6 Chapter 5

harry sebenarnya asal saja menyebutkan judul film black widow untuk dijadikan alasan mengajak jo kencan. uh, oh, kencan palsu. setelah pulang mengantar jo pulang dua hari lalu, harry langsung menonton trailer black widow dan bertanya pada natasha yang kebetulan adalah marvel addict. harry mengangkat kedua alisnya saat menyadari nama natasha dan nama asli black widow itu adalah sama; natasha romanoff.

kini harry sedang memandangi dirinya di kaca, lalu tiba-tiba tersenyum sendiri. karena...

jo menulis tentangnya.

dan malam ini, ia akan menghabiskan waktu berdua dengan jo bioskop dan festival malam london. hidungnya sampai kembang-kempis saat membayangkan momen-momen bersama jo.

harry menyemprotkan parfum ke bagian lehernya sambil kemudian sebuah pertanyaan masuk ke otaknya. mungkinkah jo menyukainya?

"no," harry menerjap dan menghela napas panjang. ia menggeleng. mana mungkin, kan? jo memang menulis dengan sangat baik. apa yang ditulisnya mungkin masih termasuk ide mentah karena benar-benar berdasarkan kenyataan yang dialaminya, namun entah mengapa terasa seperti jo menulis untuknya. ini juga membuatnya tersadar kalau jo memperhatikannya secara detail, membuat bulu kuduk harry berdiri.

gugup sendiri jadinya, padahal harry hanya seorang diri di kamar. matanya melirik jam yang menunjukkan pukul enam sore, pertanda ia harus segera berangkat menjemput jo. jangan sampai telat, karena filmnya dimulai pukul tujuh kurang.

***

mengeratkan jaket, jo menempatkan dirinya di sebuah sofa sambil memperhatikan sekelilingnya, sembari menunggu harry sedang membeli popcorn sebagai camilan saat menonton film black widow di dalam bioskop. filmnya dimulai lima menit lagi, dalam hati jo bersyukur harry tidak memilih film romance—jo tidak mau suasana menjadi canggung saat adegan ciuman. harry memilih film black widow, film tentang natasha romanoff, seorang pahlawan dan termasuk anggota original avengers. setidaknya itu yang ia dapatkan dari google.

dan hari ini adalah hari pertama black widow rilis, jo mengerti mengapa bioskopnya jadi ramai sekali sekarang. untungnya harry sudah membeli dua tiket secara online dari dua hari lalu, jadi mereka tidak kehabisan—walau jo kesal karena tidak dibiarkan mengganti setengah dari uang harry.

"ingin masuk sekarang?" tanya harry saat ia sudah kembali dari membeli popcorn berukuran besar dan dua gelas minuman, lalu duduk di samping jo dengan wajah polosnya. jo menahan senyum saat menyadari hidung dan pipi harry yang merona merah.

"ya, sekarang," katanya, bersamaan dengan keduanya berdiri dan berjalan ke ruang teater. lalu mengapa ia malah duduk tadi. "kau flu?" tanya jo, memberikan tiket pada penjaga ruang teater namun matanya tetap memandangi harry.

"tidak."

"kedinginan?" kini keduanya berjalan masuk. jo melihat sekali lagi nomor kursi yang ia dan harry dapatkan, d12 dan d11. cukup jauh di atas, namun jo tahu posisi ini sudah paling pas.

harry menggeleng. "tidak, kenapa memangnya?" tanya harry mengundang jo untuk menoleh padanya lagi. jo menggeleng, lalu menuruti harry saat cowok itu memberi kode untuknya jalan lebih dulu ke atas.

dua menit berikutnya , teater bioskop sudah penuh—benar-benar penuh dan tidak ada lagi yang mundar-mandir membeli popcorn dan minuman. tidak ada satupun kursi yang kosong, bahkan jo melihat beberapa pegawai ikut menonton film yang akan dimulai dalam waktu kurang satu menit lagi.

jo menoleh pada harry. lampu bioskop sudah dimatikan, namun jo tetap dapat melihat mata hijau harry yang berbinar-binar karena rasa penasarannya terhadap film itu, membuatnya terlihat sangat polos dan lugu. terlebih lagi dengan pipi dan hidungnya yang masih saja memerah. entahlah, tapi jo tiba-tiba merasakan gemuruh dalam dirinya yang menenangkan... seperti jo akan melakukan apapun untuk harry tetap seperti itu.

oke, stop. jo bergumam dalam hati.

"kau yakin tidak kedinginan?" tanya jo memastikan. yang ditanya menoleh dan melempar senyum sumringah, jo harus menahan dirinya untuk tidak menatap terlalu lama.

"tidak, josie." jo sepertinya tidak akan pernah terbiasa dipanggil 'josie', harry satu-satunya orang luar yang memanggilnya begitu. dilihatnya harry menghadap layar, lalu jo melakukan hal yang sama.

film berlangsung begitu seru. jo bukanlah penggemar marvel, namun ia memaklumi reaksi para penonton yang histeris. terutama harry, yang sejak tadi tidak berhenti mengumpat pelan dengan konteks memuji natasha romanoff dan yelena belova. jo akui, keduanya sangat keren meskipun jo harus mengatur fokusnya antara film dengan harry yang secara refleks menggenggam dan meremas tangannya saat ia sedang histeris, dan jantung jo yang berdebar saat harry melakukannya.

seperti saat ini.

bukannya memperhatikan film yang sedang berlangsung, mata jo terpaku pada tangan harry yang menggenggamnya. suasana bioskop sedang ramai karena tawa, namun begitu suasana kembali tenang, tangan harry masih berada di posisi—menggenggamnya.

jo menelan ludah, memberanikan diri untuk menoleh pada harry. ia fokus menonton film, namun mampu membuat jo merasa nyaman dan jantung jo berdegup kencang secara bersamaan dengan ibu jarinya yang mengusap tangan jo dengan lembut. apa ini? mengapa harry melakukannya? apa termasuk dalam pura-pura? atau ia memang hanya sekedar refleks (karena dulu pernah bersama mantan kekasihnya)? jo pusing.

tapi kemudian genggamannya menjadi sedikit menguat, dan jo melihat persis wajah harry memerah serta harry yang menjadi sedikit bergetar. ia mendadak khawatir—harry benar tidak apa-apa? jo terdiam sejenak sebelum akhirnya memanggil nama cowok itu.

"ya?" tanya harry sebelum akhirnya menoleh pada jo. ia menyadari rasa khawatir yang tersirat jelas di wajah jo, lalu menautkan alis. "kau baik-baik saja?"

"you're cold,"

"what?"

"you're literally cold right now," ulang jo, matanya melirik tangan harry yang menggenggam tangan jo dengan erat. "you're shaking, too."

harry hanya diam memandangi jo. film di depannya sedang menunjukkan adegan menegangkan, namun seluruh perhatiannya seolah terpusat pada jo yang mendadak merasa canggung karena tatapan harry yang tidak bisa ia artikan. bibir jo bergetar, mengutuk harry karena masih saja diam tak berkutik.

ia memutar otak, mencari cara agar kecanggungan di antara keduanya menghilang. "mau jaketku?" tanya jo tiba-tiba. harry tampak menerjapkan matanya, jo bingung sekali karena harry benar-benar sulit ditebak! apakah dirinya terdengar bodoh karena menawarkan jaket? tapi kan jo hanya bermaksud baik karena khawatir kalau-kalau harry jadi tidak enak badan dan terkena flu karena dingin—nanti jo bisa menyalahkan diri sendiri...karena tidak ingin harry jatuh sakit.

tapi jo bersyukur sekali karena setelahnya, harry tersenyum malu-malu. "ya, aku kedinginan—lupa membawa jaket..." katanya.

"tidak apa-apa. pakai saja," jo kemudian melepas jaketnya dan memberikannya pada harry. ralat, memakaikannya pada harry seperti selimut agar cowok itu tidak merasa dingin.

"thanks, jossette." jo menengadah dan tersenyum, hendak mengatakan 'sama-sama' saat menyadari harry memanggilnya dengan 'jossette'. ia melotot, namun harry memotongnya saat ia akan membuka mulut. "maksudku josie."

jo mendengar harry tertawa pelan sebelum akhirnya mereka berdua kembali menikmati film.

selama lima menit berikutnya, jo baru menyadari bahwa tangan harry tidak lagi menggenggam tangannya, atau sekedar berada di siku bangku. jo terdiam sejenak karena menyadari, itu artinya harry menggenggam tangannya bukan karena ia ingin, melainkan hanya karena cowok itu sedang kedinginan. ia sudah hangat sekarang, tidak lagi membutuhkan tangan jo.

jo menerjapkan mata, menampar dirinya kembali masuk dalam realita dan bukannya khayalan. ini semua hanya pura-pura, kencan ini palsu, dan jo tidak bisa menggapai harry.

***

film selesai pukul sembilan kurang, jo dan harry baru saja keluar dari teater bioskop dengan harry yang menggunakan jaket cokelat milik jo.

"aku malu sekali." ucap harry ketika keduanya berjalan menuju pintu keluar gedung. ia memasukkan tangan ke kantung jaket dan mengeratkannya.

jo menoleh, "kenapa?"

"kita ini terbalik," harry menoleh sekilas. "harusnya aku yang meminjamkan jaket kalau kau kedinginan—tapi malah aku yang memakai jaketmu. memalukan sekali dan aku merasa tidak enak padamu."

jo tertawa saat harry mendengus. ia menyikut harry pelan dengan bercanda. "sudah kubilang tidak apa-apa. 'kan jarang perempuan yang memberi pinjam pada laki-laki. lagipula aku yang seharusnya merasa tidak enak."

keduanya berjalan keluar dari gedung bioskop. "kenapa begitu?"

ada jeda sebelum jo menjawab pertanyaan harry, matanya menangkap lampu-lampu warna-warni di kejauhan. "karena," ia menoleh dan mendapati harry yang sedang memandanginya. jo menerjap. "kau akan jatuh sakit karena kedinginan, aku tidak mau memaksakan..."

"tidak, tidak apa-apa," harry mengeratkan jaketnya. "jaketmu sudah sangat membantu. lagipula sekarang aku lapar—bagaimana kalau ke night market saja? festivalnya batal."

jo mengangguk setuju karena memang sebenarnya ia sudah lapar. popcorn yang dibeli memang banyak karena berukuran besar, namun tetap saja tidak membuat kenyang, hanya mengganjal perut saja. "di mana night marketnya?" tanya jo berusaha menyamakan langkahnya dengan harry karena cowok itu jalan lebih dulu.

"dekat sini, kita hanya perlu berjalan sekitar sepuluh menit. atau naik mobilku saja?" tanya harry.

"jalan kaki saja,"

pun keduanya berjalan menyusuri trotoar ditemani lampu-lampu jalan yang remang. jalanan saat itu agak sepi, jo mengira mungkin akan mulai terlihat ramai saat sudah dekat dengan night market.

"kenapa night market pada malam sekolah?" tanya jo memecah keheningan. ia akui sedikit dingin malam itu, namun jo sudah terbiasa sehingga kemungkinan akan menggigil sangat kecil.

"malam sekolah?" jo mengerutkan kening saat jawaban harry justru terdengar seperti pertanyaan. harry tertawa. "besok tanggal merah."

"apa???" jo menoleh cepat. alisnya saling bertaut dan sangat bingung, namun harry justru tertawa sehingga wajah jo terlihat memerah malu. tapi kemudian ia menerjap dan mendengus. "tidak usah diulang."

sementara harry tertawa, jo bingung mengapa ia bisa tidak tahu bahwa besok adalah tanggal merah. jika ia tahu, ia pasti sudah memesan tempat di sebuah kafe mini milik tentagganya, liam payne, untuk mengerjakan tugas di sana. walau kecil, kafe itu selalu ramai sehingga jo harus memesan meja sehari sebelumnya, agar bisa duduk dengan tenang sambil mengerjakan tugas dan meneguk kopi.

"kenapa wajahmu?"

suara harry membuyarkan lamunan jo tentang duduk di kafe liam, dan membuatnya menoleh dengan kedua alis terangkat. "kenapa wajahku?" tanya jo memiringkan kepalanya.

"cemberut."

"tidak," jo menghela napas. "aku hanya tidak tahu besok tanggal merah."

"not a big deal, right?" tanya harry memastikan.

menggeleng, jo melempar senyum. "nope."

tidak lama kemudian, keduanya sudah sampai di depan pintu masuk night market. malam itu temanya adalah mexican street food, yang mana membuat jo girang karena masakan mexico adalah salah satu makanan favoritnya. jo juga baru saja menyadari kalau lampu warna-warni yang ia lihat sebelumnya berasal dari sini.

"ayo." kata harry yang lebih terdengar seperti menggumam, dan kemudian jo merasakan harry mengambil tangannya untuk digenggam. ia menerjap, melihat lurus ke depan tanpa melihat sedikitpun ke harry.

begitu memasuki night market, harum makanannya sudah sangat tercium dan menggoda. suasana night market malam ini juga sangat ramai, mungkin akan sulit untuk jo dan harry mencari tempat duduk nantinya. dan saat itu juga, harry melepas tangannya dari jo—menimbulkan rasa yang sedikit mencelos di dada, namun jo memilih untuk mengabaikannya karena ia berjanji pada diri sendiri untuk bersikap rasional.

siapa tahu tadi tangannya digenggam karena hendak menyebrang. hah, memangnya harry anak kecil?

melihat nachos, fajita, elote, chalupas, pancita, dan makanan-makanan lainnya yang sedang dimasak di tendanya masing-masing, membuat jo merasa semakin lapar. jo menoleh pada harry, yang ternyata sudah lebih dulu menoleh padanya.

"mau makan apa?"

"mau makan apa?"

keduanya menerjap.

"kau duluan."

"kau duluan."

lagi, keduanya menerjap. jo diam, menatap harry yang juga diam dan berharap cowok itu akan mengatakan sesuatu. lima detik, sepuluh detik, lima belas detik, harry tidak bersuara. rasanya canggung sekali, tapi jo memutuskan untuk bersuara lebih dulu.

"tacos."

"empalme."

jo melotot sebelum akhirnya memutar mata dan membuang wajah demi menahan senyumnya, namun gagal karena harry kini tertawa. jo merasakan wajahnya memerah entah untuk alasan apa, lalu mengeluarkan tawa kecil yang melihat mata harry yang menghilang saat tertawa.

"baiklah," kata harry masih berusaha mengatur tawanya. "kau cari duduk saja, biar aku yang beli makanan kita. ambil yang kosong, ya."

jo menautkan kedua alisnya. ia mengedarkan pandangan, tidak tahu bagaimana mengatakannya pada harry karena di mana-mana tempatnya sudah penuh sehingga mereka harus bergabung dengan orang lain. "ramai, tahu. lagipula memangnya kenapa?"

"ayolah, cari saja," harry menepuk pundak jo dua kali. "makan berdua lebih nikmat." kata harry, mengedipkan mata dan kemudian meninggalkan jo yang merasakan pipinya memanas.

begitu punggung harry hilang dari pandangannya, jo berputar balik dan melangkah mencari tempat duduk kosong. meja dan kursinya kebanyakan berbentuk panjang dan menyatu, sementara meja dan kursi untuk dua orang saja sudah habis. jo menghela napas, melangkah lebih ke dalam ke night market—berharap mendapat tempat kosong seperti permintaan harry.

jo mencelingukkan kepalanya ke kanan dan ke kiri, terus mencari tempat kosong selama harry masih mengantri. ia mendengus karena benar-benar tidak ada tempat yang kosong, terlintas di pikirannya untuk mengambil meja dan kursi panjang dan bergabung dengan orang lain—karena banyak sekali.

tapi harry meminta tempat kosong. lagi, jo mendengus. namun tiba-tiba matanya tertuju pada bangku khusus dua orang di pojok dekat penjual fajita. tersenyum, jo melangkah dengan semangat—tapi hanya untuk beberapa saat, karena seorang anak kecil tiba-tiba menduduki tempat tersebut dengan seorang laki-laki yang jo seperti kenal...

"seperti luke," ia menggumam pelan. "luke hemmings?"

jo melotot saat menyadari siapa yang ia lihat di sana. sial, sial. ia tidak menyangka akan bertemu dengan murid-murid dari sekolahnya, apalagi salah satu teman harry itu. jadi jo melangkah mundur, berbalik badan hendak pergi dari tempat itu, namun justru ia nyaris menabrak tubuh seseorang.

"whoa, jo, kau baik-baik saja?"

jo mengenal suara itu—harry. menengadah, jo langsung menarik tangan harry menjauh dari sana ke dekat pintu masuk.

"hey—kenapa??" tanya harry begitu keduanya sudah berhenti. jo menerjap karena harry terlihat begitu kesal, jelas saja karena ia membawa dua makanan yang akan jatuh jika ia menarik harry terlalu keras tadi.

"maaf, aku melihat temanmu."

jo tahu mungkin harry akan biasa saja, karena sebelumnya saja harry ingin mengajaknya bertemu teman-temannya. bisa jadi cowok itu kini akan mengajaknya bergabung dengan luke yang mana akan jo tolak dengan berbagai macam alasan yang sudah ia siapkan. namun, jauh dari ekspetasi, bibir harry menarik garis lurus. "siapa?"

"luke. luke hemmings."

kini cowok itu menerjap, sama terkejutnya dengan jo beberapa menit yang lalu. untuk beberapa saat, keduanya hanya diam dan hal itu menambah kegelisahan jo. ia mengedarkan pandangannya ke seluruh tempat, takut tiba-tiba mendapati luke sedang melihat tepat ke arahnya dan harry.

"jo," ia menoleh, mendapati harry dengan raut wajah yang datar. "makan di mobilku saja."

hanya dengan kata-kata itu, harry berjalan lebih dulu keluar dari night market, meninggalkan jo yang tadinya gelisah, lalu seribu pertanyaan masuk ke otaknya. ia cepat-cepat menyusul harry yang sudah di depan. mobil harry diparkir tepat di depan gedung bioskop, jadi untuk sampai di sana kembali memakan waktu sekitar sepuluh menit.

jo diam saja selama jalan, namun itu karena harry sendiri juga tidak mengatakan apapun. ia tenggelam dalam pikirannya, bertanya-tanya mengapa harry mendadak seperti ini? ia seperti memiliki pikiran lain yang berhubungan dengan teman-temannya. beberapa hari lalu, harry mengajaknya bergabung bersama teman-temannya seolah ingin memperkenalkan jo meskipun pada akhirnya tidak jadi karena jo beralasan. namun tadi harry langsung mengajaknya pergi menjauh dari night market, seolah tidak ingin luke melihatnya bersama jo.

itu dia. mungkinkah harry berubah pikiran untuk mengenalkan jo pada temannya? memasukan tangan ke kantung celana, jo menghela napas sambil bertanya dalam hati, apa jangan-jangan harry memutuskan untuk tidak mengenalkan jo pada teman-temannya karena malu?

siapa yang tidak malu, berteman dengan cewek paling membosankan di sekolah.

"masuk saja dulu, aku akan beli minum di minimarket," harry membuyarkan lamunan jo, membuatnya tersadar bahwa mereka berdua sudah sampai di parkiran bioskop yang sudah sepi. harry membuka kunci mobil, lalu masuk sebentar untuk meletakkan kedua makanan di meja dashboard.

jo hanya mengangguk, lalu masuk ke dalam mobil selagi harry pergi ke minimarket dekat sana.

lima menit berlalu, jo sedang membalas pesan dari ibunya saat ia mendengar rintik hujan mulai terdengar dan membasahi kaca mobil secara perlahan. di saat itu juga, ia melihat harry berlari kecil dan memasuki mobil dengan cepat.

"sial, hujan dan aku malah membeli soda dingin," katanya lalu terkekeh. "tidak apa, kan?" tanya harry yang kemudian melempar senyum pada jo.

aneh. membingungkan. lima menit lalu harry begitu mengintimidasi, sekarang kembali menjadi harry yang manis dan menggemaskan.

"aku tidak masalah. kau, nanti sakit bagaimana?" jo harap ia tidak terdengar terlalu perhatian walau ia ingin seperti itu—jadi, perhatian yang biasa saja karena ini adalah kencan palsu. walau sebenarnya jo harap ia tidak perlu berpura-pura untuk memalsukan apa yang ia rasakan, namun ia harus...kan?

"i'll be okay," harry tersenyum. ia menyalan mesin, menghidupkan ac namun level satu, menyalakan lampu mobil, baru kemudian mengambil makanannya dan mulai makan. "tapi pantas saja udaranya jadi dingin, ternyata akan turun hujan."

"memangnya tidak nonton berita ramalan cuaca?" tanya jo sembari ikut mulai makan.

"aku tidak pernah nonton berita," harry nyengir.

"lantas?"

"netflix," jawab harry dan mendapat respon jo yang mengernyit jijik. harry diam, apa ada yang salah dengan jawabannya? "kenapa?"

"sudah kubilang jangan makan sambil berbicara," ia memutar mata jengkel sementara harry justru tertawa.

"iya, maaf," ucap harry setelah menelan makanannya. "20 questions?"

"boleh."

"i'll go first," harry menyuapkan makanan ke mulutnya sembari berpikir pertanyaan yang ingin ia tanyakan untuk jo. "favorite netflix series?"

jo menoleh, tampak berpikir. "antara stranger things dan la casa de papel. favorite animal?"

"cool," harry mengubah posisi duduknya menghadap jo sepenuhnya, yang entah kenapa membuat jo sedikit gugup. "cats. aku punya tiga kucing di rumah. favorite character di stranger things?"

"tentu saja, steve harrington," jo terkekeh. "yours?"

"hopper."

"oh man, he's coming back for season 4," ucap jo bersemangat, tak sadar memunculkan senyuman harry. "pertanyaan selanjutnya, kalau kau bisa hidup di dalam suatu film, menurutmu film apa itu?"

"um, the kissing booth."

jo mengangkat alisnya terkejut. "harry, that's like, the worst movie ever!" pekiknya.

"it's not," harry mendengus tapi kemudian mengerucutkan bibir—membuat jo mengutuknya untuk terlihat sangat menggemaskan. "penyanyi favorite?"

"taylor swift," jo mengambil jeda untuk membasuh makanan di ujung bibirnya. "kau?"

"louis tomlinson," cowok itu nyengir, menampakkan gigi-giginya yang rapih—namun jo tertuju pada gigi kelincinya. "best lyricist in the whole world."

"and that's on period!"

keduanya tertawa, siapa sangka mereka menyukai satu penyanyi yang sama dan ia adalah louis tomlinson? jo ingat saat albumnya baru keluar dan ia akan mendengarkan seluruh lagu sebelum tidur.

"kau menonton the vampire diaries?"

"ya, hanya tiga season."

"okay, karakter yang paling kau benci di the vampire diaries?"

"hey, giliranku!"

harry nyengir. "fine, ask your question, then."

"tinggal di dekat pantai atau pegunungan?"

"pantai—menenangkan sekali," harry membayangkan. "tiga kata untuk mendeskripsikan dirimu?"

"um, eager, anxious..." jo mengerucutkan bibirnya. "ambitious."

"wow, so you."

jo nyengir. "bad habit?""berbicara sambil mengunyah," jawaban harry membuat jo memutar mata sambil tersenyum. "giliranku. lebih baik berkata jujur atau menyimpannya sendiri? atau dalam kata lain, menyakiti diri sendiri."

jo menemukan dirinya menatap kedua mata harry, sadar mereka sudah masuk pada tahap pertanyaan yang cukup berat bersamaan dengan habisnya makanan mereka.

"menyimpannya sendiri," kata jo, membuang wajahnya ke depan. "lebih baik aku menyakiti diri sendiri daripada membiarkan orang lain yang menyakitiku."

itulah salah satu alasan mengapa jo lebih suka bekerja sendiri daripada dengan orang lain, atau bahkan berteman. ia tahu ia hanya dimanfaatkan dan itu menyakitkan, maka lebih baik ia menyiksa diri sendiri dengan tidak memiliki teman.

"i'm not gonna hurt you," kata harry dan jo bisa merasakan mata harry yang masih memandanginya. jo tersenyum kecut mendengarnya. entah harus mempercayai kata-kata harry atau tidak.

pertama, itulah yang dikatakan cowok sebelum dia akan menyakiti pasangannya. kedua, ia memang tidak pernah langsung mempercayai kata-kata seseorang. ketiga, jo menganggap kata-kata itu sebagai kata-kata yang memang dikatakan seseorang dalam usaha mendekati orang yang disukainya—yang mana pura-pura dan jo tidak boleh jatuh dalam kata-katanya, berbeda jika kencan ini nyata, mungkin sedikit lebih mudah untuk mempercayainya.

jo menoleh, melempar senyum yang ia usahakan untuk tidak dibuat-buat. "rahasia yang kau sembunyikan dari ibumu hingga saat ini?"

"cita-citaku."

"kenapa?"

harry bergidik bahu. "dia ingin aku menjadi penerus perusahaan ayahku karena kakakku ingin bekerja di bidang hukum. padahal aku sendiri belum menentukan apa cita-citaku."

jo akhirnya memutuskan untuk duduk menghadap harry, lalu menyandarkan kepalanya pada bantalan di kursi. "kenapa? kau bisa mendapatkan apapun kau inginkan. seperti...mobil baru, rumah yang besar di dekat pantai, atau bertemu louis tomlinson." jo merasa senang karena membuat harry tertawa kecil.

"ya, but there's no process to it."

jo menautkan kedua alisnya, tak mengerti.

"aku menghargai proses suatu perjuangan, jo. dengan adanya proses, kau bisa menghargai apapun yang menjadi hasilmu. kau bisa ingat bagaimana sedihnya saat nyaris gagal atau pun saat mengalami kegagalan, kau juga bisa ingat bagaimana bahagianya saat tahu usahamu membuahkan hasil, dan kau ingat bagaimana kerasnya usahamu untuk mendapatkan yang kau mau. tapi orang-orang di sekitarku tampaknya tidak memahami hal itu, sampai aku selalu melihatmu belajar di perpustakaan dan selalu sendiri—juga ambisimu yang terkenal itu—harvard."

dari seluruh penjelasan harry, jo setuju. namun ia terpaku pada kalimat akhir harry. ia selalu melihatnya sendiri di perpustakaan... apa itu artinya selama ini harry memperhatikannya?

menerjap, jo tersenyum—namun terlihat sangat canggung dan membuat jo menunduk. ia benar, harry selalu memperhatikannya, ya? ia menggeleng pelan, membuang jauh-jauh kepercayaan dirinya bahkan untuk memikirkan hal tersebut. meskipun ia tahu harry sedang jujur, tak mungkin cowok itu selalu memperhatikannya.

"aku kurang suka saat orang-orang mengatakan kau ini ambis," jo kembali menengadah dan menemukan harry mengernyit. "bukan ambis. aku lebih suka menganggapmu termotivasi. you learn a lot to go to harvard because you're motivated by something which i think it's personal, yeah?"

harry tahu ia benar dan maka dari itu ia tersenyum.

sementara itu jo hanya menatap harry dalam diam. tidak ada yang berbicara selama beberapa waktu, namun tidak menimbulkan kecanggungan antara keduanya meskipun jo sadar harry sedang berbalas menatapnya.

"aku tidak akan bertanya kenapa," harry menjadi yang pertama kali memutus kontak mata dan mengubah duduknya menghadap ke depan. "we're not there just yet."

jo masih saja diam, memperhatikan harry yang mendadak salah tingkah entah karena apa.

"sudah setengah sebelas, aku harus mengantarmu pulang, jo."

baru kemudian jo mengubah duduknya ke depan dan memakai seatbelt.

di perjalanan pulang, harry sesekali melontarkan lelucon dan hanya dibalas tawaan renyah dari jo. mungkin harry tak menyadari, namun jo tenggelam dalam pikirannya sendiri.

terlalu banyak yang harus diproses malam ini.

harry yang membutuhkan tangannya karena dingin, harry yang mungkin secara refleks menarik tangannya meskipun setelah itu dihempas begitu saja, lalu hal-hal kecil yang menurutnya berharga, dan bagaimana harry secara tidak langsung mengatakan bahwa ia memperhatikannya, serta harry yang membaca dirinya.

jo tidak pernah menceritakan mengapa ia ingin sekali pergi ke harvard, karena alasannya terlalu personal dan orang-orang selalu mengiranya ia ingin pergi ke harvard karena universitas bergengsi atau alasan pada umumnya—ingin mendapatkan pendidikan yang berkualitas di sana. namun entah bagaimana harry dapat menebak ke arah sana, sekaligus menghormati keputusan jo yang belum ingin menceritakannya.

haruskah?

harry memang berhasil, namun haruskah ia juga menceritakan alasannya? ia sadar harry sudah terbuka dengannya, namun itu tidak mewajibkannnya untuk bercerita, kan? maksudnya, setelah semua ini selesai, mereka akan lulus. jo akan pergi ke amerika dan harry akan masuk kuliah di universitas ternama inggris, mereka mungkin berteman tapi jo pikir mereka akan saling melupakan, mengingat mudah bagi harry untuk mendapat teman.

jo tidak tahu, tapi ada rasa dalam dirinya yang ingin bercerita. jo ingin bercerita, menumpahkan segala keluh kesahnya selama ini kepada harry karena ia tidak bisa mengeluh pada ibunya. karena jo yakin, harry pasti akan mengerti.

tapi jika ia melakukannya, jo tahu ia akan jatuh semakin dalam. jo akan terpesona dengan rupanya, jo akan tersihir dengan bagaimana harry dapat mengertinya, dan yang paling buruk ia akan jatuh cinta pada harry yang mana ia tidak bisa.

tidak bisa, karena akan merusak segalanya. ia akan mengikut sertakan perasaannya dalam kencan palsu ini, yang padahal harry sendiri tidak seperti itu. kalaupun ya, jo akan merasa ia tidak pantas karena berbagai macam alasan. dan memikirkan hal ini membuatnya sangat sedih karena dari segi mana pun, ia tidak bisa bersama harry.

dan, oh.

jo tiba-tiba tersadar dan rasanya seperti ditampar ke realita bahwa ia menyukai harry. jo menyukai harry. jossette dixie menyukai harry styles.

avataravatar
Next chapter