3 Chapter 2

"there you are."

jo sedang membaca novel the fault in our stars di kantin, saat harry datang menghampirinya dengan cengiran lebar. ia menutup bukunya, lalu memasukannya ke dalam tas tak minat. hatinya berharap bahwa ia sedang tidak akan membuang-buang waktunya.

"ya," ia berdiri dan memakai tasnya, membuat harry memandanginya bingung karena ia baru saja duduk di kursi seberangnya. "tidak di sini."

"lantas?"

"ikut saja." dengan begitu, jo melangkahkan kaki keluar kantin lebih dulu—meninggalkan harry yang kemudian cepat-cepat mengikutinya.

jo melirik harry yang berusaha mensejajarkan langkahnya. cowok itu tidak berkomentar apa-apa, hanya mengikutinya sambil bersiul pelan. hingga saat ini, jo sebenarnya masih kurang yakin dengan niat harry, dan yang membuatnya mengiyakan tawaran harry adalah kata-katanya tadi siang, "aku ingin melihatmu mendapatkan beasiswa ke harvard," dan dia tidak pernah melihat orang seperti jo, katanya.

bagaimana bisa dia tidak pernah kenal orang yang sungguh-sungguh ingin mendapatkan impiannya?

entah, mungkin ada. jo kemudian menyadari bahwa mungkin, selama ini ia terlalu fokus kepada dirinya hingga tidak terlalu mengetahui apa yang terjadi di kehidupan sosialnya. teman dekat untuk mengobrol saja tidak punya—kalau pun ada, jo sangat hafal bahwa pada akhirnya mereka hanya ingin tugas sekolahnya di selesaikan. itulah salah satu dari sekian alasan mengapa ia lebih memilih sendiri, dan mengapa sedikit sangat sulit untuk menerima bantuan harry.

"kita ini sebenarnya ingin kemana?" tanya harry, memecah keheningan saat keduanya memasuki ruangan yang hanya ada tangga menju atas.

"rooftop." jawabnya singkat.

keduanya menaiki anak tangga demi anak tangga menuju rooftop bangunan sekolah. tapi kemudian harry menyadari sesuatu.

"bukankah itu artinya kita harus melewati empat lantai??" tanya harry. suaranya terdengar panik karena tahu mereka harus menaiki banyak anak tangga. "kita bisa menggunakan teknologi bernama lift, apa kau pernah dengar?"

jo memutar matanya. "liftnya sedang rusak, apa kau tidak lihat pengumumannya saat melewati lift?"

"oh, ya?" jo hanya mengangguk sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam kantung jaket. ia pun sebenarnya agak malas menggunakan tangga karena melelahkan, tapi mungkin dengan begini, ia dapat sedikit menebak kesabaran harry. "kupikir sudah diperbaiki."

"belum." timpalnya.

"jossette?"

"ya?"

harry membawa kedua bola matanya mengitari ruangan mereka berada. temboknya abu-abu, agak minim pencahayaan, dan karena ruang tangga darurat ini berada di belakang, mereka bisa mendengar suara mesin ac. "kau tahu gossip tentang murid bunuh diri di tangga darurat?"

jo menerjap. kenapa cowok itu jadi membahas yang aneh-aneh? "tidak," balasnya. namun kemudian ia menyadari sesuatu yang salah, dan harus ia perbaiki saat itu juga. "harry?" panggilnya.

"ya?"

jo menoleh sedikit ke belakang, melihat harry di bawahnya sedang menengadah, menggigit bibir bawahnya. wajahnya polos sekali. "bisakah kau berhenti memanggilku jossette?"

"kenapa?" tanya harry. "kupikir kita sudah berteman."

jo mendengus dan menghadap depan. "ya, tapi tidak ada yang memanggilku dengan jossette. not even my parents."

"lantas aku memanggilmu apa?" pertanyaan ini agak bodoh, jo pikir harry tahu itu. namun keheningan selama beberapa detik itu membuat jo berpikir bahwa harry menyebalkan.

"jo. kau bisa memanggilku jo."

"tidak," katanya, mengundang kerutan kening jo karena keheranan. "jo adalah panggilan orang lain untukmu. dan aku bukan orang lain, aku temanmu, kan?"

jo terdiam. ia tidak percaya bahwa dirinya akan bertemu dengan orang seperti harry hingga setidaknya hari terakhir ujian. jo mendengus, lalu mengangguk yang mana membuat harry bergumam pelan, "yaay!"

"josie."

harry kemudian naik dan mensejajarkan langkahnya dengan jo. "oke, josie it is." katanya, lalu tersenyum dan memamerkan dua lesung pipi di kanan dan kirinya, membuat ia terlihat… menggemaskan.

"now shut up." jo melirik harry, lalu melihat ke pintu yang keduanya sedang lewati. sudah lantai tiga, itu artinya sebentar lagi mereka sampai.

"kau benar tidak pernah dengar gossip tentang bunuh dirinya murid di tangga darurat?" harry bersuara, namun tidak mendapat respon apa-apa dari jo, selain gelengan singkat. "well, now you do. gossip ini banyak dibicarakan dengan teman-temanku—kupikir semua orang tahu."

"yah, mau bagaimana," jo menoleh sekilas. "aku tidak terlalu peduli."

"namanya alline pammy. kudengar dari cedric, dia murid tingkat akhir tahun 90an," ujar harry. "cedric juga dapat kabar kalau ia bunuh diri karena merasa telah dilecehkan seorang guru karena tidak menuruti perintahnya. yang menemukan alline pun guru itu sendiri—ia mengatakan pada semua orang bahwa mungkin alline putus asa karena tidak mendapat nilai sempurna."

keduanya sampai di lantai paling atas, yaitu rooftop. jo mengambil kunci dari kantung jaketnya, dan memasukannya ke lubang kunci. "aku tidak pernah dengar berita murid bunuh diri, tapi aku pernah dengar ada guru yang dipecat karena menghamili seorang murid. mungkin mereka orang yang sama." katanya sambil memutar kunci ke arah kanan.

harry mengangkat alisnya. "bagaimana kau tahu?" tanyanya sambil memperhatikan tangan jo. "dan bagaimana kau bisa memiliki kunci rooftop?"

"kiara yang memberitahuku," jo menarik tangannya, dan membuka pintu rooftop. sinar matahari sore langsung jatuh dan menyinari wajah jo, membuatnya sedikit menyipitkan mata karena silau. ia menoleh pada harry yang sedang memandanginya. "aku meminta kunci pada jeff, karyawan baru sekolah. kita hanya diberi waktu satu jam. so, we gotta make it fast."

harry menerjap ketika jo lebih dulu keluar. ia kemudian menyusul, dan menutup pintu di belakangnya.

"kenapa rooftop?" tanya harry menghampiri jo yang sedang memandangi jalan raya yang sudah dipenuhi oleh mobil-mobil yang akan pulang ke rumah masing-masing.

"karena tidak ada siapa-siapa di sini," jawabnya. "aku bisa berpikir jauh lebih tenang dibanding di kelas."

harry menoleh. "apa artinya yang kulihat dua hari lalu di atas sini pada jam pelajaran keempat adalah kau?"

jo mengangguk, lalu ikut menoleh. "ya, dua hari lalu aku ke sini—akan ada ulangan dadakan, dan kami diberi waktu setengah jam untuk belajar. kelasku terlalu berisik, jadi aku ke sini." dilihatnya harry mengangguk, tanda bahwa cowok itu mengerti.

keduanya terdiam, memandangi pemandangan kota london sambil ditemani angin sejuk dan matahari sore yang terik hari itu. suara-suara klakson mobil bisa jadi mengganggu, namun jo tidak mempermasalahkan itu. baginya, memperhatikan keramaian dari jauh saja sudah cukup, dan ia menyukai ketenangan.

"so," harry memecahkan keheningan.

jo menoleh sambil menarik anak rambut cokelatnya ke belakang telinga, membuat matahari yang di belakang keduanya menyinari mata biru terang miliknya. "ya?" ia mengangkat kedua alisnya.

"tentang tugas bahasa inggrismu," kata harry, dan jo tidak tahu bagaimana mengartikan raut wajah harry. cowok itu terlihat agak canggung, namun jo memilih untuk tidak membahas itu dan fokus kepada tujuan awal mereka datang kemari.

"oh, ya. tentu."

"baik, biar kutanya dulu. apa yang menjadi masalah sehingga mrs. anderson memberimu nilai rendah?" tanya harry.

"um," jo menghela napas. "ia mengatakan bahwa cerita yang kukerjakan sebenarnya bagus—ia suka caraku menulis, namun tidak ada perasaan menyentuh saat ia membacanya."

harry mengangguk-anggukkan kepala. "memangnya kau menulis apa?"

"genrenya petualangan. aku menulis tentang petualangan ketiga orang teman ke hutan amazon." jawabnya, tanpa sadar memperhatikan hidung harry yang bergerak selagi mulutnya bergerak saat berbicara.

"that's cool," komentarnya, namun jo curiga bahwa cowok ini menganggap ide tersebut remeh. "tapi apa kau sudah pernah berpetualang?"

um, apa? "tidak…kenapa?"

"ha!" harry memekik, sedikit membuat jo terkejut. "itu dia. dalam menulis sesuatu, kau memang harus memiliki pengetahuan dasar tentang apa yang akan kau tulis. itu akan membuatmu lebih mengerti tentang apa yang kau tulis. tapi dalam menulis sesuatu, kau juga harus membuat ceritamu hidup. dan menurutku, untuk melakukannya, kau harus memiliki pengalaman."

mendengar itu, jo pun terdiam dan berusaha mencerna apa yang dikatakan harry barusan. "kenapa begitu?"

"karena kau akan lebih leluasa menggambarkan apa yang karakter dalam ceritamu rasakan." jawab harry. "dan yang membaca ceritamu pun akan mengerti emosi apa yang seharusnya mereka rasakan, membuat mereka menyatu dengan karakter ceritamu, membuat karakter tersebut hidup dalam diri mereka."

benar juga.

"lalu… menurutmu aku harus pergi dalam sebuah petualangan…?" tanya jo, memiringkan kepalanya. gadis itu menautkan alis bingung, karena cowok di depannya justru tertawa.

"kau hanya dapat waktu sebulan untuk menyelesaikannya, jo. menurutmu kau akan pergi ke petualangan apa dalam kurun waktu sebulan ini?"

ah, dia benar lagi.

"dan kupikir itu alasan mengapa mrs. anderson memintamu untuk menulis romance," harry menambahkan dengan sebuah cengiran bangga di wajahnya. jo mendengus, karena ia benar-benar harus menulis romance.

"baiklah."

"kalau begitu, kau tahu apa yang harus kau lakukan—"

jo tahu apa yang akan harry katakan, maka ia buru-buru memotongnya. "aku tidak mau jadi pacarmu."

mendengar itu, harry yang semula bersemangat untuk menjelaskan pada jo, langsung diam seribu bahasa. jo memperhatikan cowok itu menerjapkan mata dan membuang wajahnya dengan raut wajah berpikir yang… bingung? entah, jo tidak tahu. jo juga tidak merasa ia baru saja mengatakan sesuatu yang salah, ia hanya mengutarakan bahwa ia tidak mau jadi pacar harry. itu saja.

"harry?"

cowok itu menerjap. "ya, ya," jo tidak tahu dan mencoba untuk tidak menanyakan apa yang terjadi padanya. ia menghela napas. "aku tidak akan benar-benar memintamu jadi pacarku, josie."

"oh," jo mengangkat alisnya. "lantas?"

harry menghela napas lagi. "hanya pura-pura. kau tahu, akting. aku akan berpura-pura, kau pun begitu. kita berpura-pura sebagai kekasih, melakukan hal-hal yang dilakukan pasangan normal pada umumnya. kau mengerti maksudku? agar kau mengerti—setidaknya sedikit—bagaimana rasanya memiliki pasangan, bukan hanya dari menonton dan membaca saja."

jo diam, mencerna penjelasan harry.

berpura-pura.

dari apa yang jo pahami, idenya tidak terlalu buruk. mereka akan berpura-pura sebagai sepasang kekasih, melakukan hal-hal menjijikkan yang dilakukan pasangan, kata-kata manis setiap hari, dan sebagainya. tapi… "kalau ketahuan bagaimana?"

"tidak akan," harry menggeleng. "hanya kita berdua yang tahu. lagipula hanya sebulan, sampai ceritamu selesai, kan?"

"ya. hanya sampai ceritaku selesai, dan tidak boleh ada yang tahu," jo menatap mata hijau harry yang ia akui, menawan. "kau janji?" cowok itu malah tersenyum.

"i am a man of my words, m'lady."

jo memutar matanya dan tertawa kecil. ia melipat tangannya di dada. "ya, sudah. kalau begitu, kapan mulai?"

"wow, santai dulu," harry terkekeh. "aku akan memberitahumu apa yang biasa pasangan normal lakukan."

"mereka berkencan."

"ya, mereka pergi kencan. tapi tidak hanya itu, mereka harus mengobrol banyak. you know, getting to know each other. and then they'd flirt," jelas harry yang menurut jo, gayanya seperti yang sudah ahli dalam urusan percintaan. "mereka juga akan berpegangan tangan, lalu saling memandangi satu sama lain karena mengagumi ciptaan Tuhan, tertawa bersama, saling mengerti, saling mengenalkan kepada keluarga masing-masing, dan… they'd kiss."

jo mengangkat alisnya. "wow, semuanya dalam satu hari kencan?"

"tentu saja tidak," kata harry yang kemudian langsung tertawa. "kau tahu, sebenarnya lebih rumit dari yang aku jelaskan barusan padamu."

"aku tahu urusan cinta itu rumit." timpal jo. memorinya kembali pada lima tahun lalu, saat ia harus menyaksikan peristiwa paling membekas di hidupnya hingga saat ini. peristiwa itu juga yang membuat jo adalah jo yang sekarang; menjadi sedikit lebih keras terhadap diri sendiri maupun orang lain.

"but it's beautiful," balas harry tidak mau kalah.

"is it?"

"yeah."

jo mengangkat sudut bibirnya. "aku tidak percaya."

"oh come on," harry tertawa, namun pandangannya tidak lepas dari jo. "miss jossette dixie, atau yang lebih suka dipanggil josie."

"ya?" balas jo menahan senyumnya, karena nada suara harry yang terdengar seperti sedang bermain-main.

"i will show you how love is beautiful."

"you will?"

harry tersenyum. "i will."

***

"apa yang kau lakukan?"

"mencari tempat."

"tempat apa?"

harry mengalihkan pandangannya dari laptop, ke kedua temannya yang sedang menikmati angin sejuk pukul satu malam, di balkon kamar harry. cedric dan matthew sedang menginap malam ini, karena sudah seperti memiliki jadwal tersendiri, tiap hari kamis malam mereka akan datang menginap dan melakukan apa yang remaja laki-laki lakukan jika berkumpul. kemudian pada jumat paginya, mereka akan berangkat sekolah bersama-sama, dan jika sedang malas, mereka bertiga akan membolos—kecuali harry yang jarang ikut.

"tidak ada," katanya, lalu memfokuskan pandangannya lagi pada laptop.

matthew menautkan alis, heran. "aneh," katanya sambil mengambil satu batang rokok dari meja, lalu meletakkannya di antara kedua bibirnya.

harry mendengar matthew, namun lebih memilih untuk mengabaikannya karena ada yang lebih penting saat ini: memilih tempat kencan bersama jo. maaf, biar kuralat. harry sedang memilih tempat kencan palsu bersama jo, namun rasanya membuat harry senang sekali. ia ingin memegang kata-kata yang ia lontarkan pada jo tadi sore, jadi kencan palsu pertama mereka tidak boleh gagal. bonusnya, jo akan terkesan pada harry.

jika memikirkan bonus, harry jadi besar rasa. ia tidak boleh memikirkan bonus yang bisa saja ia terima seiring berjalannya waktu, terutama di akhir nanti. ia harus fokus dalam membantu jo, sambil dengan kuat-kuat menahan perasaannya yang bisa saja semakin membludak. karena ia sendiri yang mengatakan bahwa semua ini adalah murni berpura-pura, untuk membantu kesuksesan jo dalam tugas bahasa inggrisnya.

"he is weird," tawa cedric yang disusul harry yang hanya memutar matanya. "bagaimana elle?"

matthew menoleh pada cedric. "kenapa elle?" tanyanya, meniup asap rokok yang langsung terbang terbawa angin.

"apakah berlanjut?" nada cedric mengejek matthew, karena ia tahu hubungan matthew dengan kekasihnya sedang berantakkan. harry melirik keduanya.

"berisik," matthew mendengus. "kau saja urusi hubunganmu dengan natasha. dasar lemah—sahabat sendiri disukai. lihat sekarang, wajahmu jelek sekali tiap natasha datang."

harry tertawa, mengingat wajah cedric yang akan memerah tiap kali emily datang bersama natasha. kemudian natasha akan menyadari hal tersebut, dan mengira cedric sedang sakit atau malah akan mengejeknya.

"hey!" pekik cedric, sebal karena senjata makan tuan.

"faktanya seperti itu," kekeh matthew. "bahkan kupikir harry jauh lebih memiliki kemajuan dibanding kau. aku melihatnya di kantin bersama jo tadi sore, lalu masuk ke tangga darurat."

mendengar itu, harry langsung menoleh pada matthew dan cedric yang kini memandanginya sambil memicingkan mata. ia menerjap, lalu membuang wajahnya ke layar laptop. sial, sial, kenapa dirinya jadi ikut terseret?

"hey, harry." panggil matthew.

"ya?" balasnya, enggan menoleh.

"apa yang kau lakukan dengan jo dixie di ruang tangga darurat?" tanya cedric, penuh dengan nada kecurigaan. tapi kemudian, ia tertawa bersama matthew. "ya ampun, semudah itu, kah?"

kalimat terakhir itu membuat harry menoleh dan matanya terbelalak. "mudah apanya?"

"her, jo," kata matthew, masih tertawa. "bagaimana rasanya?"

"rasa apa?" tanya harry yang malah disambut gelak tawa matthew dan cedric, seolah yang dikatakannya adalah lucu. harry mendengus, menebak bahwa maksud keduanya mengarah ke hal-hal yang tidak senonoh. "you two sucks."

matthew kemudian berusaha mengontrol tawanya, sementara cedric memandangi harry tidak percaya. "lantas kalian berbuat apa?"

"bukan urusanmu." jawab harry. "dan kami tidak macam-macam, oke? jadi berhenti berpikir yang tidak-tidak."

dengan itu, harry berdiri dan membawa laptopnya ke dalam kamar, meninggalkan matthew dan cedric yang entah mau mempercayainya atau tidak. ia tahu matthew dan cedric hanya bercanda, namun tetap saja menurutnya bercandaan mereka tidak pantas. mereka seolah merendahkan jo sebagai perempuan yang mudah digoda—padahal kenyataannya sangat jauh dari seperti itu, dan harry menghargainya.

harry sering kali ditanya mengapa bisa ia menyukai jo, yang padahal dengan status kepopulerannya di sekolah bisa memudahkannya untuk mendapatkan perempuan mana pun. jawabannya adalah harry tidak tahu. ia akui bisa saja seperti itu, namun jo lebih menarik di matanya.

ia merebahkan tubuhnya di atas kasur sesaat setelah mematikan laptop dan meletakannya di meja belajar. harry meraih ponselnya, dan mengetik nama josie di sana.

H - still up?

setelah menunggu beberapa menit, harry tersenyum karena rupanya jo masih terbangun.

J - yeah, just finished watching the notebook

H - my favorite :D

J - what do u want?

H - saturday, 2 pm, primrose hill. a date

butuh beberapa menit untuk harry menerima jawaban dari jo.

J - oh yeah the fake date. alright then.

fake date.

harry tidak tahu rasa sesak apa yang kini ia rasakan di dadanya, namun ia tidak suka. tidak enak sekali.

H - see u on saturday!!

read, 01.15 am.

avataravatar
Next chapter