4 04 | Body Massage

04 | B O D Y

M A S S A G E

Sinar mentari pagi yang menyorot masuk dari jendela kamar memaksa Mikaela untuk kembali dari alam tidurnya. Perlahan nyawanya kembali, datang dengan kesadaran dan visual buram dari pengelihatannya yang masih kabur.

Mikaela mengucek matanya, piyama tidur yang agak kebesaran di tubuhnya sedikit merosot karena tiga kancing teratas yang tidak terkait, memperlihatkan belahan dadanya yang dihiasi sebuah tahi lalat di salah satu sisinya.

Terlihat bayangan seorang lelaki yang berdiri membelakangi cahaya matahari, menyilangkan kedua tangannya di depan dada, dengan salah satu tangannya menggenggam pedang yang biasa ia bawa kemanapun, bahkan di rumahnya sendiri.

"Ginny, berikan aku waktu lima menit lagi, aku masih sangat mengantuk. Kau bisa bangunkan aku lagi nanti setelah—" ucap Mikaela gantung saat dirinya hendak kembali berbaring dari posisi duduknya.

Dalam sekejap Daniel sudah berada di depannya, berlutut di depan tubuh Mikaela dengan pedangnya berada di belakang leher Mikaela, mencegahnya untuk kembali berbaring. Merasakan ada yang mengganjal lehernya, Mikaela pun membuka matanya lebar-lebar.

Daniel, lelaki itu sudah berlutut di depan tubuhnya. Daniel mendekatkan wajahnya, refleks Mikaela akan memundurkan kepalanya namun lehernya yang tertahan sarung pedang membuatnya tidak bisa berkutik. Wajah Daniel semakin dekat, membuat jantung Mikaela berdebar tak karuan. Akhirnya perempuan itupun memejamkan matanya, tanda dirinya telah menyerah dan akan menerima segala kemungkinan yang akan terjadi.

Dalam sepersekian detik Mikaela membayangkan hal yang lumayan erotis dengan pria yang kini berlutut di depan tubuhnya. Dari good morning kiss yang mungkin akan semakin memanas hingga akhirnya tidak akan ada yang bisa berhenti lagi dan membawanya ke level selanjutnya, namun yang terjadi diluar dugaan Mikaela.

Cupp.. Cupp..

Daniel mengecup lembut mata Mikaela yang terpejam secara bergantian dan memundurkan kembali wajahnya, membuat Mikaela membuka matanya dan mengerutkan keningnya.

Daniel tersenyum, "Semoga itu cukup untuk membantumu bangun, karena kita ada kegiatan pagi ini. Ginny akan membantumu bersiap." ucap Daniel sembari mengancingkan tiga kancing piyama Mikaela yang terbuka. Daniel pun bangkit dari posisi berlutut dan pergi meninggalkan Mikaela sendirian di kamarnya. Sesaat setelah pintu ditutup, Mikaela kembali membaringkan tubuhnya.

Kedua tangannya memegang dadanya, merasakan detak jantung yang benar-benar tak karuan. Pipinya memerah mengingat wajah Daniel yang sedekat itu. Mikaela pun mengambil bantal dan membenamkan wajahnya lalu berteriak sekeras-kerasnya.

Ia tidak menyangka akan dibuat seperti orang gila begini, padahal Daniel hanyalah kakaknya, kakaknya yang mempesona dan sangat sexy.

***

"Aku ingin kau bertemu dengan Alexis, salah satu anggota pemburu vampire dan bawahanku yang sangat kuandalkan, terlebih dalam pertarungan jarak dekat. Wanita sadis yang pernah memojokkan seorang bangsawan vampire sendirian."

Daniel membuka salah satu pintu yang berada di mansionnya, terlihat seorang wanita cantik berwajah innocent, rambut pirang dan lingerie yang warnanya sangat cocok dengan kulitnya.

Sekilas Mikaela merasa ragu dengan pernyataan Daniel. Tentu saja, karena wanita itu terlihat begitu rapuh, seperti sosok yang ingin dilindungi. Tidak akan ada yang percaya bahwa wanita yang sedang duduk di atas kasur itu adalah sosok sadist yang pernah hampir mengalahkan seorang bangsawan vampire sendirian.

Selain kepiawaiannya dalam pertarungan jarak dekat, Alexis sebenarnya memiliki sebuah sabit berukuran besar yang tergolong sebagai senjata mistis. Bentuknya menyerupai sabit yang sering digambarkan dibawa oleh malaikat maut grim reaper.

Hanya ada beberapa senjata mistis di dunia. Sabit milik Alexis dan pedang-sekali-tebas milik Daniel adalah dua di antaranya. Dan setiap senjata yang tergolong sebagai senjata mistis memiliki kutukan di dalamnya.

Jika pedang milik Daniel memiliki kutukan seperti virus yang jika tergores di bagian tubuh manapun kutukan itu akan langsung menyerang jantung si korban, berbeda dengan sabit milik Alexis.

Sabit milik Alexis memiliki kutukan serangan ganda, membuat siapapun yang terkena serangan sabit itu akan merasakan lima sampai sepuluh kali serangan. Jadi satu kali saja Alexis menebas lawannya menggunakan sabit miliknya, lawannya akan merasa tertebas lima sampai sepuluh kali, tergantung dari berapa banyak tetes darah yang dikorbankan oleh Alexis.

Yap. Senjata mistis selalu memiliki sesuatu yang harus dikorbankan oleh sang pengguna untuk ganti dari kekuatan besar yang mereka terima.

Daniel juga tak lepas dari hal itu. Sabit milik Alexis mengharuskan Alexis mengorbankan sepuluh tetes darahnya sendiri untuk menghasilkan sepuluh kali lipat serangan pada lawannya. Pedang milik Daniel membuat rasa haus darah yang dimiliki Daniel sebagai seorang vampire meningkat hingga tiga kali lipat.

Setiap kali Daniel menebas lawannya, semakin dekat ia kehilangan sisi manusianya karena rasa haus akan darahnya pun meningkat.

Batasan yang bisa ditoleransi oleh Daniel adalah tiga. Jika Daniel membunuh lebih dari tiga orang menggunakan pedangnya, dia akan langsung berubah menjadi sesosok monster haus darah yang tidak pandang bulu mana lawan mana kawan.

Itu sebabnya, selain untuk mengalahkan vampire sekelas bangsawan, Daniel akan menghadapi mereka menggunakan kekuatannya sendiri, bukan mengandalkan kekuatan pedang mistisnya.

Melihat ekspresi Mikaela seperti itu membuat Daniel tertawa dalam benaknya. "Alex lah yang akan mengajarimu dasar-dasar dalam menghadapi vampire."

Mikaela menoleh dengan ekspresi terkejutnya, membuat Daniel tersenyum. "Tidak, aku tidak akan menyuruhmu untuk berburu vampire atau semacamnya. Ini hanya untuk sebagai pertahanan diri, karena kau tahu, aku tidak bisa terus bersamamu selama seharian penuh."

Mungkin Daniel memang mengatakan hal itu, namun ada maksud lain yang membuat Daniel mau repot-repot meminta Alexis untuk mengajari Mikaela dasar-dasar dalam menghadapi vampire.

Seperti yang kalian tahu, Daniel dulunya adalah seorang manusia sampai seorang vampire wanita mengubahnya menjadi vampire. Namanya adalah Ivory, vampire wanita yang memiliki kemampuan untuk menyiksa siapapun dari dalam tubuh mereka. Dialah salah satu alasan mengapa Daniel ingin melatih Mikaela, karena saat itu Daniel melihat Ivory menggunakan kekuatannya juga untuk Mikaela, namun Mikaela terlihat tidak merasakan apapun.

Entahlah apa yang dimiliki oleh adik perempuannya itu, tetapi mungkin Mikaela dapat ia gunakan untuk menghadapi Ivory.

Wanita itu turun dari ranjangnya, selimutnya jatuh ke lantai dan memperlihatkan kaki jenjang yang sangat indah seakan menuntut penghargaan, hanya mengenakan sebuah celana dalam berwarna putih yang akan membuat siapapun penasaran dengan bagian yang berhimpit di antara kedua paha semampai itu, berjalan dengan perlahan hingga kini berada selangkah di depan Daniel dan Mikaela.

"Silahkan berkenalan, aku akan menunggu kalian di halaman belakang."

Daniel pun pergi meninggalkan Mikaela dan Alexis yang sepertinya masih dalam keadaan canggung.

Mikaela memasang sebuah senyuman canggung, "Em, hai. Aku Mikaela. Aku—"

"Adik si vampire?" sela Alexis. Tentunya Mikaela tahu bahwa Daniel adalah satu-satunya vampire di rumah ini.

"Ya, begitulah. Aku adiknya si vampire." jawab Mikaela sembari menundukan kepalanya, entahlah tetapi gadis itu merasa malu.

Alexis pun tersenyum dengan sangat manis sambil mengulurkan tangannya, "Aku Alexis, senang berkenalan dengamu."

Mikaela pun meraih tangannya dan mulai menjabat tangan Alex, "Ya, senang berkenalan denganmu."

Seketika Mikaela tercengang dengan senyuman manis yang terlukis di bibir Alexis, membuatnya semakin tidak percaya bahwa wanita di depannya ini adalah pembunuh vampire yang sangat sadis. Apakah ia menjebak vampire dengan wajah cantiknya? Pikir Mikaela dalam hati.

"Masuklah, aku baru akan bersiap." ucap Alexis sambil menarik Mikaela masuk ke dalam kamarnya. "Oh iya, tidak perlu bersikap formal, umurku dua tahun lebih muda darimu, walau minggu depan akan menjadi satu tahun."

"Tunggu, maksudmu kau,"

"Yap, aku enam belas." jelas Alexis yang membuat Mikaela melongo. "Apa kau tidak keberatan menunggu di sini sebentar? Aku hanya ingin berganti pakaian."

Mikaela mengangguk, "Baiklah."

Alexis kembali tersenyum dan mulai meninggalkan pakaiannya satu persatu. Mikaela mengedarkan pandangan ke sekitar dan mendapati sebuah sabit besar yang tergantung di dinding, dan di pojok lantai terdapat sebuah baju yang terlihat seperti seragam sekolah. Mungkinkan di dunia yang hancur ini masih ada sekolah? Apalagi untuk manusia.

Namun satu yang aneh, baju itu penuh dengan bercak darah yang sudah mengering. "Itu adalah baju yang biasa kukenakan jika berburu vampire bersama Daniel." ucap Alexis seakan mengerti apa yang ada di pikiran Mikaela.

Alexis sudah selesai dengan pakaian trainingnya, lekukan di tubuhnya benar-benar indah, terlebih dengan celana panjang hitam ketat berbahan karet itu. "Baiklah, sepertinya kita harus segera ke halaman belakang, karena Daniel memang orang yang tidak suka dibuat menunggu."

Mikaela mengangguk dan merekapun berjalan meninggalkan kamar Alexis.

***

"Seperti yang kalian tahu, vampire memiliki kemampuan fisik yang melampaui manusia." ucap Daniel yang kini berdiri beberapa langkah di depan Mikaela dan Alexis.

"Kecepatan, ketahanan, kekuatan, mereka puluhan kali lebih unggul dari manusia. Meskipun tergolong makhluk abadi, bukan berarti mereka tidak bisa dikalahkan sama sekali. Jadi hal pertama yang harus kau lakukan jika ingin berhadapan dengan vampire adalah, kau harus memperhatikan gerak-gerik tubuhnya, dengan begitu kau bisa memprediksi kapan dan dimana mereka akan menyerang."

Ucap Daniel yang membuat Mikaela sedikit mengerutkan keningnya.

"Bukan hanya melalui pandangan, tetapi seluruh tubuhnya, perhatikan otot bagian tubuh mana yang berkontraksi dan mana yang berrelaksasi, dengan begitu kau bisa mengetahui ke arah mana vampire akan menyerangmu. Dan sebagai saran, mayoritas vampire lebih suka menyerang leher lawannya pada serangan pertama mereka. Seperti yang kau sering lihat di film-film, mereka cenderung memiliki kebiasaan mencekik lawannya. Itu yang membuatnya semakin mudah untuk diprediksi."

Mikaela semakin mengerutkan keningnya, sementara Alexis masih dalam posisi berdiri yang sempurna, dengan kedua tangannya menyilang di belakang belakang dan dadanya yang membusung, seperti posisi istirahat di tempat saat upacara bendera.

Daniel menoleh ke arah Mikaela, "Ada apa?"

"Umm.. Bukankah kita bisa menggunakan bawang putih atau air suci?" tanya Mikaela yang membuat Alexis menyemburkan ludah ke samping karena tidak bisa menahan tertawanya.

Daniel tersenyum, "Sebenarnya air suci hanya akan membuat rasa gatal di kulit. Dan untuk bawang putih, entah siapa yang membuat teori konyol itu. Tetapi berbeda dengan perak, itu akan memberi sensasi membakar yang sangat kuat, itu sebabnya semua anggotaku memiliki perlengkapan berburu berbahan dasar perak."

Mikaela pun mengangguk, dan Alexis sudah kembali tersenyum.

"Dan jangan pernah menanyakan soal cahaya matahari, karena itu hanya akan membuatmu semakin ditertawakan. Vampire bukanlah makhluk yang akan langsung terbakar jika terkena sinar matahari. Mitos ... mungkin bukan mitos, tapi lebih tepat disebut sebagai propaganda. Propaganda bahwa vampire hanya bergerak di malam hari mungkin dibuat oleh orang-orang yang ingin menakut-natuki anak mereka agar tidak keluar malam."Mikaela mengangguk lagi dengan rasa malu di benaknya.

"Baiklah, sebaiknya kita mulai sekarang karena siang ini aku ada janji dengan seseorang. Untuk pemanasan, silahkan lari keliling halaman sebanyak lima kali." ucap Daniel yang membuat Mikaela membulatkan matanya.

Tentu saja, halaman belakang Daniel memiliki luas yang lumayan kurang ajar, berpikir dapat mengitarinya sekali saja sudah membuat Mikaela menyerah, apalagi harus mengitarinya sebanyak lima kali.

Alexis tersenyum kepada Mikaela, "Tenanglah, ini sepuluh kali lebih ringan daripada latihan kami yang biasanya."

Mikaela tambah tercengang dengan perkataan Alexis. Sepertinya Mikaela sudah sedikit mempercayai bahwa gadis manis di sebelahnya itu bisa membunuh vampire.

Setelah lima kali putaran, Alexis masih berdiri dengan sikap sempurnanya, walau tubuhnya juga sudah dipenuhi keringat namun ia dapat mengatur nafasnya dengan baik, sedangkan Mikaela menopang tubuhnya dengan berpegangan pada lututnya, rasanya sedikit lagi ia akan pingsan.

Daniel tersenyum. "Dan sekarang berbaring lalu ambil posisi sit-up." seakan ada yang mencekik lehernya, Mikaela langsung tercengang mendengar hal itu. "Untuk menghadapi vampire, kau harus memiliki perut yang kuat karena akan melihat darah dan tidak menutup kemungkinan organ tubuh berceceran di mana-mana. Jika langkahmu terhenti karena merasa mual, disitulah akhir dari hidupmu."

Alexis sudah berbaring di tanah berumput itu, sedangkan Mikaela masih kesulitan mengatur nafas. "Mika?" tanya Daniel yang membuat Mikaela langsung mengambil posisi yang sama dengan Alexis.

Alexis sudah beberapa kali mengangkat tubuhnya, namun Mikaela masih belum berhasil sama sekali. Daniel pun mendekat, "Tekuk lututmu."

Mikaela pun menekuk lututnya. Daniel berjongkok dan memegangi lutut Mikaela. "Sekarang taruh kedua tanganmu di belakang kepalamu dan angkat tubuhmu sekuat tenaga."

Mikaela mencobanya dan berhasil, membuat Daniel tersenyum. Ia mencobanya sekali lagi, namun hal itu membuat dadanya berdebar. Bagaimana tidak, setiap kali ia mengangkat tubuhnya, wajahnya hanya berjarak kurang dari lima senti dengan wajah Daniel.

Bukan hanya Mikaela sebenarnya, karena Daniel juga sepertinya menikmati apa yang ia lihat sekarang, pemandangan dimana Mikaela berusaha mengangkat tubuhnya, berkeringat dengan nafas terengah-engah, dan tentunya tangan yang berada di belakang kepalanya membuat dada gadis itu semakin membusung saat berbaring.

Jika Mikaela bukanlah adiknya, pasti Daniel akan langsung menerkamnya. Tapi tidak, itu tidak boleh dilakukan.

Ya, karena Mikaela adalah adik kesayangannya. Biar bagaimanapun Daniel seharusnya menjaganya, bukannya malah menikmatinya.

***

Langit berubah menjadi gelap. Mentari senja berwarna jingga telah menarik berkas cahaya terakhirnya bersama kepergiannya kembali ke tempat peraduannya. Langit musim semi di sore hari yang lumayan kontras digantikan oleh pantulan sinar pucat bulan sabit. Benda langit yang tanpa malu mengekspos sebagian tubuhnya itu seakan membentuk sebuah senyuman, senyuman tanpa apapun yang menghalangi. Ditujukan kepada peradaban manusia yang hidup dalam kesengsaraan.

Daniel, dengan jubah hitam yang menutupi seluruh tubuhnya, dan tentunya sebuah pedang di tangan kirinya, beridi di atas bangunan tua, dengan delapan anak buahnya yang memakai pakaian yang sama dengan yang ia kenakan.

Salah satunya adalah Alexis, yang berdiri tepat di belakang Daniel, dengan sabit berukuran besar yang ia genggam dengan tangan kanan sembari menopang bagian tengah sabit itu di punggungnya. Mereka semua memandang ke arah seorang vampire yang berdiri di seberang jalan. Lebih tepatnya seorang vampire bangsawan yang pernah memancing keributan dengan Daniel di depan tiga raja vampire saat itu.

Yap, benar. Vincent Von Dutch, seorang bangsawan vampire yang baru saja turun dari limousinnya.

"Kita mulai saja sekarang?" tanya Alexis yang maju selangkah dan kini berdiri di samping Daniel. "Aku tidak suka tampang mesum-nya." lanjut Alexis membuat Daniel tersenyum.

"Cepat atau lambat kau akan terbiasa dengan hal-hal mesum, gadis kecil." ucap Daniel yang membuat Alexis menoleh dan melontarkan tatapan tidak sukanya atas lelucon Daniel. "Baiklah, semuanya berpencar ke posisi masing-masing. Reinhard, tunggu aba-abaku seperti biasa, cobalah mengenai kepalanya kali ini, agar uang yang ku keluarkan untuk membelikanmu sniper mahal tidak terbuang percuma."

Seorang lelaki dengan senyum yang menawan dan berperawakan lumayan tegas tersenyum, ia menyiapkan snipernya dan menaruhnya di tempat ia bisa membidik target dengan jelas. Alexis dan Reinhard bisa dibilang adalah tangan kanan dan tangan kiri Daniel, Alexis dengan kemampuan bertarung jarak dekat sementara Reinhard dengan kemampuan menembak jitunya.

Senjata yang dimiliki Reinhard cukup unik. Sejenis senjata api bermodel senapan runduk yang digunakan dalam perang dunia kedua oleh tentara Jepang. Senapan dengan sebilah pisau di ujungnya. Meskipun bukan tergolong senjata mistis, namun peluru yang digunakan bukanlah peluru perak biasa.

Peluru yang terbuat dari logam mulia, berasal dari potongan bintang jatuh di Norwegia. Untuk mendapatkannya, Daniel harus merogoh kocek sekitar lima ribu US Dollar per-butirnya.

Kini tinggal Daniel dan Alexis. Alexis menoleh, "Kenapa kau tidak membiarkanku menghabisinya saja? Kau sendiri tahu aku mampu melakukannya."

"Vincent bukan vampire yang bisa dipandang sebelah mata. Kemampuannya adalah mengendalikan darah, jadi dia bisa membuat darah dalam tubuhmu menjadi setajam jarum dan dengan mudah menghancurkan organ-organ tubuhmu. Atau lebih buruk, dia bisa mengendalikanmu untuk berbalik melawan teman-temanmu sendiri."

"Sekuat itukah?" tanya Alexis, membuat Daniel mengangguk untuk memperjelas bahaya yang sebentar lagi akan mereka hadapi.

"Dan kalau bisa aku ingin menyelamatkan gadis-gadis yang ia jadikan ternak. Menurut informasi yang kudapat, ada tiga orang ternak yang berada di dalam limousinnya."

Alexis kembali memandang ke arah Vincent yang baru saja membakar cerutunya. "Tiga? Satu saja sudah membuatku muak."

Daniel pun menaruh telapak tangan di kepala Alexis, "Tenanglah, itu sebabnya kita bekerja dalam tim. Karena tidak menutup kemungkinan dia memiliki anak buah yang akan sangat merepotkan."

"Baiklah." pasrah Alexis. "Namun bila saatnya tiba, aku ingin jadi orang yang menebas batang kemaluan menjijikannya."

Daniel pun memberi aba-aba kepada Reinhard sedangkan yang lain sudah siap di posisi masing-masing.

Dorr..

Sebuah peluru melesat dari sniper yang ia pegang, tepat ke arah kepala Vincent dan menembus masuk di antara kedua bola matanya, membuat Vincent tumbang seketika. Dengan begitu, anggota Rebellion yang lain pun mulai menyerang vampire-vampire level rendah yang merupakan bawahan Vincent.

Pertempuran pun berlangsung dengan seluruh bawahan Vincent berhasil dimusnahkan.

Alexis menoleh, "Kau bilang dia kuat?!"

Mendengar hal itu Daniel pun tertawa renyah. "Memang kuat, kenapa?"

"Sekuat itukah sampai Reinhard mengalahkannya hanya dengan sebuah peluru?" balas Alexis sarkastik, namun Daniel tetap tersenyum.

"Siapa bilang dia sudah kalah? Apa kau melihat tubuhnya berubah menjadi abu?"

Alexis kembali mengarahkan pandangan ke arah Vincent, vampire itu masih saja berbaring di trotoar jalan, membuat Alexis mengerutkan keningnya. "Kenapa bisa begitu?"

"Dia memang belum mati, dan aku juga belum mau membunuhnya. Aku ingin bermain politik sedikit di kerajaan. Vincent sangat menginginkan posisiku sebagai ketua regu pembasmi pemberontak, dengan serangan ini dia pasti akan merengek kepada Novak untuk menggantikan posisiku. Kalau dipikir-pikir aku tidak bisa menjadi ketua regu pembasmi pemberontak sekaligus menjadi ketua pemberontak. Mengerti?"

Alexis hanya menggeleng dengan wajah polos dan tidak pedulinya lalu kembali mengarahkan pandangan ke arah Vincent yang kini sudah hampir bangkit dari pingsannya.

Seseorang berbicara melalui earphone kecil, "Semua bawahan telah dihabisi, dan untuk ternak tidak ada yang selamat, semuanya telah dihisap darahnya sampai habis."

Daniel pun menekan earphonenya. "Baiklah, semuanya kembali ke rumah sebelum si bodoh itu sadar."

Akhirnya Daniel dan seluruh pasukan pemberontak yang ia bawa kembali ke rumah meninggalkan Vincent yang masih pingsan di trotoar.

Dan Alexis tentunya kecewa karena tidak bisa memotong batang kemaluan milik Vincent.

***

"Ada apa dengan gaya jalanmu?" tanya Daniel saat melihat Mikaela berjalan melintasi lorong di depan kamarnya. Kebetulan juga Daniel sedang lewat, atau mungkin ia sengaja lewat situ.

"Kau masih bertanya juga? Memangnya siapa yang memberiku porsi latihan gila hingga badanku sakit-sakit semua seperti ini?!" tukas Mikaela dengan ekspresi marahnya. Ia tidak benar-benar marah sebetulnya, dan juga ia memang tidak bisa marah kepada kakak yang selama ini dirindukannya.

Daniel pun meraih tangan Mikaela dan menariknya masuk ke dalam kamar Mikaela. "Baiklah, ikut aku."

Dan beberapa menit kemudian Mikaela sudah berbaring dalam posisi tengkurap, dengan sebuah handuk kecil untuk menutupi bagian bokongnya. Yup, Mikaela kini dalam keadaan naked, hanya tertutup sebuah handuk kecil di bokongnya.

Daniel pun mulai mengoleskan minyak gosok beraroma apel di telapak tangannya sebelum akhirnya mengoleskannya di punggung Mikaela.

"Emm, sepertinya tidak perlu, tubuhku tidak sesakit itu— Aawww" teriak Mikaela pelan saat Daniel sengaja menekan pinggangnya dengan agak keras, membuatnya berhenti mengoceh.

Daniel pun mulai memijit-mijit punggung Mikaela dengan kombinasi pijatan ala professional, dan itu berhasil membuat Mikaela sangat rileks. Perlahan turun hingga ke daerah pinggangnya. Daniel beralih ke tangan Mikaela, bergantian kiri dan kanan lalu mengambil minyak gosok itu lagi dan mengoleskannya di kedua kaki semampai Mikaela.

Memulainya dari telapak kaki, betis dan paha. Mungkin Mikaela sudah kelewat rileks karena saat Daniel memijat pahanya di daerah yang sangat dekat dengan mahkotanya, Mikaela hanya mendesah, bukannya berteriak ataupun protes. Tentu saja hal itu membuat Daniel mulai berkeringat.

"Sssshhhhh,,, hhaahhhhhh...." desah Mikaela saat Daniel melanjutkan pijatannya di daerah itu.

Sepertinya akal sehat Daniel sudah mulai pudar, Daniel akhirnya menaiki tubuh Mikaela dan duduk di atas handuk putih kecil itu lalu menaruh kedua tangannya di pundak Mikaela, mulai memijatnya.

Sepertinya pijatan di punggung dan belakang lehernya membuatnya terlampau rileks hingga Daniel mendengar nafas Mikaela yang menjadi sangat teratur. Disitulah Daniel mengetahui Mikaela sudah terlelap.

Masih dalam posisi duduk di atas handuk kecil yang menutupi bokong Mikaela, Daniel pun menunduk, mendekatkan tubuhnya hingga dada bidangnya menempel dengan punggung Mikaela, menyesap aroma leher Mikaela yang benar-benar memabukkan.

"Hahhhh..." desah Mikaela yang membuat Daniel kaget. Ternyata tanpa sadar tangan kanannya sudah menyelinap ke salah satu gundukan daging kembar tubuh bagian atas Mikaela, membuat desahan lolos dari mulut Mikaela walau masih dalam keadaan tertidur.

Desahan yang mengagetkan itu ternyata cukup untuk membuat akal sehat Daniel kembali. Ia bangkit dan menarik selimut untuk menutupi tubuh Mikaela.

Pikiran kotor masih saja memenuhi kepala Daniel, namun ia tetap menekan pikiran-pikiran negatif itu dan berakhir hanya dengan mengecup pipi Mikaela sebelum akhirnya keluar dari kamarnya setelah mematikan lampu.

Setelah menutup pintu kamar Mikaela, Daniel menggema nafas berat dan berjalan dengan biasa menyusuri lorong.

Terdapat rasa bersalah dalam benak Daniel, tidak seharusnya ia melakukan itu kepada adiknya sendiri.

Ya, seharusnya ia menjadi kakak yang menjaganya, bukannya malah menikmatinya.

Walau sejujurnya Daniel juga menikmati hal yang ia lakukan tadi.

avataravatar
Next chapter