webnovel

Batu Ratapan

Editor: Wave Literature

"Tidak ada yang aneh dari pergerakan mereka sejauh ini." Seorang pria berjubah hitam berbicara sambil mengamati jejak-jejak kaki di tanah dengan teliti.

"Semuanya berjalan sesuai dengan rencana," Pria berjubah hitam lainnya membalas. Ia merasa sedikit waspada "Tapi, apa kalian tidak merasa bahwa semuanya berjalan terlalu lancar?"

Pria-pria itu menggunakan pakaian serba hitam. Selain mata, semua bagian tubuh mereka tertutupi oleh pakaian mereka. Bahkan suara mereka terdengar tidak jelas. Dari luar, orang–orang tidak akan tahu apakah mereka perempuan atau laki-laki.

"Berdasarkan informasi yang kita dapatkan, pemuda tersebut memiliki sifat yang waspada dan teliti. Tapi kenapa sekarang dia terlihat terlalu santai?"

"Wajar saja. Maksudku, lihat, ada gadis cantik di sampingnya saat ini…" Salah satu pria berjubah hitam melontarkan candaan dengan suara yang pelan.

Tiga pria lainnya tertawa. Tapi tawa tersebut tidak berlangsung lama. Mereka kembali saling berbisik satu sama lain.

"Kita akan bergerak sesuai dengan perintah awal. Kita akan menyerang mereka begitu mereka sudah berada di kedalaman hutan. Ingat! Kita harus melakukan ini dengan bersih tanpa meninggalkan jejak sama sekali."

"Bagaimana dengan gadis itu?"

"Sebisa mungkin tangkap dia hidup-hidup. Entah itu dengan cara membuatnya pingsan, membiusnya atau dengan cara apa saja asal kita bisa membawanya hidup-hidup. Tetapi, jika kita tidak bisa menangkapnya hidup-hidup, kita harus membungkam mulutnya. Mage merupakan lawan yang tangguh. Kalian semua harus berhati-hati."

Semua pria berjubah hitam mengangguk setuju. Tentu saja mereka tahu bagaimana sulitnya berhadapan dengan seorang Mage. Jika mereka berniat kabur, hampir tidak ada orang yang bisa menghentikan mereka.

"Eh?"

Tiba-tiba, salah satu pria berjubah hitam merasakan adanya pergerakan di dekatnya. Dia memberikan isyarat dengan cepat pada teman-temannya dan mencabut pisau di pinggangnya secara perlahan. Pria itu melangkah pelan ke arah semak-semak. Pria lainnya segera berjongkok mengikutinya sambil menarik senjata mereka. Kemudian, dalam sekejap, pria berjubah hitam yang paling dekat dengan semak-semak tersebut menusukkan pisaunya ke arah depan.

Wush! Semak-semak itu bergetar. Seekor tupai berlari keluar dengan rasa takut. Lalu menabrak pohon di dekatnya sebelum memanjat batang pohon tersebut. Sejenak, hewan itu berbalik dan menatap kumpulan pria berjubah hitam tersebut dengan panik sebelum akhirnya menghilang.

Ketika para pria berjubah hitam menyadari bahwa tidak ada bahaya yang mengintai mereka, mereka hanya saling melirik, tanpa berbicara sepatah kata pun. Kemudian, mereka melompat ke arah semak-semak dan menghilang dari pandangan.

Sementara itu, Marlene sedang berada di sebuah selokan. Gadis itu menghentakkan kakinya karena kesal.

"Argh!" Marlene merengut saat dia mengepalkan tinju ke arah langit.

"Dasar orang-orang barbar! Tunggu saja…"

Rhode tidak senang kalau ada orang yang membuntutinya. Tapi berhubung kali ini pemuda itu sengaja membiarkan musuhnya membuntuti dirinya dan Marlene. Tentu saja, dia harus menemukan cara untuk melacak pergerakan mereka. Inilah yang disebut 'siklus' timbal balik.

Karena itu, saat sampai pada Batu Ratapan, Rhode tidak langsung bergerak mencari harta karun. Dia menyuruh Marlene menentukan cara yang bisa mengatasii pengintaian pria-pria berjubah hitam tersebut. Tujuannya adalah mengetahui niat mereka. Selain itu, dia ingin Marlene sadar bahwa segala sesuatu tidak sederhana seperti kelihatannya.

Awalnya, Marlene tidak peduli dengan keberadaan orang-orang berjubah hitam itu. Dia adalah seorang bangsawan dari keluarga yang berpengaruh. Sepanjang hidupnya, gadis itu terbiasa melihat segala sesuatu dari sisi terangnya saja. Dia tidak terlalu memperhatikan apa yang ada di balik sisi terang tersebut. Menurut pendapatnya, pria-pria berjubah hitam itu hanyalah sekumpulan Thief yang licik. Tidak lebih. Jadi, ketika Rhode tiba-tiba menyuruhnya memeriksa semak-semak, Marlene tanpa henti.

Tapi setelah memeriksa semuanya dengan teliti, dia melihat beberapa bayangan yang bersembunyi di dalam semak-semak. Muka Marlene berubah pucat tapi dia menahan diri untuk tidak mengatakan apa-apa. Harga diri gadis itu memang tinggi. Tapi dia tidak bodoh.

Sebagai Mage, dia tahu bahwa serangan dari arah belakang adalah salah satu kelemahannya. Dalam sebuah pertempuran, dia biasanya akan memberikan sebuah sihir pelindung pada dirinya sendiri sehingga dia tidak perlu mengkhawatirkan serangan jarak jauh ataupun serangan dari belakang. Mage bisa melindungi diri mereka setiap saat. Mereka tidak akan bisa dikalahkan kalau begitu.

Jika dia diserang oleh musuh saat berjalan melewati semak-semak tanpa persiapan, itu tidak akan berakhir dengan baik untuk Marlene. Oleh karena itu, saat Marlene melihat pria-pria berjubah hitam tersebut, dia berhenti mengabaikan mereka.

Rhode memerhatikan Marlene dengan saksama dan mengangguk puas. Dari awal, dia sudah mengamati kekuatan musuh mereka berdua. Rhode tahu bahwa level mereka jauh lebih tinggi dari dirinya karena mereka sudah sampai tingkat lanjut. Untungnya, rute pengintaian dan teknik rahasia mereka sama persis dengan yang diingat oleh Rhode. Itu membuatnya lebih percaya diri menghadapi pria-pria berjubah hitam tersebut.

Dari luar, Marlene dan Rhode terlihat santai. Tapi, di balik sikap santai tersebut, sebenarnya mereka sudah melakukan banyak hal. Tidak peduli apakah musuh mereka kuat atau lemah, Rhode perlu melacak keberadaan mereka sebelum mereka menyerang. Oleh karena itu, Rhode memiliki keuntungan karena dialah yang menentukan lokasi penyergapan.

Dalam proses melacak keberadaan musuh mereka, Rhode menemukan sesuatu yang menarik.

"Peliharaanmu itu manis sekali," kata Rhode dengan senyum tipis di bibirnya. Entah apakah pemuda itu memuji Marlene atau bersikap sinis kepadanya. Pandangannya terpaku pada seekor tupai yang bertengger di bahu Marlene.

"Terus terang, kupikir peliharaan seorang Mage akan terlihat lebih…unik."

"Unik?" Marlene menaikkan alisnya sambil menatap Rhode dengan marah.

"Kau pikir peliharaanku ini terlihat seaneh roh-rohmu? Peliharaan ini kesayanganku! Kalau kita tidak bepergian sejauh ini, aku tidak akan membawanya bersamaku."

Dan sekarang gadis itu mulai menyeret roh-roh milik Rhode dalam argumennya…

Rhode hanya bisa menghela napas dan menggelengkan kepalanya. Dia kembali menatap tupai yang bertengger pada bahu Marlene. Hewan itu sedang menggigit kacang dengan gigi-giginya yang kecil.

Dari sudut pandang para perempuan, tampilan imut dan lucu adalah faktor yang terpenting. Rhode memahami hal ini dengan jelas karena dia pernah memimpin guild sebelumnya. Banyak pemain perempuan yang memilih peliharaan mereka bukan berdasarkan skill, bakat, harga ataupun kekuatan bertarung. Mereka lebih memilih peliharaan yang terlihat cantik, imut dan mempesona. Sepertinya perempuan selalu memiliki sisi seperti ini, tidak peduli darimanapun dia berasal…

"Ayo."

Di dalam selokan tersebut, semak-semak panjang tersebar ke dinding batu. Setiap kali angin berhembus, daun-daun kering beterbangan ke mana-mana.

"Apakah kita benar-benar akan menemukan harta karun di tempat seperti ini, tuan Rhode?" Marlene mengeluh. Satu tangannya terangkat ke depan, menyingkirkan dedaunan dari wajahnya.

"Bagaimana bisa ada harta karun di tempat yang terbengkalai seperti ini?"

"Justru karena tempat ini terbengkalai sehingga kita bisa menemukan harta karun di sini, Nona Marlene."

Rhode berjalan dan mengamati keadaan sekelilingnya dengan seksama.

"Apa kau tahu kenapa tempat ini disebut sebagai Batu Ratapan?"

Marlene menggelengkan kepala. Dia bukanlah penduduk asli kota Deep Stone. Jadi dia tentu saja tidak mengetahui hal tersebut.

"Dahulu kala, ada perkemahan para bandit yang dibangun di dekat sini. Saat itu, kota Deep Stone belum di bangun. Semua tambang dimonopoli oleh para konglomerat pedagang besar. Para pedagang rakus ini tidak hanya mengeksploitasi para penambang. Mereka juga tidak memberikan upah ataupun kebutuhan hidup yang memadai pada penambang. Akhirnya, para bandit membunuh pedagang-pedagang tersebut dan memberikan uang hasil rampasan pada orang-orang yang membutuhkannya."

Mulut Marlene sedikit berkedut. Meskipun dia juga membenci bangsawan-bangsawan kejam, dia tahu masalah-masalah ini seharusnya ditangani oleh bangsawan. Apapun alasannya, gadis itu merasa tidak senang jika warga biasa memutuskan memberontak dan memperjuangkan keadilan mereka sendiri.

Dengan penilaiannya, Rhode menyadari ekspresi Marlene yang tidak senang. Tapi dia memilih tetap menutup mulutnya. Ketika Rhode datang ke dunia ini dan berinteraksi dengan orang-orang di dalamnya, pemuda itu sadar bahwa budaya dan keyakinan mereka sangat berbeda dengan budaya dan keyakinannya sendiri. Contohnya, kalau dia menceritakan kisah tersebut kepada orang-orang dari dunianya, orang-orang mungkin akan memuji keberanian para bandit yang berperang melawan penindasan itu. Tapi dunia ini berbeda.

Meskipun Marlene tidak menentang perbuatan para bandit tersebut, gadis itu juga tidak berpikir bahwa perbuatan itu layak dipuji. Marlene adalah seorang bangsawan. Oleh karena itu, dia memiliki pendapat yang berbeda dengan orang-orang biasa. Dia dibesarkan untuk menjunjung tinggi martabatnya sebagai seorang bangsawan. Dia mempertahankan nilai serta kewajiban para bangsawan. Jadi, ketika mendengar kisah seperti itu, Marlene tidak sepenuhnya setuju dengan perbuatan para bandit tersebut.

Bagi orang-orang biasa atau yang memiliki kasta lebih rendah daripada para bangsawan, mereka tidak peduli apakah tokoh utama dalam ceritanya adalah seorang pencuri atau bandit. Selama tokoh utama itu bisa memecahkan permasalahan mereka, tokoh-tokoh tersebut adalah pahlawan bagi mereka.

Rhode tidak berniat meluruskan pandangan hidup Marlene. Dia juga tidak tertarik untuk mengubah sudut pandang gadis itu.

Dia mulai mengingat penjelasan misi di dalam game dan kemudian berbicara, "Seiring berjalannya waktu, bandit-bandit tersebut mulai dikenal lebih banyak orang. Itulah yang membuat pedagang-pedagang kaya merasa iri. Akhirnya, mereka mengumpulkan para prajurit dan mengepung perkemhan bandit tersebut. Meskipun jumlahnya lebih sedikit, semangat para bandit tidak goyah. Mereka bertempur dengan gagah berani dan akhirnya gugur dengan terhormat. Malamnya, setelah para prajurit pergi, orang-orang datang ke perkemahan bandit dan berduka atas kematian pahlawan-pahlawan mereka. Mereka juga mendirikan sebuah batu nisan yang disebut sebagai Batu Ratapan."

"Benar-benar cerita yang sangat menyentuh hati…apa yang terjadi pada mereka setelah itu?"

"Aku tidak tahu."

Rhode menggelengkan kepala. Menurut yang dia ingat, penjelasan misi itu menceritakan hal tersebut. Tapi tidak menyebutkan sesuatu seperti, "Kalau kau ingin tahu kelanjutannya, silakan baca bab selanjutnya."

"Itu adalah kisah yang sangat luar biasa."

Marlene menganggukkan kepala, tapi dia masih merasa ragu.

"Tapi, tuan Rhode, menurut ceritamu, bagaimanapun juga mereka hanyalah sekumpulan bandit. Mereka semua adalah kriminal. Jadi bagaimana bisa mereka meninggalkan harta karun di sini?"

"Kalau begitu aku bertanya padamu, Marlene. Kenapa keluarga Senia memiliki pengaruh yang begitu kuat? Apakah hanya karena ketenaran mereka?"

"Tentu saja tidak," Marlene membalas pertanyaan Rhode dengan cepat.

Dia tidak suka dengan cara Rhode yang menyatakan hal tersebut dengan terus terang.

"Kami, keluarga Senia, bukanlah keluarga bangsawan yang hanya mengandalkan kejayaan masa lalu. Hmph, kalau saja kau tahu, Lize yang sebenarnya –"

Mendadak Marlene menutup mulutnya. Kemudian, dia menatap Rhode dengan perasaan bersalah. Ketika menyadari bahwa tidak ada perubahan ekspresi wajah Rhode, Marlena merasa lega. Pada saat yang bersamaan, dia menggelengkan kepalanya diam-diam.

Lize…mungkin lebih baik jika kau menjelaskan situasimu kepada Tuan Rhode. Kalau tidak, bukan hanya kau yang harus berhati-hati, bahkan aku juga harus menjaga mulutku agar tidak keceplosan soal itu. Benar-benar merepotkan.

"Sama halnya dengan bandit-bandit tersebut," Rhode melanjutkan kata-katanya dengan datar, seakan-akan tidak mendengar perkataan Marlene.

Gadis itu tidak tahu apakah Rhode benar-benar mendengarnya atau hanya pura-pura tidak mendengarnya.

Rhode berkata, "Tidakkah kau merasa aneh mengapa bandit-bandit itu bisa melawan para pedagang rakus tersebut? Kalau dipikir-pikir, banyak orang tidak akan berani menjadi seorang bandit dan mempertaruhkan nyawa mereka. Satu-satunya alasan paling masuk akal mengapa mereka bisa sangat kuat adalah mereka pasti mendapat dukungan dari seseorang. Jika kita mengambil kesimpulan seperti ini dan menyelidikinya lebih lanjut, bisa jadi kita dapat menemukan harta yang terduga."

Rhode mulai memasukkan kebenaran dalam ceritanya. Di dalam game, banyak misi tersembunyi yang berasal dari rumor, legenda ataupun kisah seperti ini. Para pemain merasa sensitif dengan bagian ini. Itu karena Dragon Soul Continent Online adalah sebuah game virtual reality (realitas virtual). Karena itulah, pastinya misi-misi tersebut tidak terlalu jauh berbeda dengan kehidupan nyata. Kalimat atau ucapan apapun bisa menjadi pemicu munculnya misi yang tersembunyi.

Dalam versi game, misi Batu Ratapan akan aktif bila pemain mendengar seorang Bard menyanyikan lagu di sebuah kedai minuman. Kebanyakan tujuan pemain mengunjungi keda-kedai minuman adalah untuk mencari petualangan. Jadi mereka menunggu para Bard bernyanyi untuk mengaktifkan misi tertentu.

Tentu saja, Marlene tidak memahami hal itu. Gadis itu hanya bisa membelalakkan mata ke arah Rhode. Dia terkejut dengan kemampuan Rhode mengolah informasi berdasarkan sebuah kisah. Marlene merasa semakin banyak waktu yang ia habiskan bersama pemuda itu, semakin banyak kejutan yang ia temukan dalam diri Rhode. Mengapa dia terasa mampu melakukan semuanya dengan mudah?

Siapa dia sebenarnya?

Marlene merasa semakin penasaran.

"Di sini."

Rhode berhenti melangkah tepat di depan gua. Dia mengamati mulut gua yang gelap dengan cermat sebelum bisa memasuki gua tersebut. Marlene merasa ragu sesaat, tapi akhirnya dia mengikuti Rhode masuk ke dalam gua.

Keduanya menyalakan obor mereka untuk menerangi terowongan. Satu-satunya suara yang bisa mereka dengar adalah suara langkah kaki mereka sendiri. Sesekali, setetes air terjatuh ke arah tanah dan menimbulkan suara yang cukup keras. Sekilas, tidak ada yang aneh dari gua bawah tanah tersebut.

Tidak lama setelah memasuki gua tersebut, Marlene yang berjalan di belakang Rhode mendadak berteriak sambil melompat ke arah depan.

"Aah!"

"Ada apa?"

Rhode berbalik dengan cepat dan menatap gadis itu.

"A-aku merasa ada seseorang yang menyentuhku dari arah belakang," Marlene berkata sambil merasa gemetar, ia terlihat malu sudah berteriak dengan tiba-tiba.

"Menyentuhmu?"

Sebelum dia berbalik kembali ke arah depan, Rhode memikirkan beberapa kemungkinan. Tapi dia tidak menyangka bahwa ternyata penyebabnya adalah hal yang tidak masuk akal. Dia mengangkat obornya dan melambaikan benda tersebut di belakang Marlene.

"Tidak ada siapa-siapa di belakang."

"M-mungkin hanya perasaanku?"

Marlene juga berbalik. Mukanya terlihat merah. Dia tidak tahu harus mengatakan apa lagi.

Rhode tidak menggubrisnya. Tidak lama kemudian, mereka terus berjalan. Tapi setelah tiga langkah, teriakan Marlene kembali terdengar.

"Aaahh!"

"Eh?"

Rhode membalikkan badannya lagi, tapi dia tetap tidak bisa menemukan siapa-siapa di belakangnya. Tetapi, kali ini dia sadar bahwa wajah Marlene terlihat sangat pucat. Seluruh tubuhnya sangat gemetar seolah-olah gadis itu melihat hantu.

"Ti-tidak, ini tidak benar…ada sesuatu…! Aku tidak tahu apa itu, tapi dia menyentuh punggungku…Rhode, b-bantu aku! Apa…apa yang-"

Sebelum Marlene selesai berbicara, Rhode melihat ada sesuatu yang berbulu yang bergerak ke arah leher gadis itu.

"Jangan bergerak!"

Wush!! Rhode mengayunkan pedangnya dengan cepat pada kerah jubah Marlene. Dia menjepit makhluk itu ke dinding. Saat itu, akhirnya mereka berdua melihat penampilan makhluk itu yang sebenarnya.

Itu adalah seekor laba-laba yang berukuran sebesar telapak tangan manusia!

Meskipun dada laba-laba itu tertusuk oleh pedang Rhode, dia masih berusaha untuk kabur. Darah berwarna coklat menyembur keluar dari lukanya dan seutas benang putih keluar di antara kedua cheliceranya (Chelicerae: Alat Mulut yang terdiri dari dua segmen pada seekor laba-laba) dan terlihat sangat kesakitan.

Pemandangan tersebut benar-benar menjijikkan.

Meskipun Rhode sudah bertemu dengan makhluk-makhluk yang lebih luar biasa dari ini, ekspresi datar di mukanya sedikit berubah. Dia menghentakkan pedangnya sedikit dan mengoyak tubuh laba-laba itu.

"Haahh…"

Setelah menyingkirkan laba-laba itu, akhirnya Rhode merasa lega.

"Nona Marlene, apakah kau baik-baik saja? Bagaimana perasaan –"

Perkatan Rhode terpotong ketika sebuah tubuh yang lembut dan harum menerjang ke arah pelukannya.

"…" Rhode tidak bisa berkata apa-apa.

"Hiks…"

Marlene menempelkan tubuhnya dengan erat pada Rhode dan membenamkan kepalanya di pelukan pemuda tersebut. Meskipun dia tidak dapat melihat ekspresi gadis itu, Rhode dapat mendengar suara isakan Marlene.

Apakah nona muda ini benar-benar menangis?

Rhode mengerutkan alisnya dan merasa bingung. Kemudian dia mengulurkan tangan kirinya dan membelai bahu Marlene.

Anehnya, Marlene tidak bereaksi sama sekali. Lengannya tetap memeluk tubuh Rhode. Harus diakui bahwa sensasi sentuhan dari 'dua gunung' Marlene benar-benar menggoda.

"Nona Marlene? Semuanya baik-baik saja sekarang."

"Hik…hik…a-apakah makhluk itu sudah benar-benar mati? Su-sudah tidak ada apa-apa kan di punggungku? Tuan Rhode, tolong lihat apakah makhluk mengerikan tersebut meninggalkan sesuatu di punggungku?"

Rhode memeriksa punggung Marlene dengan penerangan dari obornya. Dia tidak menemukan sesuatu yang aneh dari jubah Marlene yang bersih dan rapi.

"Tidak ada apa-apa, nona Marlene."

Setelah mendengar ucapan Rhode, Marlene akhirnya merasa lega. Kemudian, dia mengangkat kepala dan menyeka matanya. Tiba-tiba gadis itu mengingat sesuatu, dan dia tersenyum malu ke arah Rhode dan berkata, "A-aku harus melakukan sesuatu. Aku akan segera kembali, oke?"

"…Tentu saja, tidak masalah, hati-hati."

SIkap lemah lembut Marlene terasa agak menyenangkan dibandingkan biasanya. Bagaimanapun juga, gadis itu biasa bersikap angkuh pada semua orang. Rhode tidak tahu apa yang sedang ada dalam pikiran gadis tersebut. Jadi, dia hanya bisa melihat Marlene berlari dengan cepat menuju sudut dan melakukan sesuatu yang mencurigakan. Tidak lama kemudian, obor di sudut itu bergerak sekali lagi. Ketika Marlene kembali, dia terlihat sudah tenang dan kembali segar.

Tapi, bukan hanya ekspresinya yang kembali normal, tapi jubah mewah yang semula ia pakai…juga berubah?

"Nona Marlene?"

"Eh? Aku baik-baik saja, Tuan Rhode. Maafkan kelakuanku yang lancang. Aku benar-benar panik tadi dan bertingkah tidak seperti biasanya…tapi aku baik-baik saja sekarang, jadi mari lanjutkan perjalanan kita."

"Tentu saja, tapi aku punya pertanyaan."

"Apa itu?"

"Apakah kau sebenarnya…takut dengan laba-laba?"

"Oh…ha ha ha ha ha…" Marlene memaksakan tawa saatmendengar pertanyaan Rhode.

"Apa maksudmu, tuan Rhode? Kau sangat lucu. Bagaimana bisa gadis jenius ini merasa takut terhadap makhluk-makhluk berkaki delapan, berbulu, berwarna hitam dan kasar tersebut? Tidak mungkin. Aku hanya merasa sedikit syok. Itu saja. Serangga-serangga tidak berguna seperti itu hanya bisa menakuti orang-orang dengan rahang mereka yang mungil. Aku tidak merasa takut sama sekali!"

Kedengarannya dia benar-benar merasa takut…

Next chapter