webnovel

Perbedaan keyakinan

Perbedaan Keyakinan

Keesokan harinya Luis duduk untuk sarapan di meja dekat jendela kamar sehingga dia bisa melihat indahnya ciptaan Tuhan di pagi hari ini.

Luis menatap menu sarapanya dengan pandangan tak berselera, dia hanya makan beberapa sendok, matanya yang tajam terus menjelajah ke setiap penjuru Rumah Sakit yang terlihat dari jendela kamarnya.

Seketika matanya yang tajam terpaku pada satu titik, seorang wanita berpakaian seragam perawat berwarna putih. Berjalan dengan pantas menuju ke parkiran kendaraan. Luis terus mengikuti sosok wanita berbaju putih tersebut sampailah wanita tersebut berhenti di depan laki-laki yang berkulit putih bersih. Untuk ukuran laki-laki dan bertubuh tegap yang menyandarkan tubuhnya di sebuah mobil berwarna silver. Mereka berdua saling tersenyum dan masuk ke dalam mobil.

Luis nampak tidak suka dengan pemandangan yang dia lihat itu, dahinya berkerut untuk beberapa saat, kemudian tersenyum licik seperti telah mendapatkan suatu ide. Segera Luis mengambil handphonenya.

"Niko, cepat ikuti mobil berwarna silver yang baru saja keluar dari Rumah Sakit, cari tahu siapa laki-laki yang mengendarainya" perintah Luis kepada Asistennya.

"Siap Tuan".

Dengan sigap Niko langsung menjalankan perintah dari Tuannya, karena dia sudah terbiasa dilatih untuk selalu siap dalam kondisi dan waktu apa pun.

Laki-laki itukah yang waktu itu memanggil Winda dari arah pintu? Siapa sebenarnya dia? Ada hubungan apa mereka? Pertanyaan-pertanyaan tersebut terus berputar-putar di kepala Luis.

Rupanya barang bagus memang selalu diminati oleh banyak orang. Tapi sepertinya dia memang wanita yang patut diperjuangkan. Ya karena aku tidak pernah salah menilai.

"Kita lihat seberapa berpengaruhnya laki-laki itu, hanya Aku yang paling pantas memilikimu Winda" senyum kepercayaan diri Luis seketika merekah.

***

Di dalam mobil Winda terus berdiam diri hingga Ari meraih tangan kanan Winda dan mengecupnya sambil terus mengemudi.

"Ada apa sayang?" Tanya Ari.

"Nggak apa-apa".

"Jangan bohong, jangan coba menutupinya. Ayo ceritakan saja atau kita sarapan dulu biar kamu bisa cerita?" bujuk Ari.

"Aku ingin cepat sampai di rumah dan tidur, wuaach ... ngantuk rasanya" Winda coba menutupi kegundahan hatinya.

"Nggak, aku tau kamu sayang, cepat cerita atau kalau kamu memang sudah tidak percaya lagi sama aku" Ari melirik ke Winda dan sambil pura-pura memasang wajah masam.

"Oke aku cerita, tapi janji jangan marah?" Winda melihat ke arah Ari.

"Oke, ceritalah."

"Kemarin Bunda nanyain hubungan kita, sepertinya Bunda masih tidak suka tentang kedekatan kita" Winda berbicara perlahan sambil melirik ke arah Ari untuk melihat ekspresinya. "Bunda bilang suatu hari nanti hanya akan menjadi luka di hati kita, sampai kapanpun kita tidak bisa bersatu karena perbedaan ..." Winda menggantung ucapannya.

"Perbedaan kepercayaan kita!" Ari memotong ucapan Winda.

Suasana hening untuk beberapa saat, Ari nampak kesal, Winda hanya diam. Dia takut menambah marah Ari jika berbicara lagi.

"Berapa kali Aku bilang? Perbedaan kepercayaan kita tidak akan jadi penghalang jika kita saling mencintai" akhirnya Ari bersuara.

Dalam hati Winda, dia tidak pernah yakin jika hubungan ini akan berlanjut dengan baik. Sudah sejak lama, bahkan sejak Winda tahu kalau Ari punya kepercayaan yang berbeda dengannya. Winda jadi teringat waktu mereka baru satu minggu berpacaran, kira-kira satu tahun yang lalu.

Waktu itu mereka sedang berjalan-jalan di pantai menikmati indahnya pemandangan, hamparan pasir putih, air laut yang jernih kebiru-biruan, tebing pantai yang menjulang tinggi ditumbuhi tumbuhan hijau berdiri kokoh di kanan kiri pantai. Masa-masa yang manis saat hubungan masih seumur jagung. Mereka duduk di sebuah gazebo Rumah Makan pinggir pantai, menikmati makanan laut dan kelapa muda. Saat mereka sedang bersantai setelah mengisi perut, kumandang suara adzan terdengar di telinga Winda, kemudian ia mengajak Ari untuk beribadah, namun Ari berucap "Sayang, Aku tidak beribadah seperti cara kamu, Keyakinanku tidak sama denganmu. Aku biasanya beribadah di hari minggu" jawab Ari.

Jjeduuuaaarrrr ...

Seperti petir di siang hari, Winda kaget, Astaga kenapa Aku tak menyadarinya. Batin Winda. Hati Winda jadi gundah. Dia ingin mengakhiri hubunganya dengan Ari. Namun Ari yang pandai berbicara meyakinkan Winda bahwa orang tuanya juga berlainan kepercayaan tapi bisa menjadi pasangan bahkan punya anak, yaitu aku Ari Setyawan.

Bodohnya Winda yang saat itu percaya dengan kata-kata Ari karena terbuai manisnya cinta. Memang sulit bagi seorang wanita mengabaikan wajah tampan Ari, kulitnya putih bersih, penampilannya gagah dan rapi, romantis dan perhatian. Walaupun ada juga kekuranganya, Ari seorang laki-laki pencemburu dan tempramental.

Namun bukan itu semua yang membuat Winda menyukai Ari tapi karena ia begitu pintar membuat Winda merasa nyaman.

***

Ari menghentikan mobilnya di depan pintu gerbang rumah Winda. Keheningan masih menyelimuti dua insan yang berada di dalam mobil hingga Ari bersuara.

"Beristirahatlah, masing-masing dari kita perlu waktu untuk berfikir tentang hubungan ini" Ari berbicara tanpa melihat ke arah Winda.

Tanpa berucap apa pun Winda turun dari mobil, melihat mobil Ari berlalu begitu saja. Winda tidak tahu apa yang dirasa sekarang, apa yang hatinya mau sekarang, apa yang dia fikirkan sekarang, kosong.

Ari bersikeras bahwa perbedaan tidak menjadi halangan bagi sebuah hubungan, sedangkan Winda adalah anak berbakti yang ingin membahagiakan kedua orang tuanya dan dia pun tidak menampik bahwa perbedaan memang tidak menjadi halangan dalam sebuah hubungan, namun dalam lubuk hatinya gundah sebab perbedaan itu tentang sebuah keyakinan.

Next chapter