webnovel

Hijrah ke Habasyah

Waktu dzuhur Mekkah.....

Semua telah terbuka secara jelas.

Kerasnya tekanan membuat sebagian dari saudara-saudara kami yang Muslim meninggalkan kota kelahiran mereka dan memutuskan hijrah ke kota-kota lain. Keputusan seperti ini takkan diambil tanpa musyawarah dengan Rasulullah terlebih dahulu. Betapa besar tekanan pada waktu itu sehingga putri Rasulullah bersama menantunya ikut dalam rombongan yang hijrah ke Habasyah. Seluruh kesusahan yang kami alami telah menjadi satu dengan diri kami. Di sisi lain, keputusan itu juga bukan hal mudah. Siapa yang ingin meninggalkan rumah, kota kelahiran, dan pekerjaannya, lalu hijrah ke kota yang asing?

Meski kakek dan nenekku menentang hal ini, ayah adalah salah satu di antara yang berkata tak ada cara lain lagi selain pergi. Untuk menyelamatkan diri kami dari kobaran-kobaran api ini, kami memutuskan pergi. Bahkan, ketika sudah berjalan sampai batas luar Mekkah, yang dikenal dengan Barku'I Gimad kami bertemu dengan Ibnu al-Daghnah yang datang dari Jeddah. Beliau merupakan tokoh pemuka suku Qara, salah satu dari sahabat lama ayah.

Ia bertanya keheranan atas apa yang sedang terjadi. Ayahku lahir dari keluarga kaya di Mekkah, seorang pedagang terhormat. Lalu apa yang terjadi sehingga dia bersama keluarganya memutuskan untuk hijrah?

"Ke mana kau akan pergi dengan keluargamu, Abu Bakar? "

"Orang-orang di kotaku tak memberi kebebasan kepadaku. Mereka bersikap buruk kepadaku dan keluargaku sehingga memaksa kami untuk pergi dari Mekkah. Aku dan keluarga mencari tempat di kota lain untuk bisa beribadah dengan nyaman kepada Tuhan kami."

"Mengapa mereka lakukan hal ini kepadamu dan keluargamu? " tanya Ibn al-Daghnah lebih lanjut. "Orang seperti dirimu tak bisa pergi dari kota kelahirannya, tak bisa diusir. Engkau datang dari orang-orang terhormat di sukumu dan dirimu sendiri adalah orang yang dapat dipercaya, dihormati di Mekkah. Kami mengenalmu karena kebaikanmu dan suka melindungi orang-orang yang terkena musibah. Engkau juga kerap memberi bantuan kepada banyak orang, padahal orang lain tak bisa memberikannya. Ratusan orang ada dalam perlindungan mu, sementara tak satupun orang lain bisa melakukannya. Engkau selama ini dikenal sebagai pemberi pekerjaan yang baik dan adil, menopang beban orang-orang lemah dan tak mampu. Engkau pun menjamu dan memperlakukan semua tamu dengan baik. "

Daghnah memiliki sifat pengertian dan berhati mulia. Jika dia tak memberhentikan ayah, mungkin kami sudah melanjutkan perjalanan ke Madinah, atau berlayar dengan kapal seseorang di Jeddah.

Ayah menjelaskan satu per satu semua peristiwa yang terjadi kepada Daghnah. Dia mendengarkan dengan seksama dan penuh perhatian.

"Aku punya ide"! ucapnya bersemangat sambil memegang bahu ayah dengan kedua tangannya.

Menurut adat masa itu, lazimnya Ibn al-Daghnah akan memberi perlindungan kepada ayahku agar kami bisa kembali ke Mekkah. Menurut undang-undang harga diri pada saat itu, perbuatan buruk kepada orang yang sedang di bawah perlindungan berarti melakukan hal buruk kepada orang yang memberikan perlindungan. Demi kehormatan bagi sang pemberi perlindungan, mereka harus patuh kepada aturan orang yang berada dalam perlindungan. Dan sungguh, ketika kami tiba kembali di kota, para tokoh pemuka Mekkah menyetujui perjanjian perlindungan ini dengan mengajukan syarat kepada Daghnah.

Syarat-syarat yang diajukan dalam Perjanjian itu sebagai berikut: Ayah tidak akan membaca Al-Quran dengan suara keras dan tidak akan datang ke Ka'bah untuk melakukan sholat di sana. Di luar itu semua, ayah dijamin takkan mendapat perlakuan buruk hanya karena dia telah masuk Islam.

Daghnah lalu berpisah dengan para pemuka Mekkah dengan senyum puas di wajahnya. Dia telah bisa mencegah Abu Bakar pergi dari kata kelahirannya, sementara dia sendiri juga telah dapat membuktikan potensinya dalam melakukan kerja sama dengan para bangsawan Mekkah.

Berita ini sangat menyenangkan hati kakek dan nenekku. Aku juga merasakan kebahagiaan karena dapat kembali ke rumah dan bertemu teman-teman, kebun, dan tetangga-tetanggaku lagi.

Ayah, sesuai perjanjian perlindungan yang disepakati, membuat ruangan kecil di samping rumah untuk dirinya sendiri, terletak di ujung kebun rumah kami. Ruang itu ditembok setinggi pinggul dan beratap terbuka.

Di ruangan itu dia membaca Al-Quran dan shalat. sesuai perjanjian perlindungan, dia melakukan ibadah, doa, dan dzikir di ruangan itu tanpa datang ke Ka'bah. Ayahku adalah orang yang gampang berlinang air mata ketika berdoa. Dengan khusyuk dan muka yang jernih, ia berdoa dan bermunajat. Namun, beberapa hari kemudian para kaum durjana itu kembali mempermasalahkan hal serupa.

"Suaranya terdengar. Waktu dia berdiri saat shalat, semua orang bisa melihatnya. Meskipun membuat ruang untuk dirinya sendiri, dia jadi bahan perhatian. Anak-anak, budak-budak, dan para wanita bergegas untuk melihat ruang ibadah Abu Bakar. Kami pun tak bisa memberikan pekerjaan kepada siapapun begitu dia mulai membacakan Al-Quran di ruang ibadahnya, karena di sekelilingnya dipenuhi orang. apa lagi dia berdoa sambil menangis. Kami memang melarang dia untuk melakukannya di Ka'bah, tapi kalau begini terus dia akan mengubah Ka'bah menjadi kubah masjid, " gerutu mereka.

Mereka kemudian mengeluh pada Ibn al-Daghnah yang telah menjamin perlindungan kepada ayah. Ketika ia mengunjungi ayah dan melihat ruang ibadah yang terbuat dari batu di samping rumah, dia membenarkan keluhan para pemuka Mekkah.

"Sahabatku, dengan kondisi seperti ini aku tak bisa lagi memberikan perlindungan kepadamu. Maafkan aku, " ucapnya.

Kemudian ayah malah mengucapkan sebuah doa, "Biarkan Allah memberikan perlindungan kepada kami yang tak mendapatkan perlindungan darimu. Allah adalah sebaik-baik pelindung. "

Di hari yang sama kaum musyrik mengirim para utusan ke rumah Abu Thalib untuk memberi peringatan dan meminta sebuah perjanjian. Sebagai salah seorang pemuka keluarga terhormat, ia menjelaskan kepada Rasulullah yang sudah dia anggap seperti anaknya sendiri bahwa perselisihan ini bisa menimbulkan pertumpahan darah, terutama jika dakwah tak dihentikan.

"Demi Allah paman, " ucap Rasulullah, "meskipun kaum Quraish memberikan matahari di tangan kananku, bulan di tangan kiriku, dan tahu akan mati, aku takkan pernah berhenti berdakwah atas apa yang aku percayai! "

Pernyataan Rasulullah seperti itu membangun keyakinan kaum Muslim. Ya, ujian ini butuh kesabaran, keyakinan yang tak tergoyahkan.

Pada hari-hari inilah Habbab, saudara kami yang masih terikat dengan perbudakan, datang dengan luka-luka bakar. Pemiliknya yang dzalim menghukum dirinya karena ia masuk Islam tanpa seizinnya. Ia membakar kepala Habbab dengan bara besi yang sangat panas. Tak hanya itu, tubuhnya kemudian di kubur dalam pasir panas padang pasir sekalian bersama luka-lukanya.

Next chapter