webnovel

Kunjungan

Permukaan tangan kurusnya menyentuh knop pintu yang dingin. Maklum, akhir musim gugur seperti ini suhu udara akan semakin menurun. Dan persiapan tentang penghangat ruangan belum Nathan pikirkan. Tahun lalu ia mendapat bantuan dari Vincent, satu-satunya pemuda yang sudah bekerja di antara semua temannya.

Namun bukankah ia terkesan merepotkan karena selalu menempatkan teman-temannya pada situasi seperti ini. Ayolah, Vincent bekerja banting tulang untuk dirinya sendiri. Dan pemuda itu dengan gampangnya memberikan bantuan pada Nathan. Tak ada ikatan darah yang mengikat pemuda berambut merah itu untuk bertanggung jawab atas hidup Nathan.

Seperti saat ia membuka pintu. Dan mendapati pemuda tinggi dengan wajah datar disana, serta membawa bungkusan makanan. Hm.. dari baunya mungkin ayam goreng.

"Kau... apa sudah baikan ?" Tanya Vincent tanpa menatap Nathan, ia lebih memilih menoleh ke arah kanannya.

Kadang Nathan sering heran, bagaimana bisa orang dengan masa depan cerah seperti Vincent ini mau berteman dengannya. Mungkin jika orang lain melihat interaksi keduanya, sudah pasti akan mengira jika dua pemuda itu terlibat perkelahian.

Namun Nathan lebih menyadari ada sebuah kehangatan yang terselip di antara lirikan tajam dan wajah datar tanpa ekspresi. Tindakan Vincent menjelaskan semuanya. Jika pemuda berambut merah itu juga tak kalah khawatir terhadap Nathan.

"Astaga... cepat masuk, disini dingin" Ajak Nathan menarik lengan Vincent, yang diperlakukan seperti itu hanya mengangguk patuh.

Meski Nathan tahu tak ada perbedaan signifikan antara di luar dan di dalam sini. Sama-sama dingin jika harus dibandingkan. Setidaknya didalam sini ia bisa menyambut kehadiran Vincent dengan lebih layak.

"Ah, duduk dulu aku akan buatkan teh" Pemuda kurus itu bergegas ke arah dapur. Tidak tahu juga apakah ruangan ini bisa disebut sebagai dapur karena peralatan memasak yang seadanya. Nathan lebih sering mendapat kiriman makanan dari teman-temannya, walau sudah berkali-kali ia tolak namun sepertinya tak berguna.

Sama seperti bungkusan teh yang ia buka. Ini juga pemberian dari Vincent. Pemuda berambut merah yang terlihat dingin dan jutek tapi memiliki sisi keibuan. Bisa dibilang karena itu Nathan paling menghormati Vincent di banding teman-teman lainnya.

Bagaimana mengatakannya yah, aura pemuda berambut merah itu sangat kuat. Dan susah di lawan. Hanya Wyatt yang bisa beradu argumen dengan Vincent tanpa takut. Yah, walau argumen yang Wyatt lontarkan sering kali malah melenceng.

Semua teman-temannya memiliki keunikan masing-masing. Sifat mereka semua bertolak belakang satu sama lain. Nathan bahkan heran bagaimana persahabatan mereka bisa bertahan lebih dari 8 tahun. Apakah mereka bertahan hanya untuk menghibur keadaan Nathan saja ? Jika begitu Nathan semakin merasa bersalah karena terus menerus membuat orang-orang di sekitarnya susah.

"Terima kasih.." ujar Vincent ketika secangkir teh disuguhkan untuknya. "Ini, makanlah.." tambah pemuda itu lagi sembari menyodorkan bingkisan yang tadi ia bawa.

"Kau tak perlu repot-repot membawakan ini untuk ku. Jika hanya makan aku bisa turun untuk membeli mie atau roti" sergah Nathan. Ia harus tegas menolak pemberian Vincent dengan begitu pemuda berambut merah itu tak lagi membawakan apapun padanya. Itu lebih baik, toh ia juga bukan anak kecil yang harus dirawat lagi.

"Aku tahu kau tak akan mungkin melakukannya" balas Vincent tepat sasaran.

Nathan hanya bisa menggaruk tengkuknya canggung. Ia tak bisa mengelak karena semua perkataan Vincent benar adanya. Nathan tak tahu bisa mengatur waktu makannya atau tidak jika bukan berkat teman-teman yang selalu membantunya setiap saat.

Bukan karena Nathan tak merasa lapar, hanya saja tak ada dorongan lebih untuk mengisi perutnya. Alasan lapar juga tak cukup mendorongnya untuk makan. Kesendirian menghisap semua nafsu makannya. Lagipula Nathan lebih sering kehilangan ingatan tiba-tiba yang membuatnya tak tahu apa ia sudah makan atau belum.

"Cepat makan mumpung masih hangat" Vincent tanggap membuka kotak kertas berisi potongan ayam goreng beraroma lezat, tanpa mengindahkan penolakan Nathan.

"Baiklah.. selamat makan" Merasa argumennya tak bisa diterima, Nathan akhirnya mau juga menuruti perintah Vincent. Dengan sedikit sungkan ia mengambil potongan ayam bagian sayap. Dan langsung di tepis oleh Vincent.

"Aku tahu kau suka paha ayam, cepat ambil yang kau suka" ucapan Vincent terdengar seperti sebuah perintah mutlak.

Dengan cepat Nathan mengganti pilihan bagian ayam tadi. Meski terkesan memaksa, nyatanya Vincent mengetahui setiap detail dari diri Nathan yang bahkan orangnya sendiri lupa kapan ia memberitahukannya.

"Kau juga makan, jangan hanya melihatku saja" bujuk Nathan merasa tidak enak karena dari tadi orang yang membelikannya ayam hanya berdiam diri melihatnya makan.

"Hm.. baiklah.." Vincent mengiyakan seraya ikut mengambil potongan ayam lainnya.

Nathan diam-diam tersenyum melihat tingkah temannya itu. Bisa dibilang Vincent sangat pendiam dan keras kepala di banding teman-teman yang lain. Pemuda berambut merah itu juga sekali mempermasalahkan hal sepele seakan itu sebuah hal besar. Dan itu juga terjadi sekarang.

"Aakhh!~" Ringis Nathan begitu ia mengigit salah satu bagian ayam.

"Kau kenapa ?!" Pekik Vincent keras. Raut cemas tak bisa disembunyikan dari wajahnya. "Bibir mu masih sakit ?" tanya Vincent sembari mengecek sudut bibir Nathan.

"Ugh, iya sakit. Apa kau tahu yang terjadi padaku beberapa hari ini ?" tanya Nathan. ia ingin memastikan seberapa lamanya ia kehilangan ingatannya. Jika sampai sebulan, matilah sudah. Pasti tanpa sadar ia telah membuat banyak kekacauan.

Vincent terdiam beberapa saat dengan tangan yang masih menyentuh sudut bibir Nathan. Tatapannya terlihat kosong, seakan hanya raganya saja disini sedangkan jiwanya pergi entah kemana.

"Vincent.." panggil Nathan sembari menggoyan bahu pemuda berambut merah.

"Pasti luka saat kau bersama Wyatt.." Jawab Vincent dengan suara lirih, nyaris berbisik.

Nathan terkesiap, jika ia mendapatkan luka itu ketika bersama Wyatt pasti hanya beberapa hari ingatannya menghilang. Namun entah kenapa ia merasa janggal. "Seingatku, aku hanya terluka di bagian tangan" Ia menoleh pada telapak tangan yang masih terbalut perban. Kain kasa itu tampak bersih. Seperti, baru diganti. "Sudah berapa hari aku hilang ingatan ?" Nathan ingin memastikan sekali lagi.

"Apa kau sudah meminum obat ? apa obatnya masih ada ?" Bukannya menjawab, Vincent justru berdiri dan melangkah menuju kotak obat yang letaknya di kamar mandi. Melihat hal itu, Nathan tentu saja mengikutinya.

"Lihat, obatnya habis.. kau pasti lupa membelinya" Omel Vincent sembari menunjukan botol obat yang isinya telah kosong melompong.

"Emm itu.." Nathan lagi-lagi tak bisa berkata-kata atas fakta yang ditunjukan padanya. "Niatnya aku akan membeli obat itu hari ini"

"Tidak usah. Kau disini saja, habiskan makanan mu biar aku yang pergi membelinya" Tolak Vincent.

"Hey, kau tak perlu menyusahkan diri. Itu kan obatku" Nathan menahan lengan pemuda itu agar tak pergi. Hanya masalah obat ia bisa mengatasinya sendiri.

"Tidak, turuti perkataan ku saja. Lagipula bukankah aku sudah cukup sering membelikannya untukmu ?"

Ah, lagi-lagi Nathan tak bisa membantah dan membiarkan pemuda berambut merah membantunya.

Next chapter