17 Chapter 16

"i'm unsure about a lot of things, but never you."

- perry poetry.

jo tidak tahu apakah ketidakhadiran mrs. king adalah sesuatu yang patut disyukuri atau tidak. seharusnya, ia datang dan mengadakan kuis sebagai penambah nilai bahasa prancis, namun sekitar dua puluh menit setelah bel, staf dari tata usaha datang untuk mengatakan mrs. king tidak bisa hadir karena anaknya masuk rumah sakit. guru itu juga tidak memberikan tugas pengganti, murid-murid dibiarkan bebas begitu saja—asalkan tidak mengganggu aktifitas belajar di kelas lain.

setelah keluar dari kelas, banyak yang berhamburan ke kantin, ke lapangan, ke aula untuk membantu dekorasi prom—yang omong-omong akan dilaksanakan hari jumat, berarti tiga hari lagi. sementara jo melangkahkan kakinya menuju rooftop sekolah.

membicarakan prom, kemarin, ia lagi-lagi mendengar claire dengan rencananya yang akan mengajak harry hari ini. bagaimana tidak, jo memang sial karena dirinya memiliki banyak kelas yang sama dengan claire, sehingga akhirnya jo harus terus menerus mendengarkan jo membicarakan harry.

harry ini, harry itu. jo ingin sekali claire menutup mulutnya. ia berisik, belum lagi teman-temannya yang memanasi claire agar semakin berapi-api. alhasil, nyaris seluruh kelas mengetahui dan mendukungnya.

hal ini membuatnya jadi teringat akan janji harry yang akan mengajaknya ke prom. cowok itu tidak membicarakan apa-apa soal prom, apalagi mengajaknya ke sana. mungkin ia tidak akan mengiyakan claire, namun juga mengubah pikirannya tentang jo. kecewa? tidak. jo ingat bahwa ia tidak boleh terlalu berharap, namun dengan percaya dirinya dia mencari contoh gaun yang digunakan untuk prom.

jo menertawai dirinya sendiri. natasha membuat grup khusus untuk mereka bertiga, lalu membicarakan gaun-gaun untuk prom, jenis makeup—soft atau bold? jo sesekali menimpali saat emily mengirim contoh gambar, dan saat mereka berencana untuk menyewa salon seharian pada hari jumat pagi hingga siang nanti. karena ketiganya belum memiliki kencan ke prom, natasha sampai ingin meminta bantuan pamannya untuk diperbolehkan meminjam limosin di perusahaannya—dan diizinkan.

tapi sepertinya tidak akan jadi. ia tahu dari harry bahwa cedric akan bertanya pada natasha sore ini, di rumahnya. cedric memiliki rencana yang hanya diketahui oleh dirinya sendiri, dan tidak memberitahu yang lain. sementara emily, ia akan datang sendiri dengan adanya pasangan atau tidak.

lucky natasha.

poor jo.

jo menggeleng-geleng. awalnya ia tidak ingin pergi ke prom, namun karena natasha dan emily, ia mengubah pikirannya. mengingat harry yang belum mengatakan apa-apa, ia mungkin akan seperti emily dan jo sama sekali tidak masalah.

pukul dua belas kurang, bel makan siang berbunyi nyaring ke seluruh penjuru ruangan di sekolah, tidak terkecuali rooftop. jadi dengan cepat, jo menutup buku dan bergegas menuju kantin. ia sudah janji untuk duduk dan makan siang bersamanya, serta teman-temannya yang lain.

sesampainya di pintu masuk kantin, jo tidak langsung menemukan harry, melainkan natasha dan emily yang memanggil namanya untuk ikut mengantri.

"kau dari mana?" tanya emily.

"rooftop." jawab jo.

"apa itu seperti... spot favoritmu di sekolah?" emily menoleh sekilas, kemudian mengambil tiga nampan dan membagikannya pada jo dan natasha.

"kurang lebih seperti itu," jo mengangguk. "terima kasih."

"aku suka ke sana saat masih jadi junior," timpal natasha.

jo dan emily menoleh. "oh, ya? untuk apa?"

"kalian ingat timothee? cowok yang pindah di tahun kedua sekolah?" ia malah balik bertanya, namun jo mengangguk. timothee adalah cowok asal amerika yang bersekolah satu tahun di everest school, tapi kemudian pindah karena alasan politik yang jo tidak ketahui. "dulu hari senin, tiap habis jam makan siang adalah pelajaran olahraga di kelasnya. lalu aku suka izin ke toilet dan pergi ke rooftop untuk melihatnya selama lima belas menit." jelas natasha.

"serius???" emily terlihat terkejut. jo baru teringat bahwa keduanya berteman sejak awal sekolah dimulai, dan mungkin agak mengejutkan bagi emily karena baru mendengarnya. "kau tidak memberitahuku!" ia memekik.

natasha hanya tertawa, melirik orang-orang di sekitarnya yang memberi tatapan terganggu. "just a little crush." ucap natasha, mengangkat nampan agar mr. rodrick dapat memberikan mashed potato ke piringnya.

"tapi dia pindah di tahun kedua," ucap emily saat tiba gilirannya diberikan mashed potato. "pantas saja saat itu kau sedih sekali saat timothee mengumumkan kepindahannya."

"memang sedih. aku tidak pernah berani berbicara dengannya."

jo hanya menyimak mereka berdua, karena ia sendiri tidak tahu apa yang harus dikatakan selain sesekali tertawa. kebanyakan yang mereka bicarakan memang hal-hal di luar sekolah, mereka tidak terlalu senang bergossip. namun jika sudah menyangkut orang-orang di sekolah, jo hanya tahu beberapa.

setelah mr. rodrick memberikan makanan dan minumannya, ia menghampiri natasha dan emily yang menunggunya sambil bercanda. baru akan membuka mulut akan sesuatu, tiba-tiba matthew datang.

"sesuatu akan terjadi." kata matthew, disusul cedric yang muncul di belakangnya. wajah mereka terlihat aneh—seperti panik karena 'sesuatu' akan terjadi, namun juga ingin tertawa seolah 'sesuatu' tersebut adalah lucu.

"ada apa??" tanya natasha, memandangi kedua temannya dengan bingung.

"itu, tadi di meja—" matthew baru akan benar-benar menjawab, namun malah tergantikan dengan tawanya bersama cedric. hal ini tentu saja membuat mereka, terutama jo, bingung. firasat jo mengatakan ini ada hubungannya dengan harry, karena kini cedric memegang pundaknya.

"tapi kau tidak perlu khawatir, oke? harry adalah tipe yang setia." katanya, kemudian tersenyum seolah ingin meyakinkan.

"maksudmu?" jo menautkan alisnya, tapi detik berikutnya, jo sudah tidak membutuhkan jawaban dari cedric. karena pasalnya, jo menemukan harry sedang duduk bersama claire.

jo menelan ludah, merasakan sesak di dadanya seolah udara di sekitarnya menipis. ia mendengar teman-temannya membicarakan claire, kemudian disusul oleh orang-orang di sekitar mereka yang jadi ikut meramaikan. bukan hanya satu kelas lagi yang mengetahui rencana claire, namun satu angkatan—bahkan mungkin satu sekolah pun tahu.

mereka sedang mengobrol. claire tampak begitu semangat, berapi-api dan penuh dengan cengiran, sementara harry hanya memasang tampang datar dan sesekali tersenyum untuk menunjukkan ketertarikkan.

dalam waktu singkat, seluruh perhatian menuju kepada claire dan harry. entah apa yang mereka bicarakan, jo tidak terlalu peduli. tidak ada dari teman-temannya yang memberanikan diri untuk ke sana, mereka hanya berdiri dan menonton, begitu juga jo. bedanya, mereka terlihat santai dan jo sangat gelisah sehingga kakinya bergerak tidak nyaman.

"menurutmu harry menerima claire?" tanya seorang gadis yang merupakan adik kelasnya.

"tentu saja! aku juga telah memberikan vote pada mereka agar jadi king dan queen prom." balas temannya.

ah, satu hal yang jo lupakan tentang prom. terdapat kategori king of prom, queen of prom, best dressed, best couple, best student, dan lain-lainnya sebagai kenang-kenangan terakhir sebagai murid tingkat akhir di everest school. itu semua diurus oleh para adik kelas—mereka agak payah sebenarnya, karena untuk dekorasi saja angkatannya tetap harus turun tangan.

tapi itu tidak penting, yang membuatnya sedikit terkejut adalah harry masuk ke dalam daftar calon king of prom, sementara claire sebagai queen of prom. harry mungkin menolak claire, tapi membayangkan keduanya berdiri di panggung sebagai king dan queen of prom... membuat udara semakin tipis dan panas.

mereka masih saja mengobrol dengan asyik. sudah lebih dari lima menit, entah apa yang dibicarakan dan kenapa harry betah sekali di sana?! mungkin ia mendengarkan perkataan claire dan mengubah pikirannya secepat itu.

sebuah tangan melingkar di bahunya, dan tangan tersebut adalah milik emily. jo menoleh. "jangan khawatir. harry tidak suka dengan claire." kata emily, menambahkan senyum di akhir kalimatnya.

"aku tidak khawatir," jo tersenyum—kecut.

"wajahmu mengatakan hal lain." tahu-tahu, natasha sudah berdiri di sampingnya, namun matanya mengarah pada claire yang duduknya semakin dekat dengan harry. gatal sekali.

"kalau dia mau, aku tidak masalah." ucap jo yang tentunya sebuah kebohongan. sudah tidak terhitung berapa kali jo berbohong soal perasaannya.

ia dapat merasakan emily dan natasha saling berpandangan, lalu melihat padanya sebelum akhirnya mendengar sesuatu yang terjatuh dari lantai atas. seperti semua orang yang ada di kantin, jo menoleh cepat.

bukan sesuatu yang jatuh dari lantai atas, melainkan sebuah spanduk berukuran besar yang digantung dan dibuka dari lantai atas berkat bantuan teman-teman claire. isinya... sebuah kalimat yang ditujukan oleh claire, kepada harry. di sana tertulis, "dear harry, be my prom date and i will give you the best night you won't ever forget." serta gambar-gambar dan pernak-pernik sebagai tambahan.

semua yang ada di ruangan terkejut, termasuk petugas kantin dan cleaning service yang kebetulan ada di sana. tidak terkecuali harry, ia sama terkejutnya, melihat betapa niatnya claire.

"kasihan claire." emily menggumam, namun jo dapat mendengarnya.

mereka bertepuk tangan, bersorak dan berteriak agar harry menerima ajakkan claire. kompak sekali, seolah sudah direncanakan besar-besaran sebelumnya. mereka semua, namun tentu saja kecuali teman-teman harry dan jo. "terima! terima! terima!" dan ini membuat claire semakin besar kepala.

matthew dan cedric terlihat menahan tawanya, sementara emily dan natasha hanya menonton saja.

begitu sorakkan dan teriakkan menjadi tenang, claire mengambil kedua tangan harry, lalu menatapnya lurus. sangat hening hingga jo dapat mendengar claire meskipun kecil.

"jadi, bagaimana? kau mau pergi ke prom denganku, kan?" tanya claire. cengirannya lebar, ia sudah percaya diri sekali harry akan mengiyakan. tapi detik berikutnya, raut wajah claire mengalami perubahan yang sangat amat signifikan karena respon yang ia terima dari harry.

cowok itu menggeleng. "claire, aku akui kalau usahamu keren sekali. tapi aku minta maaf, aku tidak bisa."

semua orang yang tidak mengetahui ini akan terjadi, terkesiap.

claire menerjap, ia terlihat tidak terima. "b-but why?" matanya berkaca-kaca karena menahan malu.

"aku sudah punya kencan ke prom." jawaban harry mengejutkan semua orang, termasuk jo. ia tidak tahu harry sudah punya kencan ke prom, itukah mengapa harry tidak juga membicarakan hal itu dengannya? siapa yang jadi kencannya ke prom?

"aku tidak percaya." rahang claire mengerang, menatap harry tidak terima—namun tentunya tetap meminta harry agar jadi kencannya. "kalau kau sudah punya kencan ke prom, harusnya berita itu sudah terdengar oleh satu sekolah."

"mungkin karena tidak semuanya harus diketahui orang-orang...?" nadanya lebih seperti bertanya.

claire mendengus. "who's the girl?"

"bukan urusanmu." harry berdiri, padahal makanannya masih penuh dan belum tersentuh sama sekali.

"harry—" belum selesai claire berbicara, harry beranjak meninggalkannya serta orang-orang yang terkejut karena penolakannya.

seolah bertemu emas di antara berlian, hijau emerald milik harry bertemu dengan biru langit indah milik jo. sebuah senyuman terlukis di wajah harry membuat jo mendadak gugup bukan main. ia merasakan tangan emily pergi dari bahunya selagi harry jalan mendekat, mengabaikan orang-orang yang memperhatikannya.

saat ia sudah berada di hadapannya, harry mengambil nampan milik jo dan meletakkannya di sembarang meja yang ada di dekatnya. kemudian ia kembali menghadap jo.

"aku tahu kau benci jadi pusat perhatian, ikut aku?" tanya harry, meraih tangan jo yang bergetar.

ia melirik seluruh mata yang memandanginya dan harry, terutama claire. gadis itu mungkin menjadi lebih emosi saat mengetahui gadis yang harry maksud adalah dirinya. beberapa hari lalu, ia menghina jo dan kini, seolah karma menamparnya tepat di wajah. jo balas menatap harry.

"ke mana?"

"basecamp."

menautkan kedua alis, jo hanya mengangguk dan mengikuti harry yang telah berjalan lebih dulu, meninggalkan teman-temannya di sana.

langkah harry begitu cepat, agak sulit bagi jo untuk mengikutinya namun ia tetap mencoba. mereka melalui kantor guru, kantor kepala sekolah, kemudian masuk ke dalam lift dan naik hingga ke lantai empat. jo langsung dapat menebak bahwa mereka akan ke rooftop.

akan tetapi, ia tidak tahu mengapa harry tidak bersuara, namun tetap menggenggam tangannya dengan erat. beberapa pasang mata melihat pada mereka selagi keduanya berjalan cepat menuju tangga darurat.

harry dan jo menaiki tangga, dan saat keduanya berjalan melalui pintu, harry melepas tangan jo.

"harry."

"jo."

keduanya sama-sama menoleh, lalu tertawa pada akhirnya. mendekat pada tembok penjaga, harry bersender dan membuka mulutnya. "maaf kau harus melihatnya lagi."

jo menoleh cepat, menggeleng dan tersenyum. "tidak apa, aku tidak terkejut dia melakukannya di hadapan orang banyak."

"shit." harry bergumam. "dia pasti malu. haruskah aku minta maaf?"

"tidak perlu. niatnya saja sudah tidak baik, dia yang harusnya minta maaf padamu." ujar jo.

"kau benar."

"mengapa membawaku ke sini?" jo bertanya, dan harry yang justru mendadak terlihat gugup.

cowok itu menggaruk tengkuknya, lalu melihat ke arah lain selagi menelan ludahnya sendiri. apa ini, tadi harry terlihat keren dan takut membuat claire malu karena telah menolaknya, namun kini ia jadi seperti orang bingung.

"ah, aku tidak bisa seperti claire." dan kini, tentu saja, perkataan harry membuat jo semakin heran.

"seperti claire? maksudmu?" jo memandangi harry tidak mengerti.

"ya." harry bergerak tidak nyaman. ia mengatur napasnya hanya untuk kembali melihat lurus pada mata jo. "kau tahu, berbicara panjang lebar dan spanduk besar untuk mengajakmu jadi kencanku ke prom."

mendengar itu, secara otomatis senyuman jo terpampang jelas. "kencan ke prom?"

harry menghela napas, namun tersenyum juga pada akhirnya. "yup."

"lalu...?"

"aku malu." memang benar. terlihat dari wajahnya yang memerah hingga ke telinganya, terima kasih pada bandana biru bermotif bintang yang ia sedang gunakan saat ini karena kegemasannya jadi bertambah.

"mengapa harus malu?" jo memiringkan kepalanya.

"i don't know," harry tertawa canggung, matanya terus bergerak kemana-mana hingga jo mengambil kedua tangannya. ia menerjap saat jo mengangkat kedua alisnya. "probably because you look really pretty today."

terkejut, jo melotot namun juga tidak bisa menahan dirinya untuk tidak tersenyum lebar. "harry," keduanya tertawa sembari saling menatap. "chill out. tanyakan saja."

harry meringis lalu menggumamkan sesuatu, namun jo tidak bisa mendengar karena debaran jantungnya telah mendominasi pendengarannya. "tapi jangan ditolak."

lagi, keduanya tertawa—bukan karena sesuatu yang lucu, namun situasi canggung, gugup dan keduanya sama-sama malu. terlebih lagi jo yang entah dapat keberanian dari mana menggenggam tangan harry selama ini. "tidak janji."

"ah!" harry memekik. "mengapa begitu?"

"memang kenapa kalau kutolak?"

"nanti aku sedih, dan malu." wajahnya semakin merah bersamaan dengan cengirannya yang tidak kunjung hilang.

"aku tidak akan membuatmu malu." ucap jo.

"benar?"

jo mengangguk.

"ya, sudah. kalau begitu, aku tanya, ya?" kini gantian harry yang menggenggam tangan jo, begitu erat dan menariknya hingga jarak yang tersisa antara keduanya sangat sedikit.

tidak ada tawa karena canggung, namun cengiran karena rasa senang dan bahagia yang tidak terbendung masih ada di wajah keduanya. "silahkan."

"aight."

harry memejamkan mata selagi menarik napas panjang, lalu menghembuskannya secara perlahan. menatap jo, ia baru akan membuka mulut saat lagi-lagi terdistraksi karena rasa canggung yang masih menyelimuti.

jo tertawa kecil. "it's okay, really."

"aku gugup." kata harry, yang sebenarnya tidak jo mengerti. mengapa untuk sekedar mengajaknya sebagai kencan ke prom saja harus gugup? bukankah sama seperti mengajaknya ke kencan palsu?

"kenapa harus gugup?" jo menyuarakan kebingungan di kepalanya.

harry menggeleng, menghembuskan napas dengan tegas agar membuang rasa gugup sepenuhnya. "tidak, aku tidak gugup!" seru harry, namun malah sangat memperlihatkan kegugupannya.

jo tertawa kecil melihat tingkat harry. "ya, sudah, tanyakan. nanti kujawab dan kujamin seratus persen kau tidak akan malu."

"huft." harry menghembuskan napas yang entah sudah berapa kali. "baiklah. josie?"

"yes, harry?"

harry mengangkat tangan jo setinggi dadanya. "i may not be as cool as guys you watch on movies—making posters and all to get the girls to come to prom with them as their dates. but here i am," ia tertawa canggung. "asking you to be my date."

"okay..."

"so, josie, will you please, please, come to prom with me—as my date?" akhirnya, harry bertanya. ia tidak tersenyum, melainkan menatap jo dengan penuh harap.

"harry?" panggil jo, tersenyum.

harry mengangkat kedua alisnya.

"yes, i would love to."

mendengar itu membuat senyuman harry kembali muncul untuk menghiasi wajahnya. ia pamer lesung pipi, namun jo tidak masalah karena ia sangat amat menyukai harry.

tangannya merogoh sesuatu di kantong celana, kemudian keluar dengan membawa sebuah gelang indah yang terlihat sangat mahal. jo menerjap kaget, bertolak belakang dengan harry yang masih menyengir.

"itu apa?" tanya jo, bingung.

"hadiah."

"hadiah apa?"

"karena sudah mengiyakan ajakkanku." harry mengambil tangan kiri jo, lalu memasangkan gelang tersebut ke pergelangan tangan jo yang kecil. "kau harus memakainya saat prom nanti."

jo hanya diam selagi harry melakukan tugasnya. jantungnya lagi-lagi berdebar kencang. "untukku?" tanya jo pada harry.

"betul." ia kembali nyengir. "kalau kau tanya mahal atau tidak, jawabannya adalah ya. aku membelinya sendiri dengan uangku, jadi... kau tahu."

"aku tahu. terima kasih." jo tersenyum, menatap harry sebelum akhirnya memandangi gelang indah tersebut di tangannya. gelang ini tentunya akan memberi nilai tambah pada penampilannya nanti, karena ia tidak mampu membeli gaun mahal.

"aku janji tidak akan mempermalukanmu," kata harry, membuat jo menengadah untuk melihatnya. "apalagi dengan kemampuan berdansaku—i'm good at it. aku tidak akan menginjak heelsmu, lalu aku akan memperlakukanmu dengan baik."

"well, in that case, aku sepertinya yang akan menginjak sepatumu." jo terkekeh.

"tidak masalah." kata harry, tersenyum manis. "nanti kuajarkan. tugasmu adalah melakukan perawatan ke salon bersama natasha dan emily."

jo mengangkat kedua alisnya. "kau tahu??"

"tahu. emily tidak bisa diam soal itu, apalagi karena natasha akan menyewa limosin untuk kalian bertiga." ia mendengus, membuat jo tertawa. "berisik sekali, tahu."

"itu lebih baik daripada mendengar claire setiap membicarakanmu setiap waktu." timpal jo.

"oh, ya. soal claire." raut wajahnya berubah menjadi serius. "kalau ia melakukan sesuatu padamu, katakan padaku, ya? aku tidak mau apapun terjadi padamu. oke? kau dengar aku?"

tersenyum, jo mengangguk-angguk. "aku mendengarmu."

bersamaan dengan itu, bel masuk ke kelas telah berbunyi nyaring. well, waktu berjalan begitu cepat jika dihabiskan bersama seseorang yang kita sukai. dalam kasus jo, yang ia sukai adalah harry. ia tidak bisa membayangkan jika ia benar-benar menolak bantuan harry, tidak akan ada seseorang yang membuatnya bahagia dengan hanya sekedar mengobrol di rooftop.

"kuantar ke kelas." kata harry, sebelum akhirnya keduanya kembali menuruni tangga yang sama seperti saat datang, kemudian menuju kelas biologi—kelas jo.

avataravatar
Next chapter