webnovel

“Dongeng Nusantara: Negeri yang Tak Pernah Selesai”

Author: Ge_ga_4045
Book&Literature
Ongoing · 1.7K Views
  • 5 Chs
    Content
  • ratings
  • N/A
    SUPPORT
Synopsis

Sinopsis: Di balik kisah-kisah masa kecil yang dulu diceritakan sebelum tidur, ternyata tersimpan naskah satir yang lebih gelap dari malam tak berbintang. Malin tak pernah kembali. Sangkuriang membangun kota dari kabut. Si Kancil bicara manis di layar kaca. Dan Timun Mas mencium bau emas di ladang hutan. Selamat datang di negeri dongeng yang telah beranjak dewasa—tempat para tokoh legenda hidup kembali, bukan untuk menginspirasi... tapi untuk bertahan di tengah absurditas sistem yang mereka warisi. “Dongeng Nusantara: Negeri yang Tak Pernah Selesai” adalah kumpulan kisah semi-realistik, penuh satire dan simbolisme, di mana folklore bertemu kenyataan, dan rakyat menjadi penonton dalam lakon yang tak pernah boleh tamat.

Chapter 1Bab 1: Malin dan Kapal yang Tak Kembali

Desa Lembar Patah dibalut kabut pagi yang lembut, dibawa angin laut di tepi pelabuhan sepi. Ombak kecil terus-terusan membelai dermaga kayu, menimbulkan suara cedak cedok seperti tepuk tangan yang masih menunggu aba-aba. Di ujung dermaga, sebuah kapal besar berkarat tergadai tanpa tujuan – lambang harapan sekaligus kekecewaan warga kampung. Beberapa nelayan tua duduk bersimpuh di dermaga pagi itu, mata mereka sayu menatap lambung kapal yang gersang: pernah dijanjikan memperbaiki nasib, tapi kini hanya menyisakan tanya.

Di dekat kapal tersebut berdiri seorang wanita kurus bertubuh tegak, rambut putih panjangnya jatuh hingga pangkal punggung. Inilah Ibu Malin Kundang yang sabar menanti: wajahnya keriput menahan lelah, namun matanya tetap menyala penuh harap setiap kali menatap ke laut lepas. Setiap hari sejak beberapa tahun terakhir, ia menunggu kepulangan anaknya. Malin – putra yang dijanjikannya akan mengangkat kemakmuran kampung ini – seakan tak kunjung kembali. Hanya pantulan sinar mentari yang sesekali menimbulkan bayang di air seperti wajahnya di kejauhan, lalu lenyap sebelum benar-benar dikenali.

“Bu, kapan Malin pulang?” tanya Mbak Siti yang datang membawa sekeranjang ikan segar. Suaranya ceria menyapunya, meski khawatir di balik senyum. Warga sering meledek Ibu Malin agar tak terlalu lama menanti, tetapi tak ada yang benar-benar tega mengusiknya. Ibu Malin mengangkat bahu dan tersenyum tipis. “Ah, Mbak Siti… Katanya proyek kapal kami sudah hampir rampung. Malin bilang nanti semua akan beres,” jawabnya perlahan. Belum keluar sepatah kata, hatinya sudah gelisah—namun ia tak ingin mengecewakan orang lain dengan kekhawatirannya.

Mbak Siti mengangguk pelan sambil meletakkan keranjang ikan di dekat tumpukan jaring. Senyumnya ramah, namun mata inangnya meratapi dermaga. “Kabarnya kapal besar untuk desa kita sudah jadi sebagian, Bu. Warga di desa tetangga juga sudah nunggu, katanya nanti di sini kapal itu berlabuh membawa harapan baru. Tapi, pak, malah kita yang menanti lama sekali.” Ia menunjuk ke kapal dengan senyum setengah getir. Ibu Malin menghela napas pelan dan menoleh ke jurusan yang sama, menatap lambung kapal yang ringkih dan tertutup karung. Mata keduanya berbicara—begitu banyak janji sudah terbuang dalam karung-karung, tapi kapal nyata tak kunjung ada.

Tak jauh dari situ, di pasir pantai, beberapa anak kecil bermain menyanyi. Mereka membawa kapal mainan dari papan dan daun kelapa, berpura-pura berlayar ke negeri jauh. “Malin ke negeri seberang, bawa kapal penuh harapan,” lagu anak-anak itu menari, namun ujungnya seakan tersendat. Ketika mereka menoleh ke Kapal Besar usang itu, satu persatu anak-anak itu menertawakan kapal mainannya, lalu berlari mengejar ombak. Mereka melompati tumpukan jaring usang di dek kapal, menyingkirkan rumput liar yang tumbuh di antara retakan kayunya. “Liat, ini kapalnya Malin, dibuat dari jaring,” goda seorang anak perempuan sambil mengacak rambut temannya. Mereka tertawa, tapi bagi Ibu Malin dan para nelayan, candaan itu mengiris seperti pasir tajam.

Menjelang siang, suasana desa tiba-tiba riuh. Dari arah ujung jalan beraspal, sebuah iring-iringan sepeda motor datang melaju pelan. Di barisan depan tampak sosok berjas lusuh berwarna cokelat dimasuki sorot mata tukang berpidato, diikuti oleh seorang pemuda berpakaian safari putih dengan topi bertulis “Proyek Indonesia Jaya”. Mereka adalah Lurah Desa dan Brahman, kepala proyek pembangunan – pria muda yang sering disebut anak emas para pejabat. Begitu kendaraan berhenti di dermaga, Lurah langsung memegang mikrofon rakitan. Di sampingnya, Brahman tersenyum bangga seolah baru saja berhasil magis memanggil sesuatu yang penting.

“Warga Lembar Patah tercinta!” teriak Lurah sambil melambaikan tangan. Suaranya lantang, menenggelamkan deburan ombak yang tiba-tiba berhenti di telinganya. Sebentar semua hening; ibu-ibu melepas keranjang ikannya, nelayan menoleh, anak-anak berhenti bermain. Gagang bajunya ia kucir gagah. “Hari ini, kita berkumpul untuk menyaksikan bukti kemajuan!” lanjutnya. “Inilah kapal yang akan membawa desa kita ke masa depan!” Lurah menunjuk kapal besar yang berkarat; mimik wajahnya datar, namun seolah begitu antusiasnya ia hendak mempersembahkan mahkota.

Pak Joko, seorang nelayan paruh baya yang sarat pengalaman, mengangkat satu alis. Dengan suara serak ia berbisik, “Ini—ini kapal yang sejak awal disebut bahtera impian itu.” Ia tahu persis kondisi kapal yang diucapkan Lurah: lambungnya telah kemek, warnanya pudar kelabu, beberapa papan terlepas sudah. “Setahun lalu, katanya kapal ini sudah 70% jadi. Dua bulan lalu, katanya sudah 90%. Kenyataannya? Sampai sekarang hanya karat terongok di sini,” gumamnya pada seorang kerabat sebelahnya. Ia masih menatap kapal dengan mata tidak percaya. Laporan demi laporan dibuat, tapi tak satu pun menuaikan kapalnya berjalan.

Lurah mengangguk dan tersenyum penuh keyakinan. “Betul sekali. Kapal ini memang kebanggaan kita. Nama Malin Kundang diukir di lambungnya, lho! Nanti, ketika kapal ini mulai berlayar, kita semua ikut berlayar menuju kemakmuran!” katanya meyakinkan. Semua warga bertepuk tangan kecil, sebagian terpaksa tersenyum. Hanya satu bocah kecil yang berdiri di pinggir dek melongo heran: ujung jembatan kapal di sebelahnya terangkat, membentang lebar. Dengan sigap bocah itu mencoba meraih foto penghargaan yang terbang melayang oleh angin ke pergelangan kapal. Ia berteriak, “Wah, buat siapa itu foto?!” Para orang dewasa tercengang melihat aksi bocah itu. Ia tersenyum polos.

Lurah sedikit terkejut, lalu membungkuk sambil menepuk bahu bocah itu. “Enak bermain kapal ke sana?” tanyanya ramah. Bocah itu hanya mengangguk kaku, mata terbelalak. Ibu bocah tadi, berdiri di samping, hanya tersenyum getir dan mengambil potret yang sama. Rupanya foto itu adalah ucapan syukur atas peluncuran proyek setahun lalu, bertuliskan “Proyek Pelabuhan Harapan – Tahap I”. Kini sudut fotonya sudah robek. Sungguh mengiris: harapan itu terlihat dalam foto, tetapi di tangan mereka ia hanya tumpukan kertas usang.

Lurah menghela nafas ringan, mencoba mengalihkan perhatian. “Inilah realita perjuangan kita,” kata beliau bersuara tegas. “Setiap kemajuan menuntut pengorbanan dan kesabaran. Malin Kundang, putra desa kita, sedang di negeri jauh menyelesaikan tugas besar. Ia bekerja demi desa, demi janji-janji pembangunan. Malin pun telah mengirimkan wujudnya lewat teknologi–lihatlah!” serunya, sambil menunjuk ke atas dek kapal.

Tiba-tiba, para petugas yang ikut rombongan memindahkan ke tengah dek sebuah mesin besar berwarna hitam. Alat itu memiliki lensa tebal seperti kamera raksasa. “Inilah proyektor hologram,” bisik salah satu petugas kepada seorang pemuda desa. Sekali suara Brahman memberi instruksi lewat pengeras suara kecil, sebuah cahaya berbentuk siluet mulai memancar di udara. Lambat laun tubuh sosok seorang pria muncul di atas dek: jasnya merah marun, kumisnya tebal, mata menatap lurus ke depan. Itulah Malin Kundang dalam bentuk hologram—bayangan suaranya terdistorsi seperti gaung samar dari negeri seberang.

“Halo warga kampung asal!” Suara Malin menggema lemah namun tegas. Ia melambaikan tangan, lalu membetulkan posisi suaranya. “Kami tahu kalian sudah sabar menunggu. Proyek kapal ini hampir selesai. Kami menyelesaikannya demi masa depan yang lebih baik!” kata hologram itu. Warga bersorak gembira, tepuk tangan pecah. Anak-anak kecil tertawa girang sambil menirukan gerakannya. Namun beberapa orang dewasa saling berpandangan; bagi mereka, suara itu seperti angin lalu: lembut saat diucapkan, tapi tak pernah tertangkap ujungnya. Setitik debu layar hologram tersebut berkelap-kelip samar, membuat senyum Malin sesaat terdistorsi seperti cermin retak.

Pak Tua Hasan, tetua desa yang berwajah bulat dengan janggut putih, terdiam. Air mata birunya hampir jatuh karena bahagia—bahagia karena anak muda kampung akan pulang, sekaligus sedih karena gelisah menanti. Ia mengingat suara Malin muda dulu berjanji di bawah pohon cempedak, bahwa ia akan membangun pelabuhan terbesar agar desa ini sejahtera. “Kita sudah menunggu bertahun-tahun, Nak. Tidak boleh lagi ada yang sia-sia,” ujarnya pelan pada angin. Brahman, yang berdiri beberapa langkah di sebelah proyektor, hanya tersenyum canggung. Ia mendekati Micromal 5 yang setengah rusak, berbisik pada hologram, “Santai saja, semuanya akan baik-baik saja.”

Para pegawai desa yang hadir tiba-tiba tak tenang. Kepala desa sendiri menggigit bibir melihat cipratan warna hologram yang samar. Namun di kantor desa, kondisi berkas jauh lebih lucu: tumpukan dokumen dan laporan proyeksi pembangunan menumpuk menggunung. Mereka berserakan di meja kayu sampai lantai, dijadikan alas kucing tidur dan pijakan anak kecil. Laporan perkembangan proyek Malin tergeletak usang di laci, seperti harta terlupakan. Di sana ada catatan Realisasi Anggaran, Surat Perjalanan Malin ke Jakarta, hingga daftar motor Dinas agar Malin “ramai disambut” —tapi semua itu terbungkus debu, belum ada yang berani menyelesaikannya.

Seorang pegawai muda, Umar, mengintip berkas berjudul “Rencana Rinci Pembangunan Pelabuhan Lembar Patah”. Ia mengeleng melihat berapa banyak lembar yang hilir mudik belum ditandatangani. Ia berpikir, “Entah sudah berapa kali anggaran diganti namanya menjadi ‘Kurcaci Terbang’ atau ‘Pohon Nangka Raksasa’. Butuh berapa bulan lagi? Ia tertawa geli sembari memutar kursi kantor. Begitu banyaknya laporan sampai-sampai tikus bisa dibuat jembatan antar mejanya: satu berkas dari kapal, berkas berikutnya dari jalan, berkas jalan ke pusat administrasi. Laporan satu berisi puluhan paragraf, membahas kelengangan waktu; laporan kedua tidak berbeda: memuji sabar sambil memainkan angka.

Di luar kantor, warga desa sudah beranjak pulang. Sore itu langit memerah, burung camar berterbangan pulang. Anak-anak yang tadi bermain kapal mini pun pulang mengantuk karena debur angin. Mereka melontari satu salam terakhir ke laut: “Selamat tinggal, kapal Malin. Kembali lagi nanti, ya!” seru bocah kecil sambil acungkan jempol. Tidak ada jawaban, hanya ombak yang tampak memantulkan senyum aneh. Di atas dermaga, kapal besar tanpa dayung perlahan terselubung bayang. Cahaya merah matahari membuatnya seolah terapung magis. Lurah, Brahman, serta rombongan pamit pulang tanpa sadar kapal itu mengayun ringan, suara perahu tua yang menderik seolah berbisik, “Kami belum pergi...”.

Tiba malam. Di warung kecil dekat masjid, beberapa bapak tukang ojek dan ibu-ibu pedagang gorengan duduk berkerumun. Meja-meja kayu disulap jadi tempat minum kopi, lampu minyak remang menebar aroma minyak wangi. Mereka saling berbagi kopi hangat sambil membicarakan hari itu. Pak Joko memulai, “Dari tahun ke tahun yang kita dapat cuma presentasi dan jargon acara. Kapal dan janji masih kayak hantu: sering disebut, tapi malah menghilang. Kalau Malin rajin, malah lewat Surabaya balik dalam semalam, ya.” Tawanya pecah pelan, namun terdengar getir. Ibu-ibu mengangguk. “Kita mah sabar, sih,” timpal sebuah suara tua. “Tapi sabar itu ada batasnya, Mas. Aku dengar lho, kabarnya ada proyek pabrik emas di utara sana. Mungkin Malin menunggu hujan emas dulu baru datang.” Cemoohan ringan itu disambut gelak sepoi-sepoi dari kumpulan simpatisan sabar.

Bapak Irfan, tukang becak langganan, menyeruput kopinya sambil bergumam keras, “Kita udah banyak berkorban untuk kata pembangunan ini. Tanah kita sudah dicaplok, tapi apa nikmatnya kalau yang datang hanya orang-orang anak emas? Lihat Brahman itu. Anak emas Lurah. Setiap upacara selalu dibilang juara 1, tapi kerjaan juga nol besar. Laporannya tebal berbelit, tapi cuma di kertas. Kita di sini malah nyaris yang angkat pasir dan batu – eh, katanya itu untuk pembangunan. Tapi nyatanya? Jalan sana cuma dibuat setengah, sekolah di atas gedung sudah diresmikan tugu, sisanya muridnya tetap belajar di gubuk!” Ia mendelik ke Brahman yang tengah bicara lewat ponsel di pojokan. “Dia sibuk rapat sana-sini di kota. Sudah gitu, di catatannya Malin sibuk kerja keras demi kita. Lah, yang kita rasa cuman angin! Malin sibuk acara media, kita kerja lapangan, apa adil begitu?”

Semua orang tertawa pahit. Pak Sumardi menimpali sambil memainkan sendok di gelas, “Asal cepat keluar, hasil proyek itu. Anak emasnya dimanja sampai dapat fasilitas. Nah orang kita? Ditaruh sana sini saja, sampai lapok tidak kelihatan. Jalan tambal sana-sini banyak, tapi karena dana cenayang dibagi dua. Pokoknya, sampai Malin benar-benar pulang, kita tidak boleh lupa berteriak karena tidak ada yang gratis di negeri ini.” Warga kampung saling pandang sengit. Belum ada jawaban maupun keajaiban, hanya rintik gerimis pelan di luar yang membasahi jalanan sepi.

Di rumah kecilnya yang berbahan kayu, Ibu Malin memandangi foto masa muda Malin. Di gambar hitam-putih itu, Malin muda tersenyum lebar dengan tangan terkepal di udara, setengah berlari di depan dermaga kayu, mengenakan baju batik lusuh—wajahnya penuh optimisme. Dibalik fotonya tertulis ucapan tahun baru: “Untuk Ibu di desa kecil nan jauh, aku akan kembali membawa perubahan.” Kini, fotonya sudah agak pudar. Sang ibu mengusap gambar itu dengan jari gemetar. “Dulu kau penuh suara,” bisiknya lirih. “Sekarang bayangmu menari di layar dan memudar di kenangan.”

Angin malam berhembus lembut melewati pintu rumah berderit. Hujan rintik di luar menambah sunyi. Ibu Malin duduk di beranda, lampu minyak di mejanya mengeluarkan asap kecil. Ia membuka buku hariannya yang lama, tulisan tangan Malin pun mulai luntur. Di halaman pertama ia pernah menulis: “Tidak akan melupakan Ibu. Kami akan membangun pelabuhan besar.” Di akhir paragraf tertulis nama Malin dengan tinta biru yang hampir pudar. Gadis kecil pun naning pelangi. Ibu Malin menyentuh halaman itu dengan jari keriputnya. “Tuhan,” gumamnya lirih, “mendengar harapan, menabur janji, sesungguhnya apa arti semua ini? Malin, anakku… apa kau mendengar? Kami di sini, masih menunggu jawabanmu.”

Dalam hening, tiba-tiba dentingan lonceng masjid malam tanpa sengaja terdengar jauh. Sewindu lamanya negeri ini terbiasa menggantung janji dan mewariskan kekecewaan, suara itu kini seperti soal tak terjawab. Sekali lagi angin laut menari di depan telinganya, membentuk simfoni samar: Negeri ini tak pernah memberi ruang untuk cerita benar-benar tamat… Ibu Malin menarik selimut sarung bahu, menutup wajahnya. Mata malam menatapnya tanpa gema. Bibirnya berucap lirih sekali lagi: “Sebentar lagi, engkau akan tahu… kisah Malin tidak pernah berakhir di sini.”

Cerita ini belum pun bermula sepenuhnya, karena di negeri yang tak tentu ujungnya ini, kapal tanpa nahkoda dapat tiba-tiba berlayar sendiri, janji pun dapat terus bergulir bagai ombak tiada henti. Dan malam itu, di tepian sunyi Lembar Patah, masih ada harapan yang terpendam di balik gema — menanti akhir dari sebuah dongeng yang tak beranjak sampai waktunya tiba.

You May Also Like

ratings

  • Overall Rate
  • Writing Quality
  • Updating Stability
  • Story Development
  • Character Design
  • world background
Reviews
WoW! You would be the first reviewer if you leave your reviews right now!

SUPPORT