4 Chapter 3

"no feelings involved."

***

sabtu pagi adalah hari santai bagi jo. biasanya ia akan menemani marianne berjemur di halaman belakang sambil bermain, sementara mrs. dixie membuat kue untuk dijual nanti sore di toko milik tetangga.

namun kali ini, selepas sarapan jo langsung menuju kamar dan menyelesaikan beberapa lembar novel the fault in our stars. ia terkejut oleh dirinya sendiri yang berhasil menghabiskan tiga bab dalam waktu yang singkat sambil tetap memfokuskan dirinya untuk belajar. dua film juga sudah ia tonton, dan sekali lagi jo harus mengakui bahwa harry benar; sekedar menonton atau membaca film memang membantu, tapi tidak banyak.

jo sudah mulai menulis sedikit, lalu meminta ibunya untuk membaca sedikit, dan pendapat ibunya pun mirip dengan apa yang dikatakan oleh mrs. anderson. tidak ada perasaan menyentuh saat membacanya.

pukul dua belas, jo baru selesai makan siang saat mendapatkan pesan pengingat dari harry. jo tidak yakin mengapa harry begitu semangat, padahal ini hanya kencan palsu di primrose hill. sempat terpikir dalam benak jo bahwa harry mempunyai tujuan lain, namun ia cepat-cepat membuang pikiran itu jauh dari otaknya. menurutnya, jika harry mencari seseorang untuk dikencani, harry mampu mencari seorang gadis cantik lainnya, dan yang pasti bukan dirinya—karena… mana mungkin ia punya kesempatan.

jo sangat hafal dengan tipikal cowok seperti harry. ia termasuk ke dalam daftar murid-murid populer, kaya, orangtuanya memiliki wewenang di sekolah, dan jo juga tahu bahwa harry anak yang cerdas. saat hendak makan di kantin, jo sering melihat harry bersama kelompok temannya; cedric, matthew, natasha, dan emily. dan hal itu membuat jo tentunya sadar diri, ia bukan apa-apa dibanding dengan mereka. ia pun tidak iri, hanya saja dengan suatu fakta bahwa mereka termasuk orang-orang yang bisa mendapatkan apapun yang mereka mau dengan sangat mudah.

kini waktu menunjukkan pukul satu, jo sedang mengambil kaus dan celana jeans untuk kencan palsu sore ini saat harry menghubunginya.

"apa?" jo meletakkan ponselnya di antara telinga dan bahu.

"kirim alamat rumahmu," kata harry. "aku akan segera jalan."

"untuk apa? bertemu di sana, kan?" tanya jo bingung.

"tidak, aku menjemputmu," terdengar suara harry menutup pintu mobil. "jangan lupa berdandan, oke? biasanya itu yang dilakukan para perempuan saat kencan pertama."

jo menerjapkan matanya. "berdandan? untuk apa?"

"our date? memangnya apalagi." kata harry, membuat jo semakin bingung.

"kenapa aku harus berdandan? kaus dan jeans saja sudah cukup, kan hanya pura-pura," jo menggerak-gerakkan kakinya, lalu menggigit kuku jarinya yang mana sangat jorok—namun artinya ia sudah panik. jo pun berusaha agar tidak terdengar khawatir di telinga harry. ada jeda sebelum harry menjawab. "ya, kan?"

"ya," namun entah mengapa jo tidak merasa tenang. "tapi kalau aku jadi kau, aku akan berusaha ekstra agar saat menulis, aku bisa menjelaskan secara detail apa yang dirasakan karakterku. you get what i mean?"

kini, jo yang terdiam. dalam hati, ia mengutuk harry karena ia lagi-lagi benar. jo tahu di mana seseorang bereksperimen secara ekstra agar ia dapat menumpahkan semuanya lagi ke dalam suatu karya yang sempurna. itulah yang akan jo lakukan, namun entah mengapa ia sangat ragu.

"tapi—"

"kalau begitu aku saja yang mengerjakan tugasmu. aku yakin aku akan lolos, sementara kau mengendap saja di london. bagaimana?" jo mendengus kesal. "atau kau khawatir aku akan bawa perasaan?"

lagi, jo terdiam. ia tidak tahu, itukah yang jo takutkan? bagaimana jika ia justru sebaliknya? bagaimana jika ternyata jo mengikut-sertakan perasaannya dalam hal ini? apa itu ide buruk, atau justru buruk? jo harus bersikap professional, kan?

"josie?" suara lembut harry membuat jo menerjapkan matanya.

"ya?"

"no feelings involved," kata harry dari ujung sana. "just be extra."

"ya, no feelings involved, just be extra." jo mengulang perkataan harry lalu menghela napasnya. "aku akan mengirim alamatku padamu, kalau sudah sampai jangan klakson—hubungi saja aku."

"aye, captain!"

jo mematikan sambungan telepon dan mengirim alamat rumahnya pada harry, lalu memalingkan matanya pada kaus serta jeans yang tadi ia ambil dan hendak meletakannya kembali ke dalam lemari. jo menggigit bibir, matanya menyusuri isi lemarinya yang menurutnya biasa saja. tidak pernah dalam beberapa tahun ini ia berpikir bahwa dirinya akan pergi kencan, jadi rasanya tidak ada baju yang pantas.

wow, pemikiran tentang jo akan pergi kencan.

kencan palsu yang ditambah sedikit lebih banyak bumbu ekstra. entah akan bagaimana jadinya nanti, jo akan mengetahuinya sebentar lagi.

jo benar-benar tidak tahu harus menggunakan baju yang pantas seperti apa, hingga kemudian sebuah ide melintas di otaknya. untuk ukuran seorang wanita dengan dua anak, mrs. dixie masih memiliki tubuh yang ramping, bahkan ukuran pakaiannya hanya sekali lebih besar dari jo.

ia bersyukur sekali ibunya sedang berada di luar, jadi ia dapat menghabiskan sisa waktu tiga puluh menit untuk mencari pakaian yang pantas, dan berdandan di kamar ibunya.

jo memandangi dirinya di cermin. ia tertegun saat menyadari bahwa meskipun cara berpikirnya mirip dengan sang ayah, namun rupanya mirip dengan sang ibu. jo mengenakan mini dress berwarna biru muda dengan motif floral, kemudian dipadu dengan sling bag kecil serta sneakers putih yang biasa ia pakai. setelah itu, jo juga menggunakan rias wajah sedikit lebih dari biasanya.

biasanya, dalam kegiatan sehari-hari, jo hanya menggunakan concealer dan lipbalm. namun sekarang, karena harry mengatakan ia harus ekstra, jo menggunakan foundation, concealer, shading, alis, serta lipcream yang jarang sekali ia gunakan. masih terlihat natural karena jo tidak melakukan banyak shading, yang kemudian ia menambahkan blush berwarna peach di pipinya.

untuk rambutnya, jo hanya menyisirnya hingga rapih—ia tidak berencana melakukan apa-apa terhadap fitur berharga yang ada pada dirinya itu.

kemudian untuk terakhir kalinya pada hari itu, jo memandangi dirinya lagi di cermin. ia bertanya-tanya, dibanding penampilannya sehari-hari, apakah ini sudah ekstra? apakah penampilannya sudah lebih baik? apakah penampilannya akan membantunya memperdalami tulisannya? ia terus bertanya-tanya, hingga suatu pertanyaan muncul di kepalanya, apa harry akan menyukai penampilannya?

akan tetapi, jo segera sadar dan bergeleng-geleng—menepis jauh-jauh pemikirannya tentang hal terakhir itu. ia menegapkan tubuhnya, berpikir siapa yang peduli tentang pendapat harry mengenai penampilannya?

lima menit berlalu, jo mengambil ponselnya saat ia melihat pesan harry.

h - i'm here

***

apa kau pernah merasakan seseorang sedang memandangimu meskipun kau tidak melihatnya? itu yang dirasakan oleh jo, namun bedanya ia tahu siapa yang sejak dua puluh menit lalu terus menerus memandanginya.

jo mendengus, lalu menoleh dan menangkap basah harry yang sedang memperhatikannya. "bisakah kau berhenti memandangiku dan fokus ke jalanan?" kata jo, berhasil membuat cowok itu terkejut dan membuang pandangannya ke jalanan depan.

"siapa yang memperhatikanmu? percaya diri sekali," jo menautkan alisnya, heran mengapa harry membantah padahal jo dapat melihat jelas bahwa wajahnya sangat merah sekarang.

"kau." balas jo, masih bertahan pada posisinya. entah mengapa jo ingin membuat harry mengakui apa yang dilakukannya sejak tadi, karena sejujurnya jo merasa sangat risih.

"t-tidak," kata harry, masih membantah.

jo memutar matanya gemas. "wajahmu merah," balas jo.

"y-ya, hawanya sangat panas," harry kemudian membawa tangannya untuk mengipas dirinya sendiri dengan kaus putih motif tangan yang ia kenakan. lalu bertingkah seolah udara di dalam mobil sangat panas. jo tidak tahu apakah harry bodoh atau bagaimana, padahal ac mobil menyala dan pembawa berita cuaca mengatakan bahwa london hari ini akan memiliki cuaca cerah, sejuk dan tidak terlalu panas. jo mendengus.

"dasar bodoh," ia berdecak dan memukul pundak harry pelan. "kau tahu tidak, kalau kau lengah sedikit saja dari jalanan—kau bisa membunuh kita berdua, dan aku bersumpah akan menghantuimu sampai kau mengompol di celana."

mendengar itu, harry menghela napas dan menoleh sekilas pada jo yang masih saja memandanginya seolah ingin meneriakinya karena sudah bersikap menyebalkan. "fine, i'm sorry."

baru setelah itu, jo membuang pandangannya ke depan. tapi kemudian harry membuka mulutnya lagi.

"tapi bukan sepenuhnya salahku, sih," kata harry, namun jo berusaha mengabaikannya. "tadi itu salahmu karena penampilanmu sore ini benar-benar menarik perhatianku."

jo menerjapkan matanya dan menoleh cepat. ia sedikit berekspetasi akan jawaban harry barusan—karena meskipun tidak pernah memiliki hubungan sebelumnya, jo tahu apa itu gombal murahan, namun yang jo tidak duga sebelumnya adalah bagaimana jantungnya akan memberikan reaksi berupa debaran cepat. "omong kosong."

harry menoleh sekilas dan mendapati jo memutar matanya jengkel. ia terkekeh, "kau tidak biasa, ya?" tanya harry.

"tidak biasa apanya?"

"being called pretty."

seketika itu juga, jo membuang wajahnya ke arah jendela yang menunjukkan rumah-rumah seperti yang ada di film mary poppins. ia bisa merasakan debaran jantungnya yang semakin cepat, lalu wajahnya yang kini memanas yang mana menjadi alasannya buru-buru menghindari mata hijau harry. jo menelan ludah, "diam."

jo melirik harry dari sudut matanya, cowok itu menarik kedua ujung bibirnya hingga membentuk sebuah senyuman manis yang lengkap dengan lesung pipinya. "okay, josie."

siapa yang peduli tentang pendapat harry mengenai penampilannya?

jo,

jo peduli.

sepuluh menit berikutnya dilalui dengan kebisuan antara keduanya. entah harry mau pun jo, mereka sama-sama tidak berbicara. harry sibuk mencari parkir di sepanjang jalan yang cukup ramai, sementara jo tenggelam dalam pikirannya hingga ia tak menyadari bahwa mobil sudah berhenti karena harry akhirnya mendapatkan parkiran yang tidak jauh dari tujuan asli mereka.

selagi jo menggunakan tasnya, harry segera turun lalu berjalan cepat menuju pintu sisi jo. pikirnya harry hanya akan menunggunya turun, namun kemudian jo merasakan jantungnya berdebar kencang lagi, karena pasalnya harry membukakan pintu untuknya.

padahal hanya dibukakan pintu, dan mungkin harry hanya bersikap baik, tapi jo merasa tersanjung akan hal itu.

"tidak perlu, aku bisa buka sendiri." kata jo setelah turun dari mobil dan berdiri di samping harry.

"it's okay," balas harry sembari mengunci mobilnya, lalu menoleh pada jo dan melempar senyum. "i'm just being extra, remember?"

jo memutar matanya, harry hanya bersikap baik, pikirnya. ia mengangguk, "ya."

setelah itu, keduanya berjalan menyusuri toko-toko menuju primrose hill. kebanyakan yang ada di daerah ini adalah toko kue, toko bunga, toko souvenir serta kedai kopi. toko kue dan kedai kopi yang menjadi dominan, sehingga sepanjang jalan, indera penciuman jo dan harry terus menerus mencium harum yang menggelitik perut.

"aku ingin beli sesuatu." harry tiba-tiba berhenti berjalan, memaksa jo juga ikut berhenti dan menoleh dengan bingung. "tunggu di sini."

melihat harry langsung pergi begitu saja, jo mendengus.

dilihatnya lingkungan sekitar yang lumayan ramai oleh pasangan-pasangan tua dan muda. biasanya, jika sedang pergi ke suatu tempat dan melihat pemandangan semacam ini, jo hanya bisa membayangkan dirinya dengan seorang pria… dan sekarang, well, harry. jo bersama harry; melakukan hal serupa seperti mereka, meskipun hanya pura-pura.

ya, hanya pura-pura. kencan ini tidak serius—hanya untuk kepentingan tugas bahasa inggrisnya yang sialan. jadi, sebelum semuanya terlambat karena pikiran jo yang melantur ketika harry bersikap baik, jo harus menegaskan kepada dirinya bahwa itu semua adalah palsu. jo harus mengingat bahwa sikap manis harry adalah termasuk ke dalam kepura-puraan dan tidak sungguh-sungguh, sehingga ia akan terlihat bodoh kalau tiba-tiba perasaannya ikut terlibat.

begitu semua berakhir dan jo menyelesaikan ceritanya, mungkin jo akan memikirkan sesuatu untuk membalas perbuatan harry. jo belum memikirkan apa, namun yang ia tahu pasti, setelah itu ia tidak harus lagi bertemu harry. dirinya akan berada di amerika, bersama ayahnya dan mencari ilmu baru di harvard university.

what a plan, pikirnya.

"for you,"

suara harry yang tiba-tiba membuyarkan lamunan jo tentang harvard. ia menoleh, mendapati sebuah buket bunga mawar putih terjulur kepadanya. jo terdiam memandangi buket bunga mawar putih tersebut, lalu matanya menatap harry yang tersenyum konyol.

"untuk apa?" tanya jo.

"hadiah kecil saja," jawab harry sambil tetap bertahan pada posisi yang sama sampai jo akhirnya mengambil bunga tersebut. "dan beberapa kue, dan dua kopi untuk mengganjal perut, karena aku yakin kau mulai lapar."

"oh, oke." kata jo sambil keduanya kembali berjalan menuju primrose hill yang sudah hampir di depan mata. "lead the way."

kedua kaki jo boleh melangkah bersampingan dengan harry, namun matanya terus memandangi buket mawar putih pemberian harry. jo sedang beradu mulut dengan isi hatinya, mengatakan bahwa bunga ini hanya sebagai pemanis. tidak lebih dari sekedar itu, meskipun bunga mawar putih berarti ketulusan…

tunggu, kenapa warna putih? apa maksudnya? mungkinkah harry hanya ingin menunjukkan bahwa ia tulus dalam membantu jo? atau, mungkin harry ingin menunjukkan bahwa… sikap baiknya adalah tulus dan bukan kepura-puraan?

jo menggeleng kecil dengan cepat dan menyesali pertanyaan yang muncul di pikirannya. pemikiran macam apa itu? jo benci sekali karena ia terdengar seperti perempuan yang mudah dibuat jatuh cinta—padahal hanya pujian murahan dari harry, lalu harry membukakan pintu mobil jo, dan sebuah buket bunga mawar putih.

"kau pernah kemari?"

jo langsung menoleh, diam untuk beberapa saat, belum memahami maksud harry hingga akhirnya menyadari bahwa ternyata keduanya sudah memasuki area primrose hill. ia menghela napas dan memeluk buket bunganya sambil terus berjalan. "pernah, beberapa kali."

"aku sering." kata harry. "well, faktanya, setiap hari minggu aku akan kemari bersama orangtuaku untuk menikmati akhir pekan sambil bermain gitar. aku yang bermain gitar, lalu mereka akan bernyanyi lagu apapun yang ia inginkan. tapi seringkali ia menyanyikan lagu-lagu fleetwood mac, kecuali kalau teman-temanku ikut yang mana adalah sering, maka kami akan menyanyikan lagu-lagu queen, the beatles, dan lain-lainnya."

jo tersenyum simpul mendengarnya. ia dapat menyimpulkan bahwa orangtua harry dan teman-temannya memiliki hubungan dekat. "that sounds nice."

"aku ingin membawa gitarku, tapi kurasa aku akan merahasiakan kemampuan bermain gitarku sampai kencan kita berikutnya." harry terkekeh sendiri dengan kalimatnya, sementara jo langsung merasakan pikirannya yang sudah terbagi-bagi, kini malah semakin bercabang.

kencan berikutnya. untuk kencan pertama kali ini saja jo tidak tahu akan berakhir seperti apa. belum ada dua jam bersama harry saja, jo sudah merasakan perasaan macam-macam yang belum pernah ia rasakan sebelumnya, lantas bagaimana kencan kedua?

"jo? kau mendengarku?"

"ya," jawabnya, tidak menoleh sama sekali. "kau sudah memikirkan kencan berikutnya?" karena jujur saja, jo tidak punya bayangan sama sekali akan bagaimana jadinya kencan pertama ini. cowok itu malah memberikan cengiran.

"sudah. aku ingin mengajakmu ke museum london, aku yakin kau menyukai seni, kan?" harry menjawab dengan nada memastikan, jadi jo hanya mengangguk sebagai jawaban. "tapi aku masih bisa berubah pikiran mengenai itu."

mendengar itu, jo menoleh cepat. "berubah pikiran? maksudmu?" harry tidak bisa mengartikan tatapan jo saat ini, namun ia yakin mata biru tajamnya itu menyiratkan sesuatu. kecemasan? khawatir? entah.

"ya, berubah pikiran mengenai tempat kencan berikutnya." jalanan aspal yang mereka pijak kini mulai berubah perlahan menjadi menanjak.

"oh." jo kembali menghadap ke depan. jo akui ia sedikit panik, atau tidak perlu dilebih-lebihkan, ia khawatir karena pikirnya harry akan berubah pikiran mengenai kencan berikutnya dan ia tidak tahu kenapa.

"mungkin kau bisa memberi usul?" tanya harry.

"eh, aku tidak tahu."

"apa kesukaanmu?"

"apa saja."

jo merasa tenggelam dalam pemikirannya sendiri, hingga baru menyadari harry sudah berhenti berjalan sepuluh detik yang lalu. di sampingnya tak ada harry, lantas ia menoleh ke belakang dan menemukan harry sedang berdiri di sana, memandanginya dengan bingung. "sedang apa di situ?" tanya jo menghampiri harry.

��aku bingung." jawaban yang satu itu tidak terlalu dibutuhkan jo, karena sudah terpampang jelas cowok itu sedang bingung. jo memiringkan kepalanya, menunggu harry melanjutkan penjelasannya. "apa menurutmu ini ide bagus?"

uh, oh, apa ini? apa harry mulai merasa menyesal? atau perasaan jo barusan adalah benar? harry ingin membatalkan kencan berikutnya?

jo menerjapkan mata. "maksudmu?"

"ya, kencan ini. well, menurutku pribadi, ini adalah ide bagus karena akan memberikanmu pengalaman walau hanya berpura-pura," lantas apalagi yang ia ragukan? "tapi sejak tadi aku berpikir kau tidak suka."

jo terdiam untuk beberapa saat. "kenapa kau berpikir begitu?"

"entah, mungkin karena aku merasa terintimidasi olehmu—dan sejak tadi respon yang kau berikan seperti kau tidak tertarik untuk melakukan semua ini. man, ini baru kencan pertama dan aku berusaha mengabaikan perasaan terintimidasi itu, namun sepertinya tidak berhasil," jo hanya diam, namun dapat mengatakan bahwa harry sedang merasa sangat frustasi saat ini. "jadi, tolong katakan padaku bahwa kau benar-benar berpikir ini adalah ide yang bagus, dan kau juga benar-benar ingin melakukannya. please, josie?"

jo tetap diam, namun matanya menatap mata harry yang menyiratkan rasa cemas, bingung dan takut karena terintimidasi—seperti yang ia akui barusan. tentu saja ini membuat jo berpikir, ini pertama kalinya seseorang mengatakan bahwa dirinya mengintimidasi.

"that's new," jo mengutuk dirinya karena kata-kata itu yang keluar. tidak membantu harry untuk menenangkan dirinya sama sekali karena ia melihat harry semakin bingung. "maksudku—aku baru tahu kalau ada orang yang terintimidasi olehku."

"itu fakta, oke? dan itu membuatku takut salah bicara denganmu." timpal harry yang mana membuat jo berpikir mungkin wajahnya memberikan kesan galak, karena sejak tadi yang ia rasakan justru berbalik dengan apa yang harry pikir ia rasakan.

"ini hanya wajahku saja," jo menghela napas. "aku bukannya… tidak suka."

terjadi perubahan signifikan dari wajah harry. yang tadinya merasa cemas dan was-was, kini menjadi lebih berbinar-binar. "benarkah? lantas apa?"

"well, menurutku ini ide yang bagus, oke? aku mendapat pengalaman kencan pertama meskipun pura-pura, dan aku dapat menuangkan semuanya di tulisanku nanti. hanya saja," ia sengaja memberi jeda, menyusun kalimat selanjutnya di dalam otak. "ini adalah pura-pura, tapi ini juga merupakan yang pertama kali. kau mengerti maksudku? aku hanya tidak tahu apa yang harus kulakukan, so please, hold on with me." dan belum lagi dirinya harus membedakan mana yang sungguhan, dan mana yang berpura-pura.

harry menatap mata jo, lalu mengangguk pelan. "aku mengerti. aku hanya tidak mau kau berpikir aku seperti orang bodoh—memaksamu menerima bantuanku dan sebenarnya tidak menyukai ideku."

"no. in fact, it's only our fake first date and you've been really helpful." balas jo sambil tersenyum, tangannya mengangkat buket bunga yang harry belikan untuknya. "aku suka. terima kasih."

jo dapat melihat rasa lega di mata harry, menandakan sudahnya permasalahan ini dibahas.

keduanya kemudian melanjutkan perjalanan ke primrose hill. saat sampai di atas bukit, harry menyewa tikar berukuran sedang sebagai alas mereka duduk di atas rumput. waktu menunjukkan pukul setengah empat, dan primrose hill sudah sangat ramai oleh banyak orang. anak-anak kecil berlarian, keluarga yang sedang menikmati akhir pekan, pasangan-pasangan yang sedang bermesra, dan lain-lainnya. mereka tampak bahagia.

harry membentangkan tikar di atas rerumputan, baru kemudian mengajak jo untuk duduk di sana. jo mengambil paperbag berisi kopi dan kue yang harry beli, lalu merasakannya sedikit.

"hey, ini enak," katanya sambil mengunyah. matanya bertemu dengan mata harry.

"tentu, aku yang beli," katanya, sombong. jo memutar matanya namun tersenyum, yang mana membuat harry ikut tersenyum. "sebenarnya cara membuat kue yang sedang kau makan itu mudah, aku bisa."

jo menoleh, "benarkah?"

"ya, aku suka membuat kue dengan ibuku, atau memasak makananku sendiri jika kedua pembantuku sedang tidak bisa." jelas harry sembari mengambil satu kue untuknya.

"wow, aku tidak bisa masak," kini jo mengambil kopi dan meneguknya sedikit. "jika ibuku tidak masak, maka uber selalu jadi pilihannya. atau membuat ramen instan saja sudah membuatku kenyang."

"well then, aku akan mengajarimu cara membuat kue kalau begitu, sekalian mengajarimu masak!" harry terdengar begitu bersemangat, dan sejujurnya menjadi berpengaruh pada suasana perasaan jo saat ini.

"tidak perlu repot-repot, aku sendiri tidak terlalu suka memasak." kata jo, tangan satunya masih memeluk buket bunga mawar putih pemberian harry, seolah tidak ingin buket bunga itu diambil orang.

"oh ya?" jo mengangguk-anggukkan kepala. "tapi setidaknya kau harus tahu skill basic, jadi aku akan tetap mengajakmu membuat kue," kata harry yang kemudian membuat jo tertawa. "wanita karier cocok untukmu."

jo, yang sedang melihat pemandangan gedung-gedung tinggi london, menoleh sambil menyunggingkan senyuman manisnya. "terima kasih. aku ingin jadi seperti itu."

"kenapa? karena tidak suka masak?" tanya harry sambil meneguk kopinya.

"tidak, bodoh," jo terkekeh. "rupaku seperti ibuku, namun sepertinya watak dan caraku berpikir lebih mirip ayahku. kami lebih senang bekerja dibanding berada di rumah."

"kenapa begitu?" tanya harry, merasa sedikit lebih santai daripada sebelumnya.

"it keeps me going. aku lebih baik dikelilingi tugas yang menumpuk daripada pekerjaan rumah yang melelahkan." balas jo sembari memandangi anak-anak muda sepantarannya sedang bermain layangan.

harry mengangguk mengerti. "lalu ibumu kebalikannya?"

jo menoleh dan mendapati harry sedang memandanginya. "ya, ia kebalikan dari kami, namun tentu saja aku membantu mengurus adik perempuanku, atau pekerjaan ringan seperti mencuci piring setelah makan dan merapihkan kamarku sendiri."

"kau punya adik?" harry mengangkat alisnya, sedikit terkejut dengan fakta bahwa jo mempunyai adik.

"yup, usianya masih tiga," jo mengangkat tiga jarinya, lalu memberikan cengiran lebar yang manis, membuat harry pusing. "bagaimana denganmu?" jo balik bertanya sembari mengambil kue kering dari paperbag. ia kini sedang berusaha semaksimal mungkin untuk terlihat lebih santai dari sebelumnya, disebabkan oleh harry yang tidak mau memalingkan pandangannya ke arah lain.

"aku punya kakak," jo menemukan dirinya memperhatikan lidah harry yang bermain di dinding mulutnya, ia menelan ludahnya. "namanya gemma, tapi ia sedang berada di australia—kuliah di sana dengan jurusan paling membosankan sedunia: hukum."

jo tertawa melihat raut wajah harry yang terlihat seperti sangat tidak menyukai jurusan itu. "hukum tidak membosankan, seru tahu!" pekiknya, namun tentunya tidak serius.

"memang nanti kau ingin jadi apa?" tanya harry, kemudian membaringkan tubuhnya di atas tikar, menghadap langit london yang cerah sore ini. mata hijaunya tertutup, menghalangi cahaya matahari masuk ke matanya.

"not quite sure," kata jo, mengikuti apa yang harry lakukan. ia dapat merasakan harry menoleh padanya, kini menyipitkan mata. "tapi aku yakin aku tertarik dengan sastra."

harry tersenyum. "keren—kau punya bakat dalam bidang itu."

jo menoleh pada harry, tersenyum tulus karena cowok itu memang pernah membaca tulisannya saat kerjasama di kelas bahasa inggris beberapa waktu lalu. "terima kasih. kau?"

"masih belum yakin, tapi aku masih punya banyak waktu untuk mencari tahu." jawab harry.

"cool. take your time, harry."

mata biru milik jo, dan mata hijau milik harry bertemu untuk beberapa detik, sebelum akhirnya jo memutuskan kontak mata mereka dan memandangi langit biru di atasnya.

"matamu," suara harry di telinga jo berhasil membuatnya merinding. jo tahu cowok itu sebentar lagi akan mengatakan sesuatu. "it's like God was inspired by how blue the sky is when He created you, and i love when skies are blue, because they give me peace of mind."

jossette dixie menoleh cepat pada harry, membuat kedua matanya saling bertemu lagi. ia tidak mengatakan apa-apa, namun diam-diam bertanya...

so… no feelings involved?

***

pukul setengah tujuh, harry sudah berada di rumah dengan suasana hati berbahagia. seharusnya ia mengajak jo untuk mencari makan malam di sekitar primrose hill, namun mrs. dixie tiba-tiba menghubungi jo dan memintanya untuk pulang lebih dahulu. namun sejak ia tiba di rumah, harry belum mendapat pesan apapun dari jo yang mana membuatnya khawatir.

bukan karena takut jo tidak sampai di rumah karena ia yang mengantarnya sampai depan pintu rumah tadi, namun bagaimana jika jo sebenarnya tidak berkata jujur dan tetap berpikir bahwa fake date ini tidak ada gunanya? karena meskipun ia sudah agak santai saat mengobrol dengan jo, tetap ada perasaan cemas kalau-kalau jo berpikir ia kelewat bodoh.

kini sudah pukul setengah sembilan, dan harry mendengar suara mobil yang baru saja parkir di pekarangan rumahnya. itu suara mobil sang ayah, yang biasanya akan harry sambut kedatangannya bersama ibunya.

harry menutup pintu balkon, dan hendak keluar kamar saat ponselnya berbunyi. ada pesan masuk dari jo.

J - hey, maaf baru membalas. aku langsung menulis beberapa bagian setelah makan malam tadi, dan ibuku menyukainya. kau boleh membacanya senin besok sekalian membicarakan kencan selanjutnya.

J - oh ya, aku hampir lupa. terima kasih untuk hari ini. x

avataravatar
Next chapter