3 3. Siapa Rama?

"Kelas pengembangan bakat kalau di sekolah lain namanya esktrakurikuler. Jika dalam acuan nama itu hanya siswa siswi yang berminat saja yang mengikutinya. Akan tetapi, sekolah ini lain. Pasalnya, mereka menyiapkan bakat lain kalau kamu enggak bisa masuk kuliah peminatan mata IPA dan IPS."

"Katakan saja seperti pemaksaan untuk berbakat di luar bakatmu," lanjutnya selepas diam sejenak. Keduanya saling pandang, sebelum akhirnya di lawan bicaranya mendesah dengan kasar.

Nata kesal!

"Kamu memilih kelas seni? Lukis atau sastra?"

Nata mengangguk ragu, tanpa mau merubah sorot matanya yang sedari tadi hanya terfokus lurus ke depan tanpa tujuan objek. Pikirannya melayang entah ke mana. Kelas seni? Astaga! Kelas macam apa itu? Yang Nata kagumi hanya satu, Lavender. Kalau disuruh memilih, Nata pilih keluar saja dari sekolah aneh ini.

Kelas pengembangan bakat? Nata tak punya bakat apapun. Ia hanya menghabiskan waktu luangnya untuk merawat lavender ungunya di kebun atap yang ia ciptakan kala usianya 8 tahun dan kebun yang harus ia tinggalkan kira lamanya 8 tahun juga.

"Lukis? Harus kulukis apa nanti?" erangnya pelan. Melirik sekilas Dila yang masih sibuk mengaduk es jeruk miliknya.

"Lukis apa yang ada di otakmu aja," sahutnya enteng.

"Lavender?" Nata menyipit. Melipat keningnya sembari menopang dagu yang kini terasa begitu berat.

"Kalau gak suka, terus ngapa milih kelas seni?"

"Aku gak suka keributan, kelas musik. Aku gak suka cheerleading. Aku gak suka olahraga dan aku gak suka masak."

"Jadi imbasnya ke kelas seni?" Dila tercengir kuda, "Kalau Cheer, ntar ketemu aku."

"Kelas seni, perasaanku ga begitu enak." Suara gadis itu melirih. Jika di sekolah lamanya, tak ada pemaksaan seperti ini. Yang ditujukan hanya untuk membentuk seseorang dengan otak pintar yang nanti bisa menerobos era globalisasi di masa depan. Kalau dulunya Nata hanya berangkat sekolah pukul 8 dan pulang pukul tiga sore, kini ia harus menyisihkan waktu sorenya untuk kelas seni. Mengerakkan tangannya untuk menciptakan mahakarya yang entah mau bagaimana nanti bentuknya juga sebuah karya sastra yang akan jadi tulisan dengan makna seperti apa.

"Nanti sore 'kan kelas seninya?"

Nata mengangguk. "Bosan pasti."

••• 100 Persen itu Sempurna Vol 01 •••

Langkahnya gontai. Semangatnya baru saja menguap jauh di udara. Kelas yang ditutup dengan mata pelajaran yang membahas betapa cepatnya cahaya yang mampu masuk celah sempit dan besarnya frekuensi yang dihasilkan tak ubahnya seperti mata pisau yang mengarah padanya untuk tetap maju ke depan pintu gerbang yang berisi kumpulan samurai panjang yang siap menebas tubuh rampingnya, seperti kalau mundur mati kalau maju apalagi.

Nata terhenti. Ruang petak di sudut sekolahnya baru saja tertangkap jelas di lensa matanya. Ia mendesah kasar. Lukisan yang tergantung di tembok sisi pintu kayu memang indah, tulisan bermakna membangun semangat yang ditulis puitis juga kiranya indah diucap oleh bibir. Tapi, apakah Nata bisa menciptakan hal semacam itu? Paling-paling kalau mau melukis nanti juga jadinya pemandangan dengan dua gunung, satu matahari yang tersenyum ria, satu jalan besar berkelok, bentangan sawah dengan satu gubuk tua di sisi pematangnya dan satu pohon kelapa yang melengkung apik di satu sisi pojok gunung. Dimana pohon kelapanya nanti akan lebih tinggi dari gunung yang berjajar.

Kalaupun juga mau menciptakan sebuah karya sastra, nanti paling-paling hanya coppy-an lirik lagu yang biasa ia dengar saat hening membentang dalam ruang kebunnya.

"Nata?" Suara cempreng milik seorang wanita setengah abad baru saja memekik di telinganya.

"Saya kira kamu datang besok Selasa," lanjutnya tersenyum simpul.

"Katanya kelas seni hari Senin dan Selasa. Jadi saya datang sekarang."

"Belum bawa apa-apa 'kan?"

Mata Nata membulat. Benar. Belum bawa apa-apa 'kan? Harusnya seseorang yang akan melukis setidaknya membawa buku gambar dan pensil warna. Bahkan yang ada dalam tas Nata hanya satu buku tulis dan kotak pensil yang isinya tak cukup lengkap.

"Kalau begitu, lihat-lihat saja. Besok kamu datang dengan alat gambar, oke?" Ia tersenyum. Mengusap halus rambut panjang milik gadis berhidung pesek itu.

"Kalau langsung pulang saja? Aku bisa menggunakan waktu ini untuk mencari alat gambar," tawar Nata. Berharap dengan senyum aneh yang mengiringi. Nampaknya, ia sedang berdoa pada sang kuasa untuk meluluhkan hati wanita paruh baya di depannya itu.

Wanita itu mengangguk ringan sembari tersenyum lebar. "Besok jangan telat."

Demi apa? Pulang? Sekarang? Tanpa kelas seni? Setidaknya hari ini Nata bisa terbebas dari kebosanannya akan kelas seni. Setidaknya hari ini Lavendernya tak menangis karena tuannya harus meninggalkannya hingga senja nanti. Untuk siapapun itu, terimakasih --Dari Lanata Calya Halwatuzahra--

••• 100 Persen itu Sempurna Vol 01 •••

Suasana sekolah kini mulai menyepi. Hanya ada beberapa murid yang masih kukuh untuk tetap berada di halaman sekolah. Kiranya yang ikut kelas musik juga yang ikut kelas voli dan tari. Selain itu? Entah seberapa cintanya mereka pada lingkungan sekolah yang itu-itu saja. Yang jelas, beberapa langkah lagi kaki Nata sudah selesai menapak di halaman sekolah. Tinggal tunggu Pak Dan datang dan selanjutnya, ia bisa bermesraan dengan lavender cantik di kebun buatannya.

"Oi!" teriakan seseorang menghentikan langkah Nata. Suaranya sedikit tak asing, tetapi siapa? Tanpa mau pikir panjang Nata melanjutkan langkahnya kembali.

"Elo! Budeg ya!" Ia kembali berteriak. Kali ini dengan nada meninggi yang terkesan benar-benar tak punya tata krama bahasa. Pantes sih, anak IPA bukan anak bahasa.

"Udah aneh, budeg pula," lanjutnya berjalan mendekat. Dari jauh perawakannya memang asing. Namun, lama-lama saat mendekat, kata asing itu mulai pudar. Lelaki itu, Rama. Rama Aksa Mengantara. Benarlah itu namanya? Entahlah. Nata tak punya ingatan bagus untuk menghapal nama orang baru.

"Punya sopan santun gak?" balas Nata cuek. Baru saja ia ingin melangkah pergi dari Rama, tarikan tangannya yang bebas mendarat di tas ransel Nata sukses membuat tubuh ramping milik gadis itu tertarik ke belakang.

"Buat lo," ucapnya sembari membuang muka ke sembarang tempat. Canggung pastinya.

"Ngapain sih, gak jelas banget." Nata menampik. Dilepasnya kasar genggaman tangan Rama yang kuat mencengkram tas ranselnya.

"Gue utang sama lo tadi. Di BK," sambungnya tegas. Menyodorkan kaleng soda yang sudah ia buka tutupnya.

Nata diam. Membisu, mematung, atau apalah itu! Bukannya terpesona dengan ketampanan remaja ada di depannya itu. Namun, ia sedang heran sekarang. Makhluk macam apa Rama itu? Dari sekian banyak hadiah yang bisa diberikan pada seorang gadis, mengapa kaleng soda bekas dengan tutup yang sudah terbuka?

... To be Continued ...

avataravatar
Next chapter