18 Chapter 17

"the day you have everything, i hope you remember when you had nothing." - rupi kaur.

hari ini adalah hari jumat, yang berarti merupakan hari yang ditunggu-tunggu oleh para senior di everest school-prom night!

kendati setelah prom adalah ujian, mereka tetap turut mengikuti prom untuk kenangan terakhir di sekolah. bahkan murid pintar seperti jo yang akhirnya mengubah pemikirannya tentang prom, sekaligus mendapatkan teman kencan. mengenai tugas bahasa inggris, sebenarnya jo sudah selesai, namun ia meminta kepada mrs. anderson untuk memperpanjang deadline hingga hari pertama ujian, yang mana adalah hari senin depan. dengan berbaik hati, ia memberikannya.

menurutnya, ide harry menjadikannya teman kencan ke prom adalah bagus. ide tersebut dapat menjadi penutup bagi ceritanya. sebuah akhir yang bahagia dalam cerita jo, meskipun pada kenyataannya-ia dan harry tak begitu. sebesar apapun keinginannya bersama harry, cowok itu mungkin tidak merasakan hal yang sama. lagipula, ia yakin pasti ide menjadikannya teman kencan ke prom termasuk ke dalam kencan palsu mereka yang terakhir.

jo menghela napas.

kencan palsu terakhir.

"bawa aku pada kencan palsu pertama," ia melenguh, memikirkan bagaimana harry membawakannya bunga mawar putih-kini buket bunga itu sedang duduk manis di dalam vas bunga.

rasanya sedih karena waktu berlalu cepat, namun tiba-tiba perasaan gelisah menyeruak di dada. setelah kencan palsu, prom dan ujian berakhir, apalagi? hanya berhenti di sana pertemanannya? jo akan pergi ke amerika, tempat ayahnya tinggal bersama keluarganya, lalu bagaimana harry? akan ke mana dia? harry belum bercerita lagi mengenai urusan kuliahnya, atau ia sudah ada rencana tapi tidak memberitahu jo?

jo tidak ingin hubungan pertemanannya usai dengan harry begitu ia memijakkan kaki di negeri paman sam. ia ingin terus berhubungan dengannya, meskipun hanya melalui pesan, telepon atau video call. atau setidaknya sampai harry menemukan teman baru, lalu jo akan terlupakan.

pemikiran bahwa harry akan melupakannya entah mengapa terasa menyakitkan. jo tidak mau harry melupakannya. jika semesta memang tidak mendukung hubungannya dengan harry, setidaknya ia ingin jadi teman harry saja.

menghela napas, jo memejamkan matanya selama beberapa detik.

ia memandangi langit-langit di kamar. jo tersenyum pada lampu-lampu berbentuk bulan dan bintang di sana, mengingatkannya pada sang ayah. pria itu yang memasangkannya sebelum ia benar-benar pergi meninggalkan london, dan jo sangat merindukannya. namun sebentar lagi, ia akan melihatnya setiap hari.

lima menit kemudian, alarm di ponsel jo berbunyi. ya, ia bangun tiga puluh menit lebih awal dari biasanya. kini waktu menunjukkan pukul delapan pagi, jo harus cepat bergegas dan berangkat menuju rumah natasha. dari sana, ia, natasha dan emily akan menuju dan menghabiskan waktu di salon yang sudah disewa oleh natasha. jo akui, ia senang akan hal itu.

ia bangkit dari kasur dan segera mandi dengan cepat. selepas mandi, jo segera memakai bajunya, memasang lipbalm merah agar setidaknya terlihat ada kehidupan di wajahnya. tidak lupa, gelang pemberian harry untuknya. hanya membutuhkan sepuluh menit bagi jo untuk bersiap-siap, lalu tinggal memasukkan gaun miliknya yang sudah lama tidak dipakai.

jika dilihat-lihat, gaun itu sebenarnya sudah tidak terlihat seperti saat ia pertama membeli. mungkin juga, akan sangat payah jika dibandingkan dengan miliki natasha dan emily. mereka adalah orang kaya, sementara jo tidak punya cukup waktu untuk mengumpulkan uang dan membeli gaun untuk prom. tapi... siapa peduli, tidak ada yang memperhatikan juga-jo juga tidak yakin ia memenangkan angket apapun nanti.

"mom? aku harus berangkat." kata jo di depan pintu kamar ibunya, karena beliau sedang mandi bersama marianne. setelah mendapat balasan 'ya!', jo akhirnya turun melalui tangga.

masih pukul delapan lewat empat puluh menit, masih ada sisa waktu dua puluh menit untuk sampai di sana. untung sekali rumah natasha tidak terlalu jauh dari rumahnya, jo hanya tinggal menggunakan bus selama lima belas menit.

jo meraih gagang pintu untuk dibuka, namun bersamaan dengan bunyinya bel rumah. menautkan alis, jo segera membuka pintu dan menemukan seorang wanita seusia ibunya sedang berdiri di depan pintu, tersenyum memeluk dompetnya.

"selamat pagi." sapanya, dan senyumannya semakin lebar. "kau pasti jo dixie, anak mirrel?"

jo menerjap dan tersenyum. "benar. and you are...?"

"aku liz, liz barnes. jangan panggil aku dengan sebutan nyonya, oke? panggil saja liz." ujarnya, sepertinya terlalu semangat karena masih pagi. tapi jo tidak terfokus dengan itu, melainkan nama belakangnya. barnes, sudah pasti ia adalah ibunya matthew.

"okay, liz." jo mengangguk. "kau mencari ibuku?"

"ya, benar!" liz memekik. "aku ingin membayar kue-kue kemarin, lalu memesan beberapa kotak lagi untuk persiapan."

"persiapan?" jo menautkan alisnya.

liz mengangguk. "ya, kami akan pergi ke los angeles dan new yok selama musim panas nanti, dan aku pikir kami tidak bisa hidup tanpa kue buatan ibumu," ia sedikit melebih-lebihkan, tapi jo tidak menyalahkannya. "jadi kami akan memesan sedikit banyak toples kue. bagaimana? menurutmu mirrel bisa membuatnya?"

"ya, kurasa ibuku bisa membuatnya untukmu, liz. nanti akan kukabari ibuku, ia sedang mandi dan aku sedang akan keluar." kata jo, melirik jam di ponselnya.

"ah, prom hari ini!" lagi, ia memekik. "matthew tidak terlalu senang, entah apa yang terjadi dengan anak itu. ya, sudah. aku tidak mau menahanmu lebih lama lagi. berdandan yang cantik, josephine. buat semua pria dimabuk cinta karenamu!"

okay, but who the hell is josephine?

jo hanya melemparkan senyum canggung kepada liz saat ia berjalan keluar pagar rumah, menuju mobilnya yang ternyata terparkir di sana sejak tadi. begitu ia masuk dan mobil melaju, jo baru bisa menutup pintu dan segera berangkat.

sesuai perkiraan, jo berada di jalan selama lima belas menit dan sisanya ia berjalan memasuki kompleks perumahan natasha. rumahnya tidak terlalu jauh dari gerbang utama, dan di depannya juga terdapat mobil audi berwarna putih milik emily karena gadis itu selalu on-time.

rumah natasha tidak sebesar milik harry, tapi setidaknya, ada kemiripan di antara mereka, banyak tanaman hijau yang membuat rumahnya jadi terlihat sejuk untuk dipandang. sesampainya di sana, ternyata ia berbarengan dengan emily yang baru saja turun dari mobil. jadi tanpa berlama-lama, mereka menghubungi natasha agar keluar dari rumah dan langsung menuju salon.

di jalan, mereka sedang heboh membicarakan perawatan yang akan mereka dapatkan selama seharian penuh. tiba-tiba, ponsel jo bergetar dan menunjukkan notifikasi harry yang mengiriminya pesan.

harryyy

jo

aku tahu sekarang adalah waktumu bersama natasha dan emily

just wanna say

have fun! i'll meet you later this evening x

ps. can't wait!!

tadinya, jo ingin membalas pesan harry, namun ia dan kedua teman barunya berjanji untuk tidak membalas pesan cowok-cowok-setidaknya sampai sore nanti, setelah seluruh perawatan yang dilakukan telah selesai.

setengah jam berikutnya, mereka sampai di salon pilihan natasha. emily bilang, natasha pintar memilih tempat untuk melakukan perawatan, jadi tidak perlu khawatir kalau hasilnya tidak seenak yang dijanjikan. setelah natasha selesai berbincang kepada resepsionis, mereka akhirnya dituntun untuk menuju ruang perawatan.

yang pertama adalah perawatan tubuh, yaitu spa dan lulur. jo pernah menemani ibunya melakukan hal semacam ini dulu, ia juga teringat bagaimana membosankannya menunggu ibunya-namun kini jo mengerti mengapa ibunya senang sekali datang ke salon. tubuhnya terasa lebih ringan, dan kulitnya terasa lebih bersih dari sebelumnya.

selanjutnya adalah perawatan wajah. di sini, jo belajar cara merawat wajahnya dengan benar karena ternyata, selama ini ia melakukan kesalahan yang tidak sedikit. ia juga jadi mengerti bahwa tipe kulitnya normal to dry, yang mana membuatnya juga mengerti perawatan kulit seperti apa yang cocok untuknya agar lebih sehat lagi.

kemudian perawatan kuku, yang dibarengi dengan perawatan rambut. ketika selesai, jo tadinya enggan untuk memakai cat kuku, tapi natasha memaksa dengan alasan mereka harus tampil maksimal di prom. jadi sekarang, jo sedang melihat buku koleksi salon, memilih nail art yang ia akan pakai-dan pilihannya jatuh kepada warna putih.

setelah menghabiskan beberapa jam untuk perawatan kuku dan nail art, tiba saatnya untuk memakai gaun masing-masing. kini pukul tiga, dan dua jam lagi mereka harus sudah selesai.

kini, mereka berada di ruang ganti. jo hanya duduk di sofa, memperhatikan natasha dan emily yang sedang berkaca sebelum menggunakannya. mereka tampak bahagia, namun justru membuat jo berkecil hati karena gaun yang akan mereka kenakan sangat cantik.

"ah, andai jo saja yang ikut pergi kemarin." celetuk emily, berbalik badan untuk melihat jo.

"pergi? ke mana?" jo menautkan kedua alisnya. dilihatnya natasha memberi pandangan kepada emily, lalu tersenyum pada jo.

"well," natasha menghela napas, kemudian berjalan menuju box putih yang baru jo sadari kalau jumlahnya ada tiga. jo menerjap. dua box paling atas adalah box yang keduanya buka untuk mengambil gaun milik mereka. box yang ketiga sebaiknya bukan apa yang jo pikirkan, atau ia tidak akan bisa membalas budi pada natasha. ia sudah terlalu baik membayar bill salon untuknya. "kemarin, kami pergi ke andrea and leo couture untuk membeli gaun."

jo diam, memperhatikan natasha yang kini berjalan ke arahnya dengan membawa box tersebut.

"kami-maksudnya adalah aku, emily dan harry." lanjutnya.

mendengar itu, jo mengerutkan keningnya. harry ikut membeli gaun? "harry?"

"ya, harry!" seru emily, tersenyum lebar. "tadinya kami ingin mengajakmu, tapi harry bilang pada kami-jangan! ajak aku saja!" emily meniru cara harry yang lamban, membuat jo terkekeh. "kami tidak bertanya, karena kami tahu apa yang ia lakukan di sana."

"...apa?" entah untuk alasan apa, jantung jo berdegup kencang.

"ia membelikanmu gaun prom, jo." kata natasha sembari meletakkan box tersebut di pangkuannya. di sana tertulis andrea & leo couture dan sebuah pita berwarna putih. jo terdiam, ragu untuk membuka box tersebut.

"buka saja." ucap emily.

"pilihan harry tidak mengecewakan." natasha menambahkan.

jo menarik napas, kemudian menghelanya pelan. kedua tangannya bergerak memegang tutup box, lalu membukanya secara perlahan.

begitu terbuka, mulut jo terbuka namun ia segera menutupnya dengan kedua tangannya. tentu saja ia terkejut, gaun tersebut sangat cantik. lengannya render, bahannya begitu halus, jahitannya yang sempurna serta warnanya yang jo sukai. jo bisa memastikan ia tidak akan mau melepaskan gaun ini meskipun acaranya sudah berakhir. kemudian, sepatu heels dan tas kecil yang cantik juga berada di sana sebagai pelengkap gaunnya.

cantik. jo menggigit bibirnya, namun tidak kuasa untuk menahan cengiran lebarnya. ia mengambil gaun itu dan berdiri, membawanya ke kaca dan meletakkan gaun tersebut di depan tubuhnya. mata jo berbinar melihat pantulannya di cermin, ia mungkin jatuh cinta pada gaun pemberian harry.

ia tidak tahu berapa harga gaun ini, entah harry menggunakan uangnya sendiri atau bagaimana, jo tidak tahu. ia juga tidak tahu bagaimana berterima kasih pada harry nanti, karena harry pantas mendapatkan lebih dari sekedar terima kasih.

natasha dan emily muncul di belakangnya, lalu mengambil rambut jo dan menaikkannya ke atas. "you like your hair up, or down?" tanya emily, memandang jo yang masih menatap dirinya.

"i like it better down," ia memiringkan kepala, lalu menggeleng. "but i'll wear it up for tonight."

natasha dan emily saling bertukar pandang sebelum akhirnya tersenyum pada jo.

dua jam berikutnya dihabiskan dengan menata rambut dan riasan wajah. lagi, jo belajar cara menggunakan riasan wajah dengan benar, sesuai dengan warna kulitnya, dan menggunakan teknik agar makeupnya lebih baik dari sebelumnya. banyak hal yang belum jo ketahui, atau selama ini dilakukannya dengan salah. begitu juga dengan natasha dan emily.

makeup yang jo pakai hari itu tidak terlalu bold, namun cocok untuk penampilannya malam ini. jo juga membiarkan rambutnya ditata dan dikepang oleh penata rambut handal di salon itu. sesekali, emily menggoda jo dengan mengatakan harry pasti akan terpesona dengannya. jo hanya tertawa saat natasha ikut menambahkan, namun secara diam-diam, berharap itu akan terjadi.

jo menyemprotkan parfum ke tangan, lalu menggosoknya dengan tangan satunya. dengan itu, maka jo sudah selesai.

"wow, jo, look at you." natasha menghampirinya di cermin, lalu tersenyum pada pantulan jo. gadis itu baru saja selesai dengan riasannya, kini bergabung dengan jo di cermin sementara emily masih mengurusi riasan rambutnya. "stunning."

"says you." jo menoleh, lalu keduanya tertawa kecil. "cedric tidak salah pilih teman kencan."

natasha memutar mata, tapi bibirnya menyunggingkan sebuah senyuman manis. "jangan beritahu cedric, tapi aku sudah menunggunya bertanya padaku sejak sebulan lalu."

jo mengangkat alisnya, sudah kuduga. "kenapa tidak kau saja yang bertanya duluan?"

"gengsi, jo," kata natasha, kemudian menghadap cermin sembari merapihkan sedikit rambutnya. "aku menjunjung tinggi rasa gengsiku."

"kenapa begitu?" tanya jo, tersenyum kecil.

"entah. tapi yang jelas, aku tidak suka mengejar."

"ya ampun, lihat kalian berdua!" emily memekik, membuat jo dan natasha menoleh. ia sudah selesai ternyata, berlari-lari kecil mengambil kamera dari tasnya, kemudian menghampiri keduanya. "kita harus mengabadikan momen ini."

seolah kata-katanya adalah sebuah komando, jo dan natasha langsung berpose bersama emily. selama menunggu limosin datang, mereka menghabiskan sepuluh menit berfoto.

mereka belum berada di acara, namun jo sudah bersenang-senang. ia tidak bisa membayangkan apa jadinya jika ia tidak mengubah pikirannya untuk datang ke prom. dirinya akan berada di kamar, berkutat dengan buku-buku karena sebentar lagi adalah finals. namun memang sepertinya, bersenang-senang semalam sebelum ujian sangat dibutuhkan-mengingat selama ini jo juga sudah menghabiskan waktunya belajar.

setengah enam kurang, limosin sudah sampai di depan salon. ketiganya kemudian bergegas keluar, melangkah masuk ke dalam limosin yang sudah disewa oleh natasha.

di dalam mobil, ketiganya kembali berfoto. well, tidak bisa disalahkan karena momen ini tidak akan terjadi lagi. di kehidupan kuliah nanti, sudah akan beda lagi tentunya. jo bersyukur karena saat-saat terakhirnya sekolah, ia mendapat teman-teman yang baik, meskipun baru dirasakannya sebulan terakhir ini.

dan tentunya, jo bersyukur untuk harry.

cowok itu bagaikan malaikat yang datang ke kehidupannya, memberi kenangan-kenangan manis yang tidak akan jo lupakan untuk selamanya. jo berharap pertemanannya dengan harry tidak berakhir, dan berlanjut hingga keduanya memiliki keluarga.

atau mereka saja yang berkeluarga, sehingga jo bisa menceritakan bagaimana harry membuat hidupnya lebih berwarna.

jo menahan senyumnya, dalam hati mengejek dirinya sendiri karena khayalan yang tidak mungkin. tapi kemudian, ia menerjap karena gedung sekolah yang sudah terlihat. tiba-tiba, jantungnya berdebar.

jo sudah biasa melihat harry menggunakan jas berwarna biru dengan logo everest school, namun harry mengenakan tuxedo?

"ayo, jo."

menoleh, ia melihat natasha dan emily yang sudah bersiap untuk turun. selagi mobil masuk melalui gerbang, jo melihat semua mata menoleh. jujur saja, itu membuat jo sedikit lebih gugup dari sebelumnya. akan ada banyak orang yang melihat dan memperhatikannya ketika ia turun, dan itu berarti jo harus menahan rasa mual setidaknya sampai ia bertemu harry.

begitu sampai di pintu aula, kunci pintu mobil terbuka dan natasha berbicara sebentar pada sang supir sementara emily merapihkan rambutnya. dari apa yang jo lihat, mereka tampaknya sudah terbiasa dengan perhatian yang mereka dapatkan. mereka tidak terlihat gugup sama sekali, padahal di luar sudah banyak sekali orang dan seorang panitia dokumentasi yang akan memotret begitu mereka melangkahkan kaki keluar dari mobil.

tak lama setelah mereka selesai berbicara, supir tersebut keluar dari mobil dan menuju pintu di sampingnya. "kau oke?" emily bersuara.

jo mengangguk.

detik berikutnya, pintu terbuka dan suara musik yang berdentum kencang mulai terdengar. posisi duduk ini mendadak jo sesali, karena ini membuat jo harus turun pertama kali.

jo menghela napas, kemudian melangkahkan kakinya dan keluar dari mobil. sesuai ekspetasinya, banyak mata yang memandang. jo tidak bisa mengartikan pandangan itu, jadi ia hanya menundukkan kepala dan berjalan pelan ke arah pintu. ia mengabaikan kamera yang menangkap gambar wajahnya, lalu beralih untuk mengambil foto natasha, dan yang terakhir emily.

ketika sudah berada di dalam, jo dapat bernapas sedikit lebih lega. di dalam sini, orang-orang sedang mengurusi urusannya sendiri, mengobrol dengan teman atau pasangannya, atau panitia yang sibuk berkeliling.

"jo!" ia menoleh pada sumber suara-cedric. "di mana natasha?"

"masih di luar." jawabnya.

cedric tersenyum. "baiklah, aku akan keluar. omong-omong, kau cantik. harry sudah menunggumu." ujarnya membuat pipi jo sedikit memanas. jo tersenyum dan mengangguk semangat, seolah teringat salah satu alasan mengapa ia mengikuti prom.

setelah itu, cedric pergi meninggalkannya sendiri, menghampiri natasha dan emily di luar. matanya tertuju pada dekorasi prom yang luar biasa. aula yang biasanya digunakan untuk bermain basket, berkumpul oleh seluruh angkatan dan semacamnya, sudah disulap menjadi tempat berdansa.

lampu-lampu cantik yang panjang dan bergantung dari langit-langit aula yang paling menarik perhatiannya. ia memiliki ketertarikan sendiri dengan lampu-lampu indah, mungkin ia harus mendekorasi calon kamar barunya seperti ini nanti.

"enjoying the view?"

harry.

jo menoleh cepat, menemukan harry sedang berjalan ke arahnya dengan sebuah senyuman yang memamerkan lesung pipinya. sial, harry tampan sekali dengan tuxedo yang dikenakannya, rambut model quiffnya yang terlihat lebih rapih dari biasanya, dan wangi parfum tobacco vanille tom ford yang sudah tercium di hidungnya dari kejauhan, serta entah mengapa... harry terlihat berbeda mala mini.

oh, honey, you are the view. "yes, i am."

harry terkekeh. begitu ia sudah dekat, matanya menatap jo dari ujung rambut, hingga ke bawah. bukan tatapan menilai yang ia dapatkan, melainkan matanya berbinar karena kagum. harry tidak mengatakan sepatah kata pun, namun jo jadi tersipu karenanya. ia bisa merasakan pipinya yang memanas, mendadak gugup karena harry tidak mau mengalihkan pandangannya.

"kau memakainya." kata harry.

"apa?" jo menengadah untuk melihat harry.

"gelangnya," harry meraih dan membawa tangan jo hingga ke depan bibir, lalu menatap jo sambil tersenyum. "and that makes you look even more beautiful tonight, jo."

jo kemudian merasakan sesuatu yang aneh di perutnya saat kulit jari-jarinya bersentuhan dengan bibir harry. cowok itu mengecupnya dengan lembut sembari menatapnya. ia menelan ludah, tertawa canggung untuk menutupi kecanggungannya.

"aku tidak bercanda," harry membuka lengannya agar jo mengaitkan tangan di sana. dan setelah ia melakukannya, keduanya berjalan menyusuri aula. "your beauty is eternity, jo."

jo menoleh, melihat rahang harry yang terlihat begitu tajam. apa ia menggunakan makeup juga? jo menerjapkan matanya. "why-thank you."

"punch?" harry mengambil dua gelas ketika jo mengangguk. "tidak ingin ada alkohol di dalamnya, kan?"

"tidak." ia menggeleng, kemudian meneguk gelasnya.

"freddie menyelipkan alkohol," harry tertawa kecil. ia menoleh pada jo yang masih memandanginya. "ia menawariku, tapi aku bilang tidak mau. lalu setelahnya aku bertemu claire, ia memintaku untuk jadi pasangan kencannya lagi."

"oh ya?" jo mengangkat kedua alisnya.

"ya, padahal sudah kubilang aku sedang menunggumu. kau tidak marah, kan?" tanya harry pada jo.

ia tersenyum dan menggeleng. "tidak. untuk apa."

"hm, berarti kau bukan tipe pencemburu?" harry menautkan kedua alisnya, lalu memanyunkan bibirnya seolah sedang berpikir.

"eh... tidak tahu." kini, jo menggeleng. "memangnya kenapa?"

"tidak apa-apa," harry menyengir, tapi kemudian matanya menyipit "tapi kau yakin, kalau aku menerima ajakan claire, lalu menjemputnya di rumah, dan berdansa dengannya di tengah sana-kau tidak cemburu?"

jo terdiam, menatap harry lumayan hingga akhirnya membuang wajah. ia meneguk gelasnya sedikit. kenapa pula harry jadi bertanya seperti itu? atau jangan-jangan ia berubah pikiran, ya? ia menyesal karena mengajak jo daripada claire? karena claire mungkin terlihat sangat cantik dan jo tidak?

ia tidak menjawab, hanya menggeleng sebagai gantinya. tapi tentu saja jawaban itu tidak cukup, jadi harry yang bersuara. "karena kau menggemaskan sekali saat itu."

dengan cepat, jo menoleh. "apa?"

"tidak ada." kini harry yang membuang wajahnya, namun dari raut wajahnya terlihat sekali ia sedang menggoda jo.

"kau ini bicara apa?" jo memaksakan sebuah tawa yang sebenarnya, membuat jo ingin muntah. "jangan-jangan kau sudah minum alkohol dari freddie, ya?"

harry tertawa, melingkarkan tangannya pada pinggang jo sehingga tidak ada lagi jarak di antara keduanya. ia menoleh dan tersenyum. "tidak, mungkin belum. tapi aku tidak ingin melupakan malam ini bersamamu keesokan harinya."

"tidak kalau hanya sedikit." kata jo.

"itu artinya aku boleh minum?" mata harry menyipit.

"ya... boleh," jo tergelak. "kenapa harus izin padaku?"

ia lagi-lagi tersenyum, apa pipinya tidak pegal? "tidak juga."

"kau senyum terus malam ini. something make you extremely happy tonight?" tanya jo, tersenyum miring dan berusaha mengabaikan fakta bahwa jarak wajahnya dan harry begitu dekat saat ini.

"not something, someone," harry mengoreksi. "and, yes."

"apa, karena claire mengajakmu berdansa lagi?" tanya kini keduanya berhadapan, masih tidak ada jarak di antara mereka.

harry mendengus, mengambil gelas jo lalu meletakkannya di atas meja, begitu juga dengan gelasnya sendiri. "tidak," kedua tangan harry mendarat di pinggangnya. "karena kau."

lagi, jo tersipu malu. "kenapa aku?"

"hm," harry memasang wajah seolah berpikir. "tidak ada alasan yang spesifik. sederhana. kau."

"tapi harusnya ada alasan." jo menahan senyumnya, membalas tatapan harry yang mulai memabukkan. ia heran namun di waktu yang sama, ia menyukai bagiamana fokusnya hanya tertuju pada harry, dan sisanya seperti blur. seperti di ruangan sebesar ini, harry adalah yang paling menarik hatinya.

"tidak ada, josie." harry melirik tangan jo yang kini berada di dada harry, entah kapan ia berani meletakkannya di sana. "faktanya, tidak hanya malam ini saja."

"lalu?"

"dari hari pertama kau menerima bantuanku," ujar harry, tidak melepas pandangannya sedikit pun dari jo. "dan kupikir, aku ingin kau-"

"hey, love birds!" suara emily. keduanya menoleh, melihat emily dan entah kenapa jadi terkejut sendiri, lantas melepas tangannya dari harry-begitu juga harry yang menarik lengannya dari pinggang jo. "maaf mengganggu," ia menyengir. "tapi apa kalian tidak ingin berfoto di photobooth? natasha dan cedric sudah foto, aku-well, walaupun sendiri-sudah juga. tinggal kalian, lalu para gadis, dan yang terakhir kita semua."

kening harry mengerut. "apa itu artinya matthew sudah datang?"

emily menghela napas, kemudian menggeleng. "belum. tidak ada kabar."

"hah. aneh. kemana anak itu?"

dengan itu, ketiganya berjalan menuju photobooth. sudah ada natasha dan cedric di sana, sedang mengobrol dengan fotografer yang baru saja menunjukkan hasil foto mereka sebelumnya.

"ah, itu mereka!" pekik natasha.

"ayo, cepat. setelah ini para gadis yang sudah melakukan perawatan seharian, lalu kita semua." ujar cedric, melirik antrian panjang di belakang sana.

harry mengangguk, membawa tangan jo ke depan kamera. ia jadi gugup lagi, tidak tahu harus bagaimana saat sang fotografer sudah berdiri lagi di tempatnya.

"aku tidak bisa bergaya." gumam jo, menengadah untuk melihat harry.

"jo, kalau kau tidak suka belajar, aku yakin kau akan tertarik menjadi model." harry terkekeh sendiri dengan ucapannya, lalu membuat jo menghadap kamera dan melingkarkan tangan di pinggangnya. "lihat saja ke kamera, lalu tersenyum."

menghela napas, jo mengangguk, tapi langsung terkejut begitu merasakan cahaya kamera. ia menoleh cepat, panik ketika menyadari foto sudah diambil sebelum ia siap. "uh, aku belum siap."

"ingin ulang?" tanya alex, yang ternyata merupakan adik kelas jo-fotografer di photobooth ini.

"ya!" seru jo. ia merasakan harry yang menoleh dan tertawa pelan, tapi ia berusaha mengabaikannya dengan menghela napas untuk menenangkan dirinya sendiri. ia tahu natasha, emily dan cedric menertawakannya saat ini.

setelah beberapa saat, jo sudah kembali tenang dan berusaha untuk tersenyum pada kamera. "baiklah. satu, dua, tiga!"

dan akhirnya, foto diambil oleh alex sang fotografer. jo menghela napas lega karena sudah berakhir, sementara harry langsung berlari menghampiri alex untuk melihat hasil fotonya. saat ketiga temannya memasuki tempat untuk berfoto, harry mengatakan sesuatu pada alex yang entah apa itu. alex tampak tersenyum menggoda harry, dan yang digoda hanya tertawa.

"he's cute, i know," kata emily, tiba-tiba dan membuat jo menoleh. ia menerjap. "tapi aku tidak suka harry, kok. ia sudah seperti saudara laki-lakiku yang tidak pernah pulang."

oh, terlalu banyak informasi, namun jo hanya tersenyum.

"kalian berdua cocok." ia bersuara lagi, kali ini berbisik.

"cocok apanya?"

"menjadi pasangan." emily tersenyum.

menghela napas lagi, jo terkekeh. "ya, malam yang cocok untuk bermimpi."

***

avataravatar
Next chapter