5 5. Senja : Satu kisah yang belum usai

Happy Reading!

Rama memarkirkan rapi motor kesayangannya. Melepas helm hitamnya kemudian berjalan masuk ke dalam kafe tempatnya bertemu dengan Alby. Sejenak ia diam, memandangi bangunan yang cukup besar di depannya saat ini. Helaan napas datang, mengisyaratkan bahwa hatinya sedang tak baik-baik saja. Normalnya orang lain akan merengek dan minta pertolongan. Mencari bahu, telinga, dan mata yang bisa menjadi tempat peraduan. Namun, tidak untuk Rama. Diam adalah caranya mengobati luka yang ada di dalam dirinya.

Langkah malasnya kembali tercipta. Derap itu kian tegas memasuki bangunan kafe tempat anak muda menghabiskan waktu senjanya. Menutup hari berbincang-bincang bersama teman sebaya. Kalau-kalau kisah cintanya sedang beruntung, maka ia akan duduk bersama orang tercinta. Saling bertukar cerita dengan menyelipkan sedikit rasa. Ia terhenti kala satu lambaian tangan jelas memanggilnya untuk datang mendekat.

Rama, hapal dengan wajah dan senyum menyebalkan itu!

"Ngapain sih, lo? Nyari kerjaan gue aja." Rama menarik kursi kayu di depannya. Meletakkan tas ransel sembari menyeruput coklat dingin yang sengaja dipesan untuknya. Bukannya lancang, toh juga cokelat ini pasti di sediakan Alby untuk menyambut kedatangannya. Rama tak suka berbasa-basi kalau matanya sudah menangkap segelas cokelat dingin berwarna pekat. Apalagi kalau ditambah topping manis di atasnya.

"Seminggu lagi ulang tahun papa, gue yakin lo gak bakalan ada waktu beli kado buat papa. Lo 'kan orang sibuk." Alby tersenyum miring. Diliriknya sekilas Rama yang baru saja mengatupkan rapat bibir tipisnya. Kepalanya manggut-manggut, menyetujui si saudara tiri.

Alby sebal kalau sudah begitu. Kalau pasal papa, Rama tak ada bantahan juga tak banyak ingin mendebat. Menurut? Bukan! Jelas bukan. Rama tak mau berdebat sebab ia tak peduli dengan pria tua yang sudah membuatnya lahir ke dunia. Singkatnya, hubungan Rama dan ayahnya tak begitu baik. Tak seperti Alby yang penurut, Rama lebih mirip singa liar yang merasa punya kekuasaan atas dirinya sendiri dan dunia yang ia ciptakan. Rama memang sudah brandal dari sananya.

"Ini, gue yang beliin." Ia menyodorkan kotak kecil berwarna coklat gelap. Menyita perhatian Rama yang baru saja ingin kembali menyeruput cokelat dingin di depannya. Mata elang itu tertuju pada sebuah kotak dan jari jemarinya mulai meraih itu dengan ragu.

"Jam tangan isinya," lanjutnya kala tangan Rama baru saja mau membuka kotak itu.

"Thanks. Ntar gue kasih."

"Kasih langsung jangan pakek kurir."

Rama menatap Alby tajam. "Tau aja," tuturnya tersenyum seringai. "Itu doang 'kan?" lanjut remaja jangkung itu menyela dengan segelas cokelat dingin di dalam genggamannya.

Alby diam, tak ada suara yang terucap dari celah bibirnya saat ini. Hanya mengangguk dan menghela napasnya, itu kiranya yang menjadi jawaban untuk pertanyaan dari Rama. Menahan saudara tirinya itu untuk tetap tinggal? Tidak semudah itu! Si keras kepala dan si kolot ini tak akan pernah mau duduk berbicara ringan, berbagi kisah bersamanya.

"Ya udah gue balik." Sebelum benar beranjak dari tempat duduknya, satu tegukan berhasil menghabiskan seluruh coklat dalam gelas berukuran sedang itu. Memang, sedingin apapun Rama dan semalas apapun pria itu ketika membicarakan tentang ayahnya dan keluarganya, ia tak bisa mengkhianati pesona cokelat yang sudah tertangkap oleh lensa matanya. Ia akan pergi, kalau coklatnya habis. Ia akan datang lagi, kalau ada segelas coklat dingin di siang menyengat dan secangkir cokelat hangat di pagi dan malam yang dingin.

"Lo mau ke mana?" Alby menyela. Membuat Rama sejenak diam, menoleh ke arah wajah tampan itu.

Rama tersenyum aneh. Ia membisu sembari mulai mengemasi tas miliknya. Berdiri dan menepuk ringan pundak Alby. Meninggalkan satu pertanyaan yang belum terjawab hingga detik ini.

"Lo mau kemana?!" pekik Alby mengiringi kepergian si saudara tiri. Pandangan mata itu tertuju pada punggung lebar milik Rama yang kian menjauh saja.

"Balik!" teriaknya tanpa mau menoleh atau menghentikan langkah kaki jenjangnya.

Tentang Rama dan kehidupannya, yang hilang saat ayahnya mengkhianati kepercayaan terbesar yang sudah ia gantungkan dengan harapan bahagia lah yang ia dapat. Tentang Rama yang ditinggal pergi oleh ayahnya untuk melabuhkan cinta pada wanita selain ibunya. Ia benci ayahnya. Saat-saat terakhir ibunya, ayahnya dengan bahagia melenggang ke jenjang pernikahan bersama anak pejabat kaya --untuk membesarkan investasi-- begitu alasannya. Seperti tak ada hari lain, seperti esok akan kiamat dan seluruh dunia hancur, pernikahan bertema modern itu telah menghancurkan perasaan Rama. Ia tak perduli, seandainya nanti ayahnya akan menikah sepeninggal ibunya akan tetapi, bukan saat detik-detik terakhir kehidupan ibunya.

Seperti janji yang diucap telah menguap di udara. Seperti kata manis yang dikata sudah hambar rasanya. Seperti tingkah yang dilakukan sudah hilang geraknya, begitu pula harapan Rama untuk bahagia bersama ayahnya dan kebencian lah yang timbul dalam rasanya sekarang ini.

Memang, remaja jangkung itu juga membenci ibu tirinya juga anak yang sudah dikandung oleh beliau, akan tetapi rasa benci terhadap ayahnya lah yang lebih besar rasanya.

Senja memisahkan kembali dua remaja yang punya nasib serupa. Tak ada yang menang juga tak ada yang kalah, semuanya sama. Semua punya luka untuk diri mereka masing-masing. Tak ada luka yang lebih besar, semua luka ... sama!

Rama dan Alby adalah korban. Mereka bukan pelaku yang bisa saling menyakiti satu sama lain. Nasib buruk menimpa mereka di saat semua remaja seharusnya bahagia. Di saat masa yang begitu rawan, keduanya dibanting oleh keadaan. Tergantung bagaimana cara bangkit dan berdiri. Cara yang sekarang dijalani oleh Rama maupun Alby adalah keputusan yang mereka ambil untuk diri mereka sendiri. Hidup di usia masa peralihan, memang tak selamanya mudah dan tak selamanya indah.

Semesta terkadang keterlaluan dengan takdir yang disuguhkan.

Alby menatap layar ponsel yang ada di depannya. Ia memandangi sebuah foto keluarga dengan wajah Rama dan dirinya menghias di sisi sepasang suami istri yang bahagia. Tersenyum lebar, tidak untuk Rama yang diam dengan wajah yang kaku. Hatinya sudah beku, mungkin begitu caranya memandang ke arah kamera. Kisah buruk terus saja datang sebab hatinya yang tak kunjung membaik. Luka itu masih ada. Sakitnya masih terasa. Namun, Rama tahu ... emosi, luka di hati, kesedihan, dan kemarahan sekalipun tak melulu harus diluapkan dengan air mata.

"Lo butuh liburan sekali-kali." Seseorang menyela lamunannya. Sigap Alby kembali memasukkan ponselnya ke dalam saku jaket yang ia kenakan.

Gadis yang cantik, wajahnya bak bunga matahari yang tersenyum di awal fajar datang. Matanya indah dengan sorot teduh dan mempesona. Teman Alby yang satu ini adalah idola kaum adam.

"Lo datang?" tanyanya dengan lirih.

Gadis itu mengangguk. "Yang baru saja pergi, Rama bukan?"

Alby diam sejenak. Menatap gadis cantik yang ada di depannya lalu tersenyum ringan. "Hm, dia Rama. Mantan pacar lo."

... To be Continued ...

avataravatar
Next chapter