webnovel

Tanya

~Jangan pernah merasa sendiri, karena sebenarnya, Tuhan ada bersamamu. Dia dekat dan selalu menjaga, dimanapun kamu berada~

Pernah, saat kamu ada di sebuah tempat, tapi hati dan pikiranmu berada di tempat lain?

Jika iya, pastilah kamu mengerti kegalauan yang tengah di rasakan Aryan saat ini.

Raga mungkin ada di kantor, namun fokusnya tetap pada sosok yang akhir-akhir ini mengusik ketenangan hidupnya.

"Sedang apa Leia sekarang, ya?"

Kedua sikut menempel pada meja, dengan jemari yang saling bertaut untuk menopang dagu.

Lalu fokusnya kembali saat menyadari ada begitu banyak tumpukkan berkas yang menunggu untuk dibaca.

"Haissh..!! Gimana aku bisa ngerjain ini semua!"

Frustasi, diacaknya rambut yang bahkan butuh waktu lebih dari satu jam untuk membuatnya terlihat klimis tadi pagi.

Bersamaan dengan itu, pintu terbuka tanpa aba-aba. Satu pria dan satu lagi wanita, sama sama mengenakan pakaian formal dengan warna dominan hitam.

Pria berjas itu berhenti tepat di depan meja yang ditempati Aryan, sambil berkecak pinggang.

Sedangkan si wanita, sedikit memberi jarak. Ia berdiri beberapa langkah di depan pintu.

"Maaf, Pak Aryan. Saya sudah melarang Pak David masuk. Tapi Beliau memaksa." Sesal wanita dengan heels senada dengan kemejanya.

"Eh?"

Ini hari pertamanya berada di kantor. Tentu saja Aryan masih belum akrab dengan panggilan 'Pak'. Meskipun pengacara Pak Tjandra sudah memberitahu bahwa Aryan telah sah menjadi pemimpin perusahan menggantikan dan sesuai dengan permintaan Pak Tjandra.

"Jadi ini wujud dari pemimpin yang baru? Urakan!"

Pria itu mencibir.

Sadar dengan apa yang dibicarakan, buru-buru Aryan menyisiri rambutnya dengan jari.

"Maaf, Pak. Ada perlu apa, ya?"

"Saya ada perlu dengan Pimpinan Direksi, bukan anda. Di mana Leia?" Begitu sombongnya pria itu berucap.

Aryan bangkit dari duduknya. Begitu cara Aryan menghormati pria di hadapannya.

"Leia tidak di kantor. Dia butuh istirahat yang cukup setelah musibah yang dialaminya. Bapak boleh bicara sama saya, nanti biar saya yang sampaikan ke Leia."

Seperti kehilangan kendali, David menghampiri Aryan dengan langkah pasti.

"Kamu bukan siapa-siapa di sini! Jadi berhenti ikut campur urusan kantor!" Sentak David tanpa rasa bersalah. Telunjuknya mengacung tepat di depan muka Aryan.

Setelah sadar dari keterkejutannya, Aryan menurunkan jari David yang teracung padanya, kemudian membuka suara, "Iya, saya tau, Pak. Saya bukan siapa-siapa. Tapi saya di sini atas perintah pengacara Almarhum Pak Tjandra."

"Heh! Kamu itu licik, ya! Pintar sekali kamu membuat rencana. Sekali tepuk...,"

David mengangkat keduat tangan, lalu menepuknya tepat di depan mata Aryan. "Dua nyamuk kamu dapat. Good Job!" Kemudian pria itu bertepuk tangan. Untuk alasan yang sama sekali tidak Aryan mengerti.

"Saya nggak ngerti apa yang sedang bapak bicarain."

"Sudahlah! Tidak usah pura-pura tidak tahu. Saya tahu semua akal busukmu. Dengan membunuh Pak Tjandra, bukan hanya Leia yang kamu dapat, tapi juga perusahaan ini dan seluruh harta yang Pak Tjandra tinggalkan. Begitu kan, rencanamu?"

Tentus saja Aryan tidak tinggal diam dengan segala tuduhan yang di lontarkan padanya. Diliriknya asisten pribadi Pak Tjandra yang masih mematung dengan ekspresi terkejut, begitu mendengar tuduhan yang diucapkan rekan bisnis Almarhum Pak Tjandra.

"Mba Wulan,"

Panggil Aryan santun.

"I-iya, Pa Aryan," jawab Wulan gugup.

"Bukannya, Mba Wulan ada banyak pekerjaan yang perlu diselesaikan, ya? Mba Wulan bisa kembali ke tempat sekarang, kalau sudah tidak ada keperluan."

"Eh?"

Begitu mengerti maksud atasannya, wanita berusia tiga puluhan itu undur diri,

"Baik, Pak. Saya keluar sekarang. Permisi."

Aryan mengembuskan napas lega, kini tinggal dirinya dan David di sana. Tidak akan ada lagi yang mendengar tuduhan-tuduhan sadis David terhadapnya. Bukan apa-apa, hanya saja Aryan takut jika tuduhan tanpa bukti itu berubah menjadi bumerang baginya jika terlalu banyak telinga yang mendengar.

"Pak David, silakan duduk. Kita bicara baik-baik."

"Tidak perlu! Saya tidak punya urusan dengan seorang sopir seperti kamu!"

Lalu pria itu melenggang pergi dengan langkah penuh kesombongan.

Lagi-lagi Aryan harus ekstra sabar dengan kehidupan barunya. Ia hanya bisa menggeleng sambil sesekali memijat pelipis.

Tidak habis pikir, bagaimana bisa Pak Tjandra bertahan dengan hidup yang penuh kerumitan seperti ini?

***

"Assalamu'alaikum, Bunda." Sapa Leia penuh ceria.

Disusul Nadhira yang juga mengucap salam.

Dari arah dapur, seorang wanita paruh baya berjalan menghampiri keduanya yang masih berdiri di depan pintu.

"Wa'alaikumussalam.... Putri-putri Bunda yang cantik sudah pulang."

Diciumnya satu persatu anak gadisnya.

"Bunda,"

Sebelum wanita gempal itu menjauh, Leia lebih dulu membawanya dalam pelukan. Hening cukup lama.

Begitu saja. Bagi Leia, diam dan terhanyut dalam pelukan tulus seorang ibu, lebih bermakna dari ribuan kata terucap.

Ada bahasa yang hingga kini tidak ia pahami, sebuah bahasa yang bisa menyampaikan jutaan makna tanpa perlu berbicara.

Sebuah bahasa, yang tidak ada kepura-puraan di sana. Yang ada hanya cinta dan ketulusan.

Leia menyebutnya, bahasa cinta.

"Ah, sudah. Leia anak gadis Bunda yang kuat."

Bunda menepuk-nepuk bahu Leia. Memberi kekuatan di sana.

"Sekarang kita makan, yuk. Kalian pasti lapar."

Kesedihan itu menguar seiring Bunda melepas pekukan. Wajah Leia kembali ceria dan penuh semangat.

"Ayuk, Bun. Leia udah nggak sabar pengen makan masakan Bunda."

Di barisan belakang, ada lelehan air mata di sudut mata Nadhira melihat Leia dan Bundanya yang berjalan beriringan dengan tangan saling menggenggam.

Tidak, lelehan itu bukan air mata cemburu. Melainkan rasa haru yang membuatnya berurai air mata.

Dua orang yang sangat berarti baginya, saling menggenggam tangan dan menguatkan. Untuk menghadapi masa depan yang penuh kejutan.

"Masak apa hari ini, Bun?"

Nadhira membalik piring yang terlungkup.

"Bunda hari ini masak sup ceker, tempe orek, bakwan sayur, sama ada sambal terasi."

Tidak ada ikan, ayam, atau daging memang di sana, karena kehidupan Nadhira dan keluarganya memang tidak seberuntung Leia yang serba kecukupan.

"Waah, pasti enak, nih."

Leia yang pertama mengangkat piring, menunggu Bunda mengisi piring kosongnya dengan secentong nasi.

Dengan senang hati, Bunda meladeni sikap manjanya.

Melayani Leia, jadi kebahagian tersendiri untuk Bunda.

"Tempe oreknya mau, Lei?"

Buru-buru Leia mengangguk,

"Mau dong, Bund."

Berbeda dengan Nadhira di seberang meja yang terlihat merengut.

"Leia, terus sih, Bun. Punya Dhira masih kosong, nih."

"Kamu kan sudah besar, bisa ambil sendiri kan, Ra."

Sekarang, Bunda malah sibuk menuang air putih untuk Leia.

"Dhira jadi bingung, sebenernya anak Bunda Dhira atau Leia, sih?" Protes Nadhira sambil berpangku tangan.

Yang dibicarakan tidak menggubris, hanya tawa tertahan sambil terus menikmati hidangan di hadapannya yang sederhana namun begitu nikmat di lidah. Mungkin karena Bunda memasaknya dengan penuh cinta.

"Dhira, jangan manja, dong. Leia kan tamu di sini. Kamu kan tahu, seorang muslim sepatutnya melayani tamu dengan baik."

Sekarang malah Nadhira kena ceramah Bunda.

Daripada berdebat lebih lama lagi, Nadhira akhirnya meladeni diri sendiri. Sedaritadi, orchestra dalam perutnya sudah lantang berbunyi.

Lagipula, dia tidak seruis ngambek pada Bundanya. Mana mungkin seorang Nadhira marah pada Bunda hanya karena hal se sepele ini?

Tapi, gadis diseberangnya itu sepertinya belum puas meledek Nadhira. Buktinya, sekarang dia malah meminta Bunda untuk melakukan suatu hal untuknya. Sesuatu yang sudah tidak pernah Nadhira dapatkan sepuluh tahun terakhir, disuapi Bunda.

"Suapin Leia, Bunda," rengeknya manja.

"Anak gadis Bunda kok masih manja, sih? Statusnya udah ganti jadi istri kok, malah manja gini." Canda Bunda disela suapan yang diberikan.

Sayangnya, candaan itu terdengar bagai petir di telinga Leia.

Kunyahan di mulut terhenti. Mendadak napsu makannya hilang. Meski sulit, dipaksanya makanan itu untuk masuk ke lambung. Meski harus dibantu dengan dorongan segelas air.

"Ekhm... Leia kayaknya udah kenyang deh, Bund. Tadi di rumah udah makan soalnya."

Sebuah senyum paksa terlukis di wajah manisnya, senyum yang ia buat karena tak ingin membuat Bundanya kecewa.

"Leia ke kamar dulu ya, Bund. Abis makan jadi ngantuk."

Leia beralasan. Dan tanpa menunggu jawaban, gadis itu segera beranjak ke kamar Nadhira.

Menyisakan Bundanya yang menatap Nadhira penuh tanda tanya. Nadhira tau, mungkin Bunda belum memahami situasi ini.

Dengan tenang, diusapnya punggung tangan Bunda, lalu berucap, "Leia baik-baik saja."

####