44 Story 44 : Rasa Kehilangan.

Andara terbangun dari tidur panjangnya, perempuan itu membuka kedua matanya secara perlahan. Samar-samar ia melihat seseorang berada tepat di sampingnya. Andara mengulurkan tangannya untuk menyentuh pipi seseorang itu.

"Bunda ...?" Algar menggeleng kecil.

"Ini gue, Algar." Andara tersadar dengan kejadian yang baru saja menimpanya. Perempuan itu mengubah raut wajahnya menjadi sedih.

"Gimana dengan pemakaman bunda?"

"Semuanya berjalan lancar. Sekarang lo istirahat lagi, ya." Andara terdiam.

"Berapa lama gue pingsan?" Algar mencoba menghitungnya.

"Sekitar 5 jam, mungkin." Andara membuang napasnya kasar kemudian bangkit dari tidurnya.

"Lo tau? Gue pikir bunda bisa ngeliat gue sukses nanti. Gue mau bunda bangga, tapi dengan kejamnya, seseorang merenggut semua itu dari gue." Algar berdiri di belakang Andara kemudian menyentuh bahu perempuan itu.

"Ini takdir, ra---

"INI BUKAN TAKDIR! BUNDA ITU DIBUNUH! INI BUKAN TAKDIR, SEHARUSNYA GAK GINI!!" pekik Andara tanpa menoleh. Algar tertegun dengan suara Andara yang tinggi, perempuan itu tidak pernah semarah ini sebelumnya.

Andara yang sedar telah membentak Algar langsung membalikkan tubuhnya menghadap lelaki itu kemudian membuang napasnya panjang.

"Maaf," lirihnya. Algar menggeleng kecil kemudian memeluk erat Andara, dan lagi-lagi perempuan itu menumpahkan seluruh air matanya di dalam dekapan seorang Algar.

"Gue tahu lo masih shock. Gue tahu lo pasti ngerasa sangat kehilangan. Tapi lo harus mengikhlaskan semuanya, ra. Itu satu-satunya cara untuk membuat bunda lo tenang." Andara tidak menjawab apa pun, perempuan itu hanya terus menangis terisak.

Mengikhlaskan? Itu terlalu sulit untuk Andara.

♡♡♡

Andara membuka kedua matanya perlahan kemudian menatap jam dinding yang masih menunjukkan pukul 05.00. Andara menatap ranjang sampingnya, di sana ada Lidya yang masih tertidur pulas.

Untuk sementara, Andara akan berbagi kamar dengan Lidya. Andara termenung menatap tembok di depannya. Kamar Lidya masih gelap, itu membuatnya kembali terlarut dalam kesedihan.

"Andara?" Andara mendongakkan wajahnya dan mendapatkan Dita yang sudah berdiri di ambang pintu kamar.

"Tante?" Dita menghampiri Andara dan mendapatkan bokongnya di samping Andara. Wanita itu mengusap punggung Andara. Dita tahu jika saat ini Andara tengah bersedih dan berduka.

"Sabar ya, sayang." Andara mengangguk kecil. Andara menghapus air matanya yang mulai kembali turun. Andara benar-benar merasa kehilangan sosok seorang ibu. Andara tidak pernah berpikir jika semuanya akan menjadi seperti ini.

Andara tidak bisa melaporkan Elvan karena sama sekali tidak ada bukti, tapi Andara benar-benar ingin memukul wajah Elvan sekarang juga.

"Kamu mau izin dulu sekolahnya?" Andara terdiam sebentar untuk mempertimbangkan tawaran Dita, kemudian perempuan itu menggeleng. Karena sudah hampir ujian, Andara harus mengejar materinya.

"Gak usah, tante. Aku sekolah aja hari ini." Dita mengangguk setuju.

"Kalau begitu tante buat sarapan dulu." Dita berdiri diikuti Andara, perempuan itu berniat membantu Dita, sayangnya Dita mencegahnya dan berkata jika Andara harus lebih banyak istirahat sebelum berangkat ke sekolah. Dita juga berkata jika Algar akan lebih menjaga Andara.

Andara tersenyum dan mengangguk kecil. Sosok Dita bagi Andara bagaikan pengganti bundanya. Dita sangat memperhatikannya dan menyayanginya selayaknya anak sendiri. Andara jadi sedikit tenang dan senang karena ia seperti masih memiliki keluarga.

Andara memilih untuk mandi dan bersiap dengan seragam sekolahnya. Andara hanya beberapa hari di sini, jadi perempuan itu tidak membawa baju yang cukup banyak. Hanya seragam sekolah dan beberapa baru rumahan saja.

Andara bercermin dan tersenyum. Andara menepuk kedua pipinya dan ia berkata pada dirinya sendiri untuk lebih semangat dan tidak terlalu larut dalam kesedihan, yang ada bundanya akan ikut sedih di sana.

Setelah yakin dengan penampilannya, Andara langsung bergegas menuju ruang makan. Andara menatap makanan yang sudah tersaji dengan mata yang berbinar, semuanya terlihat sangat enak.

Andara menatap Algar yang langsung mendaratkan bokongnya setelah sampai di ruang makan. Algar menaikkan satu alisnya.

"Mau sampe kapan lo berdiri di situ?" Andara berdecih. Andara langsung mendaratkan bokongnya di kursi seberang Algar. Andara menatap lelaki itu dengan jengkel, sementara yang ditatap hanya tersenyum miring.

Andara akan membalasnya di sekolah, lihat saja nanti.

♡♡♡

"Gue turut berduka cita atas meninggalnya bunda lo, ra," ujar Rio diangguki Revan.

"Makasih ya, yo, van." Rio dan Revan tersenyum kecil.

"Kalau begitu kita berdua ke kantin dulu," pamitnya. Andara mengangguk.

Perempuan itu kemudian memutuskan untuk meninggalkan kelasnya seraya membawa sebuah buku yang akan ia kembalikan ke perpustakaan.

Sesampainya di perpustakaan, perempuan itu langsung menuju rak buku untuk meletakkan kembali buku yang ia pinjam pada tempatnya.

"Ra," panggil seseorang. Andara menoleh.

"Gimana kondisi lo? Udah baikan?" Andara mengangguk ragu. Andara memang sudah merasa baikan, tapi tetap saja semuanya masih terbayang di dalam kepalanya.

"Gue udah baikan, kok. Thanks, ya."

"Resta bilang dia mau ketemu lu pulang sekolah nanti," celetuk Algar tiba-tiba. Andara menaikkan satu alisnya.

"Ketemu? Ngapain?" Algar hanya menjawab dengan menaikkan kedua bahunya, pertanda lelaki itu tidak tahu tujuan Resta.

Andara mengambil satu buku yang lain di bagian rak yang sama, rak sejarah. Andara sangat menyukai sejarah.

"Btw, lo mau nemuin Elvan?" Andara menoleh ke arah Algar, perempuan itu terdiam. Apa Andara harus nememui Elvan lagi?

"Maaf kalau gue---

"Gue gak akan nemuin dia, karena dia yang akan dateng sendiri ke gue." Algar menaikkan kedua alisnya. Andara tersenyum lebar pada Algar.

"Gue emang ngerasa kehilangan banget, tapi sekarang gue udah ikhlasin kepergian bunda gue." Ya, benar, Andara harus melakukan itu. Andara harus ikhlas dengan kepergian bundanya dan membiarkan kejadian yang sudah berlalu.

Andara harus fokus pada tujuan dan masa depannya agar bundanya bisa melihatnya sukses dari atas sana.

Andara memegang dadanya. Bundanya akan tetap berada di hatinya, selamanya. Sang motivator Andara sudah bahagia di sana dan Andara yakin jika bundanya mendapatkan tempat yang terbaik di sisi-Nya.

"Perpisahan menang nampak seperti akhir dan selamat tinggal, mungkin itu terlihat seperti selamanya. Tapi tidak untuk di sini." Algar menatap Andara yang memegang bagian dadanya. Algar mengangguk kecil sambil tersenyum.

Apakah dengan kepergian bundanya hari-hari buruk akan mulai datang? Dan kita tidak pernah tahu kapan dia akan tiba mengetuk pintu. Kemarin kita masih tertawa, untuk besok lusa tergugu menangis. Kemarin kita masih berbahagia dengan banyak hal, untuk besok lusa terjatuh, dipukul telak oleh kehidupan. Hari-hari menyakitkan.

Namun jika Andara menatap Algar, semua kekhawatirannya seakan menghilang begitu saja. Karena Algar, hari-harinya menjadi tenang. Pantas bundanya menyetujui hubungan Andara dan Algar, apa bundanya benar-benar percaya pada Algar?

Tatapan keduanya bertemu. Andara langsung memeluk tubuh Algar. Ya, perempuan itu mendekapnya dengan sangat erat, seperti tidak akan membiarkan Algar lepas.

"Tolong ... jangan tinggalin gue."

avataravatar
Next chapter