1 Terowongan Terbengkalai

Hangat

Paparan sinar menyirami kelopak hazel yang tertutup. Perlahan mata itu mulai mengerjap seakan terusik oleh bias cahaya yang terpancar. Pelan mendudukan diri di atas sebuah padang rumput. Sejauh mata memandang hanya ada deretan pohon pinus berjejer. Kulit putihnya tergelitik oleh rumput liar, sedikit berembun. Hanya mengenakan celana pendek membuatnya merasa lebih dingin saat hembusan angin menerpa kulitnya.

"hey, Nathan jangan melamun saja" pemuda berambut kecoklatan menepuk bahunya. Wajah itu tertutupi oleh silauan kemilau. Membuatnya kesusahan mengenali hanya dari rupa, namun suara cukup menegaskan siapa gerangan pemuda tinggi itu.

Nathan melihat sekeliling, nampak sepi dan hanya mereka berdua manusia diantara pepohonan disekitar. "Dimana yang lainnya Dean ?"

Pemuda yang di panggil Dean mengulurkan tangannya, menarik Nathan agar pemuda itu bangun dari posisi duduknya. "Wyatt menemukan hal menarik di bawah bukit. Semuanya sudah berkumpul, ayo~" ajakan dengan nada riang sembari menarik tangan menyusuri jalan setapak yang menuntun mereka menuruni perbukitan. Tak cukup curam untuk di sebut bukit, tapi itulah yang biasa mereka katakan.

Tak butuh waktu lama hingga mereka menapakan kaki di kaki bukit. Tak jauh dari tempatnya berdiri, sebuah terowongan menganga dan teman-teman yang lain sudah menunggu di mulut terowongan. Hanya butuh beberapa meter lagi untuk sampai hingga Nathan dapat melihat baju teman-temannya nampak basah. Bahkan ia baru sadar jika baju Dean juga basah. Entah berapa lama ia tertidur di atas rerumputan hingga tak sadar di tinggalkan. Mungkin ke empatnya memilih bermain air dari pada membangunkannya.

Pemuda berambut pirang terlihat berkacak pinggang sembari menatap kedua orang yang baru sampai. "ck, kau seperti Cinderella saja selalu tidur" Ejek Wyatt tanpa memperdulikan kesalahan ucapannya.

"Bukan Cinderella, tapi Aurora" koreksi pemuda berambut agak kemerahan. Wyatt memutarkan matanya seakan tak peduli akan ucapan pemuda di seberangnya. "Terus saja pamerkan kepintaran mu, Tuan Vincent Clement si Juara kelas"

Pemuda berambut ikal yang berada di tengah-tengah keduanya terkekeh geli mendengar perdebatan bodoh itu. "terus saja kalian berkelahi, pantas jika tak ada gadis yang mau berkencan dengan kalian" Lengannya dengan santai merangkul Nathan yang hanya bisa pasrah jika bajunya ikut basah. Sebutan Casanova terlihat cocok untuk Jeremy, pemuda berambut ikal itu suka sekali dengan hal-hal berbau percintaan seperti romansa picisan.

Dean maju selangkah demi selangkah mendekati mulut terowongan kereta api. "ini sungguh sudah terbengkalai ?" matanya menyipit hendak melihat sejauh mana terowongan itu berakhir.

Vincent berjongkok untuk mengecek kondisi dari rel yang mereka injak. "tentu saja, lihat karat pada rel ini. beberapa bahkan sudah kehilangan besi penghubung" tangannya menunjuk pada beberapa besi yang renggang. kondisinya nampak tak memungkinkan untuk di lewati oleh kereta, kecuali jika sengaja ingin terjadi kecelakaan.

"Yoshaa! mari kita jelajahi !" si Pirang melangkah dengan riang memasuki mulut terowongan. Beberapa langkah kemudian berbalik menatap keempat temannya yang masih terdiam di luar. "ayolah, apa kalian takut tersesat ? ini hanya jalan lurus tak berkelok"

"bagaimana jika itu buntu" Nathan mengutarakan kecemasannya. Kemungkinan terburuk adalah mereka hanya berjalan untuk menemukan jalan buntu dan butuh waktu lama hingga berhasil keluar lagi.

pemuda yang paling tinggi menepuk pundak Nathan. "Lihatlah ada sebuah cahaya di ujung sana, sudah pasti ada jalan keluar lagi" Senyuman menangkan terukir di bibir Dean. Nathan lalu mengangguk, menenangkan diri sendiri agar tak terlihat gugup di depan teman-temannya. lagi pula mereka berlima tak ada yang perlu di takutkan.

Kakinya yang kecil perlahan mulai melangkah memasuki sisi gelap didalam terowongan. Nathan menggenggam erat tangan Dean tepat disebelahnya. Kegelapan menyelimuti walau masih terlihat samar, cahaya mulai sukar masuk dan menyinari sisi dalam terowongan.

"HELLOOOO~" Suara Wyatt menggema ketika berteriak.

"berhenti bertingkah seperti anak kecil" oceh Vincent tak suka. Dimana pun mereka berada pasti kedua orang itu selalu tak sejalan. Pandangan yang berbeda dan sifat yang juga bertolak belakang. Tak ada alasan pasti kenapa keduanya selalu beradu mulut tapi tak pernah saling menjauhi.

Nathan tersenyum samar karena perdebatan kedua temannya tak pernah berhenti. Namun akan terasa janggal jika mereka tak berdebat satu sama lain. Layaknya seperti tom dan jerry selalu mencari cara agar bertengkar satu sama lain. sebuah kebiasaan atau mungkin rutinitas jika kedua pemuda berbeda sifat itu saling bertemu.

"BILANG SAJA KAU TAKUT VINCENT !" teriak Wyatt yang sekali lagi hingga suaranya menggema memenuhi lorong.

"tidak" jawab Vincent dengan nada datar juga wajah tak berekspresi. Hal itu membuat Wyatt semakin geram. "VINCENT TAKUT~ VINCENT TAKUT~"

Suara Wyatt makin menggema hingga seluruh lorong ikut bergetar. Nathan sadar bahwa getaran itu sangat keras jika hanya berasal dari suara manusia.

"teman- teman..." Suaranya tercekat saat tak mendapati tangan Dean menggenggamnya lagi. Nathan menatap sekitarnya dengan liar, tak nampak keberadaan teman-temannya yang lain padahal mereka tepat berada di sebelahnya. "Dean ? Jeremy ? Vincent ? Wyatt ?" memanggil teman-temannya satu persatu dan hasilnya masih Nihil. seperti hantu, semua temannya menghilang dan hanya ia sendiri di dalam lorong panjang terowongan yang gelap.

Getaran itu belum berhenti bahkan suara itu makin keras terdengar. Di ujung tempat ia masuk terlihat sebuah cahaya yang perlahan kian mendekat. Itu bukan cahaya dari alat penerangan seperti senter. Sumber cahaya itu cukup besar dan kuat hingga mampu menerangi hampir setengah terowongan. Deru mesin terdengar memekakan telinga. Sebuah kereta mendekat kearah Nathan berdiri.

Jantungnya berdegup dengan kencang. tak ada cara lain selain berlari menuju ujung lain dari terowongan ini. Suara mesin kian mendekat mengejarnya tanpa jeda lambat. Seperti menggiringnya pada kematian didepan mata. Entah perasaan atau titik cahaya dari ujung terowongan kian menipis. Seperti lorong tak berujung atah terowongan ini mempermainkannya menuju ajalnya.

Tepat seperti kata Wyatt, terowongan ini tak punya persimpangan. Hanya lurus kedepan tanpa adanya cela. Sial bagi Nathan karena ujung lorong seakan semakin menjauh. hanya ada dua pilihan baginya, terlindas roda kereta atau terjepit diantara dinding dan badan kereta. semuanya sama-sama menyeramkan bahkan untuk dibayangkan.

Kaki kecilnya berlari sekencang mungkin berharap dengan itu ia bisa menjauh lebih cepat dari kuda besi yang mengejarnya. Sayangnya sekeras apapun ia berusaha, kakinya tak mampu jika di adu oleh kemampuan dari mesin. kereta itu sudah sangat dekat hingga cahayanya mampu menerangi dinding di sekitar Nathan. Hanya selangkah di belakangnya bahkan deru angin mengenai punggungnya yang sempit.

Tangis tak bisa ia tahan lagi. nyawanya sudah di ujung tanduk dan jalan keluar masih terlihat sangat jauh. kakinya tak mampu berlari lebih lama lagi. tulang kecilnya seakan keropos dipaksa melaju lebih kencang dari kereta di belakangnya. sekelebat ingatan saat masuk ke terowongan mematikan ini terlintas begitu saja. Rasa menyesal dan kecewa karena mengikuti teman-temannya yang bahkan sekarang tiba-tiba meninggalkannya.

Nathan menangis sejadi-jadinya ketika kereta itu menyentuh punggungnya. Tepat saat itu juga sebuah cahaya putih menyedotnya masuk.

Tubuhnya mati rasa, dan dengan itu Nathan kehilangan kesadarannya.

avataravatar
Next chapter