4 4. Dia adalah Rama Aksa Mengantara

Bab 4 : Bukan Rama yang ada dalam sejarah sebagai pria baik untuk Shinta

Happy Reading!

----------------

"Buat lo," ucapnya sembari membuang muka ke sembarang tempat. Canggung pastinya.

"Ngapain sih? Gak jelas banget." Nata menampik. Dilepasnya kasar genggaman tangan Rama yang kuat mencengkram tas ranselnya.

"Gue utang sama lo tadi. Di BK," sambungnya tegas. Menyodorkan kaleng soda yang sudah ia buka tutupnya.

Nata diam. Membisu, mematung, atau apalah itu! Bukannya terpesona dengan ketampanan remaja ada di depannya itu. Namun, ia sedang heran sekarang. Makhluk macam apa Rama itu? Dari sekian banyak hadiah yang bisa diberikan pada seorang gadis, mengapa kaleng soda bekas dengan tutup yang sudah terbuka?

"Habis kamu minum 'kan?" lirik Nata sinis. Bagaimana tidak, yang biasanya terjadi adalah sodoran kaleng soda yang masih tersegel rapat dan suci isinya, bukan kaleng yang sudah terbuka jelas dan membiarkan siapa saja bisa menyeruput habis isinya.

"Enak aja! Dikasih malah mikir aneh-aneh."

"Denger ya, aku gak pernah mikir kamu punya hutang dan aku gak kenal kamu. Di ruang BK tadi? Aku gak melakukan itu buat kamu. Jangan kepedean deh," ketus Nata mencoba untuk kembali melanjutkan langkahnya.

"Belagu banget sih, lo!" sahutnya menarik kasar tangan Nata. Membuat gadis itu mencoba meronta. Namun naas, rontaannya itu membuat sekaleng soda jatuh bebas di baju putihnya.

"Sial!" decaknya lirih.

"Lihat 'kan? Sekarang yang gak punya mata siapa? Kamu!" Emosi gadis berpipi tirus itu memuncak. Ditatapnya Rama yang hanya diam tak berekspresi di depannya.

"Dasar hama!" lanjutnya sembari melepas kasar genggaman Rama di pergelangan tangannya. Meliriknya sinis kemudian berlalu melanjutkan langkah tegasnya.

"Gadis aneh. Kena air aja sensinya kek gitu." Rama memandang kepergian Nata dengan malas. Tak ada eksepsi yang bisa menjelaskan isi hatinya saat ini. Baru kali ini, seorang gadis memanggilnya dengan sebutan hama. Sedikit lancang memang, mengingat semua akan menganggap sebuah anugerah jika ia datang dan memberikan sesuatu. Rama memang sialan, terkadang. Sikapnya yang tak acuh dan dingin pasti membuat banyak orang enggan untuk dekat dengannya. Namun, percayalah itu adalah pesona dari Rama Aksa Mengantara.

Ah, benar ... tentang Rama, si remaja jangkung yang punya paras tampan bak dewa yang turun dari surga. Wajahnya 100 persen sempurna, untuk ukuran remaja-remaja di kota metropolitan ini. Fisiknya tak perlu ditanya lagi. Semuanya saling mendukung satu sama lain. Alis hitam itu, mata tajam bak elang yang membidik dengan bulu mata lentik yang menyempurnakan. Hidung mancung dan bibir tipis berbentuk garis, mempesona kalau ia tersenyum manis. Namun, sayangnya ... Rama jarang melakukan itu. Tersenyum manis, maksudnya. Bukannya apa, ia malas untuk bersikap ke kekanak-kanakan.

"Ram!" Rama menoleh. Seseorang berlari jelas ke arahnya. Terhenti tepat di depannya dan mencoba mengatur nafasnya yang tak karuan ritmenya.

"Dicari tu sama guru seni."

"Ngapain nyari gue? Kangen?" Rama terkekeh. Tawa bernada khas keluar dari celah bibir merah mudanya. Mata elang itu memandang si teman sekolah yang masih 'ngos-ngosan' sebab berlari dari jarak yang jauh.

"Jidatmu! Disuruh masuk," ucapnya di sela-sela helaan nafas kasarnya.

"Males. Gue ada urusan. Besok gue masuk. Janji. Bilangin gitu. Kalau kangen telfon aja," tegasnya menepuk kasar pundak pria berkacamata kotak yang hanya menggeleng tanpa mau mencegah kepergiaan pria berponi naik itu.

Sekali lagi, tentang Rama Aksa Mengantara. Badboy-nya sekolah. Remaja bergaya alakadarnya namun tetap membuatnya keren dan tampan di mata kaum hawa itu, tak akan berhenti membuat onar sebelum sekolah membangun jalan untuknya dan membuat kelas balap untuk pengembangan bakatnya. Tak heran, sekolah ini adalah milik ayahnya--investor terbesar dalam pembangunan sekolah-- Sikap buruknya memang tak ada tandingnya. Sikap acuh yang ia milikilah yang menjadi pesona peluluh hati kaum hawa selain tampang mumpuni miliknya. Poni naiknya yang memperlihatkan jidat mulusnya, alis tebalnya yang lurus menyiku, hidung lancipnya, mata tajamnya, dan bibir standarnya membuat siapa saja menatap pria berperawakan kurus tinggi akan jatuh hati pada pandangan pertama. Namun kembali lagi, tak semua suka sikap acuhnya.

••• 100 Persen itu Sempurna Vol 01 •••

Pulang, waktunya pulang! Rama bilang ia punya acara sore ini. Bukan sebuah meeting penting, seseorang ingin bertemu dengannya selepas senja menyapa nanti. Katanya sih, ada hal penting yang harus dibicarakan. Rama tak boleh mangkir untuk yang kesekian kalinya. Jika ingin mangkir, maka ia akan menerima imbasnya --begitu ancaman yang diterima olehnya siang ini.

Dari rentenir atau geng motor gila? Tidak, si pengirim jauh lebih menyebalkan dari dua spesies manusia itu.

"kapan pulang?" Sebuah pesan datang bak alarm untuk dirinya. Seorang wanita yang paling dicintainya selalu memastikan bahwa putranya itu dalam keadaan baik-baik saja. Siapa kira dan siapa bisa menyangka, Rama adalah si keras kepala yang bisa saja membahayakan dirinya sendiri. Kasih sayang seorang ibu tak akan pernah mati hingga bila-bila bahkan di saat keadaan sudah berbeda sekalipun.

"Nanti, gak malem kok, Bun." Ia menutup ponselnya. Menarik gas motornya untuk segera keluar dari lingkungan sekolah. Menyusuri jalanan Jakarta yang kalau siang dan sore tak pernah mau bersahabat dengan hobinya. Macet.

Lampu merah yang menandakan ia harus sabar menunggu selama kurangnya satu menit itu selalu jadi alasan utamanya ingin cepat pergi dari macetnya Jakarta.

-Udah macet, pakek lampu merahnya lama segala lagi! 'Kan bosen-

Sembari menunggu lampu merah. Rama merogoh ponsel di saku jaket hitamnya. Ponsel yang baru saja mengganggu fokusnya dengan getaran tanda pesan tak berguna masuk dan menunggu untuk ia baca isinya

"Gue nunggu di kafe biasa."

"Ga telat."

"Cepetan! Lo bukan cewek 'kan? Yang harus dandan pakek bedak seebrek!"

"Brisik lo!" Seseorang menunggunya. Di tempat biasa. Entah untuk tujuan tak penting macam apa, tetapi mau tak mau Rama harus datang.

--Kalau lo ga dateng, gue laporan ke bokap!-- Ancaman yang sama. Yang membuatnya lemah kalau harus menolak satu orang itu. Bukan kurir malam yang selalu memeras karena tugas kotornya sudah terpenuhi. Bukan juga penangih utang yang marah karena tempo tanggal jatuhnya sudah terlewat.

Dia, Alby Aditya. Nomor satu di kelas. Nomor dua di sekolah. Nomor tiga di kelas seni. Nomor empat di rumah. dan Nomor lima yang mampu menjadi agenda hidup untuk Rama Aksa Mengantara. Karena yang pertama adalah Bunda kesayangannya, Kedua adalah hidup tenang sendirinya, ketiga adalah motor balapnya, dan keempat adalah jalanan sepi untuk ia balap liar, baru yang kelima adalah saudara tirinya itu. Alby Aditya.

... To be Continued ....

avataravatar
Next chapter