1 1/7 |AKU MISKIN DAN ITU MENYEDIHKAN

30 Agustus 2020.

Aku memiliki banyak mimpi yang ingin kucapai. Kata orang-orang terdekatku, jangan bermimpi terlalu tinggi, takutnya nanti saat jatuh ... rasanya itu sakit banget. Aku yang waktu itu masih berusia sepuluh tahun, jadi down dan memilih untuk tidak bermimpi yang tinggi.

Tetap saja, aku masih memiliki harapan kecil untuk jadi orang kaya raya. Kemiskinan tidak cocok untuk orang sepertiku (well, ini menurutku waktu berumur sepuluh tahun) penyebabnya tak lain karena menjadi miskin itu merepotkan. Sudahlah, pasti kalian yang satu spesies denganku juga setuju. Lain cerita untuk kalian yang terlahir kaya raya.

Salah satu alasan, kenapa aku tiba-tiba saja berpikiran untuk menjadi orang kaya, karena waktu itu ....

Mei 2013.

Tujuh tahun yang lalu, ketika aku masih berusia sepuluh tahun.

Ini adalah masa yang tidak ingin kukenang kembali, sebenarnya (karena masa itu, aku mengenal rasanya patah hati dan itu tidak menyenangkan). Waktu itu, wali kelasku, memberikan tugas yang menyulitkan kondisi ekonomiku.

Bagaimana tidak? Ibu guru menyuruhku untuk membeli peralatan melukis. Aku yang memang sangat suka melukis setuju-setuju saja dengan hal itu. Toh, aku juga diuntungkan dengan mendapat satu set media menggambar yang harus kubeli sendiri.

Sepulang sekolah, aku menghampiri ibu--aku memanggilnya mama--yang sedang memasak di dapur.

"Ma, aku ada tugas dari sekolah. Aku disuruh untuk beli peralatan melukis," kataku dengan enteng kala itu.

Mama yang asik mengiris-iris sesuatu--yah, intinya itu sesuatu yang layak untuk dikonsumi--lantas berhenti mengiris. Aku seketika berpikir, apa mama mengiris tangannya? Tapi itu tidak mungkin, jika mama mengiris tangannya setidaknya dia menjerit atau meringis karena merasa sakit, seperti itu.

"Kamu tahu, Nak, kita orang miskin. Mama gak menjamin bisa membelikan hal itu. Coba besok kamu tanya gurumu untuk memberikan tugas yang lebih mudah. Menggambar tak harus memakai peralatan lengkap, bermodal kertas, pensil dan penghapus saja itu sudah cukup," nasihat mama waktu itu. Ia menoleh menatapku dengan penuh arti.

Sedih? Oh jelas, aku sangat sedih saat itu. Namun, aku mencoba sebisa mungkin untuk mengerti kondisi keuangan keluarga kami. Mengingat bukan hanya aku yang memiliki banyak keperluan, saudara-saudariku pun pasti memiliki hal-hal yang membuat hati mama jadi repot.

"Oke, Ma. Aku akan memberi tahu guruku." Meski dengan mata berkaca-kaca aku tetap memberanikan diri untuk membalas ucapan mama--tentunya tanpa menatapnya. Aku tak berani memperlihatkan wajah sedihku pada mama, pasti akan menambah bebannya lagi.

Keesokan harinya, aku tiba di sekolah lebih awal dari biasanya. Di dalam kelas aku duduk termenung memikirkan kata-kata yang tepat untuk kusampaikan kepada ibu guru mengenai kondisi keuanganku.

Bel masuk berbunyi, Aya, teman sebangkuku, sudah duduk cantik di dekatku. Kuperhatikan ia mengeluarkan beberapa alat menggambar. Aku hanya tersenyum pahit melihat aneka ragam peralatan menggambarnya, diantarnya ada : kuas, palet, cat air, buku gambar A3. Wah, benar-benar membuatku iri.

Ia menoleh padaku, seolah berkata, mana milikmu? Apa selengkap punyaku?. Ia bahkan memasang ekspresi mengejek di wajahnya saat memandangiku. Membuatku terluka.

Ibu guru masuk ke dalam kelas, aku berdiri menghampirinya. Kurasakan Aya memperhatikan tingkahku, aku tak peduli. Aku terus memberanikan diri menghampiri ibu guru dan menjelaskan semuanya.

"Ibu guru," sapaku pelan.

"Iya, ada apa Iyun?" Beliau mengeluarkan sebuah map dan meletakkannya di atas meja. "Apa kau punya keluhan?"

Aku terkesiap, wah, ibu guru seperti memiliki kemampuan membaca pikiran orang saja--telepati. Aku jadi penasaran, apa ibu guru anak 'indigo'? Aku ingin menanyakannya tapi urung, sebab aku kembali teringat dengan alasanku menghampirinya, bahkan sebelum ia memulai pelajarannya.

"Iya, Bu. Aku hanya ingin menyampaikan, bahwa ibuku tak memiliki cukup uang untuk membelikanku peralatan melukis. Apa tak masalah jika aku menggunakan pensil saja?" tanyaku dengan ragu sembari menunduk malu. Agak risih jika dipandangi ibu guru dengan intens.

Di balik poni aku mencuri-curi pandang untuk melihat reaksinya. Beliau tampaknya tidak bereaksi berlebihan atau bahkan sekedar mengatakan, oh malang sekali, ibu seharusnya menyadari kondisi keluargamu yang M-I-S-K-I-N. Atau setidaknya, Ibu akan membelikannya untukmu jika ibumu tak mampu. Opsi terakhir ... bolehlah. Tetapi itu pasti bullshit terjadi--mengingat, murid yang lain pasti akan berpikir beliau pilih kasih.

"Iya, tak masalah. Kamu boleh menggunakan pensil. Selama, gambarmu bagus ibu akan mempertimbangkan nilai yang bagus untukmu." Aku tersenyum kecut. Jawabannya memang sudah kuprediksi, tapi sialnya, aku benci mengakui hal itu.

Aku berjalan kembali menuju bangkuku. Di sana, Aya kembali memasang ekspresi menyebalkannya. Ck, aku berharap wajah cantiknya itu tertimpa sekarung gabah. Sungguh, wajahnya sangat menyebalkan, seolah mengejekku : wah, kasian sekali, kamu miskin dan tak mampu membeli peralatan seperti ini.

Sebisa mungkin aku mengabaikan tatapan-tatapan aneh (entah itu merasa kasihan atau bahkan mengejekku seperti si Aya) dari teman-temanku. Begitu berhasil mendudukkan diri, aku mengeluarkan buku gambarku dan peralatan menggambarku : pensil dan penghapus. Jangan mengejekku wahai pembaca, aku memang semikin itu.

Kudengar Aya tertawa kecil. Apa mungkin bocah itu menertawakanku? Yah, tak apalah. Aku mendoakan agar keluarganya tetap baik-baik saja dan tak mengalami kebangkrutan, jadi ia tak perlu bersedih hati sepertiku karena menjadi orang miskin.

Sepulang sekolah, aku dan adikku--Isma namanya--duduk berdampingan di sebuah kursi depan warung kecil yang kebetulan berhadapan dengan sekolahku, menunggu kakakkku pulang. Sekitar sepuluh menit lagi, baru ia pulang.

Isma mengemut permen tusuk yang katanya ia beli waktu istirahat. Aku hanya tersenyum mendengarkan ucapannya itu. Kami tak sebebas anak-anak lainnya dalam berbelanja. Bahkan, akupun jarang mengunjungi kantin sekolah demi menabung untuk membeli peralatan melukis--hal ini telah lama kulakukan.

"Kak, apa mama bakal beliin aku plastisin gak yah?" Aku menoleh, menatapnya.

"Memangnya kamu diberi tugas apa sama ibu guru?" kutanya balik ia. "Ibu guru kamu gak sejahat itu 'kan sama orang miskin seperti kita?"

Ia nyengir, menampakkan deretan giginya yang bolong di tengah. "Yah, seperti itu, Kak. Ibu guru bilang, lusa kami akan diajarkan menggunakan plastisin, tujuannya sih untuk melatih kekreatipan atau apalah," katanya kemudian.

"Kreatifitas," kilahku membenarkan ucapannya.

"Nah itu."

Aku memalingkan mukaku. Menatap gerbang sekolah yang berjarak sekitar lima sampai tujuh meter dari tempat kami duduk. "Aku gak tahu apa mama bakal beliin kamu, Is."

"Mama pasti mengerti, soalnya aku butuh banget plastisin buat belajar, lagian ... kata ibu guru harga plastisin itu gak mahal. Gak semahal peralatan melukis Kak Iyun." Jlebb, aku merasa habis ditebas oleh seroang pendekar. menggunakan sebilah samurainya. Bagaimana bisa Isma tahu aku ingin membeli peralatan melukis?

Aku hanya tersenyum canggung. Ini adalah situasi memalukan dan menyayat hati. Aku merasa tertekan dan mungkin saja ... frustasi? Lupakan.

"Itu Kak Syam, ayo pulang, Kak Yun." Isma menarik tanganku, menghampiri Syam, kakak laki-lakiku.

Kami bertiga lantas berjalan keluar menuju jalan raya, menunggu angkutan umum untuk membawa kami pulang kerumah (naik angkot tanpa pengawasan orang tua, sudah menjadi kebiasaan kami sejak bersekolah).

Sesampai kami dirumah, aku memperhatikan Isma yang dengan semangat menghampiri mama.

"Mama, Isma ada tugas dari sekolah. Isma disuruh membeli plastisin." Mama berbalik, menghampiri Isma dan menyejajarkan tinggi mereka.

"Plastisin yah? Kapan terakhir harus beli?" tanya mama dengan lembut.

"Lusa, Ma. Ibu guru bilang lusa barangnya harus ada," sahut Isma dengan semangat.

Aku melepas kaos kakiku dengan gerakan lambat, sengaja. Aku hanya penasaran dengan respon mama terhadap tugas Isma. Apa akan sepertiku atau justru sebaliknya.

Dan seperti yang tidak kuharapkan, mama memutuskan untuk memenuhi keinginan Isma. Hello, aku merasa tidak adil. Ini benar-benar tidak adil, pemirsa. Bagaimana mungkin, mama mengiyakan keinginan Isma sedangkan aku tidak? Hah! Aku ingin berteriak saat ini di depan wajah mama. Tetapi tak jadi, itu bukan ide yang bagus.

Dengan hati yang patah berkeping-keping, aku mempercepat mencopot sebelah kaos kakiku. Aku sangat marah dan ingin meledak saat ini. Kulewati mereka yang sedang berbincang-bincang hangat, aku sudah tak peduli jika saat ini mama memanggil namaku. Kecuali jika ia tiba-tiba berkata : Iyun, kemari Nak, ada yang mau mama bicarakan. Soal peralatan melukismu, mama akan mengusahakan untuk membelikanmu. Sayangnya, itu adalah hal mustahil terjadi, sebab sampai aku berada di dalam kamar, mama tak memanggil atau meneriaki namaku.

...

30 Agustus 2020.

Sejak saat itu, aku benar-benar merasa menjadi miskin adalah hal yang menyedihkan. Akhirnya, aku memutuskan untuk menjadi orang kaya. Profesi pertama yang kupikirkan agar cepat menjadi kaya yaitu menjadi dokter. Kemudian, pilot, lalu terakhir aku ingin menjadi seorang ilmuwan (hahaha, menyedihkan aku bahkan sempat-sempatnya ingin menjadi ilmuwan bermodalkan otak pas-pasan).

Aku memikirkan cita-cita itu tanpa mempertimbangkan hal lainnya, sebuah kesalahan fatal sebenarnya sih.

Tetapi diumur seperti itu, cita-cita yang kusebutkan tadi sangat menghibur dan memacu otakku untuk terus belajar dan belajar. Hingga berulang kali di setiap tahunnya aku mengubah profesiku. Ugh, sungguh, aku sangat labil dan tidak konsisten, akibatnya seperti inilah, di umur tujuh belas tahun (aku baru saja dua bulan menginjak umur tujuh belas tahun, bung) aku menjadi takut dengan masa depan. I'am overthinking, benar-benar kiamat kecil hatiku, eh kayak judul lagu.

Di tahun ini--tahun 2020--aku memantapkan satu ralat dua profesi untuk kukejar, yakni menjadi ilustrator dan seorang penulis (itulah sebabnya ada tulisan ini). Hanya saja, semua tak seindah ekspetasi. Aku harus siap berkawan dengan kegagalan.

Oh iya, aku masih miskin hingga saat ini, tidak miskin-miskin amat sih, tapi masih tergolong miskin.

To be continued ....

Hai guys, aku Iyun.

Sebelumnya terima kasih telah berkenan membaca ceritaku yang terbilang masih menyedihkan ini. Aku sangat senang mengetahui masih ada yang bersedia membaca cerita ini. Love you banyak-banyak buat para reader (termasuk pembaca gelap:v )

Oh iya jangan lupa buat dukung aku terus biar semangat update!

See you next chapter!

avataravatar