1 01 | Ardan Si Tengil

Dari ketiga Kakak beradik Artamadja, yang paling ceria dan jahil sudah tentu adalah Ardan. Mungkin, dia bagaikan matahari yang terus bersinar, meski tentu saja ada kalanya dia mendung, tapi dengan sinarnya ia selalu berusaha untuk membuat sekelilingnya ikut cerah.

Meski yang sadar akan hal itu sedikit.

Karena, yang sering dilihat oleh orang lain adalah sifatnya yang jahil tanpa tahu batasan.

"ARDANNN!!!"

Gadis berkacamata bernama Maya, sedang mengejar teman sekelasnya yang kabur membawa salah satu kunciran rambutnya.

"Coba kejar kalau bisa, dasar kuncir kuda!" goda Ardan sambil menjulurkan lidahnya, bermaksud mengejek Maya.

Wajah Maya memerah karena marah melihatnya. Ia merasa kesal melihat Ardan yang bisa berlari jauh di depannya. Padahal, Maya adalah salah satu Ace dari klub atletik putri di Sekolahnya.

Tapi memang, Ardan itu bisa dibilang Ace di semua bidang olahraga, kecuali pencak silat yang dimonopoli oleh Kakanya, Arga.

Orang-orang di sekeliling mereka hanya menggelengkan kepala melihat tingkah Ardan dan Maya. Sudah cukup terbiasa dengan pemandangan semacam ini.

Maya berbelok untuk mengejar Ardan kemudian ia terkejut karena pemuda itu sudah berhenti berlari dan sudah berbalik ke arahnya. Jadinya, karena belum sempat mengerem, lain ceritanya kalau ia pakai sepatu lari, sepatu sekolah biasanya cukup licin jadi sulit untuk digunakan mengerem, ia menabrak Ardan dan terjatuh ke lantai. Sementara, pemuda itu hanya oleng sedikit namun berhasil menjaga keseimbangannya.

"Aduuuh..." Keluh Maya yang merasa kesakitan karena jatuh.

"Kamu nggak apa-apa?" Tanya Ardan, kali ini pemuda itu sudah berhenti bercanda dan mengulurkan tangannya.

Maya memasang wajah cemberut dan menepis uluran tangannya "Ini kan gara-gara kamu!"

"Maaf, aku cuma bercanda kok, jangan marah ya" Katanya sambil cengengesan, lalu membantu Maya berdiri meski di protes oleh gadis tersebut. Ia kemudian mengulurkan salah satu kunciran Maya yang ada padanya.

Ada perubahan pada Ardan semenjak kejadian ia ditabrak dengan sepeda oleh Tino. Sekarang, pemuda sinting itu akan menghentikan sendiri candaannya jika ia merasa bahwa dirinya sudah keterlaluan, kemudian meminta maaf. Meski tentu saja ia akan mengulanginya lagi besok kemudian meminta maaf lagi. Seperti tidak ada ujungnya.

"Uuuh... dasar!" Maya mengambil kembali kunciran rambutnya dari tangan Ardan.

Gadis itu segera berbalik menuju kelas diikuti oleh Ardan yang tersenyum sambil mengikutinya dari belakang.

•••

Maya mengaku, dia bukan gadis yang feminin, bukan juga tomboy. Ia hanya tidak terlalu memperdulikan penampilannya, sangat berbanding terbalik dari gadis pada umumnya. Ia senang memakai apa yang menurutnya nyaman, bukan apa yang menurutnya cantik.

Ia juga senang bergabung dengan klub atletik wanita. Tidak peduli kalau matahari yang terik akan membakar kulitnya yang putih.

"Woi! Maya!"

Maya menoleh pada tiga orang gadis, yang ia kenal sebagai murid kelas tiga yang se klub dengannya. Ia baru saja selesai berlatih dan hendak mengganti bajunya yang basah oleh keringat.

"Ya Mbak? Kenapa?" Tanyanya.

BRAK!

Tak disangka tubuhnya didorong menghantam loker baju, membuat Maya terkejut dan sedikit kesakitan.

"Jangan belagu ya! Mentang-mentang larimu cepet terus kamu udah nggak mau ngehormatin senior lagi?"

Menerima bentakan dari salah satu seniornya membuat nyali Maya sedikit menciut.

"Kamu emang niat pengen bikin kita malu ya? Masih kecil udah belagak! dasar cewek jelek! Gayamu tuh kampungan! Bikin sakit mata tahu nggak?!"

"Dasar nggak tahu diri!"

"Awas ya kalau kamu ngerebut juara lagi di kompetisi besok! Dasar serakah!"

Dan akhirnya, mereka pun pergi tanpa membiarkan Maya membela dirinya sendiri. Gadis berkacamata itu termenung di ruang ganti.

Jadi, masalahnya sebenarnya apa? Ia mulai menyalakan kembali otaknya yang sempat offline mendadak karena syok, berusaha untuk berpikir dimana letak kesalahannya.

Ia memang kerap memenangkan kejuaraan atletik, mungkin hal itu membuat seniornya iri. Mungkin, ia terkesan seperti memonopoli semua kejuaraan dan tidak membiarkan yang lain mendapatkan kesempatan. Tapi semua itu adalah hasil dari jerih payah nya sendiri.

Maya mengernyitkan dahinya. Mungkin, sebenarnya dirinya tidak salah, tapi ia tidak suka memikirkan kalau dirinya membuat senior-seniornya merasa tidak nyaman di klub atletik. Ying tidak pernah bermaksud untuk memonopoli semua kompetisi.

Mungkin ia harus lebih menahan diri dan membiarkan yang lain mendapatkan kesempatan.

Cuma, yang tidak ia mengerti kenapa seniornya sempat mengatainya jelek dan kampungan?. Apa hubungannya dengan atletik?

Memangnya, dia jelek ya?

•••

Klub atletik mungkin adalah salah satu klub yang berisikan anggota campuran. Maksudnya, hanya sedikit anggota yang merupakan anggota tetap. Kebanyakan adalah anggota dari klub olahraga lain, seperti klub basket, sepak bola sampai klub skateboard, seperti Ardan.

Yah, Ardan kali ini ditarik lagi oleh klub atletik untuk ikut kompetisi. Pemuda itu kebagian tugas di lari jarak pendek dan lompat jauh. Setidaknya, bukan lari jarak panjang, karena itu sangat merepotkan dan melelahkan.

Ia menoleh ke bangku penonton, dimana klub atletik putri memberikan dukungan. Memang kejuaraan atletik putra dan putri itu diselenggarakan di waktu yang berbeda.

Matanya melihat Maya yang duduk paling pojok, dan jujur saja, hampir tidak bisa dikenali. Untuk kali ini, rambut gadis itu terurai, tidak diikat. Dan Ardan harus mengakui, kalau temannya itu memang sangat cantik, tapi itu terasa aneh.

Ada apa dengan teman sekelasnya itu? Ardan tidak paham. Tapi, wajah Maya yang kelihatan murung dan bahkan tidak memberikan dukungan pada tim atletik putra membuat Taufan merasa penasaran.

Jadi, setelah selesai lari jarak pendek, ia yang berhasil memutuskan tali pita pertama, pertanda ia yang memenangkan lari jarak pendek tersebut, tak peduli dengan wasit atau panitia pertandingan, Ardan segera pergi keluar lapangan.

Ia tidak peduli soal penghargaan ataupun medali sekarang, toh ia melakukan ini bukan untuk dirinya tapi untuk klub atletik, biar mereka saja yang mewaikili dirinya.

Ia mengganti bajunya dan membawa tasnya, sempat ragu apakah dia harus mandi tapi karena tidak begitu berkeringat, Ardam memutuskan untuk tidak peduli.

"Maya!"

Gadis itu tersentak dan menoleh padanya, begitu juga anggota tim atletik putri lainnya.

"Aku udahan nih, katanya kalau aku menang kamu janji mau traktir aku sesuatu" Kata Ardan sambil dengan nada merengek.

Maya menatapnya dengan tatapan bingung, namun Ardan tidak memberikan kesempatan padanya untuk bertanya. Ia menarik lengan gadis itu agar mau berdiri kemudian menyeretnya keluar stadion, diikuti oleh tatapan penasaran anggota klub atletik yang lain.

"Seingatku aku nggak pernah janji kayak gitu ke kamu! Kapan aku janji kayak begitu?" Protes Maya ketika mereka sudah hampir keluar stadion.

"Emang nggak pernah! Aku capek nih, temenin aku pulang yuk" Pinta Ardan.

"Lah? Kok aku sih? Kamu kan bisa pulang sendiri!"

"Nggak mau! Nanti kalau aku kesasar gimana?"

Gadis itu mengernyit heran, akhirnya Ardan melepaskan dirinya namun akhirnya ia tetap mengikuti langkah pemuda itu berjalan meninggalkan stadion di belakang mereka.

•••

Maya berjalan di samping Ardan dengan perasaan mendung. Ia sedikit bersyukur karena teman sekelasnya ini menyeretnya pergi dari stadion, karena jujur saja, Maya terlalu malas untuk memberikan semangat ke klub atletik putra. Tapi, demi solidaritas, ia harus tetap ikut pergi.

Sekarang, setidaknya ia bisa pulang dan tidur di rumah.

"Itu rambutmu kenapa?"

Gadis berkacamata itu mulai lelah dengan pertanyaan semacam itu. Semua orang bertanya padanya hari ini. Tapi Maya terlalu malu untuk menjelaskan kalau ia sedang mencoba merubah penampilannya. Meski ia tahu itu bukan keputusan yang bagus. Alasan kenapa ia selalu menguncir rambutnya, karena ia risih jika membiarkan rambutnya terurai. Jika rambutnya dikepang seharian, rambutnya akan berubah menjadi seperti singa. Kusut, lepek, dan mengembang.

"Nggak kenapa-kenapa" Jawab Maya dengan lesu.

Ardan tampak tidak puas dengan jawaban Maya, pemuda itu tahu kalau ada hal yang tidak beres. Namun, untuk kali ini Ardan tidak bertanya lebih jauh.

"Eh, ke taman dulu yuk, aku capek nih jalan terus!" Ajaknya dengan nada memelas. Perubahan sikapnya yang mendadak, membuat Maya bertanya-tanya apakah temannya ini mengidap bipolar atau minimal gangguan kepribadian.

Belum sempat Maya menolak, karena dirinya ingin langsung pulang sekarang, Ardan sudah menarik tangannya menuju sebuah taman tak begitu jauh dari stadion.

Tapi, pada saat yang sama, Maya pun sedang tak punya tenaga lebih untuk berdebat dengan Ardan yang ia tahu cukup keras kepala. Jadi, ia membiarkan Ardan menariknya ke sebuah bangku taman dan duduk di sana.

Mereka berdua duduk di sebuah bangku di bawah pohon rindang. Suasananya sejuk, Maya melihat banyak anak kecil bermain di sekitarnya, juga ada beberapa pasangan yang tengah bermesraan di pojokan. Ia memutuskan untuk tidak peduli dan memangku tangan.

"Tunggu di sini sebentar ya"

Maya menoleh namun Ardan sudah pergi entah mau kemana. Ke toilet mungkin?.

Sang gadis berkacamata menghela napas. Ia mau pulang, merapikan rambutnya yang berantakan dan kemudian tidur.

Tiba-tiba saja, sesuatu yang dingin dengan sengaja ditempelkan ke pipi Maya. Membuat gadis itu secara otomatis menoleh ke si pelaku.

"Apaan sih?"

Itu Ardan. Dengan se kaleng soda di tangannya.

"Nih! Minum dulu! Biar nggak salah fokus!"

"Minum soda begini tuh nggak baik tahu!" Kata sang gadis berkacamata.

Ardan menaruh minuman kaleng itu di bangku, Maya bertanya tanya, apa yang ada di belakang Ardan?.

Itu sebuah balon. Di balon itu ada gambar smile. Apa Ardan mencoba untuk menghiburnya?. Entahlah.

"Maya jangan murung terus, nanti mukanya tambah jelek!" Ledek Ardan, kemudian mendapat jitakan dari Maya.

Tapi Maya tidak menyangkanya. Ardan benar benar orang yang penuh dengan kejutan. Kenapa ya? Maya selalu bisa tertawa lepas di dekat Ardan?.

"Ada-ada aja! Ayo cepetan pulang! Aku capek!" Keluh Maya pada Ardan yang memasang muka cemberut.

"Senyum dong! Hargai usahaku!",

"Iyadehh! Besok dukung aku ya~" Kata Maya sambil tersenyum,

Ternyata Ardan orangnya baik. Maya tidak menyangka, dibalik sifat jahil itu ada rasa kepedulian yang sangat besar.

"Traktirin aku tapi"

Tapi Ardan, tetaplah Ardan. Orang yang suka morotin temannya.

"Iihh! Perhitungan banget!" Protes Maya

"Dukungan dariku tuh nggak gratis!" Kata Ardan dengan muka sombong nya

"Sialan! iya deh!"

Sore itu, nampaknya mood Maya sudah kembali lagi. Dan Maya mendapatkan kepercayaan dirinya lagi berkat seorang Ardan.

avataravatar