webnovel

Berawal | Pukul 12.37

Setelah kemarin melalui hari yang sulit, hari ini Jasmine harus pergi ke kampus naik kendaraan umum. Karena vespa kesayangannya ada di bengkel. Dan itu artinya ia harus berjalan kaki beberapa meter untuk sampai di jalan raya agar mendapatkan taksi atau pun bus.

Sebenarnya hari ini dia sangat merindukan kucing-kucing jalanan yang biasa ia kasih makan. Tapi berhubung naik kendaraan umum, ia tidak bisa mendatangi tempat itu. Karena beda rute.

Dia berjalan sedikit lebih cepat. Takut telat ke kampus. Karena hari ini ada kuis. Jasmine adalah orang yang kompetitif kalau soal nilai.

Kondisi jalanan sekitar tempat tinggalnya sedikit lebih sepi dari biasanya. Mungkin karena tukang sayur yang biasa mangkal di perempatan jalan, sudah pergi. Jadi ibu-ibu yang suka bergerombol di jalan sudah pulang. Keadaan yang menguntungkan, karena Jasmine tidak harus menjawab pertanyaan-pertanyaan yang kebanyakan tidak penting.

Kejadian di kantor polisi kemarin cukup membuatnya stres. Jasmine berharap kejadian itu adalah untuk yang pertama dan terakhir, tidak ada lagi sial-sial yang akan menimpa setelahnya. Tapi sepertinya si sial itu belum mau lepas dari cerita hidupnya. Buktinya pagi ini, dia harus berhadapan dengan manusia aneh seperti Baron. Si lelaki tinggi, besar yang selalu bawa anjing ke mana-mana. Katanya, dia baru saja keluar dari penjara satu bulan yang lalu.

"Selamat pagi nona cantik," sapanya mengagetkan Jasmine.

Secepat kilat Jasmine menoleh. Saat tahu yang menyapanya adalah Baron. Dia hanya menunduk untuk menghormati sapaannya, lalu kembali berjalan.

"Kenapa buru-buru?"

Baron terus saja membuntuti Jasmine. Lelaki ini memang sering sekali melihat Jasmine dengan tatapan yang tajam. Terkadang juga mengawasi Jasmine dari jauh. Jasmine menyadari hal itu saat dia beberapa kali pergi ke toko kelontong milik Bang Saiful yang ada di dekat rumahnya. Biasanya si Baron itu ada di depan toko atau di samping toko. Selain membawa anjing, ciri khas yang lainnya adalah kalung rantainya yang tebal. Cukup membuat Jasmine risih.

"Hai, Nona cantik..."

Kalimatnya terpotong oleh bunyi ponsel Jasmine. Bahkan hampir saja dia menabrak Jasmine yang tiba-tiba saja berhenti.

"Iya. Pak. Saya segera datang," ucapnya sembari menutup telepon.

"Siapa?" Tanya Baron. Rupanya selama Jasmine berbicara dengan polisi, Baron menguping.

Jasmine tidak mau menjawab. Dia hanya memberikan tatapan aneh dan semakin tidak nyaman.

"Tadi aku denger kamu bilang kantor polisi. Ada masalah apa kamu dengan polisi?"

"Nona, aku bisa membantumu kalau kamu mau."

"Aku udah hafal dengan orang-orang yang ada di kepolisian, Nona."

Jasmine terus berjalan. Mengabaikan Baron yang juga terus berceloteh.

"Kamu, bisa stop ikuti aku nggak? Aku lagi buru-buru. Polisi minta keterangan dari aku karena beberapa waktu yang lalu salah satu temenku kecelakaan. Puas??"

Baron langsung kaget mendengar jawaban Jasmine. Langkahnya juga terhenti. Kecelakaan? Beberapa hari yang lalu? Ucapnya dalam hati.

***

Hari-hari yang tak biasa. Bukan hanya terasa lebih melelahkan, tapi juga agak membingungkan. Apa maksud Tuhan sebenarnya? Apa yang ingin Tuhan sampaikan? Tapi, apa pun itu, bukankah untuk naik kelas harus melalui ujian? Dan seperti apa pun ujiannya pasti memberikan tujuan. Karena sejatinya perjalanan kita di dunia ini adalah sebuah proses pembelajaran.

Dan proses kehidupan yang dilalui oleh Jasmine berhasil membawanya pada titik seperti sekarang. Tumbuh menjadi gadis yang tidak mudah menyerah. Mau serumit apa pun jalan yang harus dilalui, dia akan tetap berusaha dan yakin bahwa dia mampu melewatinya. Meskipun terkadang dia kualahan, tapi dia selalu bertekad untuk menghadapi badai apa pun yang datang dalam hidupnya.

Jangankan berurusan dengan kantor polisi yang cuma sehari, sejujurnya dengan ada dalam situasi 5/7 di kampus Abiyaksa saja merupakan ujian yang tidak mudah. Perjuangan mendapatkan beasiswa secara utuh, bekerja paruh waktu, dan belum lagi tatapan sinis dari mahasiswa lain, karena kedekatannya dengan pangeran Abiyaksa. Padahal itu bukan keinginannya. Semua terjadi begitu saja. Malah sebelumnya, Jasmine tidak tahu siapa itu Gino. Sampai akhirnya bisa berteman seperti sekarang, itu di luar kendalinya.

Huft...

Keluhnya ketika dia sedang sendiri di toilet kampus. Rasa lelah jiwa, raga dan pikiran seolah tiada henti menggelayut.

Di depan sebuah cermin besar, Jasmine mengucuri wajahnya dengan air. Dengan harapan bisa sedikit menghilangkan jenuh yang melanda. Tapi belum juga penatnya itu reda, tiba-tiba saja Serena dan Bianca datang dan langsung mengintimidasi.

"O o, liat siapa yang ada disini?" ucap Serena.

"Hai..." balas Jasmine.

"Lo menjijikkan," sentak Serena

"Dan gue pastiin, lo akan minta maaf ke kita. Tapi pertama-tama lo harus minta maaf dulu ke Bian," imbuh Bianca.

Jasmine bingung dengan tingkah laku Serena dan Bianca yang tiba-tiba saja memarahinya. Seperti anak kecil.

"Maaf, maksudnya apa? Kenapa aku harus minta maaf?"

"Jangan sok cantik deh lo." lagi-lagi nada bicara Bianca meninggi.

"Kalian ini kenapa? Ada masalah apa? Aku buat salah sama kalian? Kenapa dateng-dateng terus marah-marah?"

"Gara-gara lo, Bian kecelakaan. Lo emang perempuan pembawa sial!"

"Jaga ucapanmu Bianca. Asal kamu tau, aku nggak ada hubungannya sama sekali dengan kecelakaan itu."

"Oh ya?? Lo jangan pura-pura bego ya, Jasmine."

"Sekarang lo harus tanggung jawab!"

Serena menyeret tangan Jasmine sampai dia terpojok. 2 lawan 1. Bianca dan Serena terus saja menyerang Jasmine. Makian dan kutukan terus keluar dari mulut mereka berdua. Kasar. Tak ber perikemanusiaan. Nyaris seperti makhluk tak berakal.

"Aku nggak harus tanggung jawab atas kesalahan yang nggak aku lakuin. Lepasin! Aku mau pergi."

"Diam Jasmine!" Bianca mendorong Jasmine sampai dia terbentur ke tembok.

"Lepasin Bianca!"

Jasmine terus memberontak dan berusaha untuk melepaskan diri dari cengkeraman dua wanita beringas itu. Tapi gagal. Serena malah terus memanas-manasi Bianca. Dan Jasmine juga tidak mau menyerah. Karena memang dia tidak bersalah. Sudah sepatutnya dia membela dirinya sendiri.

"Kalau kamu mau tau siapa yang salah, kamu tanya aja ke Bian. Dia sendiri yang salah. Bukan aku!"

"Diam, perempuan nggak tau diri!" bentak Bianca.

"Kamu yang diam Bianca," balas Jasmine tak kalah keras.

Tidak terima dengan itu, Bianca lepas kendali. Dia menampar Jasmine dengan sangat keras. Seketika ruangan menjadi semakin hening. Semua terdiam. Serena kaget sekaligus tidak menyangka. Diluar dugaan, Bianca sampai menampar Jasmine. Meskipun jauh di lubuk hatinya dia sangat senang melihat Jasmine ditampar oleh Bianca.

Sedangkan Jasmine spontan mendorong Bianca. Napasnya memburu. Tanpa berbicara apa-apa lagi, dia pergi meninggalkan dua wanita kesetanan itu. Dia berjalan cepat menuju kelas yang kebetulan saat itu lagi sepi. Tidak ada siapa pun, kecuali dirinya. Disana dia duduk di kursi nomor 3 dari belakang, di sebelah jendela. Kepalanya diletakkan diatas meja dan di tutup oleh kedua tangannya. Jasmine menangis sejadi-jadinya tapi tidak bersuara. Dia merasa sangat lemah pada saat itu. Kehadirannya tidak dianggap sama sekali.

Beruntung. Tak lama setelah itu Gino datang. Dia yang sejak tadi mencari-cari keberadaan Jasmine, akhirnya menemukan sosoknya. Saat membuka pintu, Gino melihat Jasmine menelungkupkan kepalanya di atas meja. Dia menghampiri Jasmine.

"Gadis baja ini bisa nangis juga ternyata.Gue nggak percaya. Apa ini hah."

Mendengar suara tersebut, Jasmine langsung mengangkat kepalanya. Dia lihat Gino sudah ada di depannya. Menggunakan setelan jas hitam, siang itu Gino tampak gagah sekali.

"Setelah kemarin membuat Bian kecelakaan dan sekarang lo nangis disini. Kenapa? Apa karena lo takut nggak bisa dapetin Bian? Lo takut kehilangan Bian? Atau lo takut rencana yang udah lo susun biar Bian masuk ke perangkap lo hancur karena Bian sekarang koma."

"Laki-laki macam apa kamu Gino. Kamu pikir kamu siapa? Udah, cukup omongan-omongan menjijikkanmu itu. Sekarang silakan pergi dan tinggalkan aku sendiri. Keluar, keluar, keluar," bentak Jasmine sambil terus mendorong badan Gino.

"Oke... oke, tenang."

Masih dengan isak tangis, Jasmine bertanya, "Aku nggak akan jadi kambing hitam untuk kecelakaan Bian kan?"

"Ok. Itu nggak akan terjadi."

"Dia mendekatiku. Temanmu itu terus membuntuti aku. Dia datang ke rumahku. Aku nggak tau harus berkata apa sama Mama. Aku nggak ada hubungan apa pun sama Bian. Aku nggak ada niat sedikit pun untuk deketin dia. Sekarang apa aku salah kalau aku menghindar dari dia? Dia yang mulai duluan. Dia yang bikin ulah. Kenapa harus aku yang disalahin?"

"Aku ngerti."

Hanya 2 kata yang terucap dari mulut Gino. Setelah itu dia mendekat dan mencium Jasmine. Seolah sebagai penebus kesalahannya karena sudah berpikir aneh-aneh tentang Jasmine. Dan juga ungkapan perasaan anehnya akhir-akhir ini. Ternyata apa yang selama ini ada di pikiran teman-temannya tentang Jasmine itu salah besar.

Selang beberapa detik, Gino memundurkan badannya satu langkah. Dia melihat wajah Jasmine mematung. Raut muka kagetnya masih terlihat sangat jelas.

"Apa?" Tanya Gino.

"Kamu. Kamu cium aku."

Sambil menggaruk brewoknya yang sebenarnya tidak gatal, Gino menjawab, "Oh ya? Emang aku barusan cium kamu?"

Jasmine terlihat salah tingkah. Dia bingung harus bereaksi seperti apa.

"Kayaknya kamu cuma halusinasi. Orang aku nggak cium kamu," candanya.

Jasmine semakin bingung melihat tingkah laku Gino. Apa yang sedang direncanakannya? Apakah ini salah satu trik untuk menjebaknya atau ada hal lain yang ingin dia lakukan. Lalu dia berusaha untuk memutar badannya dan melihat sekeliling.

"Gimana kalau ada yang liat?" Tanya Gino.

Mendengar pertanyaan Gino, wajah Jasmine semakin tidak bisa dikendalikan. Ada rasa takut, malu, seandainya memang benar ada yang melihat. Entahlah perasaan seperti apa yang ada di hati Jasmine saat mendapat ciuman dari Gino. Susah sekali dijelaskan dengan kata-kata.

"Kalau ada yang liat, akan ada hal yang lebih buruk dari waktu kita berantem dulu," jawabnya dengan terbata-bata.

"Kenapa? Namamu bakal tercemar?"

"Gino jangan konyol."

"Jasmine."

Dan.. Lagi Gino mencium Jasmine. Setelah itu dia membawa badan Jasmine terjatuh di pelukannya. Pelukan hangat yang menenangkan. Memberikan rasa aman bagi Jasmine. Dia seperti menemukan sosok lelaki yang selama ini hilang dalam hidupnya. Untuk pertama kalinya sepeninggal Kay dan Papa, dia bisa merasakan kembali sesuatu yang hilang selama bertahun-tahun.

Setelah melepaskan pelukannya, Gino mengambil kedua tangan Jasmine dan menggenggamnya.

"Sekarang, waktunya Cinderella bangun."

Akhirnya sedikit senyum terukir di wajah Jasmine, setelah beberapa menit dibuat tegang. Meskipun masih malu-malu, tapi terlihat jelas bahwa Jasmine sedang bahagia.

Gino membukakan pintu untuk Jasmine dan mereka berdua keluar kelas. Dua wajah dengan aura bahagia berjalan beriringan. Bahkan Gino merangkul Jasmine di depan banyak mahasiswa lain.

"Kamu ngapain, Gino?" protes Jasmine.

"Biar mereka tau. Karena nanti mereka akan sering liat kita seperti ini. Jadi mereka harus terbiasa," jawabnya enteng.

Jasmine menyikut Gino.

"Astaga Jasmine, kamu kayak baru pertama kali jalan berdua sama laki-laki."

Jasmine menghentikan langkahnya. Dia melihat Gino. Matanya mengisyaratkan bahwa apa yang dikatakan Gino itu benar. Ini adalah untuk pertama kalinya dia bersama dengan seorang laki-laki selain Kay.

"Jasmine. Jadi benar? Aku laki-laki pertama yang..."

Jasmine mengangguk malu.

"Kamu serius? Maksudku, aku pacar pertama kamu?"

Jasmine kembali merespons hanya dengan mengangguk.

"Dan untuk pertama kalinya juga kamu ci..."

Gino belum melanjutkan kalimatnya, Jasmine sudah menjawab, "Iya, emangnya kenapa kalau aku belum pernah pacaran sebelumnya?"

Tanpa di duga, tiba-tiba saja Gino mengangkat tubuh Jasmine sambil berputar-putar.

Sementara mahasiswa-mahasiswa yang pada saat itu menyaksikan pangeran Abiyaksa bersama dengan seorang Jasmine, seperti mendapatkan serangan mendadak. Mereka semua terkejut dan mungkin beberapa diantara mereka tidak percaya dengan apa yang baru saja dilihat.

"Apa ini Gino. Turunin aku. Malu tau."

"Lihat. Sekarang semua orang melihat kita. Terus kenapa? Kamu mencium seseorang untuk pertama kalinya. Seorang pria lancang memelukmu pertama kali. Dan apalagi, dia menggendongmu dan berputar-putar di depan semua orang."

Mereka berdua pun tertawa.

***

Berada dalam mobil yang sama dengan orang yang sama, tapi dengan situasi dan status yang berbeda. Iya. Kini Jasmine dan Gino tidak lagi saling diam saat berada di dalam satu mobil. Tidak ada lagi ke akward an seperti momen-momen sebelumnya. Bahkan sekarang status mereka sudah berpacaran sejak beberapa jam yang lalu. Meskipun dengan cara yang agak aneh, tapi perasaan mereka berdua tersampaikan. Rasanya mereka berdua pantas mendapat julukan pasangan yang unik. Beda dari yang lain.

Seperti biasa. Gino yang mulai membuka obrolan. Dia berharap hubungannya dengan Jasmine bisa saling terbuka satu sama lain dalam hal apa pun. Termasuk masalah Bian.

"Jasmine. Kadang aku pengen kamu kasih tau aku masalah Bian dari awal."

"Apa lagi yang mau kamu tau?"

"Ya, misalnya apa yang terjadi diantara kalian berdua, sampai-sampai kamu menampar Bian. Aku mau penjelasannya."

"Kan aku udah bilang."

"Iya, iya, kamu udah bilang. Tapi kayaknya itu baru sebagian. Dan aku mau tau secara detail."

Dan meskipun sebenarnya tidak ingin, tapi Jasmine merasa itu perlu untuk diceritakan kepada Gino. Yang saat ini berstatus kekasihnya. Maka dia memulai dengan kalimat,

"Bian mungkin orang paling nyebelin dan memuakkan yang pernah aku temui."

"Menurut kamu mungkin dia begitu. Tapi dia sahabatku. Dia sahabat terbaikku."

"Ok. Kalau gitu kamu boleh tanya. Apa yang pengen kamu tau."

"Iya, sebenernya aku penasaran aja. Apa yang udah dia lakuin sampe kamu sekesal ini sama dia."

Akhirnya sesuatu yang selama ini dia pendam keluar juga di depan Gino. Untuk pertama kalinya dia memberitahu orang lain apa yang sebenarnya terjadi antara dirinya dengan Bian. Dan kenapa dia bereaksi begitu keras kepada Bian.

Sejak pertama kali bertemu di kampus, Bian terus mengejarnya. Bahkan saat Jasmine bilang bahwa dia tidak nyaman dengan tingkah laku Bian. Tapi Bian tidak peduli sama sekali. Bukan hanya di kampus, Bian juga mendatangi rumah Jasmine secara tiba-tiba. Dan hal itu membuatnya semakin risih, kesal dan muak. Bukan hanya itu, sebelum kecelakaan terjadi, bahkan Bian hampir saja mencium Jasmine disaat Jasmine mencoba untuk menghindarinya. Mungkin itu menjadi puncak kesabaran Jasmine terhadap kelakuan Bian. Akhirnya Jasmine menampar Bian di depan banyak orang.

"Aku rasa itu udah cukup."

Tanpa berkata dan bertanya lagi, Gino mengambil tangan Jasmine dan menggenggamnya erat.

Hari ini menjadi hari yang sangat berkesan. Perjalanan 2 jam tidak terasa sama sekali. Seperti baru 5 menit yang lalu Gino mengajak Jasmine pulang bareng dan sekarang mereka sudah sampai di gang menuju rumah Jasmine. Karena belum siap memberi tahu Mamanya tentang apa yang terjadi, Jasmine meminta Gino menghentikan mobilnya di gang sebelum jalan masuk ke rumahnya.

Melihat kekasihnya turun dari mobil dan berjalan semakin menjauh, Gino tak henti mengukir senyum. Dia terus mengingat apa yang sudah terjadi hari ini. Raut wajah bahagianya tak dapat disembunyikan lagi. Hari ini, tidak terlihat sama sekali wajah kaku yang selama ini terpasang.