21 Prolog

21.45 PM

New York, USA

JOSSETTE

Aku tidak tahu apa yang masuk ke kepalaku pada malam itu.

Malam di mana Harry menciumku, menyatakan perasaannya untukku, dan bukannya mengatakan hal yang sama, aku justru mendorongnya jauh-jauh. Aku ingat menangis sepanjang malam, mengabaikan ibuku yang mengetok pintu karena khawatir. Ponselku bahkan rusak karena aku tidak tahan dengan bunyi panggilan telepon darinya, jadi aku melemparnya ke dinding dan membiarkannya hancur. Esok harinya, Harry datang, tapi dengan mudahnya aku mengatakan pada ibuku, "Aku tidak ingin bertemu Harry." dan menyuruhnya untuk tidak pernah menampakkan wajahnya lagi di hadapanku.

Aku ingat aku berantakan sekali. Makanan yang disediakan ibuku tidak kusentuh sama sekali, setidaknya sampai Marianne yang membujukku untuk memakan kue bersamanya. Seminggu pertama saat ujian, otakku benar-benar kacau dan tidak jarang aku lupa akan jawaban dari soal. Tapi untungnya nilaiku tetap di atas rata-rata sehingga aku tidak kehilangan beasiswa Harvard.

Soal cerita yang kutulis demi beasiswa-aku mengumpulkannya di hari Senin tepat setelah ujian pertama usai. Lalu, Harry adalah Harry. Dia menghampiriku dan berusaha untuk membicarakan malam yang tidak ingin kuingat-ingat saat itu. Aku adalah Jossette, aku menghindar sekuat tenaga agar tidak lagi melihatnya. Aku sempat mendengar pertanyaan yang keluar dari mulutnya.

"Jo, kau membenciku?" tanya Harry, masih bersikeras untuk menggenggam tanganku agar aku tidak pergi darinya. Suaranya begitu parau, wajahnya membuatku nyeri sehingga aku benar-benar tidak sanggup melihatnya.

"Lepaskan aku!" aku memekik, menepis lengan Harry dengan kencang.

Tapi Harry adalah laki-laki, tenaganya jelas lebih besar daripadaku dan ia berhasil menangkap tanganku. "Bicara padaku. Apa yang kulakukan sampai kau menjauh begitu saja dariku?!"

"Aku tidak mau bicara padamu!" seruku. Saat ini, aku tidak peduli lagi dengan tatapan-tatapan dari para murid yang berlalu. "Lepaskan aku."

"But I need to know-apa yang membuatmu seperti ini?" ia masih tidak menyerah. Mungkin ini yang aku sukai tentang Harry. Dirinya yang tidak pernah menyerah, selalu berusaha hingga ia mendapatkan apa yang menurutnya pantas untuk dirinya.

Tapi kurasa, ia salah tentangku.

Harry tidak seharusnya memperjuangkanku. Aku tidak pantas, apalagi jika disandingkan dengannya. Kau tahu, seperti langit dan bumi, jauh; seperti matahari dan bulan, tidak akan pernah bisa bersatu. Mungkin seharusnya ia mengiyakan ajakan Claire, mereka akan menjadi pasangan paling serasi.

Aku menggeleng, berusaha keras menahan air mata yang akan jatuh sebentar lagi. "Tidak penting, Harry. Tidak lagi."

Aku tidak tahu apakah aku menyesali kata-kata terakhirku padanya. Mungkin seharusnya tidak seperti itu, atau mungkin memang harus seperti itu. Either way, aku mensyukuri apa yang kumiliki sekarang.

Dua buah buku novel yang sudah terbit, sebuah buku puisi yang terbit satu tahun lalu, sebuah apartemen besar di New York yang kutinggali bersama kekasihku saat ini; Matthew Barnes. Laki-laki yang selalu ada untukku selain ayahku, tentunya.

Berbicara soal Matthew, aku menoleh ke arah dapur karena mendengar suara panci yang terlempar dari tempatnya. Aku segera berdiri, menutup laptopku dan menghampiri Matthew yang pasti menjadi tikus berkaki dua di malam hari. Sesampainya di dapur, dugaanku benar.

Di sana, dengan cahaya yang minim, Matthew mengambil panci tersebut dan segera meletakkannya kembali pada tempatnya. Setelah itu, ia bergegas menuju kulkas, membuka dan mengambil satu botol bourbon dari sana. Ia membuka tutup botol, lalu menuangkannya ke gelas kecil yang sudah ada di meja bar sejak tadi.

"Kau akan minum tanpaku?" aku bertanya secara tiba-tiba sembari menyalakan seluruh lampu dapur, membuat Matthew terkejut setengah mati. Aku tertawa kecil, menghampirinya yang memutar mata pelan. "Maaf. Siapa suruh diam-diam."

"Aku tidak diam-diam, kau terlalu larut dalam tulisanmu." ujar Matthew, memberikan gelasnya padaku saat aku sudah duduk di kursi bar.

"Bagaimana hari ini?" tanyaku.

Yang kutanyakan adalah pekerjaannya yang baru didapatkannya tiga bulan lalu. Matthew menuangkan bourbon ke gelas baru, menatapku saat ia meneguknya. "Baik-baik saja. Kurasa aku akan mendapat jabatan tetap."

"Matthew! Yang benar?!" aku memekik. Ini adalah berita bagus, karena artinya Matthew lolos dari masa percobaan karyawan selama tiga bulan. Pria itu tertawa dan mengangguk.

"Benar, Josie."

Aku memberikan cengiran lebarku, kemudian turun dari kursi, menghampirinya dan memberinya pelukan yang erat. Ia tertawa sembari membalas pelukanku. "Baby, you've worked so hard for this," kataku. "Kau pantas mendapatkannya."

Aku dapat merasakan Matthew yang tersenyum. "Aku tahu. Terima kasih." Ia mencium puncak kepalaku cukup lama, menyadari kalau ini adalah momen yang emosional untuknya. Ia mengusap kepalaku. "Apa aku harus memberitahu mereka?"

Mendengar itu, aku menengadah untuk melihatnya. "Apa kau merasa itu dibutuhkan?" tanyaku, dan Matthew menggeleng. "Kalau begitu tidak perlu."

"Kalau begitu... biarkan saja?" Matthew tampak bingung, tapi aku tahu ia juga tidak terlalu ingin mendengar apa yang akan mereka katakan nantinya. Aku tidak ingin Matthew terluka, jadi aku mengangguk.

"Biarkan saja." Aku mengiyakan.

"Okay." Matthew mengangguk.

"I love you, Matthew." Ucapku bersungguh-sungguh, menatap mata birunya yang sudah berkaca-kaca.

Pria di hadapanku tersenyum manis. "I love you, Jo." Ia membalas, sebelum akhirnya menautkan bibirnya dengan milikku.

Terasa benar, terasa sempurna. Aku mencintai Matthew.

***

HARRY

Aku tidak tahu mana yang lebih melelahkan.

Menunggu kabar dari klien menyebalkan atau menunggu temanku yang sedang mengobrol dan mencoba mendapatkan nomor bartender yang melayani kami sejak dua jam yang lalu?

Kupikir keduanya. Aku benar-benar lelah dan ingin sekali pulang ke apartemen, namun aku juga tetap harus menunggu Tyler karena ia menyita kuncinya. Sialan memang, tapi aku sudah berjanji untuk mencarikannya kekasih baru setelah yang lama meninggalkannya. Dan kini, Tyler sedang melihat sebuah peluang dan ia tidak akan melewatkannya.

Aku menoleh hanya untuk melihat Tyler sedang menggoda bartender tersebut, kemudian merasakan ponselku yang bergetar. Tanganku bergerak untuk mengambil ponsel, lalu mendengus karena hari ini memang benar-benar sialan.

Blake Dawson

Mr. Carson, aku minta maaf karena tidak bisa datang malam ini. Ada urusan mendadak di rumah yang tidak bisa aku tinggalkan.

We should reschedule.

Aku tersenyum kecut. Tentu saja, reschedule seolah aku tidak punya kegiatan selain mengurusinya. Jika saja bayaran yang dia tawarkan terhadap lukisanku tidak besar, mungkin aku sudah menyeret Tyler untuk pulang. Menghela napas, aku segera mengetik balasan untuknya.

Setelah menekan tombol send, aku menyimpan ponselku di kantung jaket. Tyler masih mengobrol dengan bartender tersebut, dan aku sudah tidak memiliki tujuan lagi untuk berlama-lama di bar yang lumayan ramai ini. Jadi, aku mengeluarkan uang tip dan meletakkannya di meja, lalu melangkah keluar untuk mencari ketenangan.

Di luar bar, suasananya jauh lebih sepi dibanding di dalam. Banyak orang yang mengantri untuk masuk ke bar, tapi sisanya hanya mobil yang berlalu-lalang di jalanan.

Aku melangkahkan kakiku menuju sebuah taman kecil yang terletak di perempatan jalan. Biasanya akan ada banyak anak-anak kecil karena di dekat sini terdapat taman anak-anak, tapi karena hari sudah malam, yang terlihat hanya lampu jalan yang bercahaya remang. Begitu sampai, aku mengistirahatkan bokongku di kursi taman yang kosong, menyenderkan punggung, dan memejamkan mataku.

Malam ini begitu dingin sampai menusuk tulang, dan berada di bar sebenarnya sangat cukup untuk menghangatkan tubuh. Tapi aku tidak ingin berada di tempat ramai tanpa aku bisa berinteraksi dengan siapa pun.

Harusnya, malam ini aku mendapat uang dari hasil jerih payahku melukis selama dua belas jam tanpa berhenti karena ia ingin secepatnya. Sayangnya Blake Dawson memilih untuk menjadi menyebalkan, jadi aku harus menundanya dan kini, lukisan itu masih berada di mobil-menunggu untuk dijemput pemiliknya.

"Um, permisi. Apa kau Harry Carson?"

Mendengar itu, aku membuka mata dan menoleh, mendapati seorang gadis yang sedang berdiri memandangiku. Ia tampak malu-malu, namun aku dapat melihat layar ponselnya yang sudah membuka kamera. Dan di saat itu juga, aku sudah dapat menebak siapa dia. Jadi, aku tersenyum.

"Ya. Ada yang bisa kubantu?" tanyaku setelah ia berjalan mendekat.

"Namaku Naomi, aku salah satu penggemarmu dan baru seminggu lalu, aku menonton filmmu dan aku langsung jatuh cinta! Jadi, kau tidak keberatan kalau aku minta berfoto denganmu, kan?"

Lagi, aku tersenyum dan mengangguk. "Tentu saja."

Naomi berseru girang, kemudian segera berdiri di sampingku untuk mengambil foto selfie di ponselnya beberapa kali. Aku benar-benar baru dalam hal ini, jadi jangan salahkan aku karena gaya andalanku begitu payah. Ketika ia tersenyum manis, aku hanya tersenyum dan mengangkat dua jari di udara-membentuk tanda peace.

Begitu sesi foto selesai, ia segera melihat hasilnya. "Ya ampun, kau tampan sekali."

Aku menerjap, mengeluarkan tawa yang canggung karena pujiannya. Demi apapun, aku benar-benar belum terbiasa dengan hal seperti ini. Bertemu dengan penggemar di jalan, diminta foto, lalu diberi pujian tiada henti. Aku yakin, wajahku pasti sedang memerah karena malu saat ini.

"Terima kasih." Kataku.

"Oh, ya. Satu lagi," aku melihatnya merogoh tas, mengambil sebuah buku catatan yang di cover depannya memiliki sebuah logo yang aku kenali. Everest School? Tapi tidak mungkin. Aku menerjap, apa yang dilakukan murid sekolah itu di New York, dan malam-malam begini? Aku nyaris melamun jika Naomi tidak bersuara. "Bolehkah aku meminta tanda tanganmu? Adikku saat ini berada di rumah kami, di London, dan ia juga menyukaimu. Ia pasti akan senang sekali jika mendapat oleh-oleh tanda tanganmu. Namanya Shania."

"S-sure, apapun untuk adikmu." Tanganku bergerak mengambil pulpen darinya dan membuka buku catatan tersebut. Aku mengukir tanda tanganku untuk Shania di sana, di atas kertas yang memiliki logo Everest School.

"Terima kasih, Harry!" seru Naomi, menarik bukunya begitu cepat yang mana membuatku terkejut.

"Ya, sama-sama." Menoleh padanya, aku baru menyadari bahwa sedari tadi, ia menggunakan almamater sekolah yang pernah kupakai selama empat tahun. "Naomi?"

"Ya?" ia membalas dengan sumringah.

"Kau," aku menelan ludah, entah untuk alasan apa menjadi gugup seperti ini. "Kau murid sekolah Everest School?"

Seolah pertanyaanku salah, raut wajah senangnya berubah menjadi terkejut. Ia terbelalak kaget, kemudian sepertinya juga baru menyadari kalau ia sedang memakai almamater sekolah. Naomi mengangguk pelan. "Ya, aku salah satu murid Everst School yang sedang mengikuti study tour. Tapi kami tidak diperbolehkan keluar dari hotel, padahal ini malam terakhir, jadi aku memutuskan untuk kabur. Please, jangan bilang kau akan mengadukanku."

Yang pertama kali aku pikirkan adalah, bagus sekali. Selama aku bersekolah di sana, tidak pernah ada yang namanya study tour bahkan keluar negeri. Kini, setelah lima tahun, aku baru tahu mereka mengadakannya meskipun terdapat peraturan ketat menyebalkan. Sesuatu yang mungkin akan aku dan teman-temanku lakukan dulu.

Aku menghela napas, memberikannya senyum. "Tidak, tapi sudah malam sekali, lagipula kau sendiri. Apa tidak takut?"

"Ugh, aku tahu. Teman-temanku tidak ada yang berani. Tapi tenang saja, aku sudah akan kembali ke hotel. Aku kabur dari pukul tujuh, dan sepertinya sekarang sudah waktunya kembali sebelum mereka menyadari ada muridnya yang hilang."

"Mau kuantar?" aku menawarkannya, karena tidak mungkin aku membiarkan gadis sepertinya berjalan sendirian di malam hari. Tingkat kejahatan di sini begitu tinggi, ia bisa berada dalam bahaya jika saja ia tidak bertemu denganku saat ini. Naomi sedikit terkejut dengan tawaranku, namun pada akhirnya ia mengangguk dengan semangat.

Tersenyum, aku mengambil ponsel untuk mengabari keberadaanku dengan Tyler, dan memberitahunya untuk langsung pergi ke mobil jika ia sudah selesai dengan urusannya. Begitu selesai, aku pun berdiri dan berjalan bersama Naomi menuju hotelnya.

Kupikir hotelnya tidak terlalu jauh, namun setelah kulihat jam, kami sudah berjalan selama dua puluh menit. Dan selama dua puluh menit itu juga, kami mengobrol banyak. Naomi terkejut saat mengetahui aku merupakan alumni Everest School, dan kami berakhir membicarakan sekolah itu.

Setelah lima tahun kemudian, aku tidak berpikir akan pernah mengetahui kabar sekolah itu lagi. Seperti Mrs. Gallagher yang tidak lagi mengajar, Mr. Claffin yang kini sudah memiliki keluarganya sendiri, Mrs. Anderson yang masih mengabdikan dirinya kepada sekolah, hingga sebuah informasi yang aku juga tidak tahu aku akan mendengarnya lagi.

"Rooftop di gedung A," aku ingat Naomi bercerita dengan semangat. "Kini berubah jadi lapangan basket yang baru!"

That rooftop.

Tempat di mana aku memohon padanya untuk menerima bantuanku, tempat di mana aku menyadari bahwa aku peduli dengannya, dan tempat di mana aku memintanya untuk menjadi kencanku ke acara prom sekolah.

That bloody prom.

Acara di mana aku pertama dan terakhir kali menciumnya, menyatakan perasaanku padanya, dan bukannya berkata jujur dengan apa yang ia rasakan, ia justru mendorongku jauh-jauh. Aku meringis saat menyadari bahwa kejadian itu masih saja membuatku sakit hati. Sudah lima tahun yang lalu, aku tidak mengerti mengapa dadaku masih saja nyeri.

Aku bahkan tidak pernah mengetahui kabarnya lagi. Ponselnya tidak dapat kuhubungi, Mirrel mengatakan ia tidak mau lagi melihatku, semua itu tepat setelah aku menyatakan perasaanku. Tapi kurasa, aku tidak bisa menyalahkannya. Mungkin ia hanya melihatku sebagai orang yang bersedia membantunya, sementara aku melihatnya sebagai seseorang yang aku sayangi dan harus kujaga.

Selama perjalanan pulang bersama Tyler, ia tertidur pulas dan baru kali ini aku mengutuknya karena ia tidur. Hal ini membuatku harus kembali mengingat masa lalu yang tidak ingin kuingat lagi. Bahkan sempat membuatku membencinya karena begitu sulit untuk menghapus ingatan tentang gadis yang dulu kusebut sebagai cinta pertamaku.

But I was seventeen, I was so naive. Apa yang bocah usia tujuh belas tahun ketahui tentang cinta? Tidak lebih dari sekedar cinta monyet. Ia hanya salah satu bagian dalam buku tentang hidupku yang memiliki akhir menyedihkan.

Dan satu akhir yang menyedihkan tidak perlu menjadi akhir untuk segalanya. Kau selalu bisa memulai awal yang baru, dan aku akan selalu mencobanya meskipun kegagalan selalu datang-bahkan di awal.

Terasa berat, terasa menyakitkan. Aku harus melupakan Jo.

***

avataravatar