webnovel

Untuk Kay Pradipa | Pukul 06.00

Awali pagi mu dengan hati yang tenang.

Halo, bagi Jasmine Arunika, agak susah bertemu dengan pagi yang tenang. Hari-harinya selalu dibayangi dengan ketergesa-gesaan, kecerobohan, atau seperti sekarang ini. Menyambut pagi dengan kekhawatiran yang luar biasa. Bagaimana tidak? Baru saja dia turun dari tempat tidur, melihat ke kamar sebelah, ruangan itu sudah tak berpenghuni. Dia cari ke segala sudut rumah tidak ada. Ke depan rumah juga tidak ada. Antara bingung dan khawatir campur aduk menjadi satu. Nyawanya yang belum sepenuhnya terkumpul menimbulkan pening di kepala.

"Mama ke mana sih?" ucapnya setelah badannya ambruk di sofa teras kontrakannya.

Sesekali dia memijit kepalanya. Berusaha menetralkan pikiran dan berpikir jernih. Menyeleksi berbagai kemungkinan ke mana kira-kira Mamanya pergi.

"Sepagi ini Bude Dharma pasti masih sibuk di rumahnya. Dan Mama juga nggak mungkin ke sana. Mama kan nggak tau rumah Bude Dharma. Tapi, nggak ada salahnya juga sih tanya ke Bude. Siapa tau Mama emang ke sana."

Jasmine masuk ke dalam dan mengambil ponselnya. Sial. Dimana keberadaan ponsel itu? Kenapa sering menghilang disaat-saat penting?

Dia lalu duduk di pinggiran kasur. Mengingat-ingat dimana terakhir dia menggunakan ponselnya. Dan yang dia ingat adalah semalam, sebelum tidur dia sempat mendengarkan podcast di spotify. Setelah itu, dia tertidur.

"Oh God, please. Where is my Phone?"

Jasmine menyingkap seprei dan bantal. Tidak ada. Di meja, tempat charge juga tidak ada. Lalu tiba-tiba terdengar samar-samar bunyi alarm ponsel berdering. Telinganya mendeteksi sumber suara. Dan ternyata, ada di bawah tempat tidur. Hampir masuk kolong. Huft. Tapi, bukankah itu kebiasaan ponsel? Saat tidur ada di samping kita, tapi ketika kita bangun dia mendadak menghilang. Pas dicari, ternyata sudah ada di bawah. Misterius memang.

Oke, baiklah. Handphone sudah ketemu. Pertama telepon Bude Dharma dulu.

Agak lama menunggu Bude mengangkat telepon. Setelah panggilan kedua, baru diangkat sama Bude.

"Ah, Halo Bude."

"Wa'alaikumussalam nduk. Tumben pagi-pagi telepon Bude. Ada apa?"

"Eh iya, Assalamua'alaikum Bude. Hehehehe."

"Wa'alaikumussalam..."

"Eee, gini Bude. Mau nanya. Mama ada di situ nggak, Bude?"

"Yo ndak ada nduk. Lha wong Mamamu aja ndak tau rumah Bude. Emangnya ada apa?"

"Iya juga sih Bude. Ini, Mama ilang lagi."

"Lha kok bisa tho, nduk?" Tanya Bude ikutan khawatir mendengar kabar Helen kembali tidak ada di rumah.

"Ya, mana Jasmine tau Bude. Orang Jasmine baru bangun, liat kamar Mama, udah nggak ada. Aku cari dimana-mana nggak ada juga. Pusing aku Bude."

"Ya sudah. Tutup teleponnya. Bude ke situ sekarang ya."

Sejak sakit, ini adalah kedua kalinya, Helen pergi dari rumah, tanpa memberitahu siapa pun. Karena selama bertahun-tahun yang lalu, hari-hari Helen biasanya dihabiskan di rumah atau di tempat tidur. Dan dengan perginya Helen dari rumah ini, apakah pertanda bahwa dia sudah pulih? Atau malah lebih parah? Tapi jika boleh memilih, sudah pasti Jasmine ingin Mamanya itu pulih. Kembali seperti dulu. Anak mana yang tidak sedih melihat orang tuanya tidak baik-baik saja.

Pikiran Jasmine pagi ini benar-benar kosong. Bingung mencari keberadaan Mamanya. Harus bertanya kepada siapa? Selama ini Helen tidak begitu akrab dengan tetangga. Dan juga tidak punya teman. Satu-satunya teman Helen, ya, Bude Dharma dan juga Hulya.

Lalu tiba-tiba dia teringat.

"Kay. Iya. Mama pasti ke sana lagi."

Sebelum pergi, tak lupa Jasmine menulis surat untuk Bude Dharma yang sebentar lagi pasti sampai. Agar Bude Dharma tidak panik. Dia letakkan suratnya di meja makan.

Karena motornya ada di bengkel, dia berjalan kaki menuju jalanan utama untuk bisa dapat taksi. Untungnya tidak jauh. Hanya butuh waktu 7 menit saja.

***

Melihat Mamanya duduk sendirian dengan tatapan kosong, Jasmine berlari mendekat.

"Mama."

"Jasmine."

Dia lantas memeluk Mamanya.

"Aku kesini mau liat putraku."

"Mama, kenapa Mama nggak bilang kalau mau ke sini?"

"Mama kangen banget sama Kay."

Helen menyandarkan kepalanya di pundak Jasmine. Tangisan pun pecah. Begitu pun dengan Jasmine. Sebenarnya dia ingin menjerit saat itu juga. Tapi sebisa mungkin dia tahan dan tetap tenang, agar Mamanya juga tenang.

"Iya, Mama. Jasmine tau. Sama seperti Mama. Aku juga kangen banget sama Kay."

"Mama nggak bisa tanpa Kay. Rasanya hati Mama lebih dari hancur berkeping-keping. Kay mengakhiri hidupnya dengan tangannya sendiri. Tangan yang selama ini Mama gandeng, Mama cium. Jasmine, kamu nggak akan ninggalin Mama kayak Kay, kan?"

"Enggak, Mama. Enggak! Jasmine nggak akan ninggalin Mama. Jasmine akan selalu ada di samping Mama."

Mereka berdua saling berpelukan satu sama lain. Air mata yang sejak tadi coba di tahan oleh Jasmine pun akhirnya tumpah juga. Di pusara Kay Pradipa, mereka saling berjanji untuk tidak meninggalkan satu sama lain. Untuk selalu saling menjaga dan melindungi.

"Jasmine nggak punya siapa-siapa lagi selain Mama. Mama nggak boleh pergi-pergi sendirian lagi, ya. Kalau Mama kenapa-kenapa gimana? Siapa nanti yang bisa aku peluk, Ma?"

Helen mengusap air mata putrinya seraya berkata, "Maaf. Mama udah bikin kamu takut."

Helen lalu melirik jam tangannya. Dia tahu, putrinya itu akan terlambat kalau terus ada di makam.

"Ya udah. Sekarang kamu pergi ke kampus. Dan Mama akan pulang."

"Nggak bisa, Ma. Bude Dharma khawatir banget sama Mama. Aku akan antar Mama pulang dulu baru ke kampus."

"Mama bisa pulang sendiri sayang. Kamu tenang aja. Oke?"

"Ma..."

Sebelum pergi, Jasmine dan Helen merapikan taburan bunga sisa kemarin sore waktu Helen datang pertama kali. Setelah 7 tahun berlalu.

Di batu nisan itu tertulis nama Kay Pradipa. Lahir 09 November 1994. Dan wafat 22 Agustus 2015. Jasmine duduk bersimpuh. Membersihkan batu nisan dengan air mawar. Melihat nama di batu nisan itu, hatinya menjerit. Sakit yang selama ini tertahan seperti bertemu tempatnya untuk meluapkan.

"Kay. Aku kangen banget sama kamu. Sekarang aku lagi sedih, Kay. Andai kamu masih ada. Pasti kamu nggak akan biarin aku sedih kayak gini. Iya kan? Tapi, gimana kalau aku sedihnya justru karena kamu, Kay? Apa kamu bakal nenangin aku kayak dulu?

Kay... aku harus berjuang sendiri. Lihat Mama sekarang. Mama sangat terpukul karena kepergianmu. Hati Mama hancur. Kamu curang Kay. Kenapa kamu lakuin ini sama kita?"

Tangis Jasmine semakin menjadi. Dia meletakkan kepalanya di nisan Kakaknya. "Aku akan selalu merindukanmu, Kay. Hadirlah di mimpiku."

Terakhir, sebelum pergi, dia mengusap pipinya yang basah karena air mata. Mengambil napas dalam-dalam dan menghembuskannya cepat.

Jasmine menggandeng tangan Mamanya dan berjalan beriringan. San diego Hills pagi ini sangat cerah. Sorot mentari muncul dari ufuk timur membawa suasana hangat, tenang, dan tidak bising. Mama yang beruntung. Memiliki seorang putri yang sangat menyayanginya dengan sepenuh hati. Hatinya sangat lembut dan penuh cinta, kasih sayang.