3 Sebuah Luka

Di tengah rasa gundah, sebuah bus melaju melewatinya. Itu bus terakhir yang harusnya membawa ke sekolahnya.

"Sial..." Kaki kurusnya berusaha berlari mengejar walau rasanya percuma saja. Nafas yang tak beraturan ditambah keputusasaan mulai melingkupi hatinya.

Ini adalah hari buruknya. walau tak ada bedanya dengan hari-hari yang lain. Tuhan seperti sedang menghukumnya akan dosa di kehidupan lampaunya.

awal musim gugur ditandai dengan udara yang mulai terasa dingin. Remaja dengan seragam usangnya mulai kusut dipaksa bergesekan dengan cepat. Niat awalnya ingin membolos tapi ternyata ia terlalu pengecut untuk membuatnya nyata. Apa yang perlu di ragukan sebenarnya? bahkan tak ada yang akan kehilangan dirinya di sekolah. Tidak dengan guru, tidak juga dengan teman sekelasnya. Aneh, apakah ia pantas menyebut mereka sebagai teman ? semua orang itu selalu menganggap dirinya sama berharganya dengan sampah. Hanya saja Nathan adalah pengecut yang tak mampu melawan.

"Tunggu sebentar pak !!"

Nathan berteriak begitu melihat penjaga gerbang mulai menutup pintu besi itu. Lututnya sudah lemas di tambah jalanan menanjak menuju sekolahnya membuatnya kelelahan setengah mati.

Pak tua itu terlihat tak peduli seakan tak mendengar teriakan Nathan. Masih menarik pagar hingga hampir tertutup. kali ini dewi keberuntungan seperti berpihak padanya. Nathan melompat dan berhasil masuk ke dalam gerbang. walau kini ia jatuh tersungkur dengan nafas tak beraturan. Paru-parunya mengembang sebisa mungkin meraup udara sebanyak-banyaknya.

"hey kau !"

Hardik pemuda dengan perawakan garang menendang tubuhnya yang masih tersungkur. Nathan bergidik mendengar suara itu. Wajahnya menunduk ketakutan. Ia sangat kenal suara itu, seperti panggilan dari malaikat maut yang akan segera menjemputnya.

"Bangun kau !"

mencengkram kerah seragam Nathan dan mengangkatnya dengan mudah. Nathan masih menunduk tak berani menatap, seakan hidupnya akan berakhir jika mata mereka bertemu.

"Cepat bawa tas kami ke kelas !"

Pemuda berandal itu bernama Gerald Jeferson terukir jelas pada nametag di dadanya. Mendorong tubuh Nathan serta melemparkan tiga tas ransel ke wajah Nathan. Tas yang tak bisa di bilang tak ringan melihat sebesar apa bentuk ransel itu.

Nathan menurut dan memunguti ransel yang bahkan bukan miliknya. Tanpa sepatah kata dan hanya menunduk sembari mengangkat Ransel berat itu. Seperti seorang budak yang nyawanya akan berakhir begitu saja jika tak mengikuti perintah sang majikan.

"lihat lah gelandang itu ! kau lebih mirip tikus got, kau tahu !"

Nathan tak pernah membalikan wajah menatap beberapa anak yang memakinya. Sudah menyerah mempertahankan harga dirinya. Untuk apa sebuah harga diri jika ia bisa saja di habisi oleh perundung itu kapanpun.

BUUGH !

Sebuah batu tepat mengenai kepalanya. Nathan hanya diam sembari berjalan tanpa menggubris. Ia bisa merasakan sebuah cairan yang mengalir melewati pelipisnya dan menetes begitu saja.

"Teruslah menunduk ! Sampah sepertimu tak pantas bersanding dengan kami !!"

Tak ada yang berubah. Sesering apapun ia lupa ingatan tetap saja hidupnya tak berubah. malah semakin parah. Nathan tak tahu apa yang ia lakukan kemarin hingga perundungan ini jauh lebih kejam dari biasanya. Selayaknya budak, ia tak punya kekuatan untuk melawan.

.

Menempati bangku yang terletak paling belakang. Meja kayu itu terlihat penuh oleh coretan beberapa kata-kata makian, juga gambar yang tak pantas di tujukan.

'Dasar anak yatim' , 'Sampah harusnya ada si tempat sampah' , 'cepat susul orang tuamu ke neraka'

Nathan tak bereaksi apapun melihat kata-kata umpatan tertulis jelas di bangkunya. Ia sudah sangat terbiasa. Setiap hari, setiap waktu ia melihat kata-kata itu tanpa berani menghapusnya. Konsekuensi lebih besar akan ia terima jika ia berani menghapus atau bahkan mencoret tulisan itu.

Tangan kurus itu merogoh sebuah buku sketsa kecil dari ransel, juga pensil gambar yang tampak pendek. Nathan bukan orang kaya yang bisa dengan mudah membeli barang. Sebisa mungkin menggunakannya sampai benar-benar tak terpakai.

Beberapa anak masih mengobrol satu sama lain. Tak memperdulikan sosok guru yang berdiri didepan kelas. seperti sudah biasa akan hal itu. Apa yang kau harapkan dari kelas buangan di sekolah kumuh seperti ini. Para guru hanya menjalankan pekerjaan mereka secepat mungkin dan meninggalkan para berandalan ini. Tak ada yang berani melerai, bahkan kepala sekolah sudah angkat tangan.

'BRAAK!!'

Tepat setelah guru meninggalkan kelasnya, sebuah kursi melayang ke arah Nathan. Terjerembab di dinding kelas yang kusam. Luka tadi pagi saja belum kering kini bahunya terasa memar akibat menahan benturan.

Pemuda yang tadi pagi merundung nya kembali datang dengan beberapa pemuda di belakang. Mencengkram kuat kerah Nathan seraya menatap penuh dendam.

"Cepat ikut !!" bentak Gerald. Tak di paksa pun rasanya Nathan tak akan berani mengelak. Perkataan pemuda itu adalah perintah bagi Nathan.

Tubuh kurusnya tak berkutik di bawa paksa ke arah belakang sekolah. Tepat di depan gudang lama yang kini beralih fungsi menjadi markas para perundung. Para berandal yang suka memberontak dan merampas seenaknya. Diantara kerumunan itu, Nathan dapat melihat dengan jelas pemuda berambut emo dengan percing ditelinga kanan. Sosok yang paling ditakuti oleh orang-orang disana bahkan Gerald sekalipun.

'BRUUK'

Nathan tersungkur akibat dorongan tiba-tiba dari pemuda yang membawanya paksa. Tubuhnya tepat berada di bawah pemuda emo dengan sebuah nama yang tercetak di dadanya. Alex Gregori Bykov.

Nathan hanya bisa menatap tanah. Jika Alex sudah memanggil orang dengan 'khusus' bisa di bilang mereka adalah orang-orang dengan masalah yang sangat serius. Berulang kali Nathan berusaha mengingat kejadian kemarin namun tetap saja kosong. Apa yang membuat Alex begitu marah padanya ? yang bisa ia ingat adalah mimpi bodoh tak berarti.

'Wyatt memberitahuku dia memukul orang yang merundung mu Nathan'

Perkataan Dean tadi pagi tiba-tiba saja terlintas. Kemungkinan terbesar adalah Wyatt berkelahi dengan Alex untuk membelanya. Berpikir bahwa luka yang ia dapat juga karena aksi perundungan Alex dan Wyatt datang untuk menolong.

'BUGGH !'

"Bedebah sialan seperti mu berani sekali melawan !!" Pemuda berdarah Rusia dengan beringas menendang berkali-kali Nathan yang masih meringkuk di tanah.

'BUGHH!! BUUUGGHH!!!'

Mendendang dan menginjak tubuh tak berdaya Nathan yang hanya bisa merintih kesakitan. Alex sepertinya ingin melampiaskan seluruh amarahnya dengan menghabisi Nathan saat itu juga.

"Kau pikir dengan begitu aku akan takut hah ?!!" Alex menjambak rambut Nathan dengan kasar. Menarik paksa agar wajah Nathan menatapnya. "Kau hanya beruntung kau tahu ?! Jika kau melakukannya lagi aku sungguh tak akan mengampuni mu !!"

Sungguh Nathan tak bisa bertahan lagi. Matanya berembun namun enggan menetes. Seperti anjing yang patuh pada majikannya, Nathan tak melawan bahkan ketika perundung yang menjadi kaki tangan Alex ikut memukulinya. Menjadikan tubuh kurusnya sebagai samsak untuk melampiaskan dendam.

"Jika aku jadi kau, aku akan mengakhiri hidupku sendiri. sebaiknya kau menyusul orang tuamu ke neraka !!" cerca Alex menyumpah serapahi Nathan. Meninggalkan Pemuda itu sendirian menahan sakit yang mendera seluruh tubuhnya.

Memuntahkan cairan merah yang terkumpul di mulutnya. Nathan rasa giginya copot akibat tendangan pada wajahnya. menyeret tubuhnya perlahan bersandar pada pohon yang tak jauh dari tempatnya. Tangannya mengepal kuat menahan berbagai emosi yang akan keluar. Harus menunggu berapa lama lagi agar ia terbebas dari semua derita ini ?

.

Nathan hanya bisa menyembunyikan kesengsaraan yang ia dapatkan. Tak bisa menyalahkan siapapun juga. Ini salahnya, salahnya yang terlahir ke dunia.

wajah pucatnya tampak penuh oleh lebam dan luka. Percuma saja ia obati, karena ia juga akan mendapatkan luka baru yang lain. Hidupnya berputar begitu terus. Bohong jika ia selalu bersyukur untuk hidupnya yang hancur.

mata sendu itu menatap pada jendela dimana ia dapat melihat langsung keluar. Langit di luar sana tampak indah. Nathan merasa sangat tidak adil, ia bahkan tak bisa menikmati indahnya hidup. Tepat di luar berdiri sebuah pohon besar yang telah meranggas. Bahkan tumbuhan yang tak punya pikiran dapat mempertahankan dirinya sendiri di cuaca yang bisa saja membunuhnya. Sungguh kenapa Tuhan selalu menelantarkannya.

'sebaiknya kau menyusul orang tuamu ke neraka !'

Yah, benar. untuk apa ia masih bertahan di dunia. Tak ada yang mengharapkannya, ia sama sekali tak berharga.

Nathan merogoh tempat pensil di hadapannya. Meraih benda yang ia cari, sebuah cutter. Pundaknya bergetar menahan tangis yang keluar, sebentar lagi beban nya akan terangkat. sebentar lagi ia tak akan merasakan sakit lagi.

'Drrttt... Drrtttt...'

Ponsel di sakunya bergetar tepat sebelum Nathan berhasil menggores pergelangan tangan kirinya. Ada sedikit rasa lega, getar ponsel mengembalikan kesadarannya lagi.

Dengan cepat Nathan memasukan kembali cutter sebelum ia berubah pikiran. Sedikit gemetar jemari kurus itu perlahan membuka ponselnya.

'Cepat pulang ke rumah, kami akan menunggumu di rumah'

Pesan yang cukup singkat di kirim oleh Wyatt. Nathan tersenyum samar saat membaca kata per kata. Mungkin bagi orang lain hal itu tampak sangat remeh, tapi tidak bagi Nathan. Hatinya menghangat, sebuah harapan kembali muncul. Harapan untuk hidup lebih baik lagi. Harapan agar ia bisa tetap bertahan dari hidup yang sangat melelahkan tiada habisnya.

'Baiklah, aku akan pulang cepat'

Nathan mengetik pesan dengan senyum samar terukir di bibirnya. Ia terlalu senang bahkan untuk menyadari cairan merah mengalir dari hidungnya.

"pakai ini.." ujar seorang gadis yang duduk tepat di seberangnya. Nathan menatap Saputangan yang terulur padanya. Ia masih terdiam mencerna apa yang sedang terjadi.

"hidung mu berdarah" kembali gadis itu berkata sembari menunjuk hidung Nathan.

"oh.. iya terimakasih.." Tangannya masih bergetar saat menerima saputangan dari gadis itu. Cukup terkejut karena ini pertama kali seseorang dari sekolahnya memberikan bantuan. Apa ia terlihat semengenaskan itu ?

"aku akan mengembalikannya setelah ku cuci" Ujar Nathan. Wajahnya masih tertunduk tak berani menatap. Seperti sebuah kebiasan.

"Tidak usah, kau lebih membutuhkan"

Nathan mengangguk. Seperti inikah rasanya dianggap ? ini sangat luar biasa. Hal yang tak pernah Nathan rasakan semenjak ia menapaki sekolah ini. Diam-diam ia mencuri pandang menatap gadis itu.

"Sasha Veronica" Gumam Nathan membaca serangkai nama di dada gadis itu.

Jangan heran kenapa ia tak mengenal gadis itu. Nathan menghabiskan hidupnya di sekolah dengan terus menundukkan wajahnya. Kebiasaan itu terjadi karena perundungan yang selalu menimpa dirinya. Dipaksa menunduk bahkan dengan kaki yang menginjak kepalanya.

Nathan meremas saputangan pemberian Sasha. Ini akan menjadi benda paling berharga di hidupnya.

Nathan menuliskan pesan pada ponselnya, kini ia tersenyum lebar. seperti orang yang telah memenangkan lotre. Kini ia merasa bisa bernafas lega walau hanya sesaat. Kebahagian kecil setelah kesialan besar yang menimpanya. cukup membuat semua beban Nathan seakan menguar.

'Teman-teman , aku akan menceritakan sesuatu yang menarik pada kalian'

.

_To be continued_

avataravatar
Next chapter