11 11. Sisa Senja Ini

Jarum jam terus bergerak, menyusuri setiap angka yang ada sejenak tertahan untuk sementara waktu. Nata masih memandang wajah remaja tampan yang ada di sisinya. Katanya sih tak tega melihat wajah Nata yang 'melas' begitu. Ia kehilangan harapan untuk mengejar Alby. Kelas sastra akan lebih sibuk dari dugaan. Tak boleh ada yang keluar kalau sudah masuk ke dalam sana.

Satu alasan yang membuat Nata tak mengerti, alasan itu terlontar dari celah bibir Rana. Katanya, ia yang akan menyelesaikan tugas Alby. Toh juga, ia sedang tak punya pekerjaan sekarang ini. Remaja itu memaksa Nata untuk diam dan menurut saja. Jangan ada bantahan di atas bibirnya. Toh juga, Rama hanya membantunya saja. Tak berbuat jahat juga tak melakukan hal-hal di luar batas.

Nata menatap Rama dengan heran. Tak bisa dipungkiri bahwa Rama terus saja membuatnya bertanya-tanya. Seperti apa orang aneh satu ini? Mana Rama yang benar-benar Rama? Ia terus saja berubah seiring dengan berjalannya waktu. Sifatnya lain, dan sikapnya tak sama. Hanya wajah dan fisiknya saja yang tak pernah berubah.

Rama yang merebut kasar kuasnya dan menggoreskan warna gelap terang, tebal tipis di kanvas miliknya itu tak henti-hentinya mengoceh pada Nata. Katanya, Nata tak berbakat lah, bodoh, aneh lah, tak tau tempat lah.

Tunggu? Ia tak pernah memaksa Rama untuk membantunya. Ia hanya bergumam ringan, sembari mengerutkan dahinya, mengerucutkan bibirnya, dan menggerutu. Hampir saja menangis, dalam keluh kesahnya ia takut tak bisa pulang jika lukisannya tak selesai. Hanya itu, tak ada yang lain. Rama yang tiba-tiba meraih kuasnya dan berjalan mengarah ke tempat Nata sebelumnya. Jadi, tak ada paksaan! Namun, remaja ini mengomel seakan-akan Nata sudah memaksa dan memberi ancaman padanya.

Namun, terserah! Ia mau mengoceh apa atau bagaimana, untuk Nata yang terpenting adalah lukisannya itu selesai dengan cepat.

"Lo ya ...."

"Mau bantuin apa ngoceh sih?" Nata menyela. Diliriknya sekilas pria yang ikut melirik Nata tajam dengan mata elangnya.

"Ga ikhlas?" Sambungnya sembari menarik satu lagi kursi untuk duduk di sisi Rama.

"Diem, bawel banget sih." Rama menoleh. Sejenak kedua pandangan matanya saling bertemu satu sama lain. Rama berdecak kasar, sebelum akhirnya ia kembali fokus menatap kanvas yang ada di depannya.

Bawel? Siapa? Nata?

Mata gadis itu menyipit. Jika bukan karena keinginan kukuhnya untuk segera menyelesaikan tugasnya itu, ia jitak juga kepala brandalan satu ini.

"Kamu ngapain di sini?" tanya Nata melirih. Ia ingin membuat suasana sedikit nyaman.

Rama menoleh sejenak lalu kembali memfokuskan sorot matanya pada lukisan wajah yang bisa dibilang hampir sudah selesai pewarnaannya.

"Absen."

"Absen? Kelas seni?" Ia menyentak. Suara nyaringnya memenuhi ruangan petak berdominasi cat warna putih susu itu. Seluruh sorot mata jelas mengarah padanya. Akan tetapi, Nata tak peduli. Yang menjadi fokusnya hanya satu, Rama--saudara Alby juga anak kelas seni.

Satu kelas dengannya? Tentu.

"Pantes perasaanku kemaren itu ga enak," gumamnya menggerutu.

Rama menoleh, kali ini benar-benar menatap wajah gadis yang baru saja merubah ekspresi wajah datarnya. "Bacot lo."

"Tuh, dah selesai." Rama beranjak. Mendorong kasar kursi kayu hingga menciptakan suara gesekan yang cukup mengganggu.

Nata mendongakkan kepalanya. Menatap setiap aktivitas yang dilakukan oleh remaja jangkung di sisinya itu.

"Gak perlu terimakasih, gue tahu lo susah ngomong itu." Rama tak acuh. Ia tersenyum seringai lalu mulai memutar tubuhnya. Tak menghiraukan perubahan ekspresi wajah gadis yang ada di sisinya itu.

Nata tak menjawab. Ia diam, memilih bisu dengan keanehan yang ada di sekitarnya sekarang. Rama benar-benar unik!

Rama berlalu. Sebelum akhirnya menghilang, suaranya jelas memenuhi ruangan, "Bukan bantuin lo, cuma bayar utang gue aja! Jadi, ga usah ke-geer-an."

Persetanan! Siapa juga yang 'kepedeaan' hanya karena seorang brandalan tampan membantunya menyelesaikan tugas?

--Bukan ga suka sama bahasanya yang kasar itu. Hanya saja bisa, kan gak usah teriak-teriak macan di hutan belantara? Kalau sudah begitu, siapa yang malu? Nata pastinya.

••• 100 Persen Itu Sempurna Vol 01 •••

Pulang! Ya, inilah akhir dari semua beban yang dipunyai Nata sore ini. Tak bisa dipungkiri, Alby dan Rama menyumbang banyak hal untuk bebannya sore ini. Ingin berterimakasih, tetapi aneh saja rasanya. Nata tak bisa datang pada mereka lalu mengulurkan tangan dan tersenyum ramah.

Langkah kaki gadis berkuncir kuda itu jelas mengarah ke pintu gerbang sekolah. Seperempat menit berlalu begitu cepatnya. Nata yang diam menunggu supirnya untuk datang akhirnya memutuskan berjalan seorang diri. Suara berat pria tua yang mengatakan ia akan sedikit terlambat karena ban mobil yang biasa menjemputnya sekolah bocor di tengah jalan.

"Maafin ya, neng. Nanti Pak Dan langsung jemput di toko buku aja, gimana?"

"Iya ga papa kok, pak. Namanya juga kecelakaan. Nanti Nata telfon lagi aja, oke?" Nata tersenyum tipis. Ditutupnya ponsel yang dengan akhiran suara seorang pria yang tegas akan menjemputnya di toko buku nanti.

Ia terus berjalan. Menyusuri trotoar jalan yang mulai menyepi keadannya. Ia melirik jam tangan miliknya, pukul 16:32. Jika ia mampir ke toko buku, mungkin pukul 6 ia baru sampai di rumah. Ah, kesialan belum benar-benar berakhir ternyata. Masih ada kesialan yang lain sampai hari benar-benar berubah menjadi malam.

"Lanata!" Suara seorang remaja yang terdengar samar karena suara motor miliknya lebih jelas memekik di telinga Nata. Nata menoleh. Si jangkung ber-helm hitam yang dibuka kacanya itu tersenyum simpul untuknya.

"Alby?" --Ah, benar! Sial bisa datang dimana pun dan kaapa pun. Bahkan saat Nata sudah mengibarkan bendera putih tanda tak kuasa lagi dirinya dengan semua kesialan ini.

"Kok pulang jalan?" Ia menatap Nata iba. Kaki kecil miliknya harus disiksa sebegitu kejamnya. "Supir kamu libur?" tanyanya.

Nata diam sejenak. Ia mencoba untuk tersenyum ringan pada remaja di sisinya itu. Helaan napas mengakhiri semuanya. "Ga papa."

"Bareng yuk? Aku anterin," tawarnya tegas. Nata terdiam. Pulang bersama Alby? Lagi?

"Gimana?"

--yang awalnya diam membisu akhirnya mengerang ringan. Yang awalnya tegap membeku akhirnya ragu mengangguk. Mungkin Nata tak begitu suka pada pemuda satu ini. Mengingat pertemuan awal mereka yang dibilang 'tak mengenakkan'. Namun, ia juga tak ingin menyia-nyiakan kesempatan emas di antara kesempatan perak lainnya. Jika ia menolak tawaran pria satu ini, hanya ada dua kemungkinan ia bisa sampai di toko buku --Bus atau jalan kaki--

Mungkin, Nata harus lebih longgar lagi dalam membuka hatinya untuk teman-teman baru. Tak selamanya semua orang menyebalkan itu, tak berguna.

... To be Continued ....

avataravatar
Next chapter