11 Chapter 10

"and when you came into my life, eternity began." – alexandra vasiliu.

sesampainya jo di rumah, ia menemukan marianne dan ibunya sudah tertidur pulas. mungkin hari ini mereka lelah sehingga memutuskan untuk tidur cepat. jadi jo langsung bergegas mandi, dan tidur dengan pulasnya. esok paginya, perasaan jo sangat amat baik sampai-sampai ia rela membuatkan sarapan untuk mrs. dixie dan ibunya, mengangkat jemuran, melipatnya, lalu mencuci pakaian-pakaian kotor di mesin cuci.

"semangat sekali sepertinya," kata mrs. dixie selagi jo mencuci piring setelah mereka selesai sarapan. tentu saja ini pemandangan yang jarang untuknya, karena ia mengenal jo, dan jo lebih memilih menjaga marianne selagi ibunya bekerja dibanding ia yang bekerja.

"moodku sedang baik," jo menoleh sekilas dan memberikan cengiran lebar. "mom, aku ingin mengajak marianne jalan-jalan pagi besok. boleh?"

"kenapa tidak hari ini?"

"aku harus menyelesaikan setengah dari tulisanku," kata jo. ia mengambil panci-panci yang ia gunakan untuk memasak tadi, lalu mencucinya dengan sabun.

"okay. tapi apa yang membuatmu tiba-tiba jadi bersemangat?" tanya mrs. dixie yang kemudian berdiri, menggendong marianne karena akan memandikannya sebentar lagi.

harry's impact.

entah kenapa, itulah yang ada di pikiran jo. untunglah ia membelakangi ibunya, atau ia akan melihat sebuah senyuman terbentuk di wajahnya. "tidak tahu, aku hanya ingin jadi rajin hari ini." jo beralasan.

"baiklah, kalau begitu aku memandikan marianne dulu!"

setelah langkah mrs. dixie serta celotehan marianne tak lagi terdengar, jo berhenti melakukan apa yang dilakukannya dan wajah harry yang memandanginya sambil melamun langsung terbayang olehnya.

oh, sial. jo tidak tahu alasan mengapa harry memandanginya. tatapannya begitu lembut, terasa teduh dan jo pun takkan bosan jika harus selalu memandanginya setiap hari. meskipun dalam gelap pun masih terus membuatnya terhipnotis jika saja mr. heidi tidak datang dan merusak kontak mata mereka. no offense, mr. heidi.

atau mungkin terima kasih mr. heidi karena mengganggu mereka, atau perasaan jo akan semakin besar dan ia takkan bisa membendungnya.

kemudian jo baru sadar jika sifat harry menurun dari ibunya. maksudnya, anne tidak mengenal jo namun ia sudah menawarkan jalan pintas menuju harvard dan meminjamkan buku-buku yang belum sempat ia baca. menurut jo, hubungannya dengan anne masih terhitung orang asing, atau baru berkenalan saja. mungkin itu semua karena nilai jo yang menakjubkan, tapi orang yang baru berkenalan tidak melakukan itu.

sama seperti harry. mereka tidak terlalu mengenal, tapi tahu-tahu harry ingin sekali membantunya. awalnya ia tidak mengerti mengapa, sekarang ia paham. menurutnya, maksud anne adalah baik, tapi tetap saja jo tidak bisa menerimanya.

setelah selesai mencuci piring, jo bergegas naik ke kamarnya dan mandi agar lebih fresh. ia menggunakan kaus putih dan celana training pendek, lalu mengikat rambutnya tinggi-tinggi hingga membentuk sebuah konde.

jo duduk di meja belajarnya, membuka laptop dan siap untuk mengetik ide-idenya setelah bertemu harry kemarin. meskipun yang kemarin bukan kencan, namun sepertinya tidak masalah masuk ke dalam cerita. toh, itu merupakan pengalaman jo, kan?

baru akan mengetikkan kata pertama, ponsel jo bergetar. nama 'dad' tertera di layar. ia terdiam sejenak, baru kemudian menerima panggilan saat di nada dering terakhir.

namun, jo tidak mengeluarkan suara apapun.

"josie?"

jo menarik napas panjang, lalu menghembuskannya secara perlahan. "ya?"

"you there?"

"ya, ada apa? kenapa pagi-pagi menelepon?" karena sesungguhnya jo malas sekali mengobrol dengan ayahnya setelah apa yang ia katakan pada jo tempo hari. terdengar suara helaan napas panjang dari seberang sana.

"i'm so sorry, about what i said." ucap mr. ian yang terdengar penuh penyesalan di telinga jo. mungkin kalau ibunya yang dengar, ia akan cepat-cepat mematikan sambungannya dan tidak akan berbicara dengan pria itu lagi. "aku tidak bermaksud, tapi kau mengerti maksudku, kan?"

"ya, aku mengerti." kata jo, ia menyadari nadanya sedikit ketus yang mana memang sengaja dilakukan.

"aku minta maaf, josie. dad menyayangimu."

"ya, aku juga."

namun selanjutnya yang bersuara bukan ayahnya, "sudah kubilang—" suaranya seorang wanita yang pernah jo dengar sebelumnya, yaitu rose. ia terdengar kesal, tapi jo sama sekali tidak peduli karena ia sebenarnya tidak menyukai perempuan tersebut.

suara ayahnya kembali terdengar. "bagaimana... tugas sains yang kau bilang harus kau kerjakan ulang?"

"bahasa inggris," koreksi jo. "baik-baik saja. aku baru akan mengerjakannya tapi tahu-tahu kau menelepon, dan sejujurnya aku takut ide-idenya buyar karena kau mengajakku mengobrol lama-lama."

"apa aku mengganggu?" jo memutar mata saat pertanyaan bodoh ini terlontar dari ayahnya.

"anak itu tidak tahu diuntung, ya? sudah bagus kau menelepon dan minta maaf." rose bersuara kembali. seumur hidupnya, jika ia tidak menyukai seseorang, jo tidak pernah merasa ingin sekali terjadi sesuatu pada orang itu. untuk kali ini, jo berharap ia tertabrak truk dan mematahkan ratusan tulangnya.

"rose, kau sadar bahwa suaramu terdengar oleh putriku?" kata mr. ian yang kemudian terdengar suara pintu tertutup. oh, bagus. itu artinya wanita itu akan berpura-pura menyukainya jika mereka bertemu, membuat jo membayangkan hidupnya seperti di neraka jika tinggal bersama rose. "josie?"

jo mendengus. "ya?"

"aku minta maaf soal rose. ia sedang menghadapi masalah berat dan emosinya jadi meninggi seperti itu," jelas mr. ian dan jo sama sekali tidak mempercayainya.

"ya, sudah."

"kau baik-baik saja?" pertanyaan bodoh lagi yang terlontar.

"aku baik-baik saja,"

"josie, i'm really sorry and i meant it. aku tidak bermaksud untuk menekanmu sampai seperti itu. aku hanya... ingin kau tinggal bersamaku walau hanya empat atau tiga tahun, karena setelahnya kau memiliki hak penuh untuk menentukan bagaimana kau ingin menjalani hidupmu—dan kemungkinan aku tidak ada di dalamnya," ujar mr. ian. "i just really miss my first born, i miss you."

jo terdiam.

tangannya bergerak menghapus air mata yang nyaris jatuh. "i miss you too, dad. now get off the call, please?"

"kau memaafkanku, kan? aku tidak akan berhenti memikirkan ini jika kau tidak—"

jo memotong kalimatnya. "ya, dad. aku memaafkanmu."

baru saja mr. ian ingin berkata sesuatu, jo buru-buru mematikan sambungannya. kalau dilanjutkan, bisa-bisa ia menangis dan kehilangan ide briliannya untuk tulisannya kali ini. jo meletakkan ponselnya di dalam laci meja, lalu mencuci wajahnya agar segar kembali.

setelah itu, baru ia benar-benar fokus mengerjakan tugas bahasa inggrisnya.

***

dua jam berlalu, jo sudah berhasil mengerjakan banyak. selain itu, banyak juga detail yang ia perbaiki agar lebih masuk akal, kosa kata yang ia perbarui dan alurnya yang sedikit ia tambahi imajinasi serta bumbu-bumbu lainnya agar ceritanya lebih matang lagi. jo juga sudah berhasil menemukan judul yang cocok untuk ceritanya, baru kemudian mengirimkannya pada mrs. anderson dengan catatan cerita tersebut belum selesai.

tak lama kemudian, pintunya terbuka. "hey, petal, aku butuh bantuanmu." ucap mrs. dixie setelah memunculkan kepalanya.

"ya, tentu," jo menutup laptopnya. "ada apa?"

"aku lupa mengantar makanan untuk nenek janice kemarin, bisa kau antarkan sekarang?" pinta mrs. dixie, lalu tersenyum manis setelah mendapat anggukkan dari jo.

jo berdiri, mengambil ponselnya di laci dan kembali duduk di kasur saat mendapat notifikasi pesan dari harry.

H – hey jo, aku sudah berkeringat dan itu artinya aku sudah akan sembuh! :p

J – bagus kalau begitu

memasukan ponsel ke kantung celana, jo keluar dan menghampiri ibunya di dapur. di meja terdapat sebuah bingkisan berisikan kue, dan sebuah kartu ucapan selamat ulangtahun untuk nenek janice.

"katakan aku minta maaf karena lupa mengantarnya kemarin, ya," kata mrs. dixie, wanita itu sedang menyiapkan makan siang. "ajak nenek janice untuk makan siang di sini, ya. siapa tahu ia belum sempat masak, lagipula kasihan—ia sudah tua. tidak seharusnya dibiarkan tinggal sendiri."

jo tersenyum dan mengangguk, lalu membawa bingkisan tersebut keluar dari rumahnya.

rumah nenek janice tidak jauh, namun juga tidak dekat. jo harus melewati taman komplek, toko bunga dan sebuah petshop sehingga memakan waktu sekitar delapan menit untuk sampai di sana. selama di jalan, jo sudah menghitung sebanyak tiga truk pindahan yang melaju ke arah ia berjalan.

mungkin ada yang pindahan, karena setahunya ada lima rumah kosong yang siap dihuni jika ada pembeli. begitu ia sampai, dugaannya benar. truk pindahan yang ia lihat tadi kini berada di depan rumah di sebelah rumah nenek janice, mereka tampak sibuk menurunkan perabotan-perabotan rumah yang kelihatannya banyak itu.

"nenek janice?" kondisi pendengaran nenek janice yang berkurang, jo harus menekan bel dan memanggilnya berkali-kali. "nenek janice, kau di rumah??" jo mengeraskan suaranya.

tidak lama kemudian, pintu terbuka dan menunjukkan seorang perempuan yang tentunya lebih tua dari jo. ia adalah florensia, perawat nenek janice sejak setahun lalu. tanpa berkata panjang lebar, jo memberikan bingkisan dari ibunya sekaligus menawarkan makan siang di rumahnya. florensia dengan sopan menolak karena ia makan siang nenek janice sudah dipersiapkan hari ini.

jo kemudian tersenyum dan melangkah pergi dari pekarangan rumah nenek janice. menoleh pada sekeluarga yang tampaknya baru pindah, dilihatnya seorang ibu-ibu yang sepertinya seumuran dengan ibunya sedang berbicara dengan petugas yang mengantar barangnya.

entah apa ia harus mengatakan ini pada ibunya, tapi rumah mereka tidak begitu dekat. mengangkat bahu, jo kemudian memilih untuk pulang ke rumah.

sesampainya di rumah, jo makan siang bersama mrs. dixie dan marianne, lalu mengecek email dari mrs. anderson yang ternyata menyukai cerita jo meskipun belum selesai. dalam hati, jo berterima kasih pada harry karena sudah membantunya.

jo merebahkan tubuhnya di kasur dan mengecek ponselnya.

H – josie. bisa telepon?

tanpa basa-basi, jo menekan tombol hijau dan langsung diangkat oleh harry. "hai," sapanya sambil mencari posisi nyaman di kasur. ia menyusun bantalnya agar lebih tinggi dan menjadi sandaran, baru kemudian menempatkan kepalanya di sana.

"hai, aku bosan." harry menyapa balik dari seberang sana.

"kau seharusnya istirahat, kan?" tanya jo, namun diam-diam berharap agar harry tidak mematikan teleponnya. seolah menghabiskan sore bersama harry tidak cukup, jo ingin mengobrol dengan harry—baru setelah itu mengerjakan tugas yang sebenarnya masih cukup lama deadlinenya.

"ya, tapi aku bosan sekali." harry mendengus, terdengar suara berisik di sana. "aku boleh bertanya sesuatu?"

"tanyakan saja, tidak perlu izin." kata-kata yang keluar dari mulutnya terdengar begitu tenang, dan seperti biasa saja. padahal ia merasakan jantungnya berdebar-debar dan perutnya yang seolah teraduk-aduk, membuatnya mual. jo benci jika hal ini terjadi, kecemasannya akan meningkat pesat—padahal bisa jadi yang ditanyakan harry adalah hal sepele.

"tapi jangan marah." jo memejamkan matanya, lalu mendengus saat kembali terbuka.

"tidak janji."

"kenapa begitu?!" protes harry, membuat jo jadi gemas karena ia tidak segera menanyakan hal yang ia ingin tanyakan.

"karena aku tidak tahu apa yang ingin kau tanyakan!" seru jo, mendengus lagi. "kalau pertanyaanmu macam-macam, tentu saja aku akan marah, bodoh. jadi cepat saja."

"tidak akan membuatmu marah—eh, tidak tahu." ucap harry. jo bersumpah jika saja ia sedang bersama harry sekarang, mungkin ia sudah mencubitnya karena gemas dan kesal. "janji jangan marah."

"ck, tidak janji." jo menegaskan.

"ah, kumohon. jangan marah."

lagi, jo mendengus dan merasakan semakin mual karena rasa cemas yang ada. "kau ini menyebalkan. tanya atau kumatikan sambungannya." tegas jo. mungkin ia terlalu bernada ketus karena setelahnya, harry justru tidak bersuara. ingin merasa bersalah, tapi diamnya malah membuat jo sangat kesal. "harry."

"iya, iya," harry menghela napas panjang. "kau tidak menyukai teman-temanku, ya?"

jo diam.

ia diam seribu bahasa selagi rasa mualnya lari ke kepala—alias ia langsung pusing karena dihujani banyak sekali pertanyaan untuk harry. apa, kenapa ia bertanya begitu? apa alasannya? dapat pemikiran dari mana kalau ia tidak suka teman-temannya? apa namanya disebut lagi di groupchat harry dan teman-temannya?

bukankah jo yang seharusnya bertanya seperti itu? tatapan-tatapan meremehkan dan bisik-bisik jika jo kebetulan berjalan di dekat mereka? lalu kemarin, ia seolah sedang dilabrak oleh natasha dan emily yang ia tidak tahu alasannya apa—tahu-tahu bertanya apa dirinya dan harry sedang dekat seperti tidak suka.

"biasa saja," jo menghela napas. "bukannya yang mereka tidak suka denganku?"

"apa? kenapa kau berpikiran seperti itu?" pertanyaan harry membuat jo harus mengingat-ingat apa yang dipikirkan orang-orang tentangnya. cewek ambis, selalu serius, kerjanya belajar, tidak memiliki teman, penyendiri, dan lain-lainnya. jo sudah terbiasa, namun tetap saja ia sedih karena diberi label semacam itu oleh satu sekolah.

"kau tahu apa yang orang-orang katakan tentangku," jo memiringkan kepalanya menjadi membelakangi dinding. "mereka pasti juga berpikiran seperti itu."

jo tidak tahu mengapa harry diam dan tidak bersuara, namun ia menebak pasti dugaannya benar. teman-teman harry tidak menyukainya dan ia tidak akan terkejut dengan hal itu.

"mereka bukannya tidak menyukaimu." harry kembali bersuara. "mereka mengenalmu saja tidak—kenapa harus tidak suka?"

jo memutar matanya. "tidak tahu. tanyakan saja pada mereka."

"aku tadi video call dengan teman-temanku. natasha dan emily bercerita kemarin mengembalikan bukumu yang jatuh, mereka berusaha untuk bersikap baik tapi katanya wajahmu jutek sekali. dan..." harry mengambil jeda cukup panjang. "kau bilang kita tidak begitu dekat."

menghela napas, kini bergantian jo yang diam. karena sebenarnya jo juga tidak tahu apa yang harus ia katakan. mereka sedang dekat? kan tidak seperti itu, hanya sekedar teman.

"padahal bisa saja kau bilang kita berteman dekat..." oh, tidak. sekarang rasa bersalah langsung menyelimuti dadanya. mana sempat jawaban itu terpikir olehnya? natasha dan emily langsung mendatanginya, jadi tidak ada waktu untuk berpikir jawaban apa yang harus ia katakan.

"right, you're right," jo menggigit bibirnya, gugup. "aku minta maaf, jawaban itu tidak terpikirkan olehku. kupikir mereka bertanya ke arah yang tidak-tidak, jadi kubilang seperti itu. aku minta maaf, harry."

"ya, tidak masalah. lain kali jawab seperti itu saja," ya, jawab saja teman dekat. toh, mereka hanya teman.

jo tidak tahu apa ini, tapi ia tidak suka rasa sesak yang menyeruak di dadanya.

"aku hanya tidak ingin mereka tahu tentang apa yang kau dan aku lakukan. aku malu kalau mereka tahu—no offense, tapi kesannya aku sangat menyedihkan sampai harus diberi pengalaman olehmu." jelas jo.

"aku mengerti, mereka juga tidak tahu," kata harry.

"bagaimana dengan cedric? dia ada di sana saat aku mengajakmu bertemu pulang sekolah." jo melihat ke langit-langit kamarnya, berusaha mengingat-ingat lagi kejadian saat itu.

"kapan?"

"seminggu lalu." jawabannya sendiri membuatnya tersadar. gila, semua kejadian yang menimpanya ternyata baru terjadi seminggu. ya ampun, secepat itukah perasaan jo tumbuh untuk harry? hanya dalam jangka waktu seminggu—itu semua karena harry nyaris berhasil menembus pertahanan dirinya, dan cowok itu juga berhasil menemukan sisi lembutnya. sialan, sensitif sekali dirinya.

"kau ingat?" harry terkekeh. "aku saja tidak ingat. tapi tenang saja, cedric tidak peduli apa yang kulakukan."

jo menghela napas. "kau yakin?"

"one hundred percent!" seru harry. "itu artinya bukan berarti kau tidak menyukai mereka, kan?"

"uh..." jo menerjap, tidak yakin dengan jawaban yang akan ia berikan kepada harry. "ya."

"itu artinya kau mau jika aku mengajakmu untuk sekedar berkumpul bersama cedric, matthew, natasha dan emily?" jo menghela napas mendengar ajakkan harry yang sudah ia tebak sebelumnya.

tentu saja harry akan bertanya, lalu yang terjadi besok-besok adalah harry mengajaknya berkumpul bersama mereka. harry akan berekspetasi agar dirinya dapat berbaur, namun yang akan ia dapatkan adalah jossette dixie yang amat canggung.

"mereka hanya dengar omongan orang, josie. tidak darimu secara langsung," harry terdengar menghela napasnya. jo tahu, dan paham akan hal itu tetapi rasanya tidak pantas saja jika ia bergaul dengan mereka. "please? for me?"

jo menerjap.

berbaur dengan teman-teman harry demi dirinya? jo kembali menggigit bibirnya, tidak tahu harus menjawab apa walau jika ia melakukannya, akan memberikan kesan jo rela berkorban untuk harry dan bukankah itu mengesankan?

"kenapa kau ingin sekali aku berbaur dengan teman-temanmu?" tanya jo, merendahkan nada suaranya agar tidak terdengar ketus. percayalah, ia berusaha agar tidak membuat harry merasa terintimidasi karena hal ini bukanlah salahnya.

"agar kau memiliki teman selain aku, josie."

"lalu apa mereka akan benar-benar jadi temanku?"

"tentu saja," jo tidak tahu tapi ia yakin cowok itu sedang tersenyum, pamer akan lesung pipinya. "maka dari itu kau harus berbaur, buang semua pikiran jelekmu tentang definisi teman. not all of them are bad."

dulu, jo hanya akan luluh jika mr. ian yang merayunya—seperti tadi, meskipun dirinya masih sebal sekali dengan perkataan pria itu, dan kini oleh harry. jo memejamkan mata, lalu mengatakan sesuatu yang mungkin akan ia sesali dalam waktu dekat ini. "baiklah, aku akan mencoba."

"now that's my josie!"

that's my josie.

my josie.

"ya, ya," jo memutar matanya. "aku harus mengerjakan tugas, harry."

"apa? tapi ini hari sabtu!" protes harry. kemudian, cowok itu terdengar bergumam namun jo tidak dapat mendengarnya. bisa bayangkan, bibir harry yang mengerucut saat sedang merajuk.

"tidak ada alasan untuk tidak mengerjakan tugas. talk to you later?"

jo dapat merasakan harry memutar matanya, membuat ia tertawa pelan. "okay. talk to you later. semangat mengerjakan tugas, josie."

begitu sambungan terputus, jo meletakkan ponselnya di dada dan tersenyum sendiri. entah, mendengar suara dan mengobrol dengan harry belakangan ini selalu membuat perasaannya jadi lebih baik. tapi senyuman itu buyar saat suara ibunya memenuhi pendengaran, membuatnya terkejut bukan main.

"jo, mengapa kau tersenyum?"

***

avataravatar
Next chapter