webnovel

Batas Hubungan Saudara

16 September 1274 AG - 07:00 Am

Kota Tigris — Mansion Grall del Stauven

—————

Hari ini adalah hari istimewa bagi Mascara. Seperti yang ayahnya katakan, akan ada tamu dari Kota Maylon yang menjelaskan perannya bersama Simian. Peran itu akan sangat penting sehingga Mascara tidak hentinya bertanya-tanya.

Apa tugasnya?

Siapa yang sebenarnya harus dia hadapi?

Mascara terus memikirkannya sampai tingkah seseorang membuat lamunan itu berantakan.

"Bisakah kau berhenti ngupil?"

"Apa kotoran hidungku mengganggumu?" balas Simian, seakan sengaja memancing amarahnya.

"Menjijikan sekali, lama-lama kamu tidak laku, Simian. Jaga sikapmu."

"Ow, siapa yang tidak laku di sini?"

Mascara hendak melempar bangkunya. Tapi Simian lebih dulu bilang, "Mau tidur sendirian nanti malam?"

Bangku itu Mascara taruh kembali ke tempatnya.

"Kamu masih kecil, jangan tidur dengan perempuan lain selain denganku," kata Mascara, menyatakan benak yang selama ini mengganggunya. Dia sendiri juga belum tahu kenapa akhir-akhir dia makin sulit lepas dari Simian. Dia berusaha meredam amarahnya ketika  si mata keranjang itu masih juga bersikap menyebalkan.

"Memangnya selama dua tahun ini aku tidur sama kutu kasur? Kekasihku banyak. Kamar mereka selalu terbuka untukku ... pakaian dalam mereka juga."

"Kamu mati."

"Ooppsss, ada yang tidur sendiri nanti malam."

Mascara menaruh lagi kursi yang batal dia lempar. Gadis itu sebal karena Simian makin lama semakin kurang ajar. Dia buang muka ketika pria itu menjulurkan lidahnya meledek.

Selama tiga tahun ini Simian jarang pulang ke rumah. Mascara tahu penyebabnya karena pria itu ingin jaga jarak. Gadis itu paham bahwa adiknya merasa tidak nyaman setiap kali dia ajak tidur berduaan. Sebagai kakak, Mascara sadar bahwa Simian adalah pria normal yang pasti memiliki nafsu. Dan karena pemahaman itu pula dia mulai takut Simian bisa berbuat jauh dengan perempuan lain.

Mascara selalu takut suatu saat nanti Simian akan menikah dan selama pergi.

"Ngapain lihat-lihat? Naksir?" Simian menegur Mascara yang masih terpaku memandang wajahnya.

Mascara tidak menjawab. Dia menghampiri pria itu untuk memastikan keanehan waktu bangun tadi. Dia memeluknya dari belakang dan melirik bagian tertentu dari si rambut merah.

Seperti dugaannya, ada yang menonjol di celana adiknya.

"Ow, aku baru tahu kamu ternyata horny sama kakak perempuanmu sendiri."

Wajah Simian langsung merah padam. Dia meronta karena terlampau panik.

"Aku pria normal! Salah sendiri semalam kamu cuma pakai chemise!"

"Pantas saja kamu cepat-cepat ganti celana. Jujur padaku, aku kamu apain saja semalam?"

Simian langsung pasang tampang seperti maling ketahuan.

Mascara mengernyitkan dahinya. Gelagat Simian meyakinkannya bahwa bocah itu semalam curi-curi kesempatan. Tapi dia tidak mempermasalahkannya karena terlanjur gemas dengan wajah malu-malu Simian.

Tidak salah lagi. Musuh alami perempuan itu ternyata masih perjaka. Mascara tersenyum geli melihat wajah pucat adiknya. Dia peluk lagi pria itu dan berbisik, "Aku tidak peduli apapun tingkahmu semalam. Tapi malam nanti, aku ingin kamu lebih berani lagi."

"Kamu gila!!!?"

Mascara tak kuasa menahan tawa karena Simian hampir terjatuh dari kursinya.

Sebenarnya Mascara tahu adiknya selalu salah tingkah setiap kali tidur bersama. Dia juga tahu Simian pasti serba salah antara pura-pura terpejam atau membiarkan tangan nakalnya berpetualang. Gelagat itu melambungkan kebanggaannya. Karena dia yakin bahwa dirinyalah satu satunya wanita di seluruh dunia yang mampu membangkitkan nafsu pria se-populer Simian.

Aneh bukan? Mascara sendiri tidak paham alasan dirinya membuka pintu terlalu lebar. Namun yang dia tahu, Simian memang tidak pernah menyentuh perempuan lain. Mascara sudah tahu semuanya setelah menginterogasi kekasih si rambut merah itu satu-persatu.

Apakah Mascara mulai menginginkan Simian sebagai pejantan? Apakah dia jatuh cinta?

Dia menjawab, bukan. Mascara merasa itu harga yang pantas bagi seseorang yang membesarkan Simian. Dia merasa wajar untuk memonopoli semua yang dimiliki adiknya sendiri.

Dulu Mascara takut dengan sifat mesum pria itu. Dia selalu cemas Simian intip waktu mandi, bahkan tidur pakai zirah besi karena tangan kecil Simian gemar sekali meraba-raba. Tapi setelah Simian jadi mata keranjang, semua itu menjadi kenangan. Mascara merasa kehilangan dan merindukan tangan nakal Simian. Dia tidak rela pria itu membagi perhatiannya.

Dia tidak rela. Simian harus selalu bersama dirinya atau lebih baik pria itu mati saja. Mascara kesal bercampur gemas. Dia masih mendekap Simian yang coba-coba meronta darinya. Dia berbisik lagi sambil mendesah yang dibuat-buat.

"Simian …"

"Apa?"

"Aku masih perawan."

"Demi Lord!!!"

"Hahahahahahaha!"

Mascara mengakhiri hasrat menggodanya ketika sang ayah datang bersama seseorang yang belum dia kenal.

"Seperti yang aku bilang, kita ada tamu dari Kota Maylon," kata sang ayah tanpa mengacuhkan keributan yang Mascara buat. "Kalian harus tahu apa peran kalian di masa depan."

Mascara mengangguk. Dia duduk tenang di samping Simian yang juga sudah menjaga sikap.

Marquis Grall del Stauven mempersilahkan orang asing itu duduk. Dia memperkenalkan tamunya kepada Simian dan Mascara.

"Beliau ini bernama Tuan Tonos the Blackfin. Beliau yang akan menjelaskan punya peran apa kalian nanti di Kota Maylon."

Mascara mengamati pria asing itu yang mungkin berumur 60 tahunan. Entah kenapa dia merasa pernah bertemu dengannya. Nama tamu itu pun terdengar tidak asing, begitupun wajahnya yang nampak familiar.

'Aku tidak salah lihat, 'kan?' Mascara baru sadar bahwa wajah kakek-kakek itu mirip sekali dengan Simian.

Walaupun rambut tamu itu coklat hazel, tapi dia memiliki pupil biru safir yang sama persis seperti pupil adiknya. Andaikata pria tua itu memiliki warna rambut yang sama, Mascara pasti seperti melihat Simian yang sudah bangkotan.

"Ehem," dehem Pak Tua itu seolah memaksa Mascara menghentikan lamunannya.

Si tomboy itu langsung menjaga sikap. Dia pasang telinga ketika pak tua itu melanjutkan kata-katanya.

"Kalian adalah generasi penting bagi Kota Maylon. Kalian sudah paham kenapa Maylon membeli kalian?"

Next chapter