14 14. Kata Hujan

Nata berjalan mendekat. Terus mengamati lukisan indah nan sempurna di depannya itu. "Cantik banget," erangnya pelan. Matanya menyusuri setiap bagian lukisan. Hingga ia menemukan satu tulisan kecil di sudutnya --Rama A.--

Rama? Rama Aksa Mengantara?

Nata menoleh pada pria yang masih sibuk menata lukisan yang ia bawa. Rama? Itu milik Rama?

--Terataiku, Malaikatku--

Kali ini Nata tertawa kecil. "Pernah alay juga tu cowok."

"Woi! Ngapain? Ayo keluar!" Rama mendahuluinya keluar dari ruangan. Suaranya lantang terdengar membuyarkan fokus milik gadis itu. Rama sudah selesai, ia pun tak punya urusan di sini. Jadi, ia akan keluar sekarang. Nata yang tadinya diam kini mengekori dari belakang. Melangkah keluar dari ruangan dan ....

Ah, sial! Hujan!

Rintik hujan yang turun kini mulai deras wujudnya. Rama mendongak ke atas. Seharusnya ia paham, kalau langit mendung berarti hujan akan turun. Sekarang, keadaannya adalah ia terjebak bersama Nata. Kalau mau kembali ke gedung utama, percaya deh, basah kuyup sudah tubuh mereka berdua.

"Gimana nih," Nata melangkah maju. Menadahkan tangannya untuk menerima derasnya air hujan.

"Tunggulah."

"Ck, masih ada dua jam pelajaran lagi. Mau bolos?" Nata mengerutkan keningnya jelas. Menatap malas pria yang hanya berdiri dengan santainya.

"Sejarah. Ga penting. Ga suka bahas masa lalu."

"Bukannya menatap ke depan, eh ini bahas yang lalu mulu. Capek." Rama berbalik. Mengunci pintu yang tadinya hanya ditutup rapat oleh Nata.

"Tungguin aja. Ga sampek besok, juga."

"Aku laper." Naya memijit perutnya. Sedikit melilit. Rasanya perih. Ah, benar. Ia baru ingat sekarang ... Nata belum makan hari ini.

"Rakus." Rama berdecak ringan di bagian akhir kalimatnya. Melirik sejenak Nata lalu kembali menatap apapun yang ada di depan mereka.

"Beneran," Nata menimpali. Kali ini dengan suara yang sedikit melirih.

"Dari tadi nahan sakit," erangnya pelan. Ia berjongkok di depan Rama. Memegangi perutnya yang kini mulai terasa perih. Rama tak peduli. Semua cewek itu manja--begitu pikirnya.

Nata diam. Bibirnya sedikit memucat. Keringat dingin ia rasakan mengusai tubuhnya. Perutnya kini meronta. Seakan memprotes pada Nata yang masih mengabaikan penghuni di dalamnya.

"Laper," erangnya lagi. Kali ini Rama menunduk. Menatap gadis yang membenamkan wajahnya di sela-sela pertemuan lututnya.

"Lo sakit?"

Nata tak menjawab.

"Woi! Lo kalau laper jadi budeg?"

Lagi-lagi Nata tak menjawab.

Rama ikut berjongkok di depan Nata. Mengocangkan bahu gadis itu perlahan. Gadis itu mendongak. Pucat.

"Lo punya maag?"

Kali ini Nata mengangguk.

"Nah lo ga bocot. Diem aja sih. Ikut gue." Rama menarik tangan gadis itu. Membawanya berjalan menyusuri tepi bangunan yang masih tertutup oleh genteng, sehingga air hujan tak benar mengenai tubuh mereka.

"Lo tunggu di sini. Gue buka gerbangnya dulu." Rama berlari menerjang hujan. Gerbang hijau tua yang sedikit berkarat ia buka gembok tuanya. Bukan gerbang utama, tapi gerbang belakang gedung yang hanya dilewati setahun sekali, mungkin.

Rama kembali menjemput Nata. Digenggamnya tangan gadis itu dan dibawanya menerjang hujan. Tepat di warung tua samping gedung. Lebih dekat warung ini ketimbang harus berlari ke kantin yang ada di sekolah.

Nata menatap Rama. Tubuhnya basah, lebih basah dari dirinya.

"Ngapain liat-liat? Katanya mau makan." Rama mengacungkan satu jari, tanda memesan. Wanita tua penjaga warung hanya mengangguk paham.

"Kamu sering ke sini?"

"Duduk." Rama melepas genggamannya. Duduk di kursi panjang dengan meja kayu yang tak kalah panjangnya.

Selang beberapa detik. Satu porsi makanan yang dipesan sudah berada di depan Nata. Gadis itu melirik Rama sekilas. Lalu kembali memfokuskan tatapannya pada semangkuk sayuran dengan kuah hitam pekat dan secangkir teh hangat yang masih mengeluarkan asapnya.

"Rawon?" Nata tersenyum kuda. Memasukkan satu suapan ke dalam mulutnya.

"Enak." Kali ini ia tersenyum jelas. Matanya melengkung bulan sabit. Bibirnya yang biasa tertaut rapat kini jelas menampilkan deretan gigi rapinya. Lesung pipinya tercipta, kantung mata tipis miliknya juga tergambar jelas. Nata menepuk pundak Rama, "Makasih."

Rama menoleh. Menatap gadis yang masih kokoh dengan senyum bahagia miliknya. Sejak bertemu dengan gadis itu, Rama tak pernah melihatnya tersenyum bahagia seperti ini. Bahkan, menarik sedikit sisi bibirnya saja tak pernah. Entah mengapa, melihat Nata dengan senyum seperti itu, meruntuhkan sudah hati dingin Rama. Seakan mentari yang muncul di atas awan kutub. Rama terdiam sesaat. Sebelum akhirnya menyadari. Terlalu lama ia berkontak mata dengan gadis itu.

"Kamu suka ke sini?" Nata mengulang pertanyaan.

"Hm." Rama berbalik. Kali ini tubuhnya jelas menatap hujan yang mulai reda.

"Enak tau." Dengan lahap Nata menghabiskan satu porsi rawon miliknya. Detik-detik dilalui dengan diam. Rama tak ikut makan kali ini. Remaja jangkung itu hanya diam, memutar posisi duduknya sembari memandang hujan yang jatuh dari langit.

Selang beberapa menit. Nata menyelesaikan makanannya. Gadis itu mendorong mangkuk kosong agar menjauh dari pandangannya.

"Berapa, Bu semuanya?"

"10 ribu aja." Nata menyodorkan uang miliknya. Kemudian ikut berbalik menyamai posisi duduk Rama.

"Enak, ya di sini." Nata mengerang ringan. Pelahan menadahkan tangannya untuk menerima hujan. Rama menoleh sekilas. Lagi-lagi ia tersenyum.

"Kamu beneran saudara Alby?"

"Kok Lo bisa kenal Alby?" Rama balik bertanya.

Nata melipat keningnya samar. "Ditanya kok balik nanya."

Keduanya sama-sama diam. Menatap hujan yang masih kokoh dengan iramanya. Hawa dingin mulai menusuk keduanya.

"Tiri," jawab Rama tiba-tiba. Nata menoleh. Tiri? Oh, pertanyaannya tadi.

Nata hanya tersenyum seringai. Tangannya yang masih pada posisi mengadah itu menarik perhatian Rama. Pria itu mengulurkan tangannya. Membuat tangan Nata turun karenanya.

"Ga capek, apa?" Rama berdecak.

"Risih gue liatnya."

Nata menggeleng."Kalau risih ya, ga udah diliat."

"Jarang-jarang bisa duduk liatin hujan. Aku suka hujan."

Rama menoleh. "Sinting."

"Karena kalau hujan, aku bisa nglimpahi semua bebanku. Sepi hujan itu nyaman, satu-satunya sepi yang ga bikin ngerasa kalau kita lagi sendiri." Nata tersenyum.

"Kayak kamu," lanjutnya. Rama menoleh. Menatap Nata yang ikut menatapnya jelas.

"Gue?"

"Kamu butuh sepi dimana kamu ga akan ngerasa kalau sepi itu artinya kita lagi sendiri. Ada hujan. Saksi bisu yang rela mendengarkanmu meskpin kamu menyalahkannya sebagai duka langit. Ia setia. Meskipun datangnya ga setiap hari. Tapi, kalau udah dateng, perginya bakalan lama. Sampek kamu puas nglimpahin beban sepi kamu. Kayak sekarang." Nata tersenyum simpul. Sedangkan Rama hanya diam bisu menatapnya.

"Ngapain liat-liat?" sambungnya pelan. Membuyarkan fokus Rama padanya.

"Benar, kan, aku?" Nata menepuk pudak Rama. "Bener pastinya."Ia beranjak.

"Udah. Ga usah nunggu. Udah lumayan reda."

"Yok, balik," ajaknya pada Rama yang masih terdiam tak percaya. Tak percaya pada apa yang sedang terjadi padanya. Ia luluh. Dengan kata-kata yang baru saja diucap oleh gadis yang kini sudah berjalan mendahuluinya.

Sekarang yang jadi pertanyaan besar untuknya, Mengapa seorang Rama bisa luluh pada gadis aneh seperti Nata?

... Bersambung ....

avataravatar
Next chapter