya gugup dengan asap meletup-letup di wajahnya yang merona.
"Oke, jangan lupakan hadiah dariku tadi." Katanya langsung meninggalkan ruang tersebut dan keluar dari rumah mereka.
"Hoho.... ciuman di pipi ternyata, manis sekali." Goda Hana memubuat wajahnya semakin memerah.
"Ada kemajuan, semangat kak." Sahut Sasha yang tiba-tiba muncul di samping ibunya.
"Ka-kalian berdua.... sungguh memalukan." Gerutunya dengan menundukkan kepalanya dan kembali duduk di sofa. Lalu menatap bosan pada mereka berdua yang terkekeh kecil di depannya.
*****
"SM01? Bukankah dia petarungnya Naga Hitam?" tanya seorang pemuda tujuh belas tahun berambut merah poni terbelah kanan dan bermata coklat heran.
"Benar. SM01 adalah petarung bayarannya, beritanya sudah tersebar dan sudah satu bulan dua minggu keberadaannya tidak diketahui." Jelas seorang pemuda berambut putih lurus pendek bermata kuning yang berlutut di depannya sambil menundukkan kepala.
"Heehh~, menarik sekali. Dia pasti sedang bersembunyi di suatu tempat karena berita tentangnya mulai tersebar di seluruh kota Jenan dan Juna." Seringahnya puas sambil memainkan sebuah pisau dan melemparnya tepat mengenai bagian tengah lingkaran. "Ayo kita mulai pertunjukannya." Sambungnya melirik sebuah foto SM01.
*****
"Semuanya sudah selesai disini, sekarang enaknya jalan-jalan nih." Gumamnya pada diri sendiri mulai melangkahkan kakinya meninggalkan tempatnya berpijak.
Setelah berjalan cukup jauh dia berhenti di taman kota Juna yang ramai anak-anak bermain diawasi orang tua mereka dari jauh.
Dia masuk ke sana dan menghampiri sebuah toko es crepe.
"Pak, es crepe satu spesial." Katanya memesan sembari memberi uang tujuh ribu rupiah.
"Oke, es crepe spesial satu akan segera datang." Balas seorang bapak-bapak penjual es crepe dengan senang hati.
Tak lama kemudian...
"Ini dek es crepe spesialnya, terima kasih."
"Makasih, pak."
Kahime melanjutkan berjalan dan duduk di kursi taman gazebo dekat air mancur. Lalu dia melihat-lihat anak-anak yang berlari kesana kemari bersama teman sepermainannya dan saudaranya.
"Usuga Shitou!!" tegur seorang wanita membuat seorang anak laki-laki delapan tahun berambut coklat keemasan bermata ungu berhenti mengikuti teman-temannya. Dan teguran wanita tersebut mengejutkan Kahime, sehingga menoleh ke arah suara wanita yang menegur anaknya tadi.
Mata lavendernya membulat berkaca-kaca, dia tercekat dan tersenyum kecut.
"Ibu, ada apa?" tanya anak yang dipanggil 'Usuga' tadi berhenti tepat di depan gazebo tempatnya beristirahat.
"Kamu, kak Mitsuho, Shiraju, dan Rydja ... kalian duduk bersama di gazebo ya. Ibu akan beli makan siang di sana." Tutur wanita itu sembari menunjuk gerobak penjual cemilan.
"Baiklah, dimengerti!!" sahut keempat anak laki-laki itu serempak, kemudian duduk di gazebo yang sama bersamanya.
"Mbak, kami ikut numpang disini." Kata anak laki-laki tiga belas tahun yang memiliki warna rambut dan mata yang sama dengannya.
"Iya, silahkan." Balasnya tanpa menoleh dan hanya menganggukkan kepala.
"WHAAA~~." Kata dua anak laki-laki kembar tiga tahun bersamaan penuh kekaguman dan penasaran melihat es crepe yang berada di tangan Kahime.
"Mau es crepe? Ini, untuk kalian saja." Sahutnya memberikan es crepenya pada mereka berempat.
"Terima kasih, mbak." balas anak laki-laki tiga belas tahun itu menerimanya dan memberikan sendok tambahan agar mereka berempat bisa makan bersama.
"Ah, sama-sama. Eh? Itu nggak beracun, kalau kalian masih mau aku belikan lagi." Cetusnya memandang mereka berempat menyendok es crepenya secara bergantian. "Nama kalian siapa?" tanyanya penasaran.
"Owh,... anu.. namaku Mitsuho, yang di sebelah kananku ini Usuga, dan mereka berdua dari sebelah kiriku adalah Shiraju dan Rydja. Mbak sendiri?" tanya balik Mitsuho sambil memakan stik coklat.
"Namaku Kahime." Balasnya mengangkat kepala dan melempar senyum.
Mitsuho tercengang dan menghela napas panjang. "Nama belakang mbak Kahime apa?" sambungnya bertanya lagi.
"Murasaki. Memangnya ada apa?" tanya Kahime bingung.
"Mmm, maaf. Nama depan kakak mirip sekali dengan kakakku yang sudah tiada." Jawabnya gugup dan tampak sedih.
"Oh, maaf ya." Cetusnya menyesal.
"Kak Mitsuho, es crepe ternyata enak." Kata Usuga senang sambil menyuapi Mitsuho sampai meletup bunga-bunga kecil di kepalanya.
"Ummhhmm, benar. Rasanya enak sekali, ini baru pertama kalinya aku makan es crepe dan ternyata benar rasanya enak." Sahutnya menyantap es crepe bersama dengan gembira.
"Hahaha... lucu sekali kalian berempat. Jadi kangen deh." Celatuk Kahime tertawa lepas melihat mereka berempat yang makan es crepe dengan semangat.
Sudah lama aku tidak tertawa seperti ini bersama mereka dan bertemu keluarga baru yang lucu. Kalau dia melihatku, apakah dia juga akan berpikir begitu?--- pikirnya berhenti tertawa dan beranjak dari tempatnya.
"Lho, udah mau pulang? Tunggu bentar lagi, nanti ibuku membawakan kami makan siang. Kita makan siang bersama ya." Bujuk Mitsuho diikuti tiga bocah lain yang bersamanya.
"Maaf, aku harus pergi sekarang. Nggak bisa lama-lama disini." Katanya lembut melambaikan tangan dan pergi begitu saja.
"Hati-hati mbak." Balas mereka serempak dan membalas lambaiannya.
Ketika dia berjalan meninggalkan mereka, secara bersamaan seorang wanita menghampiri mereka sembari membawa dua kotak ayam goreng dengan terburu-buru. Wanita itu hampir tejatuh karena tersandung dan berhasil ditangkap olehnya.
"Bu, anda harus lebih hati-hati. Jika tidak, semua orang akan khawatir." Ujarnya berbisik sambil membantunya berdiri.
"Ah, terima kasih. Nona-...hah..?" balasnya tersenyum masam agak malu dan saat kedua mata saling bertemu, wanita itu tertegun sampai termangu.
"Permisi." Pamitnya melanjutkan perjalanan dan menghilang dalam kerumunan orang yang berlalu lalang.
Ibu, maafkan aku. Aku tidak bisa menemuimu sekarang, tapi setidaknya kau tahu kalau aku , masih disini untuk sesaat melihatmu.
******
"Huu~hh...dia ini hilang kemana 'sih?" gerutu Yuri sambil menyantap stik coklat dengan kesal. Duduk di gazebo elegan dipenuhi bunga yang tumbuh merambat dengan akarnya.
"Nona, apa ada yang bisa kami bantu?" tanya seorang maid berambut merah muda mata merah keunguan sembari meletakkan secangkir jus jeruk segar di meja samping Yuri.
"Hmm, tidak ada. Hanya masalah kecil, aku mau nyari orang yang menyebalkan." Jawabnya dingin.
"Baiklah, kami akan carikan orang itu." cetus maid tadi membuka ponselnya.
"Sudahlah,... sudah kukatakan kalau itu hanya masalah kecil!" bentaknya geram.
Kemudian maid tersebut tertegun menundukkan kepalanya.
"Maafkan saya, nona." katanya sambil membungkuk.
"Nggak apa-apa, aku hanya terlalu khawatir dengan orang yang menyebalkan itu." cetusnya melambai-lambaikan tangan kanan dan tersenyum kecut. "Lagipula hidupku hanya sebentar, mereka dengan cepat atau lambat akan menemukannya." sambungnya lirih sembari menyilangkan kedua tangan di dadanya yang datar.
"Nona, bukankah anda terlalu pesimis?" tanya maid itu cemas.
"Kori, kamu terlalu banyak bicara." cetusnya menyangkal pertanyaan maidnya yang dia panggil 'Kori'.
Yuri memandang kosong halaman rumahnya yang luas.
"Haaaaahhh~~!!" desahnya keras penuh kekesalan dan rasa bosan.
"Siang bolong gini, tumben gak tidur." celatuk seseorang dari kejauhan tengah bersembunyi di balik semak rumput bunga lily yang mekar.