9 Genangan Air

Tes..

Tes..

Tes..

Tetesan air terdengar menggema di dalam keheningan. Suara yang bergaung terus menerus membuat pemuda berambut hitam lurus yang tertidur di tengah ruangan terganggu dalam tidurnya.

Nathan mendudukan dirinya setelah ia mulai sadarkan diri. Dingin. Seluruh tubuhnya telah basah oleh air yang menggenang di seluruh ruangan. Baju dan celananya telah basah sebagian. Genangan air sedalam 10cm itu terlihat sangat tenang.

Tes..

Tes..

Tes..

Gaungan dari tetesan air entah darimana mengalihkan pikiran Nathan. Pemuda itu lantas berdiri dan berniat menghampiri satu-satunya sumber suara yang ada.

Dengan langkah tertatih akibat pusing yang mendera, Nathan berjalan perlahan. Suara tetesan yang ia dengar semakin keras namun Nathan sama sekali tak melihat adanya wujud dari tetesan itu sendiri.

Namun ia tak pantang menyerah, masih dengan kedinginan karena bajunya yang basah kuyup Nathan akhirnya menemukan sebuah pintu berwarna merah di kejauhan.

Dengan semangat ia menuju ke arah pintu itu berada, tak mempedulikan beberapa kali dirinya terjatuh akibat lantai ruangan yang sangat licin. Nathan akhirnya meraih knop pintu merah itu. Hatinya berdebar saat mendengar kan sayup-sayup suara yang ia sangat kenal.

"Kau gila Wyatt !!"

"Apa ?! Kau bilang aku gila ? Kalau tidak ada aku semuanya akan berakhir !! Apa ini caramu berterimakasih ?!!"

Nathan terkejut saat suara Vincent dan Wyatt saling beradu argument didalam sana. Dengan cepat Nathan memutar knop pintu berharap menemukan kedua temannya didalam sana.

Nihil. Malahan yang ia dapati adalah sebuah lorong gelap. Walau begitu Nathan tetap saja masuk ke dalam sana seperti terhipnotis. Begitu ia masuk ke dalam, Nathan sadar bahwa pintu yang membawanya melewati ruang telah hilang. Bagai tak pernah ada.

Nathan menatap sekitar, cukup gelap namun ia tahu bahwa sekarang dirinya tengah berada di dalam terowongan. Ya, terowongan sama yang pernah ia mimpikan. Bedanya ia masuk sendiri tanpa teman-teman lainnya.

Perlahan Nathan berjalan menyusuri lorong gelap itu. Hanya berpegang pada dinding-dinding terowongan, Ia berharap bisa menemukan jalan keluar.

Dinding terowongan terasa lembab dan sedikit basah. Seakan air pernah memenuhi terowongan ini. Padahal sudah jelas bahwa ini adalah terowongan kereta api.

"Berhenti bertengkar, kalian meributkan sesuatu yang konyol"

"Konyol bagaimana ?! Kau yang cuma memikirkan para gadis tak mengerti masalah sepenting ini !"

"Jeremy ? Wyatt ?" Lagi lagi Nathan mendengar sayup-sayup suara temannya yang bahkan tak tahu dimana mereka berada. Suara itu seperti datang dari dalam pikirannya.

Nathan tak tinggal diam dan mempercepat langkah kakinya. Giginya gemeletuk menahan hawa dingin akibat bajunya yang masih basah.

Mungkin ia merasa beruntung kali ini karena melihat cahaya di ujung terowongan. Tak seperti waktu sebelumnya, kali ini tak ada kereta yang mengejarnya. Hanya saja, ada sosok lain yang berdiri di ujung terowongan. Membelakangi Nathan.

"Hello.."

Nathan mencoba memanggil, namun sosok itu masih saja diam seakan tak mendengar panggilannya.

"HOOOYY" Nathan sedikit berteriak barangkali suaranya terlalu kecil. Namun sosok itu tak bergerak sama sekali. Nathan memicingkan matanya untuk melihat jelas postur tubuh yang tengah membelakanginya.

Rambut coklat itu, ia sangat hafal. "Deaan !!"

Panggilannya kali ini sukses membuat sosok itu berbalik badan. Nathan membatu seketika melihat rupa sosok itu sebenarnya.

Itu memang Dean, namun matanya hitam pekat dengan telinga yang memanjang. Sosok itu menatap tepat kearah Nathan, membuat pemuda kurus itu tak berkutik. Mata hitam dari sosok yang ia sangka Dean mulai mengeluarkan air mata hitam pekat. Menatap tanpa ekspresi membiarkan air mata hitam itu menodai baju putihnya.

Saat Nathan masih terdiam melihat pemandangan dihadapannya, sosok Dean itu menjatuhkan diri pada ujung terowongan yang ternyata adalah jurang.

"DEAAAAN !!"

Dan seketika Nathan terhisap dalam kegelapan di sekitarnya.

.

.

.

Iris matanya menatap ke arah jam dinding di depan kelas. Sebentar lagi bel pulang berbunyi dan guru di depan masih setia menjelaskan. Sebenarnya tak masalah, hanya saja ia tak suka pandangan para siswa-siswi yang seakan merasa aneh padanya.

"Baiklah pelajaran kali ini sampai disini dulu, ketua kelas tolong bawakan buku saya ke kantor" ujar sang Guru menghentikan belajar mengajarnya. Namun seorang siswa tiba-tiba mengangkat tangannya menghentikan langkah sang guru.

"Biar saya saja pak"

Seluruh pasang mata menatap pada pemuda yang menawarkan dirinya membawa buku itu ketimbang si ketua kelas. Sang guru hanya menatap sekilas tanpa reaksi berlebih. "Terserah kau saja"

Si pemuda terseyum riang walau hanya ia sendiri yang berada di kelas. Seluruh siswa-siswi telah keluar dengan tas mereka masing-masing.

Kantor berada di depan lapangan sepakbola, cukup jauh jika dihitung dari jarak kelasnya. Namun itu tak membuat pemuda tadi menyerah. Bahkan senyum masih terpatri di wajahnya. Tak jarang ia menyapa beberapa siswa-siswi yang berpapasan dengannya.

Seperti sebuah rutinitas. Bagi Dean hanya butuh beberapa pijakan agar ia mendapatkan tujuannya.

Tak terasa ia telah sampai di kantor guru, dengan teliti ia berjalan ke arah meja yang ua tuju. Tak perlu bertanya lagi, Dean bahkan sudah hafal deretan meja guru beserta namanya. Dan juga siapa saja guru piket yang bertugas hari ini.

Dean melirik jam di pojok kanan layar ponselnya. Waktu menunjukan pukul 15.30 ia akan terlambat jika menunda barang sebentar saja. Bergegas kakinya melangkah keluar sekolah, mungkin saking terburu-buru ia tak sadar menabrak seorang pemuda.

"Ah.. maafkan aku" ujar Dean sembari memunguti beberapa buku yang terjatuh akibat tabrakannya. "Oh, kau penggemar Sigmund Freud yah ?"

Si pemuda hanya mengangguk tanpa berkata apapun. Hanya fokus menatap kearah Dean dengan sangat intens.

"Sekali lagi maafkan aku.." Dean membungkuk dengan sangat sopan sebelum meninggalkan pemuda yang masih menatapinya dengan ekspresi yang sulit diartikan.

"Halo dokter, bisa kau pilihkan universitas yang bagus untuk jurusan psikologi ?" Pemuda masih menatap kepergian Dean di sela-sela percakapannya dengan orang di seberang telfon.

Dean berhenti di penyebrangan bertepatan dengan lampu pejalan kaki yang masih memerah. Menunggu bersama pejalan kaki lainnya di tepi jalan.

Lampu pejalan kaki berganti hijau, Dean melangkahi garis penyeberangan bersama orang-orang. Hingga matanya menangkap seorang pria memasukan tangannya pada tas wanita tua dengan sangat mencurigakan.

"YAK KAU !!" Teriakan Dean cukup membuat seluruh orang disana terkejut, begitu juga si pencuri yang sadar aksinya sudah di ketahui orang lain. Secepat kilat pencuri itu berlari membawa tas si wanita tua. Menerobos kerumunan masa yang memadati jalanan sore hari.

Dean yang berlari mengejar juga sedikit tertahan oleh beberapa orang yang menutupi jalanan. Walau begitu ia masih bisa mengucapkan maaf pada siapapun yang tak sengaja ia tabrak.

"Berhenti kau !!"

Si pencuri yang di teriaki begitu, justru menambah laju larinya. Kedua orang itu masih saling kejar-mengejar hingga sampai di tempat yang cukup sepi dengan tembok tinggi menutupi. Jalan buntu.

Pencuri itu membalikkan badan, menatap tajam pada Dean yang sama sekali tak gentar. Bahkan saat si pencuri mengacungkan benda tajam kearahnya. "Pergilah ! Ini bukan urusanmu anak muda ! Aku tak akan melukaimu jika kau pergi!" Tawar si pencuri.

Yang tentu saja tak diindahkan oleh Dean. Pemuda itu berlari menapaki dinding seperti aksi laga di film dan menendang tepat di pelipis sang pencuri. Hanya satu tendangan, dan pria itu terkapar tak sadarkan diri.

"Maafkan aku tuan.." Dean membungkuk pada tubuh yang terkapar di tanah. Ia merogoh sakunya dan meletakkan beberapa lembar uang tepat di sisi pria pencuri itu. "Hanya itu yang ku punya, setidaknya makanlah jika perutmu lapar"

Dean membungkuk kembali dan meninggalkan Pria itu sembari membawa tas si wanita Tua.

avataravatar
Next chapter