webnovel

Petualangan Masa Lalu | Pukul 21.00

Memang benar. Level tertinggi mencintai seseorang adalah melepaskan. Saat harus melepaskan dia untuk pergi. Entah pergi bersama yang lain atau pergi menghadap Ilahi.

Jasmine Arunika sudah berada di level tertinggi dalam mencintai seseorang. Dia dipaksa oleh keadaan untuk melepaskan orang yang sangat dia sayangi. Seseorang yang seharusnya menjadi pelindung baginya justru menjadi sebab datangnya luka yang teramat dalam. Cinta pertama yang sangat dia banggakan itu tiba-tiba pergi meninggalkan segudang kekecewaan. Bukan hanya kepada dirinya saja. Tetapi juga kepada Mama dan Kakaknya.

Dalam heningnya malam, Jasmine memasuki kamar berukuran tak seberapa besar. Langkahnya gamang menuju sebuah lemari berwarna putih tulang. Di bagian atas ada sebuah kotak kayu yang terkunci rapat. Di dalamnya berisi beberapa foto masa kecil beserta dengan benda-benda kesayangannya. Seperti gelang tali, mini teddy bear, kotak musik, dan headpiece dari bunga Daisy, yang sudah berwarna coklat karena mengering.

Jasmine mengambil sebuah foto yang sudah usang. Terlihat anak kecil berusia sekitar 6 tahun dengan potongan rambut Bob sedang membawa teddy bear berada di atas pundak Papanya. Tergambar sepasang tawa lepas di wajah mereka. Itu adalah momen ketika Jasmine diberi kejutan oleh Hedi sebuah taman bermain di samping rumah. Lengkap dengan perosotan, ayunan, dan berbagai macam permainan anak-anak.

Lalu, pandangannya beralih ke foto berikutnya. Momen saat ada di pasar malam. Untuk pertama kalinya seorang Jasmine mengetahui seperti apa pasar malam. Ada banyak permainan seperti yang ada di Disney. Tetapi dengan versi yang berbeda. Si kecil yang pemberani. Hampir semua wahana dicoba. Dengan tawa yang tak pernah lepas menghiasi bibir tentunya.

"Are you happy?" Tanya Papanya.

"Ehhemm," jawab Jasmine sambil mengangguk pasti.

"Kita akan selalu membuat kamu Happy, Little Princess." Kay menambahkan.

Momen-momen kebersamaan yang dibangun dengan sangat apik. Di momen itu pula Papanya memberikan sebuah gelang tali dengan ukiran 'Princess Jasmine'. Jasmine kecil langsung teriak kegirangan, "Yeeeyyyy, Thank you Papa," ucapnya lalu memeluk sang Papa. Pelukan yang dibalas dengan ciuman hangat di kening Jasmine.

Sejak malam itu, Jasmine berkali-kali bilang, kalau dia akan selalu ingin pergi ke pasar malam bersama Papa, Mama dan Kay.

Setelah beberapa menit memandangi foto-foto itu, pandangannya beralih ke headpiece dari bunga Daisy. Kesukaannya terhadap bunga-bunga, terutama bunga berkelopak putih itu tertular dari Helen, sang Mama.

Jadi, suatu hari, mereka sedang berlibur ke Turki. Dan salah satu tujuannya adalah mengunjungi Emirgan Parki. Tempat wisata bunga Tulip terbesar di Turki. Kurang lebih satu jam dari kota Istanbul. Melihat berbagai macam bunga yang indah berjajar di sepanjang jalan, membuat Jasmine langsung jatuh hati dengan tempat itu. Sedangkan Helen yang melihat putri kecilnya itu selalu berpenampilan tomboi, berinisiatif untuk membuatkannya headpiece dari bunga Daisy. Karena kebetulan di dalam taman tersebut juga menjual beberapa pernak-pernik dan juga berbagai macam bunga yang masih fresh. Helen membeli satu ikat bunga Daisy, lalu meronce hingga menjadi sebuah hiasan kepala yang indah. Awalnya Jasmine menolak dan enggan memakainya, karena tidak nyaman. Tetapi saat semua bilang semakin cantik, seperti seorang Princess, akhirnya dia mau memakainya.

Sekarang, headpiece itu sudah berwarna coklat. Bahkan beberapa bunganya terlepas dari rangkaiannya. Yasmin ingin memakainya lagi. Agak kekecilan. Sampai akhirnya, ia hanya meletakkannya saja di atas kepala. Senyum tipisnya mengembang, meski air matanya perlahan juga ikut menetes.

Di tengah lamunannya, ia kemudian mengambil kotak musik klasik berbentuk piano berwarna putih. Malam ini dia membukanya lagi setelah empat tahun benar-benar tidak pernah menyentuhnya sama sekali. Masih berfungsi dengan baik. Sejenak matanya terpejam. Kenangannya berputar ke momen perayaan ulang tahunnya yang ke 10. Dirayakan secara sederhana di rumah, bersama dengan Mama, Papa dan Kay. Dan kotak musik itu adalah hadiah ulang tahun dari sang kakak. Kay Pradipa.

Sejak saat itu, Jasmine selalu ikut sang Kakak yang rutin les musik setiap seminggu sekali. Mulai dari piano, gitar, dan biola. Dan nada khas dari kotak musik hadiah dari Kay menjadi nada pertama yang Jasmine pelajari. Sederhana tapi cukup melekat di pikirannya. Sampai saat ini. Mereka berdua sangat dekat satu sama lain. Kay yang selalu mengajarkan Jasmine banyak hal dan Jasmine yang selalu ingin tahu banyak hal.

Tak terasa, air matanya semakin berlinang membanjiri kedua pipi. Rasanya, dulu dia menjadi anak yang paling bahagia. Di kelilingi oleh orang-orang yang begitu mencintai dirinya. Tidak ada hal yang perlu ditakutkan, karena pasti Papa dan Kay akan selalu ada untuk menjaganya. Dan Mama, akan selalu ada dengan segudang limpahan kasih sayangnya.

Jasmine berjalan ke arah cermin. Berdiri mematung dengan headpiece yang masih duduk manis di atas kepalanya. Lalu memegang kotak musik di tangannya. Dia melihat dirinya yang sekarang. Sangat jauh berbeda dengan Little Princess Jasmine. Tidak ada lagi sosok Papa dan Kay yang akan selalu menjadi malaikat penjaganya. Bahkan Mama. Ah, rasanya tidak sanggup jika harus mengingat segala yang telah terjadi beberapa tahun silam. Itu terlalu menyakitkan.

***

"Pa. Apa nggak sebaiknya kamu kirim Gino ke Amerika lagi?"

Wilan kaget mendengar permintaan istrinya.

"Iya Pa. Biar dia bisa fokus kuliah. Menata hidup yang bener. Belajar mandiri. Karena kalau disini terus, dia akan tetep santai-santai dan nggak akan merasa punya tanggung jawab dengan hidup dia. Kamu kasih dia semua fasilitas mewah. Apa pun yang dia mau, ada. Gimana dia bisa belajar bertanggung jawab?"

"Maya, aku udah pernah lakuin itu. Terakhir dia di Amerika, apa yang dia lakukan? Cuma bikin masalah. Nggak ada beda, disini atau disana. Malah lebih memalukan kalau berulah di Negara orang."

"Tapi Pa..."

"Ah, sudahlah Maya. Aku lagi capek banget. Jangan bahas itu sekarang. Aku mau istirahat."

Wilan menutup pembicaraan dan memilih untuk tidur lebih dulu. Meninggalkan Maya yang masih tidak puas dengan tanggapan suaminya atas permintaannya.

Selama ini hubungannya dengan Gino memang selalu bermasalah. Seperti tidak ada koneksi yang bisa membuat mereka bisa bersatu layaknya seorang Ibu dan Anak. Gino selalu ketus saat berhadapan dengan Maya. Dari 13 tahun yang lalu sampai detik ini.

Iya. Sekar Sasmaya adalah ibu tiri Gino yang dinikahi Wilan saat Gino berusia 10 tahun. Dan sejak saat itu hingga detik ini, Gino tidak pernah menerima kehadiran Maya sebagai Ibu tirinya. Bahkan dia sangat membenci perempuan bermata belok itu.

Berbeda dengan Gino, Gita lebih bisa menerima keadaan. Meski tak dapat dipungkiri, awalnya dia juga susah menerima dan butuh waktu yang tidak sebentar, sampai akhirnya Gita bisa legowo menerima kehadiran Maya di keluarga Abiyaksa.

Wilan membawa Maya ke keluarga Abiyaksa tanpa meminta restu anak-anaknya terlebih dulu. Jadi wajar kalau ketegangan terjadi antara Maya, Gita dan Gino. Ditambah lagi latar belakang Maya yang dianggap banyak orang tidak pantas masuk ke keluarga Abiyaksa dan mendampingi Wilan sebagai seorang istri. Tapi perempuan 38 tahun itu tidak peduli. Yang jelas apa pun keinginannya harus terpenuhi. Bagaimana pun caranya.

Pukul 21.00 sebenarnya waktu yang terlalu dini untuk tidur. Karena bingung harus ngapain, Maya memutuskan pergi ke dapur untuk mengambil air minum. Di lorong sebelum sampai di dapur, dia berpapasan dengan Gino.

"Waaahhh, sepertinya petinju kita akan tanding malam ini."

Gino tidak peduli dan mengabaikan Maya begitu saja. Tapi Maya malah mencegahnya.

"Kenapa? Lagi marah ya? Atau, lagi banyak masalah? Kamu boleh loh cerita sama... Mama," tawanya terkekeh. Ekspresinya sangat menjengkelkan. Dia seperti sengaja memancing amarah Gino.

"Stop!!!"

"Mama, selalu siap dengerin cerita kamu."

Jijik sekali Gino mendengarnya. Bahkan dia sangat membenci suara itu. Panggilan itu.

Maya berjalan memutari Gino.

"Kamu nggak perlu terus-terusan menyakiti diri kamu sendiri."

"Tante Maya. Urus aja urusan tante Maya dan nggak usah ikut campur urusanku. Minggir dari sini atau aku akan nyakitin tante."

"Uuuuu, takut," ledeknya. Setelah itu dia kembali terkekeh.

Gino mulai mengepalkan tangannya. Jika saja dia lupa bahwa orang yang ada di depannya adalah perempuan, mungkin tinjunya sudah mendarat sejak tadi. Rasanya, telinga Gino penuh dengan kepulan asap kebencian. Setiap hari bukannya berkurang, malah semakin bertambah.

Sungguh. Berhadapan dengan Maya adalah situasi yang sangat dibenci oleh Gino. Semua hal tentang Maya di matanya adalah keburukan. Baginya, Maya adalah wujud nyata dari kerusakan yang dibawa oleh Wilan, Papanya sendiri.

Selama ini, Gino lebih sering menghindar saat Maya dan Papanya ada di rumah. Dia lebih memilih tinggal di hotel atau menginap di rumah Bian.

"Tunggu."

Gino yang baru saja satu langkah meninggalkan Maya, kembali berhenti.

"Hati-hati ya."

"Diam tante! Tutup mulut tante."

Muak sekali Mendengarnya, bukan?