Laki-laki yang diam membatu ketika hujan membasahi seluruh tubuhnya. Bagaikan batu tanpa nyawa dengan dingin sorot matanya. Wajah yang teraliri oleh hujan dan air mata, membuat tekad dalam dirinya bangkit. Seorang laki-laki yang terpisah dari keluarganya, dia sendirian, tidak ada yang mengajarkan apapun padanya terkecuali ... Apakah itu emosi, nafsu, cinta? Hingga sampai dia dipungut oleh seseorang yang tulus mencintainya...
Di sebuah pasar, tetapi karena sudah malam sehingga pasar ini dihiasi dengan lampu-lampu indah yang memanjakan mata, para penjual menjajakan dagangannya kepada para penduduk.
Lalu ... terdapat seorang anak laki-laki bersama dengan seorang perempuan dewasa yang datang ke tempat ini setelah melakukan sebuah pelatihan fisik.
Rupa perempuan tersebut sangatlah indah dipandangan anak laki-laki tersebut. Dia memiliki rambut hitam panjang dan lurus, proporsi tubuhnya sangat sempurna sebagai seorang perempuan dewasa yang memiliki gelar seorang pemimpin dan gelar penembak jitu.
Memakai pakaian putih dan rok putih, dia merupakan wanita yang anggun dan juga cantik meskipun usianya 23 tahun.
Mereka berdua berkeliling seraya melihat pernak-pernik, perabotan rumah, lalu peralatan untuk memasak.
"Sema, apa yang kau inginkan? Anggaplah ini sebagai hadiah untukmu."
Mereka berdua berjalan bersama, Sema berada di sebelah kiri sedangkan perempuan tersebut sebelah kanan.
"Hadiah ... apakah ini perintah?"
Tanya Sema dengan datar, dia berniat menemani perempuan dewasa tersebut karena ajakannya.
"Bukan-bukan, ini bukanlah sebuah perintah. Hanya saja ... sesuatu yang kau butuhkan sekarang."
Ucap Selina, Sema sedikit melamun karena perkataan Selina yang membuatnya cukup tertarik.
"Ngg ... kalau begitu, aku ingin sebuah sarung tangan anti pedang dengan bagian dalam yang elastis."
Ucapnya, Selina terkejut karena sebetulnya Sema sudah memiliki sepasang.
"Apakah itu saja? Apakah tidak ada yang lainnya seperti senapan baru, buku atau pun yang lainnya."
Sema menggelengkan kepala, ia tidak ingin membebani gurunya.
"Tidak, aku tidak ingin merepotkan guru, apakah aku ini pantas untuk menerima hadiahnya ... "
Sema termenung, lalu gurunya mengusap kepala Sema yang sedikit kaku karena ia memakai minyak rambut pemberian darinya.
"Semua orang pasti pantas mendapatkan hadiah jika apa yang dilakukan olehnya benar, karena itu ... hadiahmu akan aku kabulkan."
Gurunya melepaskan usapannya, Sema segera menatap matanya dan ingin mengatakan sesuatu.
"Selina ... aku ... "
Mata Sema tertuju pada sebuah benda yang menggelinding padanya. Benda tersebut berwarna hijau dan seukuran kepalan tangan, Sema menyadari bahwa benda itu merupakan sebuah granat tangan yang pemicunya sudah di lepaskan.
Seketika langsung, Sema menendangnya lalu Selina dengan reflek menarik pakaian Sema. Selina segera meloncat ke sebuah gang kecil di belakangnya.
*Blarr
Ledakan granat tersebut membuat pasar langsung berantakan. Debu dari hasil ledakan granat membuat penglihatan Sema sedikit buram.
Sema baru saja menyadari bahwa dia terluka pada bagian tangan. Kemudian Selina mengalami luka terkilir pada kakinya karena meloncat dengan membawa sebuah beban tubuh seorang anak.
"Gawat... sepertinya itu sisa-sisa musuh yang dapat melarikan diri, Sema ... larilah! Tinggalkan aku!"
Seru Selina dengan memaksa kehendaknya, Sema yang mendengar perkataannya langsung memperisapkan diri untuk bertarung.
Ia berdiri dengan tekadnya yang teguh, dia memasang sarung tangan anti pedang yang sudah sedikit usang karena sering dipakai olehnya.
"Apakah itu sebuah perintah? Jika tidak, maka ... aku akan terus berada di sini dan menjagamu meskipun ada ratusan pasukan musuh yang menyerang."
*Blarr
Ledakan terjadi lagi, Sema segera melihat situasi dengan melirik secara diam-diam melalui celah barang penyuplai. Warga lokal dan pedagang pun sudah banyak yang pergi.
Dia melihat sebuah pisau tajam yang tergeletak di dekatnya, dia tidak peduli dengan jenis pisau tersebut namun di dalam pikirannya pisau tersebut dapat dijadikan sebuah senjata.
"Baiklah ... misi dimulai."
* * * * * *
Membuka mata karena terbangun dengan suara alarm yang berada di dekatnya, dia sadar bahwa yang tadi adalah mimpi masa lalunya. Sema segera mengusap air matanya yang mengalir melalui kedua matanya.
Beranjak dari tempat tidurnya lalu perlahan-lahan membuka gorden kamar. Cahaya pagi menyinari matanya dan secara reflek pun Sema menutup matanya.
Sema segera mengenakan celana miliknya, karena akhir-akhir ini dia melepaskan seluruh pakaiannya ketika tiba waktunya tidur.
Pada saat menggunakan baju, dia melihat tubuhnya di pantulan cermin yang terpasang pada lemari.
Tubuh penuh luka, otot-otot tubuh yang mengencang. Terdapat banyak luka sayatan, luka bakar, sebuah bekas luka benda tajam yang menyayat sebelah tubuhnya.
Dia menyadari bahwa tubuh ini layaknya monster, karena dia dapat menahan semua rasa sakit dan pedih ini. Bahkanc... setelah gurunya tewas dan meninggalkan dirinya sendirian.
Sema masih kebingungan dengan alasan hidupnya sekarang ini. Walaupun dia berusia 16 tahun dan memiliki keluarga yang menunggunya, dia tetap ingin tinggal bersama gurunya.
Ia segera mematikan alarm kemudian mencabut smartphone yang telah di-charge kemarin malam.
*Brakk
"Sema Dharmawan, lama sekali! Sarapan sudah siap."
Datang seorang wanita berambut pirang seraya membuka pintu kamar Sema. Dia merupakan wanita berkarir yang saat ini tengah merawat Sema, usianya sedikit mirip dengan gurunya.
"Julia? Apakah ada misi baru untukku?"
Julia kesal dengan pertanyaan Sema karena wajahnya yang datar. Julia segera meraih tangan kanan Sema lalu pergi menuju ruang makan.
Julia menyuruh Sema untuk duduk dan memakan sarapannya, di hadapannya saat ini merupakan satu piring sandwich isi sayuran dan segelas susu. Sema segera menghabiskannya secara perlahan lalu minum segelas susu.
Setelah 1 menit jeda waktu sarapan, dia langsung melakukan 20 push up. Setelah cukup waktu istirahat dari push up, ia pergi menuju pintu depan rumah untuk memakai sepatu.
"Julia, aku pergi untuk lari pagi dulu."
Julia pun mendekati Sema dengan memegang beberapa lembaran laporan. Dia mengambil sebuah Bolpoin yang lupa dia ambil kemarin di atas meja yang berada di samping kiri Sema.
"Ya ... jangan terlalu lama."
Sema beranjak dari tempat duduknya setelah memakai sepatu. Dirinya menghadap Julia dan melakukan gerakan hormat pada orang yang memiliki jabatan.
"Siap! Sema Dharmawan, akan kembali secepat mungkin!"
* * * * * *
30 menit kemudian, Sema kembali dengan tubuh yang penuh keringat. Julia yang menghadapi dirinya tidak kuat dengan bau keringat.
"Sema, pergilah mandi. Setelah itu kita pergi ke tempatnya."
Sema terbingungkan dengan wajah bodohnya karena perkataan Julia. Dia pun segera melepaskan sepatu dan merapihkannya pada rak sepatu yang berada di samping kanannya.
"Kau tidak ingat? Sekarang awal Maret dan juga ... hari Selina dimakamkan."
Sema menyadarinya, saat ini merupakan awal masuknya musim semi.
Tetapi, karena dia telah dipindahkan ke negara asalnya yaitu Indonesia, yang merupakan negara yang hanya memiliki 2 musim.
"Kalau begitu ... apakah kita harus segera pergi keluar negeri dan berziarah? Tetapi, apakah aku harus membawa peralatanku seperti Cheytac M200, pisau, dan yang lainnya?"
Sema terburu-buru dengan keadaan mendadak ini. Julia yang sedikit lega karena kelakuan polosnya dapat menghela napas.
"Kau ini ... kita bukan pergi untuk melakukan misi, ataupun penggrebekan ... hanya saja, aku akan membawamu kembali ke keluargamu."
"Jadi ... kalau begitu tidak ada Cheytac M200 ataupun misi?"
"Tidak akan ada ... kau akan menjadi murid dari sebuah sekolah, karena itu Selina berpesan agar kau terbebas dan dapat hidup semaumu."
Sema ingin mengatakan sesuatu untuk menyanggahnya, tetapi dia tidak terlalu berani.
"Baiklah ... itu perintah terakhir yang Selina berikan padaku, aku akan melakukan yang terbaik!"
Sema serius menanggapinya, Julia pun tersenyum dan mengatakan 'lakukanlah yang terbaik.' dan mereka berdua segera mengemas barang-barang mereka.
"Mmm ... Pedang milik siapa ini?"
To Be Continue....