webnovel

Boy's Problem

Tangan kurus dengan beberapa bekas goresan luka mencoret beberapa kalimat hasil pembelajaran pada buku tulis yang cukup usang.

"Ada yang ingin bertanya ?"

Nathan ragu-ragu namun akhirnya ia mengangkat tangan, bersamaan dengan seorang siswa lainnya. Ian kendrick sang juara kelas. "yah, apa yang kau bingung kan Tuan Kendrick ?"

Nathan menurunkan kembali tangannya. Menunduk serta kembali menatap kosong pada papan tulis putih didepan. Harinya masih sama, ia masih tak dianggap. Ia mana mungkin mampu mengungguli juara kelas.

Pemuda pintar melirik sebentar kearah Nathan setelah berhasil mengajukan pertanyaan. Ian sadar, bahwa pemuda kurus yang duduk di belakang kelas juga sama mengangkat tangannya.

Tatapan pemuda itu datar dan sulit di artikan.

.

.

.

Bel berdering hampir separuh kelas langsung ranggas meninggalkan ruangan. Tak terkecuali Nathan yang bersiap ke kantin.

Berjalan pelan di pinggir koridor. Satu-satunya cara agar ia tak di rundung adalah menjadi tak terlihat. Menjauhi kerumunan, menjauhi gerombolan siswa berkuasa yang berjalan di tengah koridor.

Sampai di kantin dengan selamat. Mungkin saja hari buruknya berakhir disini. Sangat jarang sekali ia berhasil sampai di kantin tanpa di jegal para perundung di sekolahnya.

Memilih tempat duduk di pojok dan tak terlihat. Menikmati makanan dalam kesunyian, sendiri. seperti biasanya. Nathan harus berusaha mengunyah dengan gigi yang baru tanggal dengan paksa. Bahkan mulutnya terasa perih ketika menenggak air.

'BRAAK !!'

Meja nya di tendang, beberapa pemuda yang sangat ia kenal mendatangi Nathan dengan wajah menantang. "Sendiri saja ?" ujar Gerald meremehkan.

"oh iya, mana ada orang yang ingin berteman denganmu" Suara tawa mengejek. Nathan hanya bisa merunduk tak berani menatap, apa yang bisa ia lakukan menghadapi para preman ini. Yang ada dirinya berakhir terkunci di gudang atau toilet.

"ck.. membosankan sekali" Gerald mencemooh tak mendapat balasan dari Nathan. Pemuda besar itu merebut paksa makanan dalam nampan milik Nathan. Mengangkat nya tinggi-tinggi dan membuang tepat di atas tubuh pemuda kurus itu.

"cepat habiskan yah~" Gerald serta pemuda lainnya berlalu setelah mendaratkan geplakkan di atas kepala Nathan.

Pemuda kurus itu meremat kuat lengan bajunya. Melampiaskan kemarahan yang terpendam tanpa mungkin bisa ia keluarkan. Ia tak berani, bahkan untuk membayangkan berkelahi dengan para berandalan itu.

.

.

Aroma musim gugur yang dingin membawa kesenduan. Nathan menatap langit biru diatas. Udara dingin menelusup masuk ke seragamnya yang tipis. Tak seperti anak lainnya yang memiliki mantel penghangat, ia hanya mengenakan seragam usang dengan beberapa jahitan yang telah longgar.

Nathan melangkah mendekati pagar pembatas. Menatap beberapa siswa-siswi dibawah yang berlalu lalang. perlahan pemuda kurus itu berbaring di lantai rooftop. Tangan kurusnya menutupi cahaya matahari yang menyengat matanya.

Beruntung tempat ini tak di kunjungi lagi untuk waktu yang lama. Nathan menghitung beberapa awan yang lewat diatasnya. cukup lama hingga rasa kantuk mulai menyerang.

.

.

Tetesan air satu persatu turun membasahi bumi. Menimpa kulit pemuda yang masih terlelap damai. Rasa dingin mulai menjalar seiring banyaknya tetesan itu terjatuh.

Nathan tersentak bangun ketika mendapati gerimis mengguyur seluruh rooftop, dan juga dirinya. Melihat perubahan cuaca yang tadinya cerah kini menjadi gelap gulita bisa di tebak ia telah tertidur hingga sore hari.

Kaki kurusnya berlari dengan cepat ke arah kelas. Beruntung pintu kelas belum di kunci dan ia melihat tasnya yang masih ada di meja kelas. Menggendong tas usangnya dan kembali berjalan keluar sekolah. Setidaknya ia tak harus berhadapan lagi dengan Gerald dan Alex.

Nathan berlari kecil dengan tas yang ia gunakan sebagai payung dadakan. Melalui trotoar setengah becek. walau hanya grimis, namun tetesan air dari langit tak berhenti menghujani bumi. Rasanya percuma saja Ia berlindung, nyatanya tas usangnya tak cukup menutupi seluruh tubuhnya.

"butuh tumpangan manis ?"

suara yang sangat ia kenal terdengar bebarengan dengan sebuah payung menghalau tetesan hujan di tubuhnya. Pemuda berambut hitam ikal dengan cengiran lebar mengedipkan mata menggoda.

Alih-alih kesal, Nathan malah terkekeh geli melihat tampang Jeremy. "kau menggelikan~" cemoohnya.

Jeremy tertawa dengan suara bariton nya. menepuk bahu Nathan, menyalurkan rasa menggelitik di perutnya. "kau berkelahi lagi yah"

"hahaha sudah biasa" jawab Nathan seperti tak ada beban. Jeremy memang suka bermain-main, bahkan dengan perasaan wanita. Namun hanya pada pemuda berdarah Jerman itu saja Nathan tak pernah canggung membahas apapun.

"Aku yakin Wyatt akan memukuli mereka dua kali lipat"

"kau jangan berani mengadu" wajah Nathan mengancam namun tak cukup membuat Jeremy takut. Ia malah semakin terpingkal dan tentu saja membuat Nathan kesal.

Sampai di apartemen kumuh. cukup menguras tenaga saat menaiki satu persatu anak tangga. "Arrghh lutut ku seperti akan copot" lihatlah betapa mengenaskan keadaan Jeremy saat sampai di kamar Nathan.

Pemuda ikal itu langsung tiduran di lantai, seperti tak peduli bahwa debu berterbangan dapat merusak pori-pori wajah indah yang selalu ia elu-elukan.

"Kalian sudah sampai duluan ? kapan ?" Cukup heran mengenai keberadaan teman-temannya yang bahkan sudah sampai lebih dulu di dalam rumahnya.

Wyatt berdiri menghambur ke arah Nathan dan memeluknya erat. "Kenapa tubuhmu basah ?!" dan omelan adalah hal pertama yang Nathan terima. Ia tak pernah sakit hati pada intonasi keras dari Pemuda berambut pirang itu. Wyatt hanya terlalu mengkhawatirkan nya.

"Jangan khawatirkan diriku, kau sendiri kenapa nekat melawan mereka sendirian ?"

Wyatt mundur selangkah. Menggaruk tengkuknya canggung, seseorang pasti memberitahu Nathan dan ia tahu siapa.

Jelas saja Dean, anak itu memang selalu bicara yang tak penting. Dean menyatukan kedua tangan di depan wajah dengan gesture meminta maaf.

"Kau lihat.. Vincent yang bersemangat mendekor tempat ini" seru Wyatt mengalihkan pembicaraan. Ia jelas tahu bahwa Nathan tak ingin ada yang ikut campur dengan masalahnya. Dan Wyatt sadar Nathan tak cukup kuat melawan mereka sendirian.

"ck.." Vincent berdecak kesal. Walau tak dapat di pungkiri wajahnya merah padam.

"Benarkah ? wah.. terimakasih tuan Clement~" Lihatlah bagaimana pipi tirus pemuda itu kian memerah, sinkron dengan warna rambutnya.

"ini penyambutan karena kau pulang cepat" Jawabnya datar. Nathan tersenyum sumringah, Vincent jarang sekali memberikan kejutan apalagi yang merepotkan seperti ini. Pemuda pendiam yang kelewat jenius itu tengah mengadakan penyambutan untuknya.

"sudah kita mengobrol sambil makan saja.. ayo ayo" Dean menarik pelan lengan Nathan, menuntun untuk duduk di sebelahnya.

Wajah sayu Nathan berubah ceria melihat bagaimana teman-teman yang selalu menyemangatinya. Mungkin bagi orang lain mereka hanya sekumpulan remaja tanggung yang berkumpul tidak jelas. Tapi Nathan tak tahu apa yang akan terjadi jika ia sendirian.

"jadi apa yang kau akan ceritakan ?" tanya Wyatt. Nathan mendongakkan wajahnya dengan mulut penuh Jajangmyeon. Dean membawa beberapa porsi yang cukup untuk mereka berlima.

"ah tentang pesan itu yah" menelan lebih dulu makanan yang membengkak di mulutnya, Nathan lalu kembali bersuara "bagaimana tanda jika seorang gadis menyukaimu ?"

"NATHAN KAU BERKENCAN ?!"

"SIAPA GADIS ITU ?!"

"APAKAH CANTIK ?!"

"Jangan bilang dia buta"

kalimat terakhir datangnya dari Vincent. Pemuda dingin itu hanya tak menerima jika teman mereka yang polos berkencan. Berbanding terbalik dengan Jeremy. Pemuda berparas rupawan itu mendekat kearah Nathan.

"apa yang responnya padamu ?"

Nathan mengeluarkan sebuah sarung tangan dengan noda darah yang masih tertinggal disana. "dia memberikan ku ini untuk mengelap darah di hidungku" jelas Nathan.

"Nathan kau mimisan.."

"iya, tadi aku mimisan saat di kelas"

"bukan !" Dean menangkup wajah tirus Nathan, menatapnya dengan syok "Kau mimisan!!"

Dan Nathan dapat merasakan sebuah cairan keluar dari hidung diikuti kesadarannya yang kian memudar.

Next chapter